Perang Elang dan Gagak: Permusuhan Takdir di Hutan Durkendral

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa dunia kayaknya lagi ngumpulin semua musuh-musuh buat ngelawan kamu? Nah, bayangin aja kalau itu bukan cuma dunia, tapi hutan penuh misteri dengan dua makhluk yang super kuat, saling memburu satu sama lain.

Elang sama gagak, dua predator di langit, yang bakal bawa kamu ke dalam permainan takdir yang nggak pernah kamu bayangin sebelumnya. Siap-siap, karena di hutan Durkendral, nggak ada yang tahu siapa yang bakal menang… dan siapa yang bakal hancur.

 

Perang Elang dan Gagak

Bayangan di Langit Durkendral

Langit pagi di atas hutan Durkendral berwarna biru pucat, diselingi awan tipis yang bergerak perlahan. Angin dingin dari lembah berhembus melewati celah-celah pepohonan tinggi, membawa aroma lumut dan daun basah. Di puncak pohon ek terbesar, seekor elang keemasan bertengger dengan mata tajam menatap ke bawah.

Narkan, raja langit di Durkendral, mengamati pergerakan di bawahnya. Setiap gerakan kecil di antara semak-semak tidak luput dari pandangannya. Seekor tikus kecil berlari melintasi hamparan daun gugur, sementara di kejauhan, suara burung-burung kecil bersahut-sahutan.

Dengan gerakan yang nyaris tak terdengar, Narkan mengembangkan sayapnya dan melompat ke udara. Ia meluncur perlahan, mengitari wilayahnya. Mata tajamnya memindai setiap sudut hutan. Hari ini adalah hari berburu.

Namun, tak lama setelah ia terbang, sebuah bayangan hitam melintas cepat di atasnya. Bayangan itu bergerak liar, seolah sengaja mengganggu. Narkan menoleh, dan seperti yang ia duga, seekor gagak besar dengan bulu hitam pekat tengah melayang tidak jauh darinya.

“Kaelth…” desis Narkan dengan nada kesal.

Gagak itu mendekat, melayang dengan santai di udara. Kaelth adalah sosok yang selalu ada di saat yang tidak diinginkan, seperti duri yang menyusup ke dalam cakar.

“Aku kira kau sedang tidur di sarangmu, Narkan,” Kaelth berkata dengan suara parau khasnya. “Ternyata kau keluar pagi-pagi sekali. Apa hari ini kau ingin menambah koleksi mangsa?”

Narkan menahan diri untuk tidak langsung menyerang. Ia tahu Kaelth tidak pernah muncul tanpa alasan. “Kalau kau hanya ingin mengganggu, lebih baik pergi sekarang,” kata Narkan dingin.

Kaelth tertawa kecil, suara tawanya seperti gema dari hutan. “Kenapa terburu-buru, Narkan? Bukankah langit ini cukup luas untuk kita berdua?”

“Langit ini memang luas, tapi kau selalu tahu cara membuatnya terasa sempit.”

Kaelth melayang lebih dekat, nyaris sejajar dengan Narkan. “Kau terlalu serius, Narkan. Kau harus belajar menikmati hidup. Mungkin aku bisa mengajarimu bagaimana caranya.”

Narkan mendesis pelan. “Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.”

Namun, sebelum Narkan sempat menukik ke bawah, Kaelth tiba-tiba terbang lebih tinggi, berputar di udara. “Aku melihat sesuatu yang menarik di sebelah utara hutan,” katanya. “Mungkin kau ingin melihatnya.”

Narkan mengernyitkan alisnya. “Apa yang kau bicarakan?”

Kaelth memiringkan kepala, matanya berkilat nakal. “Sesuatu yang tidak akan kau abaikan. Tapi tentu saja, kalau kau takut itu jebakan, kau bisa tetap di sini.”

“Aku tidak takut pada jebakan, Kaelth.”

“Bagus. Kalau begitu, ikuti aku.”

Kaelth meluncur ke arah utara, sayap hitamnya memotong udara dengan kecepatan yang mengejutkan. Narkan ragu sejenak, tetapi rasa penasaran mengalahkan kewaspadaannya. Ia mengepakkan sayap dan mengikuti gagak itu.

Kaelth membawa Narkan melewati bagian hutan yang jarang ia jelajahi. Pohon-pohon di sini lebih tinggi dan lebih gelap, dengan ranting-ranting yang seperti tangan kurus menjulur ke segala arah. Suasana terasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi dari balik bayangan.

Setelah beberapa menit terbang, Kaelth akhirnya berhenti di atas tanah lapang yang dipenuhi pohon tumbang. Ia melayang rendah, lalu mendarat di salah satu batang kayu besar.

“Di sini,” katanya singkat.

Narkan melayang turun, tetap menjaga jarak dari Kaelth. Ia memeriksa sekeliling, mencoba mencari apa yang dimaksud gagak itu.

“Mana yang kau bilang menarik?” tanya Narkan, suaranya mulai tidak sabar.

Kaelth tersenyum kecil, paruhnya bergerak seolah-olah ia menahan tawa. “Kau tidak melihatnya, ya? Ini tempat yang sempurna untuk perburuan. Tidak ada pohon yang menghalangi pandangan. Di sini, kau bisa menunjukkan siapa penguasa langit sebenarnya.”

Narkan mendengus. “Jadi, ini hanya tentang pamer kekuatan?”

“Bukan hanya itu,” Kaelth menjawab sambil mengepakkan sayapnya pelan. “Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa kau tidak hanya bergantung pada ketinggian dan cakar tajammu. Di sini, semuanya setara.”

Narkan memperhatikan Kaelth dengan curiga. Gagak itu selalu punya maksud tersembunyi. Tapi sebelum ia sempat menjawab, suara gemerisik datang dari semak-semak di tepi lapangan.

Keduanya langsung terdiam, mata mereka tertuju pada sumber suara. Narkan mengangkat kepala, mencium bahaya yang datang.

“Ada sesuatu di sana,” bisik Kaelth, suaranya lebih rendah dari biasanya.

Narkan mengepakkan sayapnya perlahan, siap untuk melompat ke udara kapan saja. Ia menatap Kaelth dengan tajam. “Kalau ini jebakanmu, aku akan memastikan kau tidak pernah terbang lagi.”

Kaelth tersenyum tipis. “Kalau ini jebakan, aku juga tidak akan selamat. Jadi, apa kau mau memeriksa bersama, atau kau terlalu takut untuk tahu apa yang ada di balik semak-semak itu?”

Ketegangan di antara mereka semakin memuncak, tetapi rasa ingin tahu yang sama membuat mereka melangkah lebih dekat ke arah suara tersebut. Hutan yang semula sunyi mulai terasa semakin mencekam.

Di ujung lapangan, rahasia Durkendral menunggu untuk ditemukan.

 

Permainan Licik Sang Gagak

Langit sudah berubah, bayangan senja mulai menyelimuti hutan Durkendral. Narkan dan Kaelth melayang rendah, mendekati semak-semak yang terus bergetar, tanda bahwa sesuatu atau seseorang tengah bersembunyi di sana. Angin malam membawa hawa lembab yang membuat bulu-bulu mereka meremang, memberi tanda bahwa hutan ini masih menyimpan banyak rahasia yang tak terungkapkan.

Mereka berhenti di atas sebuah batang kayu yang rapuh, cukup dekat dengan semak-semak itu. Kaelth terbang lebih rendah, hampir menyentuh permukaan tanah. Di bawahnya, sepasang mata besar bersinar di kegelapan—sepasang mata burung hantu, setajam pisau, merenung dengan tenang.

“Siapa itu?” bisik Narkan, matanya tak lepas dari sosok burung hantu yang semakin jelas di depan mereka.

Kaelth melirik ke samping dengan senyum licik. “Teman lama. Tapi dia tidak suka dilihat oleh banyak orang,” katanya sambil berbalik, tampak semakin santai. “Aku rasa kita bisa berbicara dengannya.”

Narkan tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang Kaelth rencanakan. Hutan ini bukan tempat yang aman bagi sembarang makhluk, dan Narkan tahu betul bahwa Kaelth bukan tipe yang suka berbicara tanpa maksud tersembunyi. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Kaelth sudah meluncur lebih rendah dan menurunkan sayapnya dengan anggun.

Burung hantu itu hanya mengamati, tidak bergerak sedikit pun. Matanya yang tajam menyorot dengan penuh perhitungan, seolah menilai siapa yang akan lebih dulu melangkah.

“Kaelth,” suara itu keluar pelan, berat dengan penekanan. “Kau datang lagi… dengan permainanmu yang tak ada habisnya.”

“Ah, Denev, selalu saja negatif,” jawab Kaelth sambil tertawa ringan. “Aku hanya ingin berbicara. Tidak ada permainan kali ini.”

Burung hantu itu menatap Kaelth dengan tajam, namun akhirnya mengangguk perlahan. “Bicara? Hm, aku lebih suka tindakan daripada kata-kata kosong. Tapi jika memang itu yang kau inginkan, katakan saja.”

Narkan mengamati dengan cermat. Ternyata burung hantu ini bukan sembarang makhluk. Dari sikap dan pembicaraannya, jelas bahwa Denev adalah makhluk yang lebih berpengalaman, dan tahu betul bagaimana mempertahankan kekuasaan di wilayah ini.

Kaelth menunduk, mendekatkan wajahnya ke Denev. “Aku mendengar ada sesuatu yang menarik di sekitar wilayah barat. Tentu, kau pasti sudah tahu apa yang ku maksud. Sebuah ancaman. Apa kau tertarik untuk bergabung dengan kami?”

Denev mendengus dan mengepakkan sayapnya perlahan. “Ancaman? Kau sudah tidak lagi berbicara dengan kata-kata yang sama. Sepertinya kalian tidak benar-benar memahami apa yang ada di luar hutan ini.”

Narkan merasa ada yang ganjil. Dari sikap Denev, ada sesuatu yang lebih besar, lebih berbahaya, yang tak ingin ia ungkapkan. Rasa curiga mulai menyesakkan dada Narkan.

“Kau bisa saja bermain-main dengan Kaelth, tapi aku tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari itu,” kata Denev, suaranya kini berubah lebih serius. “Hutan ini tak hanya milik kita. Ada yang lebih besar dari kita, dan kalian tidak tahu apa yang sedang kalian hadapi.”

Kaelth tertawa lagi, namun kali ini terdengar lebih paksa. “Aku tahu lebih banyak daripada yang kau kira, Denev. Kita semua punya musuh, dan aku hanya ingin memastikan kita siap untuk itu.”

Narkan, yang sebelumnya mendengarkan dengan diam, akhirnya berbicara. “Kalian membicarakan ancaman, tapi tidak ada yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Jika kita berburu musuh, kita harus tahu siapa yang kita hadapi.”

Denev menatap Narkan dengan intens, seolah menimbang-nimbang apakah ia harus berbicara lebih banyak. Setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, ia akhirnya berkata, “Ada kekuatan yang mengintai dari luar hutan ini. Sesuatu yang lebih besar dari burung gagak dan elang yang mengklaim langit mereka. Sesuatu yang sedang mendekat, siap mengubah semua yang kita kenal.”

“Dan kau berpikir kami bisa menghadapinya?” tanya Narkan dengan nada meragukan.

“Jika kalian tidak bersatu,” jawab Denev dengan tegas, “maka kalian hanya akan menjadi mangsa bagi apa pun yang datang. Aku sudah melihat pertanda-pertanda itu. Kalian harus memutuskan, apakah kalian ingin bertarung bersama atau melawan satu sama lain hingga musuh itu datang dan menghancurkan kalian.”

Keheningan sejenak menyelimuti mereka. Kaelth melayang mundur, dan Narkan tetap diam, mencerna kata-kata Denev. Perasaannya semakin tidak nyaman, seolah-olah sesuatu yang besar dan tak terelakkan sedang bergerak di luar jangkauan mereka.

“Dan apa yang kau tawarkan?” tanya Kaelth, suaranya kembali terdengar seperti bermain-main, namun ada sedikit keraguan dalam nada itu.

Denev memandang ke langit yang mulai gelap. “Kesatuan. Mungkin ini saatnya kita berhenti bersaing, Kaelth. Bahkan kau tahu bahwa pertempuran tanpa alasan hanya akan membawa kehancuran. Musuh sejati kita belum muncul, tapi ketika mereka datang, kita harus siap. Hutan ini akan menjadi tempat terakhir yang kita pertahankan.”

Kaelth terdiam, tampaknya kata-kata Denev mulai meresap. Narkan menatap kedua makhluk itu, sebuah perasaan ganjil muncul di dalam dirinya. Sebuah pilihan harus segera dibuat—terus memperebutkan wilayah dan kekuasaan, atau bersatu melawan ancaman yang lebih besar yang sedang mendekat.

“Jadi, kau ingin kami bergabung dalam perburuan yang jauh lebih besar?” tanya Narkan akhirnya.

Denev mengangguk perlahan. “Kita semua akan berburu. Dan kali ini, bukan hanya untuk diri kita sendiri.”

Kaelth akhirnya tersenyum tipis, meskipun ada sedikit kecemasan di baliknya. “Sebaiknya kau tidak kecewa, Narkan. Karena jika kita bergabung, kita harus mengikuti aturannya.”

Narkan menatap Denev dan Kaelth bergantian. Hutan ini tidak lagi hanya menjadi medan pertempuran antara dua burung yang tak mau mengalah. Sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, sedang mengintai mereka.

Perang yang sesungguhnya baru dimulai.

 

Jejak yang Menghilang

Hutan Durkendral semakin mencekam ketika malam benar-benar menyelimuti langit. Tak ada suara kecuali desiran angin yang berbisik di antara dedaunan, dan suara gesekan sayap besar yang terbang rendah di antara pepohonan yang seakan-akan menahan napas. Narkan meluncur ke udara, merasa ketegangan itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Kaelth dan Denev sudah pergi lebih dulu, meninggalkan jejak yang semakin samar di bawah sana.

Narkan tak tahu harus merasa tenang atau malah khawatir. Dalam sekejap mata, semua berubah. Dulu, hutan ini adalah tempat mereka bersaing, tempat mereka menguji kekuatan dan dominasi. Namun malam ini, semua itu terasa seperti permainan kecil di tengah ancaman yang lebih besar. Mereka bukan lagi musuh satu sama lain. Namun apakah mereka sudah cukup siap menghadapi apa yang benar-benar datang?

Batu-batu yang tersebar di sepanjang jalan setapak mulai memantulkan sinar bulan yang perlahan muncul di balik awan gelap. Narkan merasa sesuatu yang ganjil, sesuatu yang mengintai di luar sana, di balik pepohonan yang semakin gelap. Tiba-tiba, seberkas bayangan gelap melintas di depannya. Secepat kilat, Narkan menoleh, merentangkan sayap untuk menjaga keseimbangannya, namun yang terlihat hanyalah kabut yang pekat, menciptakan ilusi bahwa sesuatu yang sangat besar telah melewati hutan.

“Ini semakin buruk,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba memfokuskan indera tajamnya. “Kau bisa melarikan diri darinya, Narkan, tapi itu tidak akan mengubah apapun.”

Ia terbang lebih tinggi, menembus kabut yang semakin tebal. Semakin tinggi ia terbang, semakin tidak jelas apa yang ada di bawah sana. Langit gelap di atasnya hanya memberi sedikit cahaya bulan yang hampir hilang. Hutan yang dulu tampak hidup dan penuh suara kini terasa sepi dan menekan.

Di kejauhan, di antara pepohonan, suara langkah kaki terdengar, seperti sesuatu yang sedang mengintai. Bukan suara binatang kecil, melainkan sesuatu yang besar dan berat. Narkan mematikan sayapnya sejenak, mencoba mengidentifikasi sumber suara itu. Tak lama, sebuah sosok besar muncul dari balik bayang-bayang pohon. Sebuah makhluk yang lebih tinggi dari semua makhluk yang ada di hutan ini, dengan tubuh yang penuh dengan bulu hitam legam dan mata yang menyala seperti bara api.

Kaelth.

Tapi ada yang aneh. Raut wajah Kaelth tak seperti biasanya. Di matanya, ada sesuatu yang gelap, sesuatu yang tak terlihat sebelumnya. Ia melayang lebih dekat, tak tampak seperti burung gagak yang biasanya mengancam. Sesuatu yang lebih besar, lebih menyeramkan, ada dalam dirinya malam ini.

“Kaelth?” Narkan bertanya dengan hati-hati, tetap waspada meskipun Kaelth bukan musuhnya malam ini. “Kau… ada apa?”

Kaelth mengarahkan pandangannya, namun kali ini, tak ada senyum licik atau candaannya. Hanya ada keseriusan yang dalam, seperti dia sedang memikirkan sesuatu yang jauh lebih besar dari mereka berdua.

“Aku tak yakin bisa bertahan lebih lama, Narkan,” kata Kaelth pelan, suaranya serak. “Ada sesuatu yang membayangi kita. Sesuatu yang… tak bisa kita lawan sendirian.”

Sebelum Narkan sempat menjawab, suara derak dari balik pepohonan terdengar keras, membuat keduanya menoleh. Dari kegelapan muncul sosok besar, tubuhnya seakan menelan cahaya. Matanya menyala, seolah menyimpan kebencian yang tak terlukiskan. Burung gagak itu menatap dengan tajam, dan Narkan merasakan hawa dingin yang menyentuh bulu-bulunya.

“Musuh kita,” kata Kaelth, suara penuh amarah. “Tidak ada lagi ruang untuk ragu. Kita akan bertarung—bersama atau tidak sama sekali.”

Sosok yang muncul di hadapan mereka bukanlah makhluk yang bisa dianggap enteng. Seperti yang Denev katakan, ini bukan hanya pertempuran mereka berdua. Ini adalah pertempuran yang melibatkan lebih banyak dari sekadar kebanggaan dan wilayah. Narkan bisa merasakan kehadiran makhluk itu yang penuh dengan ancaman.

“Siapa kau?” tanya Narkan, berbicara pada makhluk yang sudah mulai mendekat.

Makhluk itu hanya tertawa rendah. Suaranya kasar dan penuh ancaman. “Aku bukan siapa-siapa,” jawabnya, “Tapi kalian, burung-burung ini, adalah bagian dari permainanku. Waktu kalian sudah hampir habis.”

Kaelth melirik Narkan dengan tajam, kemudian menatap makhluk itu. “Jadi kalian ingin menantang kami? Menyelesaikan urusan dengan kami seperti ini?”

Makhluk itu mengangkat satu sayap besar yang hampir menutupi seluruh langit di atas mereka. “Aku tidak peduli dengan permainanmu. Tapi aku akan memastikan hutan ini menjadi milikku—semuanya. Tak ada yang akan tersisa.”

Angin tiba-tiba berhembus lebih kencang, membawa serpihan dedaunan yang beterbangan di sekitar mereka. Narkan merasakan kekuatan makhluk itu, kekuatan yang begitu besar, hingga seolah dapat meruntuhkan langit sekaligus bumi.

Kaelth terbang lebih rendah, bersiap untuk melawan. “Kau pikir kau bisa menakut-nakuti kami dengan kata-katamu?” ejeknya, namun di matanya, Narkan bisa melihat sesuatu yang tak biasa—ketegangan yang begitu dalam, seperti ia juga merasakan ketidakpastian akan ancaman yang datang.

Makhluk itu mendekat, dan dengan satu gerakan cepat, menghantamkan sayapnya ke arah mereka. Narkan cepat memutar tubuhnya, terbang menjauh, hanya beberapa inci dari serangan itu. Namun begitu, makhluk itu sudah melayang di atas mereka, siap untuk menyelesaikan permainan ini.

“Siapkan dirimu, Narkan,” kata Kaelth, suaranya kini penuh fokus dan keberanian. “Kita harus bertarung habis-habisan.”

Narkan tahu, ini bukan pertempuran yang bisa diselesaikan dengan mudah. Tapi mereka tak punya pilihan lain. Ini adalah saat ketika mereka harus bersatu atau jatuh terpisah. Saatnya, mereka harus bertarung bersama—atau dunia mereka akan hancur.

Perang yang sebenarnya dimulai.

 

Mimpi yang Pudar

Perang yang tidak pernah mereka bayangkan itu berlanjut di tengah hutan Durkendral yang semakin suram. Kaelth dan Narkan terbang lebih cepat, lebih tinggi, membelah udara yang penuh dengan ketegangan. Sementara di bawah mereka, makhluk besar yang menghantui hutan semakin mendekat, tubuhnya menjulang dengan kekuatan yang bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap. Setiap gerakan makhluk itu mengguncang bumi di bawah, seakan seluruh hutan bergetar.

Narkan merasa tubuhnya berat, setiap gerakan terasa seperti menggeret batu besar. Tetapi dia tahu bahwa mereka tidak bisa mundur. Di sampingnya, Kaelth melesat dengan kecepatan yang menakjubkan, meskipun terlihat jelas bahwa kekuatannya mulai terkuras.

“Dia lebih kuat dari yang kita kira,” kata Narkan, suara mereka hampir tenggelam oleh suara angin yang kencang. “Kita harus menemukan cara untuk mengalahkannya.”

Kaelth mengangguk, matanya tajam menatap sosok makhluk itu. “Ini bukan lagi tentang siapa yang lebih kuat, Narkan. Ini tentang siapa yang lebih cerdik. Kalau kita bisa menggunakan kelemahannya…”

Namun, kata-kata Kaelth terhenti ketika makhluk itu mendongak, mengeluarkan raungan yang mengguncang langit. Seperti suara petir yang membelah langit malam, suara itu memenuhi hutan, menggema hingga ke dasar bumi.

“Aku tidak akan membiarkan kalian merusak apa yang telah kuambil!” teriak makhluk itu, suaranya seperti seruan kemarahan yang mendalam. “Kalian pikir kalian bisa mengubah takdir? Takdir hutan ini sudah kutulis.”

Dengan satu ayunan sayap yang besar, makhluk itu melesat menuju mereka, lebih cepat dari yang mereka duga. Kecepatannya bahkan membuat Narkan terpaksa menundukkan kepala untuk menghindari sambaran sayap yang begitu tajam. Keduanya terpisah, masing-masing berusaha menghindari serangan yang datang dari segala arah.

“Dia tidak main-main!” teriak Narkan, mencoba mengatur napas yang terengah-engah. “Kita harus lebih berhati-hati.”

Kaelth sudah berada di sisi Narkan, terbang rendah untuk mendekati makhluk itu, namun dia tahu bahwa kekuatan mereka berdua saja tidak akan cukup. Mereka harus menemukan titik kelemahan makhluk itu, tetapi di tengah keganasan serangannya, itu hampir mustahil.

Tak lama, dari balik pepohonan, Denev muncul, terbang dengan kecepatan luar biasa. Wajahnya serius, mata tajam, penuh dengan tekad. “Aku datang terlambat,” katanya, suaranya tegas. “Tapi masih ada harapan.”

Denev meluncur dengan gesit, menghantamkan tubuhnya pada makhluk besar itu. Terkejut, makhluk itu terdorong beberapa langkah mundur, namun hanya sekejap. Denev tidak menyerah begitu saja. “Ini belum selesai,” katanya, dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Makhluk itu menatap Denev dengan mata yang penuh kebencian. “Kalian semua hanya gangguan. Kalian tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini.”

Narkan merasakan ada sesuatu yang tak beres. Sesuatu yang lebih besar dari sekedar pertempuran fisik. “Dia tidak hanya sekedar ingin menguasai hutan,” gumamnya, matanya menyipit. “Ada yang lebih besar… lebih jahat yang sedang dia rencanakan.”

Denev menatap Narkan, seolah mengerti. “Tunggu, kau benar. Itu bukan hanya tentang hutan. Ini tentang mengendalikan segala sesuatu di sini… termasuk kita.”

Makhluk itu mendengus, mengangkat kepalanya tinggi. “Kalian terlambat. Waktu kalian sudah habis. Hutan ini sudah menjadi bagian dari takdirku.”

Kaelth melayang di atas mereka, menatap makhluk itu dengan tajam. “Takdir tidak bisa diubah hanya dengan kekuatan. Takdir adalah hasil dari pilihan—pilihan kita.”

Dengan satu gerakan cepat, Kaelth menghantamkan cakar besarnya ke arah makhluk itu, namun makhluk itu menangkis dengan sayapnya, mengirimkan gelombang angin yang hebat ke arah mereka.

Namun, ketika makhluk itu lengah sejenak, Narkan melihat titik lemah di tubuhnya, sebuah celah di antara sayap besar yang mengilap. Tanpa ragu, Narkan melesat dengan kecepatan tinggi, menembus udara seperti anak panah yang dilepaskan.

“Kaelth!” teriak Narkan, memberi isyarat.

Kaelth mengangguk dan mengikuti, menyusul dengan cakar yang terulur. Bersama-sama mereka menyerang, menghantamkan serangan dengan kekuatan yang digabungkan. Ketika sayap makhluk itu terjepit di antara mereka, tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan makhluk itu terjatuh ke tanah, menghantam bumi dengan keras.

Suasana hutan hening sejenak, sebelum akhirnya raungan makhluk itu terdengar lagi, lebih mengerikan dari sebelumnya. “Kalian tak akan menang!” teriaknya, tetapi ada keraguan yang terdengar dalam suaranya.

Narkan, Kaelth, dan Denev berdiri bersama, merasa tubuh mereka mulai lelah, namun kemenangan terasa semakin dekat. Meskipun makhluk itu belum menyerah, mereka tahu bahwa itu hanya masalah waktu sebelum akhirnya mereka berhasil menaklukkannya.

“Hari ini, takdir hutan ini akan berubah,” kata Denev, suaranya penuh harapan.

Kaelth mengangguk, memandang hutan yang akhirnya mulai tenang. “Dan kita akan menentukan bagaimana takdir itu berakhir.”

Dengan kekuatan terakhir yang tersisa, mereka bersatu untuk menyelesaikan pertempuran ini. Hutan Durkendral, yang selama ini menjadi tempat pertarungan dan permusuhan, kini menjadi saksi akhir dari pertempuran yang menentukan siapa yang benar-benar menguasai takdirnya. Dan setelah semua ini, hanya ada satu hal yang pasti—hutan itu, bersama dengan segalanya yang ada di dalamnya, akan terus bertumbuh, dengan jalan takdir yang baru.

Mereka sudah menang.

 

Dan begitulah, takdir yang selama ini diperebutkan akhirnya menemukan jalannya. Hutan Durkendral kini sunyi, tapi tak pernah benar-benar tenang. Elang dan gagak mungkin telah mengakhiri permusuhan mereka, namun siapa yang bisa berkata kalau perang ini benar-benar selesai?

Karena dalam hutan yang penuh rahasia, setiap predator tahu satu hal: takdir bisa berubah dalam sekejap, dan perseteruan ini mungkin hanya bagian dari cerita yang lebih besar yang belum terungkap.

Leave a Reply