Cerpen Isteri yang Dibenci Suami: Kisah Cinta Tak Terbalas dan Kehilangan Mendalam

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa cinta itu nggak cukup? Semua yang kamu kasih, perhatian, waktu, tenaga, semuanya udah maksimal, tapi yang kamu terima cuma luka dan keputusasaan. Venna, si istri yang penuh cinta ini, ngalamin itu semua.

Cinta yang dia berikan buat Arsen, suaminya, nggak pernah dihargai, malah dibenci. Cerita ini bakal bikin kamu mikir, seberapa besar cinta yang bisa ditahan sebelum akhirnya pecah jadi luka yang nggak bisa disembuhkan. Jangan harap bakal ada happy ending di sini, karena kadang, cinta yang tulus justru berakhir dengan kesedihan yang dalam.

 

Cerpen Isteri yang Dibenci Suami

Bayang-bayang Cinta yang Terlupakan

Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Venna terbangun dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Matahari baru saja muncul dari balik pegunungan, memberikan cahaya lembut yang menyusup melalui jendela kamar. Suara burung yang berkicau di luar memberikan sedikit ketenangan di dalam hatinya. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang seolah mengingatkan Venna bahwa harapan itu, seperti matahari yang terbit, mungkin akan segera terbenam.

Ia bangkit dari tempat tidur, merapikan selimut dengan teliti, lalu menuju ke dapur. Semuanya sudah teratur, seperti biasa. Sarapan yang akan dimakan Arsen sudah siap di meja, teh hangat sudah terseduh, roti panggang dengan selai favoritnya menunggu. Semua ini, semua usaha ini, tak pernah berhenti. Tidak peduli betapa seringnya dia merasa tidak dihargai, tidak peduli betapa seringnya Arsen menatapnya dengan mata kosong. Cinta Venna untuk suaminya tetap besar, tak tergoyahkan.

Setelah menyelesaikan pekerjaan kecil di rumah, Venna memutuskan untuk mengecek jam. Arsen, seperti biasa, masih belum pulang dari pekerjaan. Ia tahu betul, bahwa suaminya lebih sering pulang larut, entah karena terlalu banyak pekerjaan atau mungkin karena ia sedang berusaha menghindari rumah mereka. Venna memutuskan untuk menunggu. Itu yang selalu ia lakukan. Menunggu.

“Selamat pagi, sayang,” ucap Venna pelan saat mendengar suara pintu terbuka. Suaranya lembut, namun dalam hatinya terasa seperti ada batu besar yang menekan. Ia sudah tahu, Arsen tidak akan menanggapi dengan antusias. Bahkan, kadang-kadang ia hanya menjawab dengan gerutuan atau sekadar diam.

Arsen masuk, melangkah ke dalam rumah dengan wajah yang tak terlihat ada ekspresi apa-apa. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia langsung menuju meja makan, melemparkan tas kerja yang masih penuh dengan dokumen dan laporan. Ia duduk di kursi yang selalu ia duduki, lalu membuka laptopnya tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Venna berdiri di sampingnya, menunggu untuk dipanggil. Namun, Arsen hanya melanjutkan pekerjaannya.

“Apa kamu tidak lapar?” tanya Venna, suaranya terdengar ragu, meski di dalam hatinya ada sedikit rasa cemas. Arsen tidak mengangkat wajahnya, bahkan sepertinya ia tak mendengarnya sama sekali.

Venna berusaha tersenyum. “Aku sudah buat sarapan. Kamu suka roti panggang ini, kan?”

Tetap tidak ada jawaban. Hati Venna serasa diremukkan, tapi ia berusaha menahan air matanya. Ia tahu, selama ini Arsen memang tidak pernah memperdulikannya. Namun, ia tak bisa menghindari rasa sakit itu. Ia sudah terbiasa dengan diamnya, dengan acuh tak acuhnya Arsen. Tapi, entah kenapa, hari itu rasanya lebih sakit. Semakin lama, semakin terasa seperti ada jarak yang tak bisa dijembatani.

“Aku lihat kamu kelihatannya capek, sayang,” Venna mencoba berbicara lagi, berharap kali ini Arsen akan menanggapi. “Mau aku buatkan sesuatu yang enak? Atau kita makan malam bersama nanti?”

Arsen akhirnya mendongak, matanya kosong, tajam, seolah menilai sesuatu. “Kamu pikir, aku butuh perhatianmu?” katanya datar. “Aku gak butuh itu semua, Venna. Jadi, berhenti berpura-pura peduli. Kita bukan pasangan yang bahagia, kan? Kenapa kamu masih terus bertahan di sini?”

Kata-kata itu, seperti petir yang menyambar. Setiap kata Arsen terasa lebih pedas daripada yang terakhir. Venna merasa seakan-akan tubuhnya terhempas mundur, terjatuh, namun ia tetap berdiri, berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Arsen tak peduli. Ia bahkan tampak tak terkejut dengan responnya sendiri, seolah itu sudah menjadi hal yang biasa. Venna menelan ludah, mencoba menyembunyikan perasaan yang menghimpit dadanya.

“Kenapa kamu bicara seperti itu? Aku… aku hanya ingin membuatmu bahagia. Hanya itu,” ujar Venna pelan, namun suara itu mulai pecah.

Arsen mengabaikannya, kembali menatap layar laptopnya. Tak ada lagi perhatian yang diberikan, hanya kebisuan yang semakin meresap ke dalam setiap sudut rumah mereka. Venna merasa seperti ia hanyalah sebuah bayang-bayang, sebuah figuran dalam hidup Arsen yang terus berusaha terlihat cerah meski di dalam gelap.

“Venna,” suara Arsen kali ini keras, lebih tegas. “Aku sudah bilang, kita bukan pasangan yang bahagia. Kamu gak perlu terus melakukan semua ini. Aku… aku gak butuh kamu.”

Dan Venna, yang selalu percaya akan sebuah keajaiban, yang selalu berharap suatu saat Arsen akan kembali padanya, akhirnya bisa merasakan betapa tulusnya kebencian suaminya. Rasanya sangat sakit. Sakit yang tak berdarah, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Dan walaupun Arsen berkata demikian, di dalam hati Venna masih ada satu harapan kecil, meski ia tahu itu sangat, sangat sulit.

“Aku… aku cuma ingin kamu tahu,” kata Venna, menahan air matanya. “Aku… sangat mencintaimu, Arsen. Tak peduli apapun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu.”

Namun, Arsen sudah tidak peduli lagi. Ia tetap membelakangi Venna, dan Venna berdiri di sana, dengan hatinya yang perlahan-lahan runtuh. Ada perasaan hampa yang mulai mengisi ruang kosong di dalam dirinya, namun ia tetap bertahan, berharap ada sedikit cinta yang tersisa untuk mereka. Tetapi, ia tahu dalam hatinya, segala sesuatu mulai berakhir.

Suasana itu berlangsung dalam keheningan yang menyesakkan. Dan Venna, dengan segala keputusasaannya, hanya bisa menunggu. Menunggu sesuatu yang tak pernah datang.

 

Ketika Kata Menjadi Pisau

Waktu berlalu, dan hari-hari berlalu tanpa perubahan berarti. Venna mulai merasa seolah dirinya terperangkap dalam rutinitas yang tidak ada habisnya. Pagi hari dimulai dengan mencoba menarik perhatian Arsen, namun setiap usahanya selalu sia-sia. Setelah beberapa bulan, ia mulai terbiasa dengan tatapan kosong Arsen, dengan kata-kata tajam yang sering kali menorehkan luka. Tidak ada lagi kehangatan, hanya kata-kata yang lebih pedih daripada apapun yang pernah ia bayangkan.

Venna merasa seperti hidup dalam bayang-bayang, bayang-bayang suaminya yang semakin menjauh. Ia tahu Arsen sudah tak peduli lagi padanya, tapi itu tidak mengurangi cintanya. Setiap malam, ia masih berdoa, berharap agar suatu saat Arsen bisa kembali padanya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Arsen semakin sering mengabaikannya, bahkan terkadang memilih untuk tinggal di luar rumah hingga larut malam.

Suatu malam, Venna sedang menunggu Arsen kembali. Ia sudah menyiapkan makan malam spesial, mencoba untuk menciptakan sedikit suasana hangat. Namun, saat Arsen akhirnya pulang, tidak ada kata sambutan. Venna berdiri dari kursinya dan mendekati suaminya, berharap kali ini ia akan mendapat sedikit perhatian.

“Sayang, aku buatkan makan malam. Ayo, kita makan bersama,” ucapnya dengan lembut, mencoba menggali kembali sedikit cinta yang mungkin masih ada di dalam hati Arsen.

Arsen menatapnya dengan tatapan kosong, lalu mengangkat alisnya dengan sinis. “Makan malam? Venna, kita sudah lewat dari itu semua. Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan,” jawabnya dingin, lalu duduk di meja makan tanpa mengalihkan pandangannya.

Venna merasa dada seakan terhimpit. Setiap kata Arsen adalah luka yang tak bisa disembuhkan. Ia duduk di depan Arsen, mencoba tersenyum meski hatinya hancur. “Kamu sudah makan? Aku ingin kita berbicara. Tentang kita… tentang apa yang terjadi antara kita. Aku merasa seperti kita sudah sangat jauh, Arsen.”

Arsen menghela napas panjang, lalu meletakkan sendoknya dengan kasar. “Venna, cukup. Aku sudah bosan dengan pembicaraan ini. Kamu selalu berbicara tentang perasaanmu, tapi apa kabar dengan aku? Apa kabar dengan hidupku? Aku tidak butuh semua ini,” jawabnya dengan suara yang semakin keras.

Venna menahan napas, hampir tak percaya mendengar kata-kata itu. “Tapi aku masih mencintaimu, Arsen. Apa kamu tidak lihat itu? Aku selalu berusaha, selalu berikan yang terbaik untuk kita. Aku hanya ingin kita bahagia.”

“Tapi aku tidak mau bahagia denganmu,” Arsen mengeluarkan kata-kata itu dengan nada yang menusuk. “Kamu bukan siapa-siapa bagiku. Aku sudah cukup lelah dengan semua perhatian palsu dan harapan kosongmu.”

Suasana di meja makan itu semakin mencekam. Setiap kata yang keluar dari mulut Arsen seperti pisau yang mengiris hati Venna. Arsen tidak peduli lagi pada usaha yang telah dilakukan Venna selama ini. Ia merasa terjebak, terhimpit dalam rumah tangga yang sudah lama kehilangan artinya. Cinta yang dulu ada, kini hanya kenangan pahit yang terus menghantuinya.

“Aku tidak tahu harus berkata apa lagi,” ujar Venna, suara hampir tenggelam dalam isak tangis yang tak bisa ia tahan. “Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu, Arsen. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu, lebih dari apapun.”

Arsen memutar bola matanya, tidak ada sedikitpun penyesalan di wajahnya. “Aku sudah tidak peduli dengan cinta yang kamu tawarkan, Venna. Tidak ada gunanya. Semua yang kamu lakukan sudah terlambat. Aku sudah lelah dengan semuanya.”

Kata-kata itu membekas dalam hati Venna. Tidak ada lagi ruang untuknya di hati Arsen. Ia sudah terlalu terlambat untuk memperbaiki semuanya. Tidak ada lagi kesempatan. Seakan semua usaha yang dilakukan selama ini hanyalah sebuah kebodohan. Cinta yang dulu ia harapkan, yang ia percayai, kini hanya menjadi bayang-bayang kelam yang mengikuti setiap langkahnya.

Venna bangkit dari kursinya dengan langkah pelan, menyapu sisa air mata yang hampir tumpah. “Kalau begitu, aku akan pergi tidur. Mungkin besok akan lebih baik,” katanya dengan suara hampir putus asa.

Namun, Arsen tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan makan malamnya, tanpa peduli sedikitpun pada istrinya yang sedang berjuang dalam diam. Venna meninggalkan meja makan dan berjalan menuju kamar, hatinya hancur berkeping-keping. Sakit yang ia rasakan lebih dalam dari apapun yang bisa terlihat oleh mata. Luka yang tak terlihat oleh orang lain, namun begitu menyiksa.

Malam itu, Venna duduk di samping ranjangnya, memeluk lututnya erat-erat. Ia merasa seperti sebuah benda tak bernyawa yang hanya menunggu untuk dilupakan. Tidak ada lagi cinta, tidak ada lagi harapan. Semua yang tersisa adalah kesepian yang semakin dalam.

Arsen mungkin tidak melihatnya, tapi Venna tahu dia masih mencintainya. Meskipun tak ada yang bisa menyembuhkan luka itu, meskipun tak ada yang bisa mengubah keadaan. Ia hanya bisa berdoa, berdoa agar Tuhan memberikan kebahagiaan untuknya, meskipun tanpa Arsen di sisinya.

Namun, malam itu tidak membawa kebahagiaan bagi Venna. Bahkan, ia merasa semakin jauh dari kehidupan yang pernah ia bayangkan. Ia tertidur dalam kesedihan yang sangat dalam, terhanyut dalam mimpi yang tak pernah terwujud.

 

Luka yang Tak Pernah Sembuh

Hari-hari terus berjalan, namun tidak ada yang berubah. Venna semakin tenggelam dalam kesendirian yang hampir menghabiskan seluruh tenaganya. Ia tidak lagi menangis di depan Arsen, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Ia sudah belajar untuk menahan segala perasaan, untuk menyembunyikan luka yang tak pernah terlihat. Setiap senyuman yang ia paksa untuk muncul hanya menjadi topeng, penutup dari keputusasaan yang mencekam.

Arsen semakin menjauh. Setiap kata dan perbuatannya seolah menjadi jarak yang tak bisa dilalui. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, seakan ingin menjauh dari kenyataan yang ada. Venna tahu bahwa di luar sana, Arsen sedang mencari sesuatu yang tidak bisa ia berikan—sesuatu yang lebih dari sekadar cinta.

Suatu sore, saat Venna sedang duduk di ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela, ia mendengar suara pintu yang terbuka. Arsen baru pulang. Seperti biasa, ia masuk tanpa memberi salam, tanpa kata-kata hangat. Ia hanya melewati Venna begitu saja, tanpa memperhatikan keberadaannya.

Venna tidak bisa lagi bertahan dalam diam. Rasa sakit yang sudah terlalu lama tertahan akhirnya meluap. Dengan gemetar, ia berdiri dan menghadang Arsen yang hendak naik ke kamar. “Arsen, kenapa kamu seperti ini? Apa aku tidak cukup untukmu? Aku sudah berusaha, aku sudah memberikan segalanya, tapi kenapa kamu malah menjauh?” suaranya hampir tenggelam, tapi ada kepedihan yang jelas terdengar di setiap kata.

Arsen berhenti, menatap Venna dengan tatapan kosong yang sudah sangat familiar. “Venna, kamu tidak paham. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kamu terlalu banyak berharap, terlalu banyak berusaha. Aku tidak butuh semua itu.” Suaranya dingin, tidak ada sedikitpun penyesalan di dalamnya. Kata-kata itu menghantam Venna, membuatnya merasa terjatuh semakin dalam ke dalam lubang kesepian yang tak berujung.

“Apa kamu tahu betapa sakitnya itu?” Venna hampir menangis, tetapi ia menahan diri. “Aku tidak peduli kalau kamu tidak mencintaiku lagi, Arsen. Aku hanya ingin kamu melihat aku, sedikit saja. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih ada di sini, bahwa aku masih berjuang untuk kita.”

Arsen memutar bola matanya. “Berjuang untuk apa, Venna? Kamu ingin aku mengatakan apa? Aku sudah tidak mencintaimu. Aku sudah tidak bisa berpura-pura lagi.”

Venna merasa seakan dunia ini runtuh. Setiap kata Arsen seperti petir yang menyambar, menghancurkan segala harapan yang pernah ada. Ia berdiri terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi. Sakit itu seperti pisau yang terus menorehkan luka baru, yang tidak pernah bisa ia sembuhkan.

“Aku akan pergi,” kata Arsen dengan dingin, seolah mengakhiri segalanya tanpa penyesalan sedikitpun.

Venna terdiam. Ia hanya mampu menatap suaminya yang mulai melangkah pergi, merasa seperti dirantai di tempatnya. “Kamu akan pergi? Tanpa kata-kata, tanpa alasan yang jelas?” suaranya hampir tak terdengar.

Arsen berhenti sebentar, lalu menghela napas. “Apa lagi yang perlu aku jelaskan? Kamu tidak akan pernah mengerti.” Tanpa menunggu jawaban, ia pergi, meninggalkan Venna dalam hening yang sangat berat. Setiap langkah Arsen yang semakin jauh terasa seperti benturan keras di dada Venna. Ia merasa semakin kehilangan pegangan, semakin terpuruk dalam kesendirian yang tak berujung.

Hari-hari setelah itu semakin gelap. Venna mulai merasa seperti dirinya tidak lagi ada dalam hidup Arsen. Ia bangun setiap pagi dengan rasa hampa, menjalani setiap detik tanpa tujuan yang jelas. Bahkan, ia merasa dirinya semakin kehilangan bentuk, seperti bayangan yang hanya menunggu untuk menghilang.

Suatu hari, Venna memutuskan untuk mencari Arsen. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu sebelum semuanya benar-benar berakhir. Ia berjalan keluar rumah, menghirup udara segar yang seakan tidak memberi kenyamanan. Arsen sudah terlalu lama menghindarinya, dan ia merasa kesepian yang sangat dalam.

Venna menemukan Arsen di sebuah kafe kecil, duduk di sudut yang sama setiap kali ia datang. Matanya menatap kosong ke luar jendela, seperti biasa. Namun, kali ini, Venna tidak bisa menahan diri lagi. Ia berjalan menghampiri Arsen dan duduk di hadapannya, memandangnya dengan tatapan penuh harapan.

“Kenapa kamu tidak mau bicara padaku, Arsen? Apa salahku?” tanya Venna dengan suara hampir pecah.

Arsen tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat gelas kopinya dan menatap Venna dengan tatapan kosong. “Salahmu? Tidak ada yang salah denganmu, Venna. Kamu hanya… terlalu banyak berharap. Dan aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan.”

Venna menunduk, merasakan air mata yang mulai menetes. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Apa pun yang terjadi, aku tetap mencintaimu, Arsen. Dan aku tidak bisa mengerti kenapa kamu bisa begitu… tega padaku.”

Arsen meletakkan cangkir kopinya dengan kasar, lalu berdiri dan menatap Venna dengan tatapan yang penuh kebencian. “Karena kamu sudah tidak lagi berarti untukku. Tidak ada yang bisa menyelamatkan hubungan kita, Venna. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan ini.”

Kata-kata itu melukai Venna lebih dalam daripada apapun yang pernah ia rasakan. Ia ingin berteriak, ingin mengungkapkan semua yang terpendam dalam hatinya, namun suaranya seakan tercekik di tenggorokan. Ia hanya bisa duduk terdiam, menahan air mata yang semakin deras mengalir. Ia tahu, ia sudah kalah.

Arsen berbalik, melangkah pergi begitu saja tanpa menoleh. Meninggalkan Venna dengan rasa sakit yang semakin menggerogoti jiwa. Saat itu, Venna tahu, ia sudah tidak memiliki apapun lagi. Cinta yang ia perjuangkan dengan seluruh hatinya kini hanya menjadi kenangan pahit yang terus menghantuinya.

Venna duduk sendiri, merasakan kesendirian yang menyakitkan. Semua impian yang pernah ia rajut bersama Arsen kini hancur berkeping-keping. Tidak ada lagi yang tersisa selain luka yang semakin dalam.

 

Akhir yang Tak Terelakkan

Malam itu, Venna kembali ke rumah dengan langkah yang berat. Setiap langkah terasa seperti beban yang tak mampu ia tanggung. Jantungnya masih berdebar keras, memikirkan setiap kata yang keluar dari mulut Arsen, kata-kata yang menghancurkan segala sesuatu yang pernah ia anggap benar dalam hidupnya. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi.

Di rumah, suasana terasa semakin sepi. Rumah yang dulunya penuh tawa kini hanya dihuni oleh kenangan-kenangan yang tak lagi berarti. Venna masuk ke dalam kamar mereka, melihat ke sekeliling, merasa seakan ruangan ini bukan lagi tempat yang pernah ia sebut rumah. Tempat yang dulu menjadi saksi bisu dari kebahagiaan yang mereka bagi kini berubah menjadi penjara yang penuh dengan bayangan kelam.

Venna duduk di pinggir tempat tidur, menatap kosong ke dinding yang seakan memandang balik dengan kesunyian. Matanya yang sudah lama lelah menangis kini terasa semakin berat. Kecewa, marah, dan putus asa bercampur aduk, tapi di atas semua itu, ada satu perasaan yang tetap bertahan—cinta. Cinta yang tidak bisa ia lepaskan meski Arsen sudah memilih untuk meninggalkannya.

Dia mengangkat tangan, menyentuh cincin pernikahannya yang kini terasa begitu berat di jari manisnya. Sungguh aneh, bagaimana benda kecil ini bisa menjadi pengingat akan semua yang telah hilang. Sejak hari itu, Venna tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Arsen sudah memilih untuk menghapusnya dari hidupnya, dan Venna tidak bisa berbuat apa-apa. Cinta yang ia berikan terlalu besar, terlalu tulus untuk seseorang yang sudah tidak bisa merasakannya lagi.

Tiba-tiba, sebuah ketukan terdengar dari pintu kamar. Venna menoleh, berharap mungkin itu Arsen, ingin memperbaiki semuanya. Tetapi, yang muncul di ambang pintu hanya seorang wanita tua yang sudah lama bekerja di rumah mereka. Wajahnya penuh kekhawatiran.

“Venna, kamu baik-baik saja?” tanya wanita itu dengan lembut, matanya penuh empati. “Aku melihat kamu sudah beberapa hari tidak keluar kamar. Jangan terlalu memikirkan semua itu, Nak. Hidupmu masih berharga.”

Venna hanya bisa tersenyum pahit, tidak tahu harus berkata apa. “Aku tidak tahu lagi, Bu. Rasanya semua sudah berakhir. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”

Wanita itu mendekat, duduk di samping Venna. “Terkadang, kita memang harus kehilangan sesuatu untuk menyadari bahwa kita masih punya sesuatu yang jauh lebih berharga. Jangan biarkan satu orang yang tidak bisa menghargaimu menghancurkan hidupmu, Venna. Kamu lebih dari itu. Kamu layak mendapatkan kebahagiaan.”

Tapi Venna tidak bisa mendengar kata-kata itu. Ia hanya merasakan kekosongan yang semakin dalam, sebuah kehampaan yang tidak bisa diisi oleh apapun lagi. Hatinya telah robek, dan meskipun ia berusaha untuk bertahan, ada bagian dalam dirinya yang merasa tidak mampu lagi.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, tubuh Venna mulai merasakan gejala yang aneh. Rasa lelah yang tidak hilang, nafsu makan yang menurun, dan sesekali ia merasa pusing. Tetapi, ia menahan diri untuk tidak memeriksakan diri ke dokter. Ia merasa tidak ada yang lebih penting dari apa yang sedang ia alami, seolah tubuhnya hanya merespon luka emosional yang terus menggerogoti hatinya.

Suatu malam, Venna terbangun dari tiduran yang tidak nyenyak. Ia merasa pusing dan tubuhnya sangat lemas. Dengan susah payah, ia berdiri dari tempat tidur, hendak berjalan menuju kamar mandi. Tetapi, langkahnya terhenti ketika tubuhnya terasa semakin lemah. Ia jatuh terduduk di lantai, matanya mulai mengabur. Dalam kebingungannya, ia merasakan sebuah keheningan yang dalam, seolah dunia berhenti berputar.

Venna berusaha untuk bangkit, tetapi rasa sakit yang sangat tajam mulai menyelimuti tubuhnya. Ia merasa tak berdaya, seolah kekuatannya telah hilang begitu saja. Tidak ada yang bisa ia lakukan, tidak ada yang bisa ia harapkan. Dalam keputusasaannya, ia hanya bisa berbaring di lantai, merasakan air mata yang perlahan mengalir, tanpa bisa dihentikan.

Beberapa jam kemudian, Arsen datang ke rumah, seperti biasa, tanpa membawa perhatian atau rasa empati. Ia baru menyadari ada sesuatu yang tidak beres ketika ia menemukan Venna terbaring lemah di lantai kamar. Namun, wajahnya tidak menunjukkan keprihatinan yang tulus. Ia hanya berdiri di pintu kamar, melihat Venna dengan tatapan dingin.

“Venna… kamu kenapa?” tanyanya datar, seolah tidak peduli.

Venna menoleh, mencoba memberi senyuman yang sangat dipaksakan. “Aku… tidak apa-apa, Arsen. Aku hanya… sedikit kelelahan.”

Tetapi Arsen tidak menggubris kata-katanya. Ia hanya berdiri di sana, seolah tidak ada yang harus dilakukan. “Kalau begitu, aku pergi dulu. Jangan terlalu lama di sini.”

Venna menunduk, menahan sakit yang semakin dalam. Terkadang, kehadiran Arsen justru terasa lebih menyakitkan daripada kepergiannya. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi. Cintanya yang tulus sudah menjadi beban bagi orang yang ia cintai. Tidak ada tempat bagi dirinya di hati Arsen, dan ia tahu, untuk pertama kalinya, bahwa cinta itu sudah berakhir.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Venna ditemukan tak bernyawa. Tubuhnya lemah, tapi dalam hati yang hancur, ia akhirnya menemukan ketenangan yang lama ia cari. Tidak ada lagi perasaan sakit, tidak ada lagi luka yang menggerogoti. Ia pergi dengan membawa cinta yang tak pernah dihargai, dalam diam yang penuh kepedihan.

Arsen datang ke pemakaman, tetapi matanya kosong. Tidak ada penyesalan, hanya keheningan. Ia berdiri di sana, melihat makam Venna, tetapi tidak ada yang berubah. Hatinya tetap keras, dan dunia terus berputar.

Venna, yang telah memberikan segalanya untuk cinta, akhirnya pergi. Tetapi ia meninggalkan Arsen dalam kehampaan yang tak akan pernah bisa diisi.

 

Kadang, cinta yang tulus nggak selalu berakhir bahagia. Venna udah memberikan segalanya, tapi apa yang dia dapatkan? Luka. Arsen mungkin nggak pernah sadar akan semua pengorbanan itu sampai semuanya udah terlambat.

Tapi buat Venna, mungkin ini adalah akhir yang dia butuhkan—sebuah akhir dari sakit yang tak berdarah, sebuah pelajaran tentang betapa pentingnya mencintai diri sendiri lebih dulu sebelum mengharap cinta dari orang lain. Karena dalam akhirnya, hanya diri kita sendiri yang bisa memberi ruang untuk penyembuhan.

Leave a Reply