Daftar Isi
Kadang, kita nggak perlu bilang apa-apa buat nunjukin kalau kita peduli. Cinta yang nggak terucap itu, kadang malah lebih dalam dari yang terucap. Kamu pernah nggak ngerasain kayak gitu?
Punya perasaan yang berat, tapi nggak tau gimana cara ngungkapinnya, sampai akhirnya hanya bisa diam dan berharap semuanya bisa berjalan seperti yang kita inginkan. Nah, cerita ini buat kamu yang pernah merasakan betapa sulitnya melepaskan, meski hati nggak siap. Baca aja, siapa tahu kamu bisa nemuin sedikit kelegaan dari cerita ini.
Cinta yang Tak Terucap
Di Antara Rembulan dan Cangkir Kopi
Di luar sana, malam seolah tidak ingin segera berlalu. Langit yang gelap pekat menyelimuti kota, hanya dibalut oleh kilauan rembulan yang tidak terlalu terang. Sejenak, rasa sepi menyelusup masuk ke dalam ruangan kafe kecil itu. Suara desiran angin di luar menambah kesunyian, seolah menciptakan suasana yang tepat untuk menyendiri. Namun, bukan karena keheningan yang diinginkan, tetapi karena ada sesuatu yang sangat mengganggu di dalam hati.
Lena duduk di pojok ruangan, di meja yang selalu mereka pilih saat mereka masih sering menghabiskan waktu bersama. Sekarang, hanya ada dirinya seorang. Kopi di cangkirnya sudah hampir habis, tetapi ia tidak berniat untuk meneguknya lebih lanjut. Ada sesuatu yang mengikat dirinya pada tempat ini, mungkin kenangan, atau bisa jadi kebiasaan yang sudah terlalu lama melekat. Matanya terfokus pada cangkir yang tinggal setengah, sementara pikirannya sibuk bergulir ke tempat yang lebih jauh.
Pintu kafe terbuka. Suara derap langkah kaki di lantai kayu berdebu cukup terdengar jelas. Ternyata itu Damar. Pemuda itu masuk dengan langkahnya yang khas—lambat, namun pasti. Matanya terlihat letih, dan sepertinya dunia di luar sana telah mengambil sebagian besar energinya. Lena menatap sekilas, lalu kembali menunduk. Ada perasaan aneh yang menyelimuti dirinya. Perasaan yang sudah terlalu sering datang, namun kali ini terasa lebih kuat. Hati yang selalu berharap sesuatu yang lebih, tetapi dia tahu, itu tak akan pernah ada.
Damar duduk di meja yang sama, tepat di hadapannya, tanpa berkata apa-apa. Lena hanya mengangkat alis, mencoba menahan perasaan yang mulai mengaduk. Dalam diam, ia menatapnya, mencoba membaca ekspresi yang sulit dipahami. Apa yang ada di benak Damar? Apa yang ia pikirkan? Dan mengapa perasaan ini semakin berat?
“Kenapa datang terlambat?” Tanya Lena akhirnya, memecah keheningan. Suaranya sedikit terdengar kaku, seperti menyimpan perasaan yang tidak bisa disembunyikan lebih lama.
Damar menarik napas panjang. “Ada banyak hal yang harus aku urus,” jawabnya, suara seraknya membuat Lena terdiam. “Maaf kalau aku bikin kamu nunggu.”
Lena menatapnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam nada suaranya. Biasanya, Damar selalu membawa senyum hangat yang mengalir begitu alami, tapi kali ini, dia terlihat lebih berat, seperti ada beban yang mengganjal. Lena tahu dia tidak akan pernah mengatakan apa yang benar-benar terjadi, tapi perasaan itu datang dengan sendirinya—perasaan bahwa sesuatu telah berubah.
“Aku sudah terbiasa,” jawab Lena datar, meskipun hatinya seakan menggerutu. Mengapa dia harus mengatakannya seperti itu? Bukankah ia berhak merasa sedikit kesal? Bukankah ini saatnya ia bicara?
Tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Yang ada hanya senyuman tipis yang ia paksakan.
Damar menatapnya. Ada keraguan di matanya. Seperti dia ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian ragu. “Lena, kamu pasti tahu… aku…” Dia terdiam, tidak melanjutkan kata-katanya.
Lena mengerutkan dahi. “Apa? Ada yang mau kamu katakan?” Tanya Lena, mencoba membuka jalan agar Damar akhirnya mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Tetapi Damar hanya menggeleng pelan, tampak bingung dengan dirinya sendiri.
“Kadang, aku merasa semua ini jadi aneh. Aku… nggak tahu lagi harus bagaimana,” Damar akhirnya mengaku dengan nada yang semakin pelan.
Lena menelan ludah. Bagaimana bisa Damar berkata seperti itu? Dia tahu, pasti ada sesuatu yang terjadi. Bukankah selama ini mereka selalu berkomunikasi tanpa masalah? Lalu kenapa sekarang Damar seolah menjadi orang yang berbeda?
Tangan Lena menggenggam cangkir kopi itu lebih erat. “Jangan bilang kalau kamu sudah bosan,” katanya, hampir berbisik, meskipun ada perasaan pahit yang mulai menyelimuti hati.
Damar menatapnya, matanya seperti ingin berkata sesuatu, tapi akhirnya dia hanya menghela napas panjang. “Bukan itu… Aku nggak bisa bilang apa-apa, karena kamu nggak akan mengerti,” katanya pelan, dengan nada yang sangat berbeda dari biasanya.
Kata-kata itu menancap di hati Lena. Ada rasa sakit yang tiba-tiba muncul, seperti ada sesuatu yang tertahan begitu lama. Cinta, yang selama ini mengalir di antara mereka, tiba-tiba terasa sangat jauh. Seperti sebuah ilusi yang sudah terlalu lama dipertahankan.
“Kamu tidak akan mengerti, Damar.” Suara Lena bergetar, meskipun dia berusaha untuk terlihat tegar. “Kamu selalu bilang aku nggak akan mengerti, tapi justru kamu yang nggak mengerti aku. Kamu selalu menghindar, dan aku yang harus selalu ada di sini, menunggu. Selalu menunggu.”
Damar terdiam, matanya menunduk. Ada rasa bersalah yang terpancar di wajahnya, tetapi dia tak bisa berkata apa-apa. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk memperbaiki semuanya.
Lena berdiri dengan perlahan, menatap Damar untuk terakhir kalinya malam itu. “Aku lelah, Damar. Aku lelah menunggu yang nggak pasti. Dan mungkin, itu saatnya kita berhenti.” Tanpa menunggu jawaban, Lena meninggalkan meja itu. Langkahnya terasa berat, seolah setiap inci jalan menuju pintu keluar adalah sebuah pilihan yang sangat sulit.
Dia melangkah keluar, meninggalkan Damar di dalam kafe kecil itu. Cinta yang tak terucap kini mengalir dalam hening malam. Mungkin, memang inilah yang terbaik. Mungkin, memang sudah saatnya.
Namun, dalam hatinya, Lena tahu—perasaan ini tidak akan hilang begitu saja.
Kata yang Tertahan
Pagi itu, seperti biasa, kota mulai bergerak. Kafe kecil yang semalam terasa begitu sunyi kini dipenuhi oleh suara obrolan ringan dan dentingan sendok di cangkir. Namun, bagi Lena, semuanya terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Setelah malam itu, setelah kata-kata yang tertahan, semuanya berubah. Pagi yang cerah tak lagi memberi arti.
Lena berjalan ke kantor dengan langkah yang lebih cepat dari biasanya. Ia tidak ingin terjebak dalam pikirannya yang berlarian, tidak ingin terlalu banyak merenung. Rasanya, setiap langkah yang ia ambil semakin jauh dari kenyataan yang tak bisa ia hindari. Damar… Seperti ada jarak yang semakin lebar di antara mereka, meski mereka hanya terpisah oleh satu malam saja. Tapi perasaan itu—perasaan canggung, yang kini mengalir seperti darah yang membeku—membuatnya merasa seperti ada yang hilang.
Lena mencoba mengalihkan pikirannya dengan fokus pada pekerjaannya. Pagi itu, ada banyak email yang perlu ia baca, beberapa laporan yang harus diselesaikan. Semua itu menjadi pelarian sempurna, meski sekejap. Namun, di setiap layar yang ia tatap, ada satu wajah yang terus muncul dalam bayangannya—wajah Damar.
Pikirannya berlarian kembali ke malam sebelumnya. Rasa sakit yang mengalir dalam kalimatnya, ungkapan yang tersembunyi di balik kata-kata yang tak pernah selesai terucap. Damar tidak pernah benar-benar menjelaskan apa yang terjadi, dan Lena merasa dirinya yang paling bodoh karena masih bertahan dengan kebingungannya. Tapi entah kenapa, ia tidak bisa berhenti memikirkannya. Ada bagian dari dirinya yang merasa ingin tahu, ingin mengerti, tapi ada bagian lain yang justru ingin melupakan semuanya.
Tengah hari, ponsel Lena bergetar. Di layar, ada nama yang tak asing. Damar.
Lena menatap sejenak nama itu, keraguan memenuhi dirinya. Akankah ia menjawabnya? Apakah ini saatnya untuk menyelesaikan semuanya? Tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain mengangkat telepon itu, meskipun hatinya berdegup kencang.
“Halo,” suaranya terdengar lebih pelan dari yang ia harapkan.
“Lena…” Suara Damar terdengar begitu familiar, namun berbeda. Ada keraguan di sana. “Aku butuh bicara denganmu.”
Lena menghela napas. “Bicara tentang apa, Damar?”
Di ujung sana, Damar terdiam cukup lama. Sepertinya ia juga tidak tahu harus mulai dari mana. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, Damar mulai berbicara dengan suara yang lebih tenang. “Tentang kita. Tentang apa yang terjadi semalam. Aku… aku nggak ingin kamu berpikir kalau aku nggak peduli.”
Lena menggigit bibirnya. Apa yang dia katakan? Apakah ini penyesalan yang terlambat? Ataukah ada hal lain yang ingin ia ungkapkan?
“Lena…” Damar melanjutkan, “Aku tahu aku udah bikin kamu bingung dan sakit hati. Aku cuma nggak tahu gimana harus jelasin semuanya. Aku nggak tahu gimana… tapi aku nggak mau kehilangan kamu.”
Kata-kata itu membuat hati Lena bergejolak. Semuanya terasa begitu berat. Bukankah ia sudah membuat keputusan semalam? Bukankah ia sudah memutuskan untuk melepaskan, meskipun itu terasa sakit?
“Apa yang sebenarnya kamu mau, Damar?” Tanya Lena, suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia inginkan. “Aku nggak bisa terus kayak gini. Aku nggak bisa nunggu sesuatu yang nggak pasti.”
Di sana, hening. Damar tidak segera menjawab. Lena merasa kecewa, tapi entah kenapa ada bagian dari dirinya yang masih berharap.
“Aku tahu,” jawab Damar akhirnya, suaranya pelan dan penuh penyesalan. “Aku salah. Aku nggak peka sama perasaan kamu. Aku tahu kamu pantas dapet lebih dari ini. Tapi… kamu harus tahu satu hal, Lena. Aku nggak bisa… nggak bisa kehilangan kamu. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu.”
Lena terdiam. Suara Damar terasa begitu rapuh, seperti ada sesuatu yang sudah terlalu lama terkunci, dan kini akhirnya terbuka. Tapi apakah ini sudah terlambat?
“Damar, aku nggak bisa terus begini,” jawab Lena, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak tahu lagi harus gimana. Aku lelah. Kamu nggak pernah benar-benar ada untuk aku.”
“Aku… aku minta maaf, Lena. Aku tahu ini salah, dan aku tahu aku nggak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi aku janji, aku akan berusaha. Aku akan berusaha supaya kamu nggak merasa sendirian.”
Lena menutup matanya sejenak. Semua yang Damar katakan adalah kata-kata yang sangat dibutuhkan, tetapi ia tidak tahu apakah kata-kata itu cukup untuk mengubah segalanya. Rasa sakit yang terpendam tidak akan hilang begitu saja.
“Aku nggak tahu, Damar. Aku nggak tahu apakah aku masih bisa percaya lagi,” katanya, suaranya bergetar. “Aku butuh waktu.”
“Lena… aku akan menunggu, berapa pun lama itu.”
Ponsel ditutup. Lena meletakkan telepon di meja, matanya menatap kosong ke luar jendela. Semua yang ada di dalam dirinya terasa seperti pertarungan antara apa yang dia inginkan dan apa yang dia butuhkan. Damar sudah meminta maaf, tetapi apakah itu cukup? Apakah kata-kata itu bisa menghapus segala keraguan dan rasa sakit yang ada?
Lena menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Apa yang terjadi selanjutnya akan sangat tergantung pada dirinya. Ia tidak bisa lagi mengandalkan harapan kosong. Jika ia ingin terus bersama Damar, ia harus melupakan rasa sakit yang pernah ada. Tapi apakah ia siap untuk itu?
Hanya waktu yang bisa memberi jawabannya.
Ruang yang Menyempit
Minggu-minggu setelah percakapan itu berjalan seperti hari-hari biasa, meskipun terasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati Lena. Meskipun Damar sudah berkata akan menunggu, meskipun kata maafnya terdengar tulus, tetapi ada begitu banyak hal yang terhenti di antara mereka. Seolah-olah segala yang mereka bangun telah runtuh menjadi serpihan kecil yang sulit untuk dikumpulkan kembali.
Lena mencoba untuk melanjutkan hidupnya. Ia kembali tenggelam dalam rutinitas pekerjaan yang menuntut, berusaha untuk tidak memikirkan Damar terlalu sering. Tapi bagaimana bisa? Dia masih ada di sana, dalam setiap sudut pikirannya, dalam setiap percakapan yang terhenti begitu saja.
Di kantor, Lena banyak bekerja dengan rekan-rekannya. Tapi ia merasa kosong. Bahkan dengan rekan yang menyenankan, ia merasa seolah-olah ada dinding yang terbangun antara dirinya dan dunia luar. Semua terasa jauh, seolah-olah ia berada di tempat yang berbeda dari semua orang, menonton kehidupan orang lain dengan jarak yang terlalu jauh untuk dijangkau.
Saat makan siang di kantin, ponselnya kembali bergetar. Nama yang sama muncul di layar. Damar.
Lena menatap ponselnya, ragu sejenak. Hatinya masih bimbang, terjebak antara rasa ingin tahu dan rasa sakit yang tak kunjung hilang. Akankah ia menjawabnya? Apa yang bisa mereka bicarakan lagi? Apakah ada hal lain yang masih bisa mereka selesaikan?
Dia menghela napas panjang, dan akhirnya memilih untuk mengangkat telepon itu.
“Halo?” Suara Lena terdengar lebih pelan dari biasanya.
“Lena,” suara Damar terdengar lebih berat, penuh beban. “Aku nggak mau ganggu, cuma… aku cuma mau bilang, aku nggak bisa hidup kayak ini. Aku nggak bisa terus mengabaikan kamu. Kamu harus tahu, aku siap ngelakuin apa saja buat kita.”
Lena terdiam. Ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar berbeda, lebih serius, lebih penuh rasa penyesalan daripada sebelumnya. “Damar… apa kamu yakin dengan semua ini?” Tanya Lena, hatinya berdegup kencang. “Aku nggak tahu, Damar. Aku butuh waktu lebih lama. Aku nggak bisa langsung percaya begitu saja.”
“Iya, aku ngerti,” jawab Damar pelan. “Aku nggak bakal maksa, Lena. Aku cuma pengen kamu tahu kalau aku siap menunggu. Aku nggak peduli berapa lama, yang penting kamu tahu kalau aku nggak akan ke mana-mana.”
Ada hening yang panjang setelah kata-kata itu. Lena menunduk, tak mampu berkata apa-apa. Terkadang, kata-kata hanya menjadi angin yang lewat. Tidak ada yang benar-benar bisa mengubah perasaan yang sudah mengendap terlalu lama.
“Aku takut, Damar,” akhirnya Lena berkata pelan, “Aku takut kalau aku menyerah begitu saja. Aku takut kalau aku buka hati lagi, aku bakal terluka lebih dalam lagi.”
“Aku nggak akan bikin kamu terluka, Lena,” jawab Damar dengan suara yang lebih dalam, lebih penuh harapan. “Aku janji. Aku tahu aku salah, dan aku nggak bisa minta maaf lebih dari ini. Tapi aku cuma butuh kesempatan, biar bisa buktikan kalau aku bisa jadi orang yang layak buat kamu.”
Lena mengusap matanya, menahan air mata yang hampir saja jatuh. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi semua kata itu terasa terperangkap di dalam tenggorokannya. Setiap kali ia ingin memaafkan, selalu ada perasaan ragu yang menghalangi.
“Aku… nggak tahu, Damar,” Lena akhirnya mengeluarkan suara itu, penuh kebingungannya. “Aku butuh waktu lebih banyak untuk mikir. Aku nggak bisa buru-buru buat keputusan ini.”
“Iya, aku ngerti,” jawab Damar, lebih tenang sekarang. “Aku akan tunggu, Lena. Aku nggak akan ganggu kamu lagi. Aku cuma… aku cuma ingin kamu tahu kalau aku selalu ada.”
Mendengar itu, Lena merasa begitu sakit. Kenapa semuanya harus sesulit ini? Kenapa tidak bisa ada jawaban yang lebih jelas, yang bisa mengakhiri kebingungannya? Kenapa perasaan ini selalu terjerat begitu dalam?
Setelah beberapa detik, telepon pun ditutup. Lena merasa seperti ada beban berat yang menumpuk di dadanya, dan ia kembali terjebak dalam pikiran yang sama. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia memberi kesempatan pada Damar? Haruskah ia mencoba lagi, meskipun ia tahu betapa besar rasa sakit yang bisa ditimbulkan?
Langit sore tampak kelabu di luar jendela kantornya. Semua terasa begitu kabur, seolah-olah dunia menunggu Lena untuk membuat pilihan, tetapi ia tidak tahu apa yang seharusnya ia pilih. Dalam setiap keheningan, hatinya menjerit, tapi ia tidak tahu bagaimana cara mendengarkan suara itu.
Lena memutuskan untuk pulang lebih awal hari itu. Ia ingin menyendiri, ingin menyusun kembali potongan-potongan perasaan yang masih tersisa. Di rumah, ia duduk di depan jendela, menatap langit yang mulai gelap. Pikirannya kembali melayang pada Damar, pada segala yang pernah mereka miliki dan yang kini hilang.
Hatinya berat, dan ia tahu, apapun yang terjadi, ia harus mengambil keputusan. Tapi apakah ia sudah siap dengan konsekuensinya?
Di luar sana, di dunia yang begitu luas, Damar masih menunggu. Tapi bisakah Lena memberikan jawabannya? Atau akankah ia terus terjebak dalam ruang yang menyempit ini, tanpa pernah tahu ke mana arah yang harus ia tuju?
Waktu akan memberi jawabannya. Tapi untuk saat ini, Lena hanya bisa menunggu, sama seperti Damar.
Akhir yang Tak Terucap
Lena sudah memutuskan untuk berjalan. Satu langkah demi satu langkah. Meski hatinya masih berkecamuk, ia tahu bahwa hidup tak bisa terus terhenti hanya karena sebuah ketakutan yang terus membayangi. Sudah cukup lama ia terjebak dalam keraguan, cukup lama ia terperangkap dalam rasa sakit yang tak kunjung hilang. Tapi sekarang, di sini, di saat-saat terakhir ia berjuang dengan dirinya sendiri, Lena merasa ada hal yang perlu ia lepaskan.
Hari itu hujan turun begitu deras. Seperti langit ingin ikut menangis bersamanya, ikut merasakan setiap kesakitan yang ia simpan begitu dalam. Lena berdiri di jendela rumahnya, menatap air hujan yang mengalir perlahan menuruni kaca, seolah ada gambaran dirinya dalam setiap tetes yang jatuh, mengalir tanpa arah, terkadang membawa kenangan, terkadang membiarkan mereka menghilang.
Tiba-tiba, ada suara ketukan di pintu.
Lena menoleh, terkejut. Ia sudah tahu siapa yang datang, meskipun belum ada suara yang terdengar. Damar. Dengan cara yang sama seperti dulu, ia selalu bisa muncul begitu saja, tanpa peringatan. Tetapi kali ini, Lena merasa tidak ingin melarikan diri lagi. Ia ingin tahu, apa yang akan terjadi jika ia membuka pintu itu.
Dengan langkah perlahan, Lena berjalan menuju pintu dan membukanya. Damar berdiri di sana, basah kuyup oleh hujan, wajahnya penuh dengan penantian dan harapan. Tapi di balik semua itu, Lena bisa melihat kesedihan yang tidak bisa disembunyikan, kesedihan yang seolah mengalir bersama air hujan yang membasahi tubuhnya.
“Aku… aku nggak tahu apa lagi yang harus aku bilang,” kata Damar, suaranya parau. “Aku cuma ingin kamu tahu, kalau aku nggak bisa tanpa kamu. Aku nggak bisa hidup dengan penyesalan ini.”
Lena menatapnya, merasakan setiap kata yang keluar dari mulut Damar begitu berat, begitu nyata. Semua perasaan yang dulu tertahan, kini terasa begitu mendalam. Ia ingin berbicara, ingin mengungkapkan segala hal yang telah lama ia pendam. Tapi mulutnya terasa terkunci. Semua kata-kata itu seperti hilang entah ke mana.
“Aku…,” Lena membuka mulutnya, tetapi kata-kata itu terhenti. Matanya mulai memanas, dan sebelum ia sadar, air mata itu sudah jatuh, jatuh tanpa bisa ditahan lagi. “Aku takut, Damar. Aku takut kalau kita salah lagi. Aku takut kalau aku terluka lebih dalam.”
Damar mengulurkan tangannya, meraih tangan Lena dengan lembut. “Aku tahu, Lena. Aku tahu aku sudah banyak salah. Aku tahu aku nggak bisa membalikkan waktu. Tapi aku siap untuk memperbaiki semuanya. Aku siap untuk menghabiskan sisa hidupku untuk kamu.”
Lena merasakan sentuhan itu, hangat meskipun hujan masih deras di luar. Tetapi ada perasaan lain yang menyelimuti dirinya—sebuah perasaan yang lebih kuat dari sekadar kata-kata. Lena tahu, ia tidak bisa menutup hatinya selamanya, meskipun perasaan itu tak akan pernah sama lagi. Ada luka yang terlalu dalam untuk dilupakan. Tapi bukan berarti itu berarti akhir dari segalanya.
“Iya, aku tahu…” suara Lena hampir tak terdengar. “Tapi aku juga tahu, aku nggak bisa terus hidup seperti ini. Aku nggak bisa terus menunggu sesuatu yang tak pasti.”
Damar memejamkan mata, dan sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. “Aku nggak akan memaksa kamu, Lena. Aku cuma ingin kamu tahu, kalau aku nggak akan pernah pergi.”
Lena menggigit bibirnya, berusaha untuk mengendalikan emosi yang begitu meluap-luap. “Aku nggak bisa janji apa-apa, Damar. Aku nggak tahu kalau aku bisa kembali seperti dulu. Aku nggak tahu kalau aku bisa memberimu cinta yang sama.”
“Tidak apa-apa,” jawab Damar pelan, matanya tetap menatap dalam ke arah Lena. “Aku nggak mengharapkan itu. Aku cuma berharap bisa ada di samping kamu, entah itu dalam bentuk apapun. Aku cuma ingin kamu tahu, kalau aku selalu ada, walaupun kita nggak bersama lagi.”
Lena merasa ada sesuatu yang sangat berat di dadanya, sebuah perasaan yang begitu rumit. Cinta, harapan, penyesalan, dan luka yang tak akan pernah bisa ia lepaskan begitu saja. Semua itu bercampur jadi satu, membentuk sebuah cerita yang tidak akan pernah selesai. Bahkan jika mereka berpisah, kenangan itu akan tetap ada. Tidak bisa dipadamkan, tidak bisa dilupakan.
Lena tahu, saat itu juga, bahwa ia telah membuat keputusan. Ia tidak bisa kembali ke masa lalu. Ia tidak bisa mengubah apapun yang sudah terjadi. Tetapi ia bisa memilih untuk melanjutkan hidupnya, untuk melepaskan beban yang begitu berat, meskipun itu berarti ia harus melepaskan Damar.
“Aku ikhlas, Damar,” akhirnya Lena berkata dengan suara bergetar. “Aku ikhlas kalau kita harus berpisah. Aku ikhlas, karena aku tahu, ini yang terbaik.”
Damar menatapnya dengan pandangan yang penuh pengertian, meski hati lelaki itu terasa pecah. “Aku juga ikhlas, Lena. Kalau itu yang kamu butuhkan.”
Lena menarik napas dalam-dalam. Tetesan air mata masih jatuh, tapi ia tahu, inilah saatnya untuk pergi. Untuk mereka berdua. Mungkin cinta itu tidak terucap, tetapi itu tidak berarti tidak ada. Mungkin perasaan mereka tidak cukup untuk mengubah takdir, tetapi itu tidak berarti mereka gagal.
“Aku akan selalu ingat kamu, Damar,” kata Lena akhirnya, berbisik pelan.
Damar tersenyum, meskipun matanya dipenuhi air mata. “Aku juga akan selalu ingat kamu, Lena. Selamanya.”
Dengan kata-kata itu, Lena menutup pintu. Bukan untuk menghindari, tetapi untuk memberi ruang pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa jalan hidup mereka tidak akan lagi berjalan bersama. Tetapi mereka akan tetap membawa kenangan itu, masing-masing di hati mereka.
Dan di luar, hujan perlahan mereda. Begitu juga dengan luka di hati mereka. Semua akhirnya menemukan jalan untuk berakhir, dalam diam yang penuh arti.
Dan akhirnya, kadang kita cuma bisa melepaskan dengan cara yang paling berat—dengan ikhlas. Meski nggak ada kata yang terucap, perasaan itu tetap ada, mengalir, dan tinggal di hati.
Mungkin, ini bukan akhir yang kita harapkan, tapi siapa tahu, lewat perpisahan, kita bisa jadi lebih kuat. Karena terkadang, cinta yang tak terucap adalah cinta yang paling dalam, meskipun harus kita lepaskan.