Daftar Isi
Mimpi yang Lebih dari Sekadar Tidur
Bayangan di Danau Mimpi
Angin berembus pelan, membelai dedaunan yang berguguran di sekitar danau. Permukaan air begitu jernih, memantulkan langit yang berwarna ungu keemasan, seakan-akan senja dan fajar saling beradu di tempat ini. Semuanya terasa begitu asing, tapi sekaligus akrab.
Di tepi danau itu, seorang pemuda berdiri. Napasnya sedikit memburu, bukan karena lelah, tapi karena hatinya dipenuhi rasa aneh yang sulit dijelaskan.
“Saka…”
Sebuah suara memanggilnya. Lembut, tenang, tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat dadanya bergetar.
Ia menoleh.
Seorang gadis berdiri di seberang danau. Rambutnya panjang, hitam berkilau seperti malam tanpa bintang. Matanya teduh, bibirnya sedikit melengkung dalam senyum samar. Gaun putihnya menjuntai, melambai pelan tertiup angin.
“Aku?” Saka mengerutkan kening. “Kamu siapa?”
Gadis itu tersenyum. “Arelia.”
Saka mencoba mengingat. Nama itu terasa familiar, tapi anehnya, ia tak bisa menghubungkannya dengan ingatan apa pun.
“Kita… saling kenal?” tanyanya.
“Kamu yang lupa.”
Saka merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Entah kenapa, kata-kata itu meninggalkan getaran aneh di dalam dirinya.
Arelia melangkah mendekat. Namun, anehnya, ia tidak berjalan di atas tanah. Kakinya tidak benar-benar menginjak apa pun. Ia melayang ringan, seolah-olah bukan bagian dari dunia nyata.
“Di mana aku?” tanya Saka, mencoba mengalihkan pikirannya dari perasaan aneh itu.
“Kamu sedang bermimpi,” jawab Arelia dengan nada lembut.
Mimpi.
Tentu saja. Itu menjelaskan segalanya. Langit yang terlalu indah, danau yang begitu jernih, dan kehadiran seorang gadis yang seakan berasal dari dunia lain.
Tapi jika ini mimpi, kenapa terasa begitu nyata?
“Kita pernah bertemu,” lanjut Arelia. “Di suatu tempat yang mungkin sudah kamu lupakan.”
Saka menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Aku nggak ingat.”
Arelia menghela napas kecil, seolah sudah menduga jawaban itu. “Tapi kamu akan ingat,” katanya pelan. “Suatu saat.”
Saka ingin bertanya lebih banyak, tapi tiba-tiba angin di sekeliling mereka berputar kencang. Air di danau beriak hebat, seolah ada sesuatu yang akan muncul dari dalamnya. Langit ungu keemasan yang tadinya begitu tenang mulai bergolak, berubah menjadi pusaran warna yang berpendar.
Lalu, samar-samar, suara lain terdengar.
“Saka! Bangun!”
Suara itu seperti datang dari kejauhan, menariknya menjauh dari tempat ini. Tubuhnya terasa ringan, seakan ada kekuatan tak terlihat yang menariknya kembali.
Arelia tetap berdiri di tempatnya, menatapnya dengan mata yang penuh kesedihan.
“Kita akan bertemu lagi,” katanya. “Jangan lupa…”
Saka ingin bertanya, tapi semuanya mulai menghilang. Warna-warni di sekelilingnya berpendar, menyatu menjadi satu cahaya terang yang menyilaukan.
Dan tiba-tiba, semuanya menghilang.
Saka terbangun dengan napas tersengal.
Kamar tidurnya sunyi. Matahari pagi mulai menyelinap lewat celah jendela, menyapu bayang-bayang malam yang tersisa.
Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu.
Mimpi itu terasa begitu nyata.
Arelia…
Nama itu masih berputar di kepalanya. Ia tak bisa mengingat siapa gadis itu, tapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sesuatu yang belum selesai.
Danau, langit ungu, suara lembut yang memanggilnya…
Ia duduk di tepi ranjang, menghela napas panjang.
Mimpi itu bukan sekadar mimpi biasa. Ia bisa merasakannya.
Dan entah kenapa, ia tahu bahwa malam berikutnya, ia akan kembali ke sana.
Bisikan dari Masa Lalu
Malam kembali turun, membawa hawa sejuk yang menyusup ke sela-sela jendela kamar Saka. Di luar, kota mulai meredup, lampu-lampu jalan berpendar samar, menemani kesunyian yang semakin pekat.
Saka berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang terus berputar. Mimpi semalam masih tertanam kuat di kepalanya. Nama Arelia terus terngiang, seolah menjadi bagian dari dirinya yang selama ini hilang.
Danau itu… Gadis itu…
Apa benar ia pernah mengenalnya?
Kelopak matanya semakin berat, pikirannya perlahan tenggelam dalam keheningan.
Lalu segalanya berubah.
Saka kembali berdiri di tepi danau itu.
Langit masih sama—ungu keemasan, dengan bintang-bintang kecil berkilauan seperti serpihan cahaya. Udara beraroma bunga liar, dan permukaan danau tenang, memantulkan segalanya dengan sempurna.
Dan di seberang sana, Arelia menunggunya.
“Kamu kembali,” katanya pelan, senyumnya tetap sama seperti sebelumnya—lembut tapi terasa begitu asing.
Saka melangkah maju, kali ini tanpa ragu. “Apa aku pernah pergi?”
Arelia tertawa kecil. “Mungkin tidak.”
Saka menatapnya lebih dalam. Ada sesuatu dalam sorot mata Arelia yang membuat hatinya bergetar. Perasaan familiar yang masih belum bisa ia jelaskan.
“Aku sudah mencoba mengingat, tapi… Aku tetap nggak tahu siapa kamu.”
Arelia menunduk sedikit, lalu berjalan pelan ke tepi danau, membiarkan ujung gaunnya menyentuh air tanpa membuat riak sedikit pun. “Bukan kamu nggak tahu… Tapi kamu masih menolak untuk mengingat.”
Saka mengernyit. “Apa maksudmu?”
Arelia menoleh, matanya menatapnya dalam. “Kamu pernah berjanji sama aku.”
“Janji?”
Arelia mengangguk. “Tapi kamu lupa.”
Saka menggeleng. “Aku nggak ingat pernah janji apa pun.”
Arelia hanya tersenyum, lalu menengadah ke langit. “Kamu dulu suka sekali menatap bintang. Kamu bilang, kalau suatu hari kita terpisah, kita tetap bisa bertemu di bawah langit yang sama.”
Saka terdiam. Kata-kata itu… terdengar begitu akrab.
Arelia kembali menatapnya. “Apa kamu nggak penasaran kenapa kamu selalu kembali ke sini setiap kali tidur?”
Saka menelan ludah. Tentu saja ia penasaran. Tapi di saat yang sama, ia juga takut.
Takut dengan jawaban yang mungkin akan ia temukan.
“Ini bukan mimpi biasa, Saka,” lanjut Arelia. “Ini adalah tempat di mana kenangan yang terlupakan berkumpul.”
Saka menggeleng. “Itu nggak masuk akal. Kalau aku benar-benar mengenal kamu, seharusnya aku bisa mengingat sesuatu.”
Arelia tersenyum tipis. “Kamu memang bisa. Tapi kamu belum siap.”
Saka mengepalkan tangannya. “Siap untuk apa?”
Arelia tidak langsung menjawab. Ia berjalan perlahan mendekat, lalu berhenti tepat di depan Saka.
“Tunggu aku di mimpi berikutnya,” katanya dengan nada lembut. “Aku akan menunjukkan sesuatu.”
Dan sebelum Saka sempat bertanya lebih jauh, angin tiba-tiba berembus kencang. Langit bergolak, danau beriak, dan semuanya kembali berpendar menjadi lautan cahaya.
Saka mencoba bertahan, mencoba tetap tinggal, tapi seperti sebelumnya, ia terseret keluar dari tempat itu.
Ia terbangun dengan napas memburu.
Lagi-lagi, ia kembali. Dan lagi-lagi, semuanya terasa nyata.
Tapi kali ini ada yang berbeda.
Di dadanya, ia merasa ada sesuatu yang menggeliat—sebuah perasaan yang belum bisa ia pahami.
Dan ia tahu, malam berikutnya, ia harus kembali.
Rahasia yang Terlupakan
Malam itu, Saka tertidur dengan perasaan gelisah. Ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya sejak mimpi terakhir—kata-kata Arelia, tatapan matanya, dan janji yang ia sendiri tak ingat pernah mengucapkannya.
Tapi satu hal yang ia tahu pasti, mimpi ini bukan sekadar bunga tidur.
Begitu membuka mata, ia sudah kembali ke tempat yang sama.
Danau itu tetap sunyi. Langit ungu keemasan tetap menyala seperti sebelumnya. Namun, kali ini, ada sesuatu yang terasa berbeda.
Arelia berdiri di dekat pohon besar yang tumbuh di tepi danau, membelakanginya. Rambut hitamnya tergerai, bergoyang pelan tertiup angin.
Saka melangkah mendekat. “Aku datang lagi.”
Arelia menoleh, tersenyum tipis. “Aku tahu kamu pasti datang.”
Saka menatapnya dalam. “Kamu bilang bakal menunjukkan sesuatu.”
Arelia mengangguk pelan, lalu menempelkan tangannya ke batang pohon. Seketika, cahaya keemasan merambat dari kulit kayu, membentuk pola yang menyerupai lingkaran samar.
“Lihat ini,” katanya.
Perlahan, bayangan mulai muncul di permukaan batang pohon. Bayangan itu bergerak, membentuk potongan-potongan ingatan yang samar.
Saka melihat dua anak kecil berlari-lari di bawah pohon sakura yang bermekaran. Seorang bocah laki-laki dengan senyum ceria dan seorang gadis kecil bergaun putih yang tertawa riang di sampingnya.
Ia menahan napas.
Bocah laki-laki itu… dirinya.
Saka tertegun. “Ini… aku?”
Arelia menatapnya penuh arti. “Iya.”
Saka masih terkejut melihat pantulan masa kecilnya sendiri. Dalam ingatan itu, ia tampak begitu bahagia. Tapi ada sesuatu yang membuat hatinya semakin berdebar—gadis kecil di sampingnya.
Ia menatapnya lebih lama. Matanya yang cerah, senyumnya yang lembut…
Saka menelan ludah.
“Ini kamu?” bisiknya.
Arelia mengangguk. “Iya, Saka. Aku dan kamu… kita dulu sahabat.”
Saka masih belum bisa memproses semuanya. “Tapi… kenapa aku nggak ingat sama sekali?”
Arelia menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Karena kamu memilih untuk melupakan.”
Saka mengernyit. “Melupakan? Kenapa aku harus melupakan kamu?”
Arelia menghela napas pelan. Ia melangkah mendekat, menatap Saka dengan mata yang penuh perasaan.
“Kamu tahu kenapa kamu selalu merasa kehilangan sesuatu, tapi nggak tahu apa yang hilang?”
Saka terdiam. Ia memang sering merasa seperti itu. Ada lubang kosong dalam hatinya yang tidak pernah benar-benar bisa ia jelaskan.
Arelia melanjutkan. “Kamu dan aku dulu berjanji bakal selalu bersama. Tapi saat aku pergi, kamu nggak bisa menerima kenyataan.”
Saka membeku di tempatnya.
“Aku… pergi?” ulangnya, suaranya sedikit bergetar.
Arelia mengangguk pelan. “Aku sakit, Saka. Dan aku nggak bertahan lama.”
Jantung Saka seakan mencelos.
Pikirannya berputar, mencoba menghubungkan semua potongan yang tersebar dalam kepalanya. Kenangan samar, perasaan kehilangan yang tak pernah ia pahami, dan suara Arelia yang terasa begitu dekat namun jauh dalam ingatannya.
Ia mundur selangkah.
“Nggak… Nggak mungkin,” bisiknya. “Kalau itu benar, aku pasti ingat.”
Arelia tersenyum kecil, tapi matanya sendu. “Kamu ingat, Saka. Hanya saja, kamu memilih untuk menguburnya jauh-jauh.”
Saka menatapnya, masih berusaha menolak kenyataan yang baru saja terungkap.
Tapi semakin ia menatap Arelia, semakin hatinya terasa sakit.
Karena jauh di dalam dirinya, ia tahu… semua itu benar.
Dan yang lebih menyakitkan lagi—Arelia tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya terjebak di antara kenangan dan mimpi.
Menunggu Saka untuk mengingat.
Menunggu Saka untuk membiarkannya pergi.
Tiba-tiba, dunia di sekeliling mereka bergetar. Langit bergolak, danau mulai beriak, seakan ada kekuatan tak terlihat yang menginginkan mimpi ini berakhir.
Arelia menatap Saka, tatapannya penuh ketenangan. “Waktunya hampir habis.”
Saka menelan ludah, suaranya nyaris tidak keluar. “Apa maksudmu?”
Arelia tersenyum tipis. “Kamu harus memutuskan, Saka. Mau terus bertahan dalam mimpi ini… atau akhirnya mengingat segalanya.”
Dan sebelum Saka bisa menjawab, semuanya kembali berpendar menjadi cahaya terang.
Ia terseret keluar dari mimpi itu, lebih cepat dari sebelumnya.
Saka terbangun dengan tubuh gemetar.
Tapi kali ini berbeda.
Karena kali ini, ia mulai mengingat.
Di Antara Mimpi dan Kenangan
Saka duduk di tepi ranjang, napasnya masih tak beraturan. Kamar tidurnya gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus tirai jendela.
Kali ini, ia tidak hanya terbangun dari mimpi. Ia terbangun bersama ingatan yang selama ini ia kubur.
Arelia.
Sahabat kecilnya.
Gadis yang selalu bersamanya sejak kecil, yang selalu tertawa bersamanya di bawah pohon sakura, yang selalu menatap bintang bersamanya setiap malam.
Dan gadis yang akhirnya pergi… meninggalkannya selamanya.
Saka menggenggam rambutnya, tubuhnya sedikit gemetar. Dulu, ia tidak bisa menerima kenyataan. Ia begitu hancur saat kehilangan Arelia, hingga ia memilih untuk melupakan. Menghapus setiap jejaknya dari ingatan, seolah gadis itu tak pernah ada.
Tapi ternyata, kenangan itu tidak benar-benar hilang.
Ia hanya tersembunyi di dalam mimpi, menunggu saatnya untuk ditemukan kembali.
Saka menghela napas panjang, lalu kembali berbaring.
Malam ini, ia akan kembali ke sana. Untuk terakhir kalinya.
Ia berdiri di tepi danau.
Tapi kali ini, suasananya berbeda.
Langit ungu keemasan yang biasanya cerah, kini mulai memudar menjadi warna biru kelam. Angin berembus lebih dingin, membawa aroma perpisahan yang tak terelakkan.
Dan di seberang sana, Arelia berdiri menunggunya.
Namun, kali ini, gaunnya yang putih mulai memudar, seperti kabut yang perlahan hilang tertiup angin.
Saka menelan ludah. Ia tahu apa artinya ini.
“Jadi… ini akhir dari semuanya?” tanyanya pelan.
Arelia tersenyum lembut. “Iya.”
Saka berjalan mendekat, menatap gadis itu dengan mata yang mulai terasa panas. “Aku akhirnya ingat semuanya.”
Arelia mengangguk. “Aku tahu kamu pasti ingat.”
Saka mengepalkan tangan. “Kenapa kamu nggak bilang dari awal?”
Arelia tertawa kecil. “Kalau aku bilang dari awal, kamu pasti nggak mau mendengarkan.”
Saka terdiam. Ia tahu itu benar.
Jika ia langsung tahu kenyataan ini sejak awal, mungkin ia akan terus menolak, terus berusaha bersembunyi di balik kebohongan yang ia ciptakan sendiri.
Tapi sekarang, ia siap.
Siap untuk menerima.
Siap untuk melepaskan.
Arelia menatapnya dalam, lalu melangkah maju. Ia mengulurkan tangan, menggenggam jemari Saka dengan lembut.
“Terima kasih karena sudah mengingat aku lagi,” bisiknya.
Saka menggenggam tangannya erat, seakan tidak ingin melepaskannya. “Aku nggak mau kamu pergi.”
Arelia tersenyum, tapi kali ini ada kesedihan di matanya. “Aku nggak benar-benar pergi, Saka.”
Saka menatapnya bingung.
Arelia menepuk dadanya pelan. “Aku selalu ada di sini. Dalam kenanganmu.”
Saka menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan yang mulai membanjiri hatinya. Ia tahu Arelia benar.
Ia tidak akan pernah melupakan gadis itu lagi.
Karena kini, ia sudah mengingatnya.
Dan selamanya, Arelia akan tetap hidup di dalam dirinya.
Angin bertiup lebih kencang.
Tubuh Arelia mulai memudar, bercahaya perlahan seperti bintang-bintang yang jatuh ke langit.
Saka menatapnya tanpa berkedip, mengukir setiap detik terakhir ini dalam ingatannya.
Arelia tersenyum untuk terakhir kalinya.
“Selamat tinggal, Saka.”
Dan dalam sekejap, ia menghilang.
Danau kembali tenang. Langit kini menjadi biru pekat, dipenuhi bintang-bintang yang berkelap-kelip lembut.
Saka berdiri sendirian, menatap tempat di mana Arelia tadi berdiri.
Lalu, ia menengadah ke langit, mengingat kata-kata yang dulu pernah mereka ucapkan bersama.
“Kalau suatu hari kita terpisah, kita tetap bisa bertemu di bawah langit yang sama.”
Saka tersenyum kecil.
Ya. Arelia memang pergi.
Tapi ia tidak akan pernah benar-benar hilang.
Karena setiap kali Saka menatap langit malam, ia tahu…
Arelia ada di sana.
Menunggu dalam kenangan.
Dan kini, Saka tidak akan pernah melupakannya lagi.
TAMAT.