Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih, ngerasa ada yang ngikutin, tapi pas dilihat, nggak ada apa-apa? Kadang, kita cuma nganggap itu hal sepele. Tapi bayangin deh, kalau yang ngikutin itu bukan cuma perasaan, tapi beneran ada sesuatu yang nggak kasat mata.
Sesuatu yang bisa bikin bulu kuduk berdiri, dan nggak bisa kita lawan. Nah, cerpen ini bakal bawa kamu masuk ke dalam dunia yang penuh ketegangan, di mana ada yang jahat, gelap, dan siap mengincar. Jadi, siap-siap aja buat nahan napas!
Cerpen Horor Tak Kasat Mata
Jejak yang Tak Terlihat
Alaric menurunkan tas punggungnya di depan rumah kecil yang disewakan oleh kepala desa, Pak Barata. Malam ini, hujan deras menggerus tanah yang sudah lembap, menambah kesan suram pada suasana desa yang memang sudah terpencil. Desa Semangka, tempat yang katanya menyimpan banyak misteri, siap menyambutnya dengan segala rahasia gelapnya.
Di balik pintu kayu yang berderit, Pak Barata membuka pintu dengan senyum tipis. “Kau datang tepat waktu, Alaric. Hujan baru saja turun, dan malam ini desa akan semakin sepi.”
Alaric mengangguk, matanya menyapu sekeliling. Rumah itu kecil, dengan lantai kayu yang sudah usang dan bau kayu basah yang cukup tajam. Di atas meja kayu, ada sebuah lentera yang menyala redup, hanya cukup untuk menerangi ruang tamu yang terkesan suram.
“Terima kasih, Pak Barata,” jawab Alaric, menarik napas dalam-dalam.
Malam itu, dia merasa angin dingin menerpa tubuhnya. Meskipun ruangan itu agak hangat karena lentera, hawa dingin seolah menembus dinding kayu rumah itu.
“Sudah siap untuk tidur?” Pak Barata bertanya, menutup pintu dengan hati-hati. “Kalau begitu, aku akan membiarkanmu istirahat. Tapi aku ingin mengingatkan satu hal.”
Alaric menatapnya dengan penasaran. “Apa itu?”
“Kau mungkin mendengar beberapa cerita dari penduduk desa tentang Penunggu Tanda. Jangan terlalu digubris. Mereka hanya cerita lama yang tak pernah terungkapkan dengan jelas.” Pak Barata berhenti sejenak, seolah merasakan sesuatu yang berat. “Kau sendiri harus hati-hati. Kadang, lebih baik tidak mencari tahu terlalu banyak.”
Mata Alaric menyipit. “Penunggu Tanda? Maksud Pak Barata, apa itu semacam legenda atau…”
“Jangan terlalu banyak tanya,” Pak Barata menyela dengan nada yang sedikit lebih keras. “Percayalah, ada hal-hal yang lebih baik tak perlu kau tahu. Tidur yang nyenyak, Alaric.”
Dengan itu, Pak Barata berlalu meninggalkan Alaric sendirian di dalam rumah.
Alaric berdiri, menatap pintu yang kini tertutup rapat. Ada rasa penasaran yang semakin menguat, menyusup ke dalam pikirannya. Penunggu Tanda, entitas yang konon tidak kasat mata, namun selalu bisa dirasakan kehadirannya. Alaric merasa ragu apakah ini hanya cerita orang desa yang ingin menakut-nakuti, atau ada kebenaran yang tersimpan di baliknya.
Dia duduk di kursi kayu, membuka buku catatannya dan mulai menulis. Penunggu Tanda, ia mencatatkan nama itu dengan cepat, tapi ada perasaan aneh yang mendorongnya untuk berhenti sejenak. Sesuatu yang terasa menekan di sekelilingnya, seperti ada yang mengamatinya dari sudut yang tak terlihat.
Tap… tap… tap…
Alaric terhenyak mendengar suara langkah kaki yang jelas sekali berasal dari luar rumah. Pintu yang terkunci dengan rapat seolah tak menghalangi suara itu, langkah-langkah yang berat, seperti sepatu bot yang menginjak tanah berlumpur.
Dia menatap pintu kayu yang hampir tak tampak dari tempatnya duduk. Keringat dingin mulai mengalir di dahinya, tetapi rasa penasaran justru mendorongnya untuk melangkah menuju pintu. Perlahan, dengan hati-hati, dia membuka pintu dan mengintip ke luar.
Tidak ada siapa-siapa. Hanya hujan deras yang terus mengguyur desa. Tak ada tanda-tanda kehidupan di luar. Namun, di depan pintu, ada jejak kaki yang baru terbentuk di atas tanah berlumpur. Jejak itu masih segar, meski tidak ada orang di sekitarnya.
Alaric menelan ludah. Pikirannya mulai berpacu. Apa ini?
Dia menatap jejak itu lebih lama, mencoba mencari tanda yang jelas. Namun jejak kaki itu tiba-tiba menghilang begitu saja, seolah tersapu angin yang tak kasat mata. Seperti baru saja ada dan kemudian menghilang begitu cepat.
Hatinya berdebar. Adrenalin mulai mengalir deras dalam tubuhnya. Apa yang baru saja terjadi? Langkah itu sepertinya tak mungkin ada di udara. Begitu nyata, begitu mendekat, namun tiba-tiba lenyap tanpa bekas.
Alaric menutup pintu dengan tangan gemetar. Dia kembali ke meja, memegang pena dengan lebih keras. Berpikir keras. Berusaha menenangkan diri. Ini hanya perasaan, hanya khayalan, pikirnya. Mungkin ini hanya dampak dari cerita-cerita yang didengarnya sepanjang hari.
Namun, ketika ia duduk kembali dan menatap layar buku catatannya, sebuah bisikan halus terdengar begitu dekat, seperti berasal dari belakangnya.
“Pergi…”
Alaric membeku. Suara itu begitu jelas, dan terasa seperti bisikan seseorang yang berdiri tepat di belakangnya. Ia menoleh, berharap hanya ada angin atau ilusi yang menciptakan suara itu. Tetapi yang ia lihat hanyalah bayangan gelap yang sekilas bergerak di sudut mata.
Sesuatu yang tak tampak, namun bisa dirasakan. Ada yang mengawasinya. Alaric merinding. Tubuhnya tak bisa bergerak. Hawa dingin menyelimuti tubuhnya lebih kuat, membuatnya sulit bernapas.
Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa suasana di desa ini begitu mencekam?
Ketukan yang terdengar di pintu lebih keras kali ini. Tapi, seolah mengikuti irama yang lebih cepat, lebih kuat. Tap… tap… tap…
Alaric menatap pintu, matanya semakin melebar. Ada sesuatu yang tak kasat mata sedang mengintainya.
Bayangan yang Mengikuti
Malam semakin larut, dan hujan yang mengguyur desa Semangka tak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Alaric duduk diam di kursi kayu, matanya terfokus pada pintu yang kini tertutup rapat, meskipun tak ada angin yang cukup kuat untuk menggerakkan daun pintu itu. Ketukan yang sebelumnya terdengar seperti mimpi buruk kini mulai terasa semakin nyata. Namun, ia tahu bahwa ketukan itu bukan berasal dari luar. Suara itu seperti berasal dari dalam—sesuatu yang lebih gelap dan tak bisa dia lihat.
Alaric menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ini hanya rasa takut yang terperangkap dalam pikiranku, ujarnya dalam hati. Tapi, saat matanya mengarah ke sudut ruang tamu yang gelap, ia merasa seolah ada yang mengawasinya. Sesuatu yang tidak kasat mata, tetapi bisa dirasakan. Seperti ada sosok yang hanya menunggu waktu untuk menampakkan diri.
Kakinya bergerak perlahan ke arah jendela kecil yang menghadap ke luar. Pemandangan desa yang sepi, dengan kabut yang memenuhi udara, hanya semakin menguatkan ketegangan yang merayap di sekujur tubuhnya. Ia ingin sekali merasakan angin malam yang segar, tetapi rasa takutnya mencegahnya untuk melangkah lebih jauh.
Sesaat, ia terdiam di depan jendela, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Hawa dingin yang membekukan kulit tiba-tiba menghilang, berganti dengan kehangatan yang aneh—bukan karena api atau lentera, tetapi karena sesuatu yang lebih dekat, yang tak bisa dia sentuh. Ia memutuskan untuk kembali ke meja, berusaha mengalihkan perhatiannya dengan membaca buku catatan yang tergeletak di sana.
Namun, tiba-tiba saja, suara bisikan yang halus dan berat itu terdengar lagi. “Aku ada di sini.”
Suara itu semakin jelas. Bukan suara manusia, melainkan suara yang lebih tua, lebih dalam, seperti berasal dari suatu tempat yang tak bisa dijangkau oleh manusia biasa. Alaric menoleh cepat, berharap kali ini hanya ilusi yang timbul dari pikirannya. Tetapi yang dia lihat membuat darahnya membeku.
Di sudut ruang tamu, di balik lentera yang mulai redup, tampak sebuah bayangan gelap berdiri tegak. Bayangan itu bukanlah sosok manusia biasa, tapi lebih seperti siluet yang bergerak dengan sendirinya, seolah tak terikat oleh hukum fisika. Bayangan itu tampak terbuat dari kegelapan yang lebih pekat, dan meskipun samar, Alaric bisa merasakan mata yang mengawasi dirinya dari dalamnya.
“Si-siapa?” suara Alaric serak, bahkan ia merasa bahwa kata-kata itu sulit keluar.
Bayangan itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, diam, seakan menunggu sesuatu. Dan dalam kesunyian yang mencekam, Alaric bisa merasakan kehadirannya semakin mendekat. Setiap detik yang berlalu, bayangan itu semakin menguat, semakin jelas, dan semakin dekat. Kaki Alaric bergerak mundur, namun tubuhnya terasa terikat oleh sesuatu yang tak terlihat.
Mata Alaric tak bisa lepas dari bayangan itu, meskipun ia tahu bahwa semakin ia menatap, semakin kuat rasa takut yang menyelimuti dirinya. Seperti ada sesuatu yang mencoba menariknya ke dalam kegelapan yang mengelilingi bayangan itu.
Dan kemudian, bayangan itu bergerak.
Tidak seperti gerakan manusia, gerakannya lebih seperti gelombang yang menyebar, merayap dari satu titik ke titik lainnya, seolah bayangan itu bisa membentang tak terbatas. Alaric menjerit, tetapi suaranya tertelan oleh kesunyian malam. Keringat dingin mulai mengucur di wajahnya. Tubuhnya terasa kaku, namun pikirannya berusaha untuk melawan ketakutan yang mulai menguasai.
“Tidak… aku tidak takut…” bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang semakin berdegup kencang.
Tapi semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin kuat pula perasaan bahwa ada yang tidak beres. Bayangan itu semakin dekat, kini hampir berada di hadapannya. Alaric bisa merasakan hembusan udara dingin yang mengikuti setiap gerakannya, dan meskipun tak ada sentuhan fisik, rasa berat yang menggelayuti dadanya semakin kuat.
“Pergi… pergi dari sini!” teriak Alaric, dengan suara yang hampir tak terdengar, namun disertai dengan rasa panik yang semakin membeluknya.
Tiba-tiba, bayangan itu berhenti bergerak. Lalu, perlahan, ia mulai menghilang. Bukan seperti kabut yang tertiup angin, melainkan seperti ditarik oleh kekuatan yang tak tampak. Meninggalkan Alaric yang terengah-engah, dengan napas terputus-putus dan dada yang terasa sesak.
“Siapa… kamu?” Alaric berbisik, suara tenggelam oleh rasa takut yang menyelimuti setiap sudut dirinya.
Di tengah keheningan, bisikan itu terdengar lagi. “Aku bukan siapa-siapa… aku hanya menunggu…”
Alaric memegangi dadanya, berusaha mengendalikan dirinya yang hampir hilang kendali. Seperti ada yang mengawasi dia tanpa henti. Seperti ada kekuatan yang tidak kasat mata yang memanipulasi segala sesuatu di sekitarnya.
Setelah beberapa saat, semuanya kembali hening. Alaric merasakan tubuhnya bergetar hebat, tetapi bayangan itu sudah menghilang. Apa yang baru saja terjadi?
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar lagi—tapi kali ini lebih keras, lebih cepat, dan lebih menakutkan. Tap! Tap! TAP!
Alaric menoleh ke arah pintu, napasnya semakin pendek. Keringat dingin membasahi dahinya. Apa yang harus dia lakukan?
Pintu yang Tak Pernah Terbuka
Ketukan itu semakin cepat, lebih keras, seperti pukulan yang tak kenal ampun. Seolah ada yang berusaha menghancurkan pintu itu dari luar, meskipun tak ada seorang pun yang bisa dilihat oleh mata Alaric. Setiap suara yang terdengar menggetarkan lantai kayu rumah itu, membuat jantungnya berdegup semakin kencang. Setiap detik terasa seperti tahun, dan dia merasa seperti berada dalam sebuah ruang yang tak berujung, terperangkap oleh ketakutan yang terus merayap.
Alaric menatap pintu yang tampaknya kokoh, tetapi ketukan itu… ketukan itu memaksa dirinya merasa takut, seolah ada yang ingin masuk—sesuatu yang lebih besar dari dirinya, lebih kuat dari logikanya. Perlahan, kakinya bergerak maju, namun tubuhnya terasa berat. Setiap langkah terasa seperti melewati belenggu tak kasat mata.
“Jangan buka,” suara yang lirih, namun berat, datang dari balik pikirannya. Suara itu familiar. Meskipun tidak nyata, suara itu terasa seperti peringatan. Alaric membeku di tempatnya. Itu bukan suaranya sendiri. Itu bukan suara siapapun yang dia kenal. Tapi suara itu mengingatkannya pada sesuatu yang pernah dia dengar sebelumnya.
Kepalanya terasa pening. Ada ketakutan yang tumbuh semakin besar, tetapi ada dorongan untuk membuka pintu itu. Ia merasa terpecah antara rasa takut yang mengikat tubuhnya dan rasa ingin tahu yang semakin menguasai pikirannya.
Lagi-lagi suara ketukan itu terdengar. Tepat di depan pintu. Kini Alaric bisa merasakannya—suara itu bukan hanya datang dari luar, tapi seolah datang dari dalam tubuhnya. Seolah ada sesuatu yang membisikkan perintah kepadanya. Sesuatu yang lebih kuat daripada ketakutannya sendiri.
“Buka… buka pintunya…” bisikan itu semakin jelas, semakin nyata, semakin terasa dalam setiap pori tubuhnya.
“Tidak!” teriak Alaric, berusaha menahan dirinya. “Tidak ada yang ada di luar sana!”
Namun, ketukan itu tidak berhenti. Sekali lagi, pintu itu terdengar dipukul dengan sangat keras, membuat seisi rumah bergetar. Kali ini, Alaric merasa tubuhnya tergerak sendiri. Tanpa bisa mengendalikannya, kakinya melangkah ke arah pintu. Tidak, bukan dia yang melangkah—seperti ada kekuatan yang memaksanya untuk maju.
Saat jarak antara dirinya dan pintu semakin dekat, udara di sekelilingnya terasa semakin berat. Suasana menjadi semakin pengap, seakan-akan waktu berjalan lebih lambat. Satu-satunya hal yang ia bisa dengar adalah ketukan itu yang semakin menggema, semakin mengancam.
“Jangan buka… ini bukan yang kamu inginkan…” suara itu kembali terdengar dalam kepalanya, kali ini terdengar lebih urgensi, seperti peringatan terakhir.
Namun, sebelum Alaric bisa merespons, pintu itu membuka dengan sendirinya. Tanpa ada sentuhan fisik. Tanpa ada siapa pun di sana. Pintu itu hanya terbuka, pelan, seakan sudah menunggu untuk dibuka, seperti sebuah jebakan yang siap menyambutnya.
Dengan napas tercekat, Alaric berdiri di depan pintu yang terbuka lebar. Gelap, hanya kegelapan yang terlihat, lebih gelap dari apapun yang pernah dia lihat. Sebuah ruang kosong yang tak bisa dijelaskan, seolah melampaui ruang dan waktu yang biasa. Bau busuk yang tajam memenuhi udara, seperti bau tanah basah yang sangat pekat, bercampur dengan sesuatu yang lebih aneh, lebih asing.
Ia bisa merasakan hawa dingin yang sangat menusuk, lebih dingin daripada udara malam yang ia rasakan sebelumnya. Tanpa pikir panjang, Alaric melangkah masuk. Sesuatu menariknya ke dalam kegelapan itu, seolah ada sesuatu yang memanggil namanya.
Begitu ia melangkah masuk, pintu di belakangnya langsung tertutup dengan suara gemuruh yang menggelegar. Alaric terperangah. Kini, dia benar-benar terperangkap di dalamnya.
Di sekelilingnya hanya ada kegelapan yang pekat. Tidak ada suara, tidak ada angin, hanya keheningan yang mengancam. Sesuatu bergerak di dalam kegelapan itu, membuat udara semakin berat, semakin mencekam.
Alaric merasa tubuhnya mulai dingin, otaknya berputar, dan pikirannya kacau. Di tengah kegelapan yang menyesakkan, ia merasa ada sepasang mata yang mengawasinya. Sesuatu yang besar, yang tidak bisa dilihat, namun dapat dirasakan dengan jelas. Keberadaan yang menunggu, menatapnya dari balik bayangannya.
“Aku tahu kamu ada di sini,” bisik Alaric, berusaha menenangkan dirinya. Tapi suara itu hanya terdengar lebih lemah dan tercekat oleh ketakutan yang membalut tubuhnya.
Tiba-tiba, di tengah keheningan itu, terdengar suara berdesir, seperti gesekan kuku yang tajam menggaruk permukaan kayu. Itu suara yang sangat mengerikan, suara yang datang dari belakangnya. Alaric berbalik dengan cepat, tetapi tidak ada apa pun di sana. Hanya kegelapan yang semakin menekan, semakin mendekat.
Dan kemudian, suara itu terdengar lagi, lebih dekat. Desisan itu semakin keras, semakin jelas. Sekarang, ia bisa merasakan kehadiran sesuatu yang sangat besar dan mengerikan di dekatnya. Sesuatu yang bukan hanya ada di ruang itu, tetapi juga ada di dalam pikirannya.
Sesuatu bergerak sangat cepat. Dalam sekejap, Alaric merasakan tangannya ditarik ke depan, seolah ada kekuatan yang mengunci pergelangan tangannya. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha melepaskan diri, namun semakin ia berusaha, semakin kuat kekuatan itu menahannya.
Suara berdesir itu semakin mendekat, sampai akhirnya sesuatu yang berat dan dingin menyentuh wajahnya. Alaric menjerit, tetapi tak ada suara yang keluar. Sebuah bayangan besar kini berdiri di hadapannya, menghalangi segala cahaya yang ada, membuatnya terperangkap dalam gelap yang pekat.
Tiba-tiba, seberkas cahaya muncul, memancar dari kejauhan, tapi itu bukanlah cahaya yang hangat. Itu adalah cahaya yang dingin, seperti sinar bulan yang menyelusup melalui celah sempit. Dalam cahaya itu, Alaric bisa melihat bayangan yang sangat besar. Sosok itu lebih tinggi dari manusia, lebih gelap dari bayangan biasa, dengan mata merah menyala yang berkilat menatapnya.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Alaric, suaranya hampir tidak terdengar.
Bayangan itu hanya berdiri diam. Tidak ada jawaban. Namun, dalam kegelapan yang mendalam, Alaric bisa merasakan ancaman yang semakin mendekat.
Langkah Terakhir
Alaric berdiri diam di hadapan sosok itu. Di tengah gelap yang menyesakkan, matanya tak mampu lepas dari tatapan merah menyala yang membakar dalam kegelapan. Tiap detik terasa seperti bertahun-tahun, dan tubuhnya semakin terasa berat, seolah seluruh dunia menunggu satu keputusan yang akan menentukan segalanya.
Sosok besar itu, yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata, bergerak perlahan menuju Alaric. Setiap langkahnya memancarkan hawa dingin yang menusuk kulit, seakan-akan ia berjalan melalui lapisan es yang tak kasat mata. Mata merah itu terus menatapnya, dan Alaric merasakan rasa takut yang lebih dalam dari apapun yang pernah dia rasakan. Lebih dari sekadar ketakutan—itu adalah ketakutan akan hilangnya kontrol atas dirinya sendiri.
“Kenapa kamu…?” kata Alaric, suaranya terputus, seperti ada sesuatu yang menahan setiap kata yang hendak diucapkan. Tapi jawabannya tak datang, hanya diam yang menjawabnya.
Ketika sosok itu semakin dekat, Alaric bisa merasakan hawa jahat yang mengalir. Sesuatu yang sangat kuno, seperti kehadiran yang telah ada sejak bumi ini tercipta. Bukan hanya sekadar roh, tapi sesuatu yang lebih tua dari waktu. Ketika bayangan itu semakin dekat, seluruh tubuh Alaric gemetar. Ada bisikan yang berulang di kepalanya, bukan kata-kata yang jelas, melainkan suara desiran yang mengisi ruang-ruang pikirannya, membuatnya kehilangan arah.
Dia tahu saat itu, dalam setiap inci tubuhnya, bahwa dia berada dalam bahaya yang lebih besar dari sekadar ancaman fisik. Ini adalah perang yang tidak akan dia menangkan, melawan sesuatu yang tak bisa dilawan dengan logika atau kekuatan biasa. Alaric tahu dia hanya memiliki satu pilihan.
“Apakah kamu akan membiarkannya menguasaimu?” suara itu kembali terdengar, seperti bisikan dari dalam lubuk hatinya sendiri. Alaric tak bisa menjawabnya. Ia hanya bisa merasakan ketakutan itu semakin menjalar.
Tetapi, di saat-saat seperti itu, ada satu hal yang belum hilang dalam dirinya. Keinginan untuk bertahan hidup. Keinginan untuk melawan meskipun kekuatannya sudah hampir habis. Ia menutup mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan memusatkan perhatian pada satu hal—cahaya.
Dia harus menemukan cahaya itu, meski samar, meski hampir tidak ada harapan.
Alaric meraih sakunya dengan cepat, meraba sekelilingnya dalam kegelapan, hingga akhirnya jarinya menyentuh sesuatu yang dingin dan keras—itu adalah kunci yang dia temukan tadi malam di ruang bawah tanah. Kunci itu bukan hanya sebuah benda fisik; itu adalah satu-satunya petunjuk untuk melarikan diri dari tempat ini.
Tapi sosok itu tidak memberi waktu baginya. Bayangan itu bergerak lebih cepat, semakin menekan tubuh Alaric, semakin mengikatnya dengan kehadirannya yang menakutkan. Saat bayangan itu menyentuhnya, tubuhnya terasa seperti terbakar, namun Alaric tetap bertahan. Dengan gemetar, ia menekan kunci itu ke pintu yang tiba-tiba muncul di depannya—pintu yang tak pernah ia sadari ada.
Ketika kunci itu berputar di lubangnya, suara gemuruh terdengar. Pintu itu terbuka dengan sangat cepat, membawa angin dingin yang menghembuskan bayangan itu menjauh, seolah-olah ada kekuatan yang mengusirnya dari dunia ini. Namun, bayangan itu hanya berhenti sejenak, tidak hilang. Alaric bisa merasakan tatapan itu, yang kini berubah menjadi lebih ganas, lebih penuh amarah.
Dengan satu langkah yang penuh ketakutan namun juga keberanian, Alaric melangkah ke dalam pintu yang terbuka, dan seketika dunia di sekelilingnya terbalik. Dia terjatuh, tak tahu ke mana arah yang dia tuju.
Begitu ia bangun, keheningan yang mencekam menghilang. Tidak ada lagi bayangan gelap itu. Tidak ada lagi suara desiran yang merayap di dalam pikirannya. Hanya ada ruang kosong, yang menenangkan dan dingin, namun berbeda—seperti ia telah keluar dari satu dunia menuju dunia yang lain.
Di sana, Alaric berdiri, menggigil, namun selamat. Satu-satunya hal yang ia tahu adalah bahwa ia telah keluar. Namun, ada satu hal yang tetap menghantui pikirannya—bayangan itu, yang tak pernah benar-benar hilang.
Apakah ini benar-benar akhir? Ataukah ini hanya awal dari perjalanan baru yang lebih gelap dan menakutkan?
Alaric tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti: ketakutannya belum berakhir.
Jadi, gimana menurutmu? Pikir kamu semuanya udah berakhir begitu aja? Kadang, kita cuma bisa berharap kalau kita udah keluar dari masalah, padahal mungkin aja itu baru permulaan.
Bayangan itu, atau apapun yang ngikutin, nggak akan pernah benar-benar hilang. Dan siapa tahu, mungkin suatu saat nanti, kita bakal ngerasain lagi apa yang nggak kasat mata itu. Selalu inget: dunia ini nggak selalu yang kita lihat.