Daftar Isi
Gimana rasanya ketika hujan turun tiba-tiba di akhir senja? Terkadang, hujan bukan hanya sekadar air yang jatuh dari langit, tapi juga bawa sejuta perasaan yang nggak bisa diungkapkan. Kayak perpisahan yang nggak pernah kita siapin, tapi harus dijalani.
Di antara air mata dan kenangan, ada dua hati yang berusaha melepas, meski nggak siap. Kalau kamu pernah ngalamin sakit hati yang paling dalam, mungkin kamu bakal ngerasa banget dengan cerita ini. Cinta yang terhenti di tengah hujan, dan perpisahan yang nggak pernah mudah untuk diterima.
Hujan di Akhir Senja
Rintik yang Membasahi Rindu
Senja selalu punya cara untuk menyelipkan kesedihan di antara keindahannya. Begitu pun hari itu. Langit yang biasanya terlihat megah dengan warna jingga memudar, berganti menjadi kelabu. Hujan mulai turun perlahan, seolah alam turut merasakan apa yang aku rasakan. Dingin. Sepi. Dan menyesakkan.
Di halte kecil itu, aku berdiri sendiri, memeluk tubuhku dengan jaket lusuh yang sudah tak lagi bisa menghangatkanku. Kaki-kakiku basah, terendam air hujan yang semakin deras. Aku menatap langit, mencoba mencari secercah keindahan yang biasanya selalu ada di akhir senja. Tapi entah kenapa, kali ini langit hanya terasa penuh dengan awan kelabu yang menunggu untuk menumpahkan airnya. Aku merasa kosong.
Tiba-tiba, langkah berat yang sudah lama kuperkirakan mulai terdengar. Aku tahu itu dia. Azric. Aku sudah terlalu sering mengenal setiap langkahnya, bahkan meski kami tak lagi sering bertemu, suara langkahnya selalu bisa kuingat dengan jelas. Seperti sebuah kenangan yang tak bisa terhapuskan.
Dia muncul dari balik sudut jalan, dan aku terdiam sejenak. Beberapa detik. Menatapnya dari kejauhan, mencoba memikirkan apa yang akan aku katakan. Tapi mulutku terkunci, seperti ada banyak kata yang ingin keluar namun tak bisa kuhimpun dengan benar.
Azric berhenti beberapa langkah di depanku, menatapku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hujan mengguyur tubuhnya, namun dia hanya berdiri di sana, memandangku seperti aku bukan lagi siapa-siapa. Seperti ada jarak yang sangat lebar di antara kami, meski fisik kami begitu dekat.
Aku mengalihkan pandanganku ke tanah, tidak berani menatap matanya. Aku tahu, jika aku melakukannya, aku akan kehilangan kontrol. Aku akan menangis, dan aku tidak mau itu terjadi di depan Azric.
“Anaira,” suara Azric terdengar pelan, tapi cukup jelas untuk membuatku terlonjak sedikit. “Kenapa kamu masih di sini?”
Aku tertawa, tapi tidak ada kebahagiaan dalam tawaku. “Kenapa aku nggak boleh di sini, Azric?” Aku berusaha terdengar santai, meski hatiku sudah hancur. “Apa, kamu nggak ingin melihat aku lagi?”
Azric terdiam. Hujan semakin deras, dan aku bisa merasakan setiap tetesnya menembus jaketku, membuatku semakin kedinginan. Tapi yang lebih dingin dari hujan itu adalah pandangannya yang kosong.
“Anaira, aku nggak tahu harus ngomong apa lagi,” jawab Azric pelan, suaranya bergetar, tapi kali ini bukan karena hujan. “Kamu tahu, aku nggak bisa terus seperti ini. Aku nggak bisa terus menyakiti kamu.”
Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan agar suara tangisku tidak keluar. “Jadi, kamu pikir dengan pergi dari aku, kamu bisa mengakhiri semuanya?” Aku tertawa lagi, tapi kali ini suaraku terdengar lebih pahit. “Kamu pikir itu akan membuat aku berhenti mencintaimu?”
Azric menunduk, seolah tak mampu menjawab pertanyaanku. Aku melihat bagaimana tatapannya kosong, seperti ada perasaan yang dia sembunyikan begitu dalam. “Anaira, aku nggak bisa memberi kamu apa yang kamu butuhkan. Aku nggak cukup baik buat kamu.”
Aku ingin berteriak. Ingin melemparkan semua rasa sakit itu padanya. “Tidak!” Aku hampir berteriak, tapi suaraku tercekat. “Kamu bukan nggak cukup baik, Azric. Kamu hanya terlalu takut untuk berjuang.”
Dia menggeleng, mencoba menghindari tatapanku. “Aku nggak bisa, Anaira. Aku nggak bisa lagi.”
Aku merasa dunia ini tiba-tiba menjadi lebih gelap. Mungkin hujan itu memang membawa awan hitam yang melingkupi perasaanku. “Jadi ini akhir dari kita?” Suaraku hampir tidak terdengar, terlindung oleh deru hujan yang semakin menggila.
Azric menutup mata sejenak, dan saat dia membuka matanya lagi, ada sesuatu yang berbeda di sana. Ada kepedihan, tapi juga ada keputusasaan yang dalam. “Anaira… aku ingin kamu bahagia. Dan untuk itu, aku harus pergi.”
Aku merasa tubuhku goyah, seolah bumi di bawah kakiku bergetar. “Jangan bilang itu,” aku berkata dengan suara yang hampir pecah. “Azric, jangan pergi. Aku masih… aku masih ingin kita bersama.”
Tapi Azric hanya diam, dan dari bibirnya keluar satu kalimat yang menghempasku begitu keras. “Selamat tinggal, Anaira.”
Itu saja. Tidak ada lagi kata-kata yang mengikutinya. Dia berbalik, meninggalkan aku di tengah hujan yang semakin deras. Aku ingin berlari mengejarnya, menariknya kembali, memeluknya, tapi tubuhku terasa kaku, seakan ada sesuatu yang mengikatku di tempat itu.
Aku hanya bisa berdiri, memandangi punggungnya yang semakin menjauh, sampai akhirnya lenyap dalam gelapnya senja yang kini hampir selesai.
Di Bawah Langit Jingga yang Retak
Hari itu, senja datang lagi. Tapi kali ini, rasanya tidak ada keindahan yang bisa kurasakan. Langit di atas kota Serma terasa terbelah, tak utuh seperti dulu. Seperti aku dan Azric—dua jiwa yang dulu seutuhnya, kini terpisah oleh jurang yang semakin lebar.
Aku duduk di bangku yang sama, halte yang sama, di tempat yang sama. Hujan sudah berhenti, meninggalkan jejak-jejak air di jalanan yang berkilau di bawah lampu jalan. Tak ada yang berubah, kecuali aku. Aku merasa aku telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, dan seiring waktu, rasa itu semakin membekas, semakin menyakitkan.
Pagi tadi, aku berusaha melupakan semua itu. Berpura-pura bahwa hari akan berlalu seperti biasa, tanpa rasa sakit yang menggantung di dada. Tapi setiap langkah yang aku ambil terasa lebih berat. Setiap napasku terasa lebih sesak. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mengusir bayangan Azric yang selalu ada, bahkan di tengah keramaian.
Dan sekarang, saat senja menyelimuti kota, aku merasa perasaan itu kembali menghampiri. Sesuatu yang tak bisa kuhindari, meski aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri.
Langkah seseorang memecah keheningan di sekitarku. Aku menoleh, berharap itu Azric—mungkin dia kembali, ingin mengatakan sesuatu yang berbeda. Tapi bukan. Itu hanya seorang pria yang sedang berlari, mencoba menghindari tetesan hujan terakhir yang masih menyisa. Aku menundukkan kepala, mencoba untuk tidak kecewa, meski rasa itu tetap datang.
Aku mengangkat tangan, menyeka wajah yang basah. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh juga. Aku tidak peduli lagi. Tidak peduli meskipun orang-orang di sekitar melihatku. Tidak peduli meskipun rasa malu itu menggerogoti. Aku hanya ingin menangis.
“Kenapa kamu nggak bilang apa-apa?” Suara itu muncul tiba-tiba, menyentuh telingaku dengan lembut, meskipun hati ini sudah terlanjur keras.
Aku menoleh, dan kali ini, aku bisa melihatnya jelas. Azric berdiri di hadapanku. Wajahnya basah kuyup, seakan dia baru saja keluar dari badai. Matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan, dan untuk pertama kalinya, aku melihatnya begitu rapuh.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku, suaraku terdengar kasar, penuh kekesalan yang sulit kutahan. “Kamu sudah membuat keputusan, Azric. Kenapa datang lagi?”
Dia menarik napas dalam, seperti mencoba mencari keberanian. “Karena aku nggak bisa hidup dengan keputusan itu, Anaira. Aku nggak bisa terus hidup seperti ini.”
Aku menatapnya tajam. “Tapi kamu yang memilih untuk pergi. Kamu yang bilang kamu nggak bisa bersama aku.”
Dia mengangguk, lalu meraih tanganku, perlahan. Aku ingin menarik tangan itu, tapi tubuhku seolah membeku, terjebak dalam perasaan yang datang begitu mendalam. “Aku tahu,” katanya, matanya menatapku penuh penyesalan, “tapi aku nggak bisa hidup dengan melukai kamu lagi, Anaira. Aku nggak bisa terus membohongi diri sendiri.”
Tangan Azric menggenggam tanganku lebih erat. Jantungku berdetak lebih cepat. Semuanya terasa membingungkan. Aku ingin marah, ingin mengatakan bahwa aku sudah cukup terluka. Tapi di satu sisi, aku juga merasa sangat ingin mendengarnya mengatakan bahwa dia masih peduli, bahwa masih ada kesempatan bagi kami.
“Jadi kenapa sekarang kamu datang? Setelah semuanya usai?” Aku berusaha menahan suara yang bergetar. “Kenapa nggak dari dulu? Kenapa harus memilih pergi dan sekarang kembali hanya untuk menambah luka ini?”
Azric menunduk, menghindari tatapanku. “Karena aku takut, Anaira. Aku takut kalau kita tetap bersama, aku akan terus menyakiti kamu. Aku takut kalau aku nggak bisa menjadi orang yang kamu butuhkan.”
Aku terdiam, bibirku terasa kering. Aku ingin berbicara, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokan, seperti ada yang menghalangi. Azric mengangkat wajahnya, menatapku dalam-dalam, dan aku bisa melihat sebuah keputusasaan yang lebih besar dari apa pun yang pernah kurasakan.
“Aku tahu aku salah,” lanjutnya pelan, “Tapi aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Anaira. Aku… aku cuma butuh waktu untuk memahami semuanya. Aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa aku nggak bisa melepaskanmu.”
Kata-kata itu membuat hatiku semakin tercekik. Aku ingin memeluknya, mengatakan bahwa aku juga merasakannya. Tapi ada sesuatu dalam diriku yang berkata, jangan terlalu berharap. Aku takut jika aku memberi kesempatan lagi, semuanya akan lebih buruk.
“Aku nggak tahu kalau aku bisa percaya lagi,” kataku akhirnya, meskipun suaraku terasa pecah.
Azric memejamkan matanya, mencoba menahan air mata yang juga mulai mengalir di pipinya. “Aku nggak ingin kamu merasa tersakiti lagi, Anaira. Aku nggak ingin menjadi orang yang selalu menyakitimu.”
Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi rasa sesak di dadaku membuatku hampir tak bisa bernapas. Rasanya seperti ada dua dunia yang berjuang di dalam diriku—satu yang ingin melupakan semua, dan satu lagi yang ingin meraih Azric, memaafkannya, dan memberi kami kesempatan lain.
Tapi akhirnya, aku hanya bisa terdiam, membiarkan hujan yang mulai turun kembali mengaburkan pandanganku, seperti yang dulu aku coba hindari—realitas yang kejam.
Ketika Kata-kata Menjadi Pisau
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi terasa sangat lambat. Seperti menonton jam pasir yang tak pernah habis, meski waktu terus berjalan. Aku dan Azric kembali bertemu beberapa kali setelah hujan itu, tapi setiap kali kami bertemu, ada sebuah jurang yang terbentang lebar di antara kami. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti belati, setiap tatapan yang dia berikan hanya mengingatkanku pada luka yang belum sembuh.
Aku tahu, entah bagaimana, semuanya sudah berubah. Azric mungkin benar. Mungkin kami memang tak bisa lagi bersama, meskipun hatiku terus berjuang untuk mempertahankan apa yang masih tersisa. Tapi, aku merasa seolah-olah aku sedang terjebak dalam permainan yang tak adil, permainan antara cinta dan sakit hati.
Di sebuah kedai kopi yang kami datangi, untuk pertama kalinya sejak kami bertemu lagi, aku melihat Azric menatapku dengan ekspresi yang berbeda. Bukan dengan penuh penyesalan seperti sebelumnya, tapi dengan kekosongan yang lebih dalam. Seperti ada bagian dari dirinya yang sudah mati.
“Anaira,” katanya, suaranya pelan dan dingin. “Aku nggak tahu lagi harus gimana.”
Aku menunduk, menatap cangkir kopi yang sudah hampir habis, menghindari tatapannya. Rasanya aku ingin sekali melarikan diri dari semua ini. Tapi aku tahu, aku tak bisa. Aku terjebak dalam janji yang tak pernah kami buat secara jelas—bahwa kami akan saling mencintai, saling menjaga. Janji yang kini terasa seperti ilusi.
“Kamu nggak harus tahu, Azric,” kataku, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa sakitnya hatiku. “Kadang kita cuma butuh waktu, bukan jawaban.”
Azric terdiam, dan aku bisa merasakan ketegangan yang mengalir di antara kami. Wajahnya yang dulu penuh dengan harapan kini berubah menjadi wajah yang penuh dengan keraguan. “Tapi aku nggak bisa melihat kamu terus terluka karena aku, Anaira. Aku nggak mau kamu terus terjebak di dalam hubungan yang nggak jelas seperti ini.”
Aku menatapnya dengan tajam. “Lalu kamu mau apa, Azric?”
Dia mengangkat pandangannya, dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku melihat ada air mata di mata Azric. Aku merasa hatiku hancur saat itu. “Aku ingin kita berhenti berusaha, Anaira. Aku ingin kamu bahagia, meskipun itu artinya kita harus berpisah.”
Kalimat itu membuat dunia seakan runtuh. Rasanya seperti ada yang menampar wajahku, keras, begitu nyata. “Berarti kamu sudah memutuskan? Begitu saja?”
Azric menggigit bibirnya, tak mampu menjawab. Dia hanya mengangguk pelan, seolah keputusan itu sudah matang, seolah ini adalah satu-satunya jalan yang ada. Tapi aku tahu, meskipun dia berkata begitu, ada luka yang jauh lebih dalam yang dia simpan.
“Aku nggak bisa,” aku berkata pelan, hampir berbisik. “Aku nggak bisa menerima ini, Azric. Aku nggak bisa melihat kita berakhir seperti ini.”
Aku bisa merasakan tubuhku gemetar. Aku ingin berteriak, ingin melemparkan semua rasa sakit ini padanya. Tapi apa yang bisa kulakukan? Kata-kata itu sudah terucap, dan aku tahu, meskipun aku mencoba bertahan, aku tak bisa memaksa perasaan orang lain untuk berubah.
“Anaira, aku nggak ingin terus menyakitimu,” Azric berujar dengan suara pecah. “Aku nggak ingin jadi orang yang kamu benci. Aku nggak bisa lagi menjadi seseorang yang kamu butuhkan.”
Air mata mengalir di pipiku tanpa bisa kutahan. Setiap kata yang keluar dari mulut Azric semakin menembus hati ini, semakin mengiris dan mengoyak semuanya. Aku mencoba mengontrol napasku, tapi setiap tarikan udara terasa sesak, berat.
“Tapi kenapa, Azric?” Aku hampir tidak bisa mengucapkan kata-kata itu. “Kenapa kamu harus memilih ini? Kenapa kita nggak bisa berjuang bersama?”
Azric terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan menatapku dengan penuh penyesalan. “Karena aku sudah terlalu lama menyakiti kamu, Anaira. Aku takut, kalau kita terus bersama, aku akan terus menjadi penyebab luka di hidupmu. Aku nggak ingin itu.”
Aku merasa seluruh tubuhku lemas. Apa yang dia katakan begitu mengena, seperti sesuatu yang benar-benar menghancurkan segalanya. Aku ingin mengatakan sesuatu, apapun itu, yang bisa mengubah keputusan ini. Tapi sepertinya kata-kata sudah tak lagi cukup. Apa yang sudah terjadi, sudah tak bisa diputar kembali.
“Kita sudah selesai, Anaira,” katanya dengan suara serak, menahan isak. “Aku minta maaf. Aku minta maaf kalau sudah membuatmu terluka.”
Aku ingin lari, ingin menghindari kenyataan ini, tapi aku hanya bisa duduk di sana, memandangnya pergi dengan langkah berat. Setiap langkahnya menggerogoti hatiku lebih dalam, menghilangkan setiap rasa percaya yang masih tersisa.
Aku ingin mengubah semuanya, tetapi tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Mungkin ini memang yang terbaik untuk kami berdua. Tapi kenapa rasanya begitu sulit untuk melepaskan sesuatu yang sangat kita cintai? Kenapa rasa sakit ini begitu tajam dan mengiris?
Azric pergi tanpa menoleh, dan aku tahu, aku tak akan pernah bisa lagi menggenggamnya, meskipun di dalam hatiku, aku tetap berharap ada kemungkinan untuk kembali bersama. Namun kenyataan, seperti hujan yang datang begitu tiba-tiba, menghapus semua itu dengan kejam.
Hujan yang Menghapus Semua
Hari-hari setelah perpisahan itu terasa seperti menunggu hujan yang tak kunjung turun. Setiap detik berjalan dengan berat, seakan tubuh ini sudah lelah untuk menghadapinya. Aku berusaha menyibukkan diri, mencoba melupakan Azric dan kenangan yang tertinggal, tapi itu terasa mustahil. Setiap sudut kota ini, setiap angin yang berhembus, seolah mengingatkanku padanya.
Suatu sore, aku duduk di bangku taman, memandangi langit yang mulai gelap. Awan hitam menggantung rendah, dan aku tahu, hujan akan segera datang. Seperti sebuah pertanda, hujan itu datang tanpa peringatan, menetes perlahan, sebelum akhirnya membasahi semuanya.
Aku tak peduli lagi. Aku hanya duduk di sana, meresapi setiap tetes hujan yang jatuh di wajahku, berharap hujan itu bisa membawa pergi semua rasa sakit ini. Rasanya, air mata dan hujan kini bersatu dalam satu aliran yang tak bisa kutahan. Tapi entah kenapa, hujan ini justru memberiku sedikit ketenangan. Mungkin, aku memang harus merelakan semuanya, meskipun itu sangat sulit.
Langkah kaki yang berat terdengar mendekat. Aku tahu siapa itu sebelum dia menyebutkan namanya. Azric. Suaranya mengisi udara dengan getaran yang tak bisa dijelaskan. Aku menoleh, dan di hadapanku berdiri Azric, basah kuyup dengan rambut yang meneteskan air hujan, matanya yang penuh penyesalan menatapku.
“Anaira,” katanya dengan suara serak, hampir tak terdengar di antara gemuruh hujan. “Aku nggak tahu apa lagi yang harus aku katakan. Aku tahu aku sudah menghancurkan segalanya.”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya menatapnya, merasakan perasaan yang begitu rumit di dalam dada ini. Cinta, kebencian, penyesalan, dan semua yang mengikat kami dalam satu kesedihan yang sama.
“Aku nggak bisa lupa, Azric,” jawabku pelan, meskipun aku merasa suaraku hampir hilang ditelan hujan. “Aku nggak bisa lupa semua yang kita lalui bersama. Tapi aku juga nggak bisa terus hidup dengan luka yang kamu tinggalkan.”
Dia melangkah lebih dekat, air hujan semakin deras. Aku melihat matanya yang berkaca-kaca. “Aku tahu aku nggak pantas minta maaf lagi,” kata Azric, suaranya bergetar. “Tapi aku minta maaf, Anaira. Aku benar-benar minta maaf.”
Aku ingin menatapnya lebih lama, ingin melihat apakah ada sedikit kebahagiaan yang tersisa di antara kami, tapi semakin aku melihatnya, semakin aku merasa bahwa tak ada lagi yang tersisa. Semua yang pernah kami bangun, kini telah runtuh. Kami sudah terlalu terluka.
“Aku juga minta maaf,” kataku dengan suara yang hampir tak terdengar, karena aku tahu, ini bukan lagi tentang maaf atau kata-kata. Ini tentang keputusan yang harus kami buat. “Aku minta maaf kalau aku nggak bisa menjadi orang yang kamu inginkan.”
Azric mengangguk perlahan, dan untuk sekejap, kami hanya terdiam, membiarkan hujan menghapus setiap kata yang ada. Saat itu, aku merasa bahwa cinta kami memang sudah berakhir, seperti hujan yang datang begitu tiba-tiba dan meninggalkan tanah yang basah tanpa jejak.
Aku berdiri, dan langkahku terasa berat, seolah aku sedang meninggalkan seluruh hidupku di belakang. Azric tetap berdiri di tempatnya, matanya mengikuti setiap gerakanku, tapi aku tahu, kami sudah terlalu jauh untuk kembali.
Dengan satu langkah terakhir, aku meninggalkan taman itu, meninggalkan Azric, dan meninggalkan segala hal yang pernah ada antara kami. Hujan semakin deras, dan aku merasa itu adalah cara alam untuk melepaskanku. Setiap tetes hujan yang jatuh ke wajahku menghapus rasa sakit itu sedikit demi sedikit, meskipun hatiku tetap terasa kosong.
Di tengah hujan yang tak pernah berhenti, aku akhirnya sadar bahwa mungkin inilah akhir dari perjalanan kami. Mungkin kami memang harus berpisah untuk bisa menemukan kedamaian masing-masing. Hujan, yang selama ini menjadi saksi bisu cinta kami, kini juga menjadi saksi bisu perpisahan kami.
Dan saat aku berjalan menjauh, aku menyadari satu hal yang tak bisa lagi dibatalkan: cinta itu terkadang memang harus berakhir, meskipun sangat menyakitkan.
Kadang, perpisahan itu datang bukan karena kita nggak cinta, tapi karena kita tahu ada saatnya kita harus berhenti berjuang. Seperti hujan yang akhirnya berhenti, meskipun meninggalkan jejak di tanah.
Cinta itu nggak selalu berakhir bahagia, tapi dia selalu mengajarkan kita untuk menerima dan merelakan. Mungkin, di ujung perpisahan ini, ada harapan baru yang menunggu, meski nggak tahu kapan dan bagaimana. Yang pasti, hujan ini akan selalu mengingatkan kita, bahwa meski cinta itu pergi, dia tetap meninggalkan bekas di hati.