Daftar Isi
Bayangin deh, kamu naik bus di tengah malam, tiba-tiba kabut tebal nutupin jalan, dan di dalam bus, suasananya nggak biasa. Mungkin kamu bakal nyaman-nyaman aja, tapi justru makin lama, makin serem.
Tiba-tiba, ada suara-suara aneh, bayangan yang nggak jelas, dan satu hal yang paling ngeri: bus ini nggak kayak bus biasa. So, siap-siap deh, karena kamu bakal diajak naik bus yang nggak cuma bikin penasaran, tapi juga bikin bulu kuduk berdiri. Ini bukan perjalanan biasa, ini… perjalanan ke dunia yang nggak kamu duga bakal kamu kunjungi.
Cerpen Horor Komedi
Tiba-tiba Ada Bus
Malam itu, langit di atas kota terasa lebih gelap dari biasanya, penuh kabut tebal yang bergerak pelan, menutupi setiap sudut yang seharusnya terlihat jelas. Ragil berdiri di halte bus yang sudah lama tak diperhatikan, matanya menatap kosong ke jalan yang hanya disinari oleh lampu jalan yang samar. Fadli, temannya yang lebih kecil dan sedikit lebih penakut, berdiri di sampingnya sambil menggigit ujung jari, berusaha untuk tidak terlihat gugup.
“Gil, lama banget sih? Udah jam segini,” keluh Fadli, suaranya terdengar cemas. Matanya sesekali melirik ke jalan yang gelap, seakan-akan berharap bus itu akan muncul tiba-tiba.
Ragil hanya melirik sekilas ke arah Fadli, lalu mengangguk santai. “Tenang aja, Li. Kan katanya busnya memang telat, nggak usah khawatir. Masih ada kok.” Suara Ragil sedikit terdengar santai, tapi kalau dipikir-pikir, dia juga nggak yakin bus itu bakal muncul tepat waktu.
Fadli menarik napas panjang dan mengusap wajahnya. “Gimana kalau nggak datang-datang, Gil? Kita ditinggalin di sini, nih, gimana coba?”
Ragil tertawa pelan, menggoyang-goyangkan payung lipat yang ada di tangannya. “Kalo itu sih, kita jalan kaki aja, Li. Deket kok, tinggal dua jam jalan kaki. Kalau kaki kamu nggak pegel.”
Fadli mengernyit mendengar kata “dua jam”. “Dua jam? Gil, kamu nggak ngerti, aku bisa mati di tengah jalan!”
Ragil cuma tertawa lebih keras, tanpa merasa khawatir. Dia memang selalu seperti itu—seorang pria yang hampir tak pernah merasa takut, bahkan di tengah situasi yang sepertinya bakal bikin orang lain takut setengah mati.
Tak lama, di kejauhan, ada cahaya yang semakin mendekat. Suara mesin bus mulai terdengar—geramannya aneh, seperti mesin yang terengah-engah. Fadli menatapnya dengan cemas, sementara Ragil malah menurunkan payungnya dan mulai melambaikan tangan dengan semangat.
“Akhirnya, Li! Tuh, busnya datang!” Ragil menyeringai, memamerkan giginya yang hampir hilang satu.
Fadli menatap bus yang mendekat, seolah-olah bus itu bergerak lebih lambat dari biasanya, semakin jelas dengan cahaya lampunya yang meredup, hampir tidak terlihat sama sekali. “Kok kayak… kayak ada yang aneh, ya, Gil?” tanya Fadli dengan suara pelan.
“Nggak apa-apa, Li. Itu cuma efek kabut aja,” jawab Ragil dengan cuek, meskipun sebenarnya dia juga mulai merasakan ada yang nggak beres. Tetapi, dia tetap mempertahankan sikap santainya. Toh, kalau ada apa-apa, mereka bisa kabur.
Bus itu akhirnya berhenti tepat di depan mereka, dengan suara pintu yang terbuka pelan. Suara decitan pintu bus itu terdengar sangat keras, seakan-akan pintu itu tak pernah dibuka selama bertahun-tahun. Begitu bus itu berhenti, Ragil langsung melangkah maju dan menaiki bus, sementara Fadli masih ragu di belakangnya.
“Gil, tunggu! Aku nggak yakin nih, busnya aneh banget…” Fadli menggigit bibirnya, memandang bus yang lampunya semakin redup dan suara mesinnya yang terdengar parau, seakan-akan ada sesuatu yang salah dengan bus ini.
“Ayolah, Li. Kita naik aja, siapa tahu seru!” Ragil mengangkat bahu dan masuk ke dalam bus tanpa ragu. Fadli yang cemas mengikuti di belakangnya.
Begitu mereka melangkah masuk, suasana di dalam bus semakin terasa aneh. Lampu-lampu dalam bus berkedip-kedip, memberikan kesan seolah-olah bus ini sudah lama tidak digunakan. Udara di dalamnya pengap, seperti tak ada ventilasi, dan aroma aneh—seperti tanah basah dicampur dengan bau dupa—tercium kuat.
“Busnya… kok suasananya kayak begini, sih?” Fadli berbisik, melirik ke sekitar, berharap bisa melihat sesuatu yang familiar.
Ragil cuma mengangkat bahu, tanpa terlalu peduli. “Ya udah, Li. Nggak usah mikirin hal-hal kecil gitu. Kita duduk aja.”
Mereka berjalan ke tengah bus, memilih tempat duduk di sebelah jendela. Dari tempat duduk itu, mereka bisa melihat kabut tebal yang masih menggantung di luar, membuat pemandangan semakin menyeramkan. Suara bus semakin lambat, dan meskipun mereka duduk, rasanya bus itu bergerak lebih cepat daripada biasanya.
Di belakang mereka, seorang penumpang duduk dengan posisi yang sangat aneh—kepalanya terbalik. Mata pria itu melotot tajam ke arah mereka, membuat Fadli menggigil. Pria itu tersenyum lebar, senyum yang sangat… tidak wajar.
Fadli mendekatkan tubuhnya pada Ragil, berbisik pelan, “Gil, kamu liat nggak tuh orang? Kenapa dia senyum gitu?”
Ragil melirik sebentar, lalu cuma menggelengkan kepala. “Ah, nggak usah dipikirin. Pasti itu cuma dekorasi bus atau penumpang yang udah lama nggak mandi.”
Namun, saat Ragil kembali menatap ke depan, pandangannya tertuju pada seorang wanita yang duduk di kursi depan mereka. Rambutnya panjang dan acak-acakan, wajahnya pucat, dan dia menggantungkan kepalanya di sandaran tangan. Sisa-sisa senyum wanita itu terlihat aneh, seperti ada sesuatu yang salah dengan wajahnya.
“Apa-apaan ini, Gil?” Fadli sudah tak bisa menahan ketakutannya lagi.
Ragil yang tadinya merasa santai mulai merasakan suasana yang semakin mencekam. “Oke, Li. Ini bus bener-bener aneh, sih. Aku mulai nggak nyaman.”
Namun, tiba-tiba, bus berhenti. Lampu mati, semuanya gelap, kecuali suara mesin yang masih terdengar, tapi semakin pelan dan semakin menggeram. Lalu, terdengar suara bisikan dari sebuah tempat yang entah dari mana.
“Turun di mana, Mas?” suara itu datang, terdengar lirih dan menggema di dalam bus yang semakin sunyi.
Fadli menggigil, tubuhnya menegang. “Gil… itu suara siapa?”
Ragil menelan ludah. “Nggak tahu, Li. Tapi gue rasa kita harus turun secepatnya…”
Namun, bus itu masih berhenti, dan suasana semakin menakutkan. Tak ada tanda-tanda bahwa mereka akan sampai di tempat tujuan. Turun di mana, Mas?
Penumpang Aneh dan Bus yang Lebih Aneh
Lampu bus yang tadinya gelap mendadak menyala, tetapi dengan cahaya yang jauh lebih redup daripada sebelumnya, seakan lampu itu hampir kehabisan tenaga. Suasana di dalam bus semakin aneh, seperti berada dalam dimensi lain yang tak terjamah oleh waktu atau ruang. Ragil melirik Fadli yang masih terdiam, matanya terbuka lebar, sementara seluruh tubuhnya gemetar.
“Gil… kita harus keluar dari sini!” Fadli berbisik dengan suara bergetar, wajahnya pucat seperti kapur.
Ragil menoleh ke arah pintu yang masih tertutup rapat, kemudian melihat ke depan, tempat di mana wanita aneh itu duduk. Wajahnya semakin terlihat samar, seolah-olah dia bukan manusia lagi, lebih mirip dengan bayangan yang hanya bisa dilihat dalam kilatan cahaya. Tapi yang membuat Ragil semakin tak tenang adalah suara yang datang dari arah belakang, dari kursi yang tadi ditempati oleh pria dengan kepala terbalik.
Suara itu berbisik lirih, seperti suara yang sangat dekat namun juga sangat jauh, menciptakan getaran di seluruh tubuh Ragil. “Selamat datang… di rumahmu yang baru.”
Ragil menggigit bibir bawahnya, menahan ketakutan yang mulai merayap masuk. “Li, ini nggak bener, kan?” dia berbisik, memalingkan wajahnya agar tidak melihat wanita itu.
Fadli, yang sudah hampir menangis, meraih lengan Ragil dengan cemas. “Gue nggak tahu, Gil… tapi itu suara bukan dari manusia. Ini gila!” Suaranya semakin parau, hampir tak terdengar.
Tiba-tiba, bus bergerak lagi. Perlahan, tetapi pasti. Mesin bus yang terdengar kasar dan serak itu mulai berjalan dengan kecepatan yang tidak wajar, seakan-akan menarik mereka ke suatu tempat yang lebih gelap dan lebih jauh. Bus itu melaju tanpa ada tujuan jelas, dan setiap kali mereka melihat ke luar jendela, yang terlihat hanyalah kegelapan pekat dan kabut yang semakin mengental, seperti dunia yang tertutup rapat.
Lalu, di antara mereka berdua, ada suara berderak—seperti suara kayu yang patah. Ragil menoleh, matanya berbinar penasaran. Di kursi yang kosong di sebelah mereka, ada sesuatu yang bergerak. Sesuatu yang gelap, menyerupai sosok manusia, namun tubuhnya terbungkus kain hitam yang compang-camping.
Kaki sosok itu bergerak pelan, menghentak-hentak ke lantai bus dengan suara yang menakutkan. Fadli menutup mulutnya, mencegah teriakan yang hampir keluar. Tapi Ragil tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia mengamati sosok itu lebih seksama, sambil perlahan mundur sedikit, berusaha menjaga jarak.
Sosok itu mulai berbicara dengan suara yang sangat berat dan berat sebelah, seolah berasal dari dalam tanah. “Pulang… pulang…”
Fadli menarik lengan Ragil, memohon. “Gil, ayo kita turun. Apapun yang terjadi, kita turun sekarang!”
Tapi sebelum Ragil bisa menjawab, bus itu tiba-tiba berhenti lagi. Kali ini, dengan hentakan yang membuat keduanya terduduk di kursi, terjaga dari ketegangan yang makin menjadi-jadi. Kabut di luar semakin pekat, dan bus itu—meskipun berhenti—masih terasa bergerak. Itu seperti ilusi, atau mungkin lebih tepatnya mimpi buruk yang terasa begitu nyata.
Dan saat itulah mereka mendengar suara itu lagi—suara seorang wanita, kali ini lebih jelas, berbisik di telinga mereka, membuat darah Ragil dan Fadli terasa membeku.
“Kalian tidak bisa keluar…”
Fadli langsung menoleh ke Ragil dengan ekspresi yang lebih takut daripada sebelumnya. “Gil, ini nggak bisa terjadi! Kita harus keluar dari sini!”
Tapi Ragil, meskipun merasa takut, tidak bisa menahan rasa penasaran yang membuncah. Di matanya, ada keraguan yang semakin mendalam. Apa yang terjadi dengan bus ini? Apa yang sebenarnya ada di dalamnya?
Tiba-tiba, seorang pria tua yang duduk di depan mereka menoleh, matanya kosong dan sayu. “Ada yang ingin kalian lihat?” ujarnya pelan, hampir tanpa suara, seakan sedang menahan rahasia yang sangat berat.
Ragil dan Fadli saling pandang. Fadli menggelengkan kepala, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka hanya sedang berada dalam mimpi yang sangat buruk.
“Tidak ada yang perlu kalian ketahui, kecuali kalian siap untuk membuka mata kalian,” lanjut pria tua itu, suara dan wajahnya makin mengerikan.
Suasana di dalam bus semakin terperangkap dalam kegelapan yang tak terdefinisikan. Fadli meneguk ludahnya dengan susah payah. “Gil, kita nggak bisa bertahan lama di sini. Kita harus pergi sebelum terlambat.”
Namun, sebelum Ragil bisa menjawab, lampu bus yang semakin redup mendadak padam lagi. Dalam kegelapan yang total, hanya suara napas mereka yang bisa terdengar.
Sosok yang duduk di belakang mereka—wanita dengan wajah pucat dan mata kosong—berdiri perlahan, melangkah maju. Tangannya terjulur, seolah ingin meraih mereka. “Tunggu…” suara itu kembali, kali ini lebih berat dan penuh ancaman. “Ayo lihat dunia kami.”
Ketegangan di dalam bus semakin terasa mencekam. Setiap penumpang yang duduk seakan menyatu dengan suasana yang semakin aneh. Mereka tidak bergerak, tidak berbicara—seakan menunggu sesuatu yang tak bisa mereka pahami.
Fadli yang sudah tak tahan lagi menarik Ragil dengan paksa. “Gil, kita keluar dari sini! Sekarang juga!”
Tapi sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, pintu bus terbuka dengan suara berderak keras. Sebuah cahaya merah menyilaukan muncul di luar sana, membawa suara riuh yang tak bisa mereka jelaskan.
Dengan hati berdebar, Ragil dan Fadli saling berpandangan. Apakah mereka benar-benar siap untuk menghadapi apa yang ada di luar sana? Apa yang sebenarnya mereka cari dalam bus ini?
Dan apakah mereka akan pernah bisa keluar dari sini?
Terjebak dalam Dimensi Lain
Cahaya merah yang tiba-tiba muncul di luar bus menyinari kabut tebal, mengungkapkan sosok-sosok yang tampaknya bergerak di luar jendela. Mereka seperti bayangan yang terdistorsi, tidak jelas apakah itu manusia atau sesuatu yang lebih menyeramkan. Ragil bisa merasakan napasnya semakin berat, dan Fadli, yang semula terdiam, kini mulai panik.
“Gil, gue… gue nggak mau ada di sini. Kita harus keluar,” kata Fadli dengan suara serak, tangannya gemetar saat memegang lengan Ragil.
Ragil mencoba menenangkan dirinya, tapi detak jantungnya terasa semakin cepat. Pintu bus yang terbuka masih menganga, tetapi tidak ada suara apapun yang datang dari luar, selain suara napas mereka yang terengah-engah. “Fadli, tenang. Kita harus lihat apa yang terjadi dulu.”
Namun, sebelum Ragil bisa melanjutkan, suara berat pria tua itu kembali terdengar dari kursinya. “Kalian tidak akan bisa kembali begitu saja,” kata pria itu pelan, suaranya seperti datang dari kedalaman tanah.
Ragil menoleh dengan cepat, merasakan gelombang ketegangan yang semakin mencekam. “Maksudmu?” tanya Ragil, suaranya hampir tenggelam dalam ketakutan.
Pria tua itu hanya tersenyum, senyuman yang tidak bisa dijelaskan—senyuman yang penuh dengan pengetahuan gelap, seolah-olah dia telah melihat terlalu banyak hal yang tak terbayangkan. “Kalian sudah berada di ambang pintu. Tidak ada yang bisa keluar sebelum kalian menemui jawabannya.”
Fadli memegang kepala, tampak bingung dan ketakutan. “Jawaban apa? Kita cuma naik bus doang, Gil! Ini bukan lelucon! Ada apa dengan tempat ini?”
Wanita dengan wajah pucat itu kini berdiri lebih dekat, mendekati mereka. Matanya yang kosong menatap langsung ke mata Ragil, seakan menembus pikirannya. “Kalian bertanya tentang jawaban,” suara itu lirih dan penuh dengan ancaman. “Jawaban ada di dalam diri kalian. Kalian harus memilih, apakah kalian akan tinggal atau pergi.”
Suasana di dalam bus semakin mencekam, dan bus itu mulai melaju lagi, kali ini lebih cepat, lebih tidak terkendali. Lampu redup di langit-langit bergoyang, seakan-akan siap untuk jatuh. Ragil menggenggam kursinya lebih kuat, tapi tubuhnya terasa berat, seolah gravitasi di dalam bus itu berubah.
Di luar jendela, bayangan kabut tebal mulai bergerak, seperti ada sesuatu yang melayang di atas mereka. Ragil bisa melihat sosok-sosok bayangan yang melayang dalam kabut, wajah mereka tidak jelas, tapi ada aura kegelapan yang sangat pekat mengelilingi bus.
“Sial…” Ragil berbisik, merasa terperangkap. “Fadli, kita terjebak, kan?”
Fadli hanya bisa mengangguk, wajahnya semakin pucat. “Gil… gue nggak ngerti lagi. Kita ini di dunia mana sih? Kenapa semua ini nggak logis?”
Bus berbelok tajam, membawa mereka ke jalan yang tak dikenali, dan Ragil merasakan seakan waktu berhenti sejenak. Lalu, tiba-tiba bus itu berhenti, begitu mendadak, membuat mereka terlempar ke depan.
Ragil dan Fadli terduduk, saling bertabrakan, tubuh mereka terasa terlempar ke kursi. Ketika mereka membuka mata, mereka menyadari sesuatu yang menakutkan—bus itu tidak berada di jalanan yang mereka kenal.
Sekarang, di luar jendela, hanya ada kehampaan. Kegelapan yang tak terukur. Tidak ada lagi jalanan, tidak ada lagi lampu jalan. Hanya ada ruang kosong yang tak terhingga, seperti mereka berada di dalam ruang hampa yang dikelilingi oleh kegelapan abadi.
“Ini nggak bener, Gil…” Fadli terdengar hampir menangis. “Kita nggak ada di dunia ini lagi, kan?”
Ragil menoleh ke belakang, dan di sana, di tempat pria tua itu duduk, tidak ada lagi jejaknya. Kursi kosong. Sosok itu menghilang begitu saja, seperti ia tidak pernah ada. Di sisi lain, wanita itu masih berdiri, matanya tertuju ke luar jendela, seperti menunggu sesuatu.
Tiba-tiba, suara ketukan terdengar pelan dari pintu bus, membuat Ragil dan Fadli menoleh dengan cepat. Ketukan itu terdengar seperti seseorang yang ingin masuk, tetapi tidak ada suara yang datang dari luar. Hanya ketukan itu, berulang-ulang, semakin keras dan menakutkan.
Fadli mulai panik. “Gil, kita harus keluar, kita harus cari jalan keluar!”
Ragil mencoba membuka pintu, tapi terkunci rapat. Tidak ada tombol, tidak ada pegangan. Pintu itu terperangkap dalam dunia yang tidak mereka pahami. Keputusasaan mulai menyelubungi Ragil, dan saat itulah wanita itu berbalik, memandang mereka dengan tatapan kosong yang menakutkan.
“Kalian… sudah memilih. Tidak ada jalan keluar lagi,” kata wanita itu dengan suara lembut, seperti bisikan dari dunia lain.
Suasana semakin mencekam. Kabut di luar semakin tebal, dan suara ketukan itu semakin keras, semakin mendesak. Ragil merasakan tubuhnya kaku, tak bisa bergerak, seolah-olah ada sesuatu yang menahannya untuk melangkah.
Tiba-tiba, lampu bus yang redup itu menyala kembali—tetapi kali ini dengan cahaya yang terang benderang, menyilaukan mata mereka. Semua suara berhenti sejenak. Dan di saat itulah, wajah pria tua itu muncul lagi di depan mereka, kali ini lebih jelas dari sebelumnya.
“Waktu kalian hampir habis,” kata pria itu, wajahnya serius. “Tentukan pilihan kalian. Kehidupan atau kematian. Kalian tidak bisa tinggal di sini selamanya.”
Ragil merasakan seluruh tubuhnya seperti terhimpit oleh kegelapan yang datang. Fadli hanya bisa menatapnya, matanya penuh ketakutan dan kebingungan.
Namun, sebelum Ragil bisa mengatakan apapun, bus itu mulai bergerak lagi, membawa mereka ke dalam kegelapan yang lebih dalam.
Pilihan yang Terakhir
Bus melaju dengan kecepatan yang semakin tak terkendali. Setiap belokan yang dilalui, setiap hentakan yang datang, terasa seperti adrenalin yang mendesak keluar dari tubuh Ragil. Sesekali ia bisa mendengar suara berdesis, suara dari mesin yang seakan merintih, namun bus itu terus melaju, menembus kegelapan yang semakin pekat.
Di luar, kabut semakin tebal, menciptakan dunia yang seakan terperangkap dalam satu ruang waktu yang tak terhingga. Semua yang ada di dalam bus terasa makin suram—wajah wanita itu, yang masih berdiri di depan, semakin tak terlihat jelas, seperti bayangan yang membaur dengan kegelapan.
“Gil… gue nggak tahan lagi!” Fadli berteriak, matanya memerah, tubuhnya gemetar. “Kita nggak bisa cuma diem gini. Kita harus… kita harus keluar!”
Ragil merasa keputusasaannya semakin menggunung. Ia tahu Fadli benar. Mereka tidak bisa terus terjebak dalam keadaan ini tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Kegelapan di luar semakin pekat, dan rasa mencekam di dalam bus semakin terasa. Terasa seperti ada sesuatu yang menunggu mereka, sesuatu yang sangat dekat, hampir bisa mereka rasakan.
Namun, tiba-tiba, suara pria tua itu kembali terdengar, kali ini lebih dalam dan berat. “Keputusan kalian sudah hampir tiba. Hanya ada satu jalan yang tersisa.”
Ragil menatap ke sekeliling. Sosok pria tua itu muncul kembali, wajahnya yang pucat dan tajam menatapnya dengan penuh kesan yang sulit dijelaskan. “Apa maksudmu?” tanya Ragil, suara gemetar.
Pria itu hanya tersenyum, senyuman yang menakutkan, penuh dengan misteri yang seakan menggantung di udara. “Kalian hanya punya dua pilihan. Tinggalkan dunia ini atau masuk lebih dalam ke dalam dunia yang tidak kalian mengerti.”
Ragil dan Fadli saling berpandangan. Ketakutan dan kebingungan jelas terlihat di wajah mereka. Dunia yang tidak mereka mengerti. Pilihan yang menakutkan.
“Apa yang terjadi kalau kita tetap di sini?” tanya Fadli dengan suara yang hampir tidak terdengar.
“Jika kalian memilih untuk bertahan, kalian akan terjebak di sini selamanya,” jawab pria itu, suaranya keras, namun penuh ketenangan yang aneh. “Dunia ini tidak ada ujungnya. Hanya ada kehampaan. Kalian akan terus melaju tanpa akhir.”
Suasana dalam bus semakin dingin. Kabut luar semakin menebal, menutupi semua jendela. Seakan dunia di luar bus menghilang begitu saja, tergantikan dengan ruang kosong yang tak terjamah waktu. Ragil merasakan sesuatu yang sangat asing—seperti terperangkap di antara dua dunia yang tak pernah bisa mereka pahami.
Tiba-tiba, suara ketukan dari luar bus terdengar lebih keras. Fadli menggigil. “Gil… gue nggak mau jadi kayak mereka,” katanya dengan napas yang terengah-engah. “Tolong… kita harus keluar!”
Di luar jendela, bayangan kabut yang semakin gelap itu mulai bergerak lebih cepat. Seperti ada tangan-tangan yang terjulur keluar dari dalam kegelapan. Mereka meraih, menggapai, seakan ingin menarik siapa pun yang berada di dalam bus ini.
Ragil merasa ada sesuatu yang menarik di dalam dirinya, sebuah kekuatan yang membuatnya terjaga, meski matanya hampir tak bisa terbuka lagi karena rasa takut yang luar biasa. “Fadli, kita harus buat pilihan… sekarang!” kata Ragil, hampir berteriak.
Fadli menatapnya penuh harap, seperti mencari jawaban yang sudah tak ada lagi. “Gil, gue nggak tahu harus pilih apa.”
“Jangan biarkan kita jadi bagian dari mereka,” kata Ragil, hampir berbisik. “Kita bisa keluar dari sini. Kita… harus memilih hidup.”
Dengan sedikit keberanian yang tersisa, Ragil melangkah ke pintu bus, menekan dengan kuat tombol yang sebelumnya tidak ada. Namun, kali ini, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Sebuah cahaya putih yang begitu terang menyinari mereka, mengalahkan kegelapan yang melingkupi bus.
Tiba-tiba, mereka merasakan sebuah dorongan kuat, tubuh mereka seperti melayang. Rasanya seperti terangkat dari dunia itu, seperti melintasi batas yang tak terlihat. Ketika mereka membuka mata, mereka berada di jalan yang sama sekali berbeda.
Aroma tanah yang segar, cahaya matahari yang hangat, dan dunia yang kembali terasa nyata.
Ragil menatap Fadli, dan mereka berdua hanya bisa saling menatap, kelelahan, tetapi juga merasa lega. Mereka tidak tahu bagaimana bisa keluar dari sana. Tidak tahu apakah ini nyata atau hanya ilusi. Namun, yang pasti, mereka berhasil memilih untuk bertahan hidup.
Bus itu hilang begitu saja. Tidak ada suara. Tidak ada jejak.
Hanya ada mereka berdua, berdiri di tepi jalan yang terang.
“Gil… gue nggak ngerti apa yang barusan terjadi,” Fadli berkata, suara berat dengan napas yang masih terengah-engah.
Ragil hanya mengangguk. “Gue juga nggak ngerti. Tapi satu yang gue tahu… kita berhasil keluar.”
Mereka berdua berjalan perlahan, meninggalkan tempat itu, berharap tidak akan pernah kembali lagi. Namun, di dalam hati mereka, sebuah rasa takut tetap mengendap. Sebuah pertanyaan yang mungkin akan selalu ada: apakah mereka benar-benar keluar, atau hanya pindah ke dimensi lain yang lebih gelap?
Dan dengan itu, bus penasaran itu hilang ke dalam kenangan, meninggalkan kisah yang akan terus menghantui mereka, entah di dunia ini atau di dunia yang tak mereka ketahui.
Jadi, udah kebayang kan, apa yang bisa terjadi kalau kamu terlalu penasaran sama hal-hal yang nggak jelas? Kadang, ada perjalanan yang nggak perlu kita tempuh, karena mungkin, nggak ada jalan keluar setelah kita melangkah.
Bus itu mungkin hilang, tapi kenangan dan rasa takutnya tetap nempel di kepala. Siapa tahu, kamu juga bakal nemuin bus penasaran yang serupa—tapi semoga aja, kamu nggak pernah harus mengalaminya. Sampai jumpa di cerita lainnya, dan semoga malam kamu selalu terang tanpa kabut misterius yang menunggu di baliknya.