Cerpen Drama Keluarga: Perbandingan Mertua dan Solehnya Menantu yang Mengharukan

Posted on

Kamu pasti pernah merasakan apa rasanya hidup selalu dibanding-bandingin, kan? Apalagi kalau itu datang dari orang yang seharusnya menerima kamu apa adanya, seperti mertua. Ini bukan cuma soal perasaan yang nggak enak, tapi juga tentang bagaimana mencintai diri sendiri meski dunia nggak selalu berpihak.

Cerita ini tentang seorang menantu yang selalu berusaha jadi yang terbaik, tapi nggak pernah cukup di mata ibu mertuanya. Namun, dalam segala kesulitan itu, dia belajar satu hal penting—bahwa penerimaan yang sesungguhnya justru datang dari dalam dirinya sendiri. Nah, siap-siap untuk ikut merasakan betapa haru dan dramatisnya perjalanan hati menantu ini!

 

Cerpen Drama Keluarga

Senyum di Balik Luka

Di dapur yang luas dan terang, Syifa sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga. Suasana pagi itu terasa berbeda dari biasanya. Meskipun Zahran sudah pergi untuk bekerja, Syifa masih bisa merasakan ketegangan yang menggelayuti rumah mereka. Hati kecilnya berkata, hari ini mungkin akan ada sesuatu lagi yang menguji kesabarannya.

Sambil menata piring, Syifa mendengar suara langkah berat dari arah ruang tamu. Tanpa menoleh, ia sudah tahu siapa yang datang. Nyai Marwah, ibu mertuanya, dengan langkah yang selalu mengingatkan Syifa pada suara gemeretak batu besar yang digeser. Terasa berat dan penuh tekanan.

“Syifa,” suara Nyai Marwah terdengar dari belakang. “Aku bilang, berapa kali harus kuingatkan, masakanmu selalu kurang bumbu. Tak ada rasa!”

Syifa berhenti sejenak, menarik napas panjang, berusaha menahan rasa perih di hatinya. Dia menatap piring yang baru saja dia atur, menata ulang sendok dan garpu dengan tenang, meskipun hatinya bergejolak.

“Maaf, Bu. Aku akan memperbaikinya lagi,” jawab Syifa dengan lembut, tanpa melawan, meskipun dia tahu masakan yang disiapkannya sudah cukup baik.

Nyai Marwah mendekat, melihat apa yang ada di meja makan dengan tatapan penuh ketidakpuasan. “Lihat! Pasti Zahran yang memakan semuanya. Kamu itu tidak bisa menjaga kualitas makanan, tahu?”

Syifa merasa sakit mendengar perkataan itu, tapi dia tetap menahan diri. Di hadapan ibu mertuanya, selalu ada satu hal yang dia yakini—kesabaran adalah kunci utama untuk menghadapinya. Meskipun dihina, dia tahu bahwa di matanya, menjadi istri yang baik adalah segalanya.

“Zahran suka dengan apa yang aku buat, Bu,” Syifa mencoba berbicara pelan, memberi penjelasan meskipun dia tahu itu hanya sia-sia. “Aku akan lebih hati-hati lain kali.”

Namun, Nyai Marwah tetap tidak puas. “Hati-hati? Kalau kamu tahu bagaimana cara melayani suami dengan benar, pasti dia tidak akan lapar mencari makanan di luar!”

Syifa menunduk, tidak menjawab lagi. Setiap kata yang keluar dari mulut ibu mertuanya seperti pisau yang menorehkan luka di dalam hatinya. Sungguh, dia tak pernah merasa cukup untuk memenuhi harapan wanita itu. Dia bukan orang yang kaya, bukan orang yang serba sempurna seperti Fatimah, sepupu Zahran yang selalu jadi pembanding di mata Nyai Marwah.

Pikiran Syifa berkelana sejenak, mengenang Fatimah yang selalu terlihat sempurna di mata ibunya Zahran. Wanita itu, dengan segala kelebihan yang dimilikinya, selalu menjadi ukuran yang tak pernah bisa dijangkau oleh Syifa. Bukan hanya soal penampilan, tetapi juga tentang bagaimana segala sesuatu yang dilakukan oleh Fatimah selalu terlihat sempurna.

“Kalau kamu ingin dilihat lebih baik, mungkin kamu perlu sedikit belajar dari Fatimah,” kata Nyai Marwah tiba-tiba, memecah lamunan Syifa.

Satu lagi sindiran yang mengiris hati. Syifa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang sudah ingin tumpah. Fatimah lagi, pikirnya. Fatimah yang selalu dijadikan patokan. Fatimah yang tak pernah tampak salah di mata ibu mertuanya. Fatimah yang selalu menang.

“Fatimah memang lebih pintar dalam segala hal, Bu,” jawab Syifa, berusaha menghindari pertengkaran lebih jauh. “Aku memang tidak seperti dia, tapi aku berusaha menjadi yang terbaik untuk Zahran.”

Namun, Nyai Marwah hanya mencibir. “Zahran? Jangan berharap dia akan selamanya mendukungmu. Kalau kamu terus begini, dia akan bosan. Aku tahu dia lebih layak mendapatkan yang lebih baik.”

Suasana semakin tegang. Nyai Marwah tidak peduli dengan perasaan Syifa. Dia sudah terbiasa memperlakukan menantunya dengan dingin dan kasar. Namun, Syifa masih bisa bertahan, meski hatinya terasa hancur.

Syifa menatap ibu mertuanya dengan pandangan kosong, namun hatinya berbicara dengan sangat keras. “Aku akan tetap berusaha menjadi yang terbaik untuk Zahran, Bu. Bahkan jika itu sulit.”

Nyai Marwah menatapnya, lalu dengan geram berkata, “Kamu boleh berusaha sebaik apa pun, aku tetap tidak akan terkesan. Kamu tak akan pernah bisa menandingi Fatimah, dan itu kenyataan.”

Syifa merasa tubuhnya lemas mendengar kalimat itu. Sungguh, dia ingin menangis, ingin melepaskan segala kepedihan yang membebani dadanya. Tapi dia tahu, tangisan tidak akan menyelesaikan apa pun. Dia memilih untuk tetap diam, karena setiap kata yang terucap hanya akan menambah luka di dalam hati.

Tak lama kemudian, Zahran pulang dari kantor. Dia melihat suasana yang tegang di rumah. Syifa duduk di meja makan, matanya sedikit berkaca-kaca, sementara Nyai Marwah berdiri dengan tatapan tajam. Zahran tahu ada sesuatu yang tidak beres, tetapi dia terlalu terlambat untuk mencegahnya.

“Ibu, kenapa begitu keras pada Syifa?” Zahran akhirnya bertanya dengan suara yang penuh keresahan.

Nyai Marwah mendengus, lalu menjawab dengan ketus, “Syifa ini tidak tahu diri. Semua yang dia lakukan selalu salah. Tak pernah cukup. Tidak pernah bisa seperti Fatimah.”

Syifa mendongak, menatap Zahran dengan mata penuh penyesalan. “Aku tidak bisa memenuhi harapan ibu, Zahran. Aku tahu aku tidak sempurna,” katanya, suaranya gemetar.

Zahran menatapnya dengan penuh keprihatinan. “Syifa, kamu sudah cukup sempurna di mataku. Jangan dengarkan perkataan ibu, oke?” Zahran memegang tangannya, mencoba memberi dukungan meskipun kata-kata itu tidak bisa sepenuhnya menyembuhkan luka di hatinya.

Syifa memaksakan senyum. “Terima kasih, Zahran. Aku hanya ingin menjadi yang terbaik untukmu.”

Namun, di dalam hatinya, dia tahu. Walau Zahran memberikan dukungan, dia tak bisa mengubah kenyataan bahwa hidupnya akan selalu dibandingkan dengan Fatimah. Nyai Marwah tidak akan pernah menerima dirinya. Dan itu adalah kenyataan pahit yang harus dihadapinya setiap hari.

Meskipun begitu, Syifa tetap berusaha untuk sabar. Dia tahu bahwa Allah lebih mengetahui segala yang terbaik untuknya. Tugasnya hanyalah berusaha dan berdoa, meskipun hatinya setiap hari semakin terluka.

 

Perbandingan yang Menyakitkan

Pagi itu, Syifa bangun lebih awal dari biasanya. Langit masih gelap, hanya sedikit cahaya yang menembus jendela kamar tidur. Dia menarik selimut, berusaha mengusir dingin yang menusuk kulit. Meskipun Zahran sudah berangkat kerja, perasaan tertekan itu masih membekas di dalam dirinya. Pagi ini, Syifa merasa cemas. Ada sesuatu yang tak beres. Entah kenapa, hatinya tak tenang, seolah ada sesuatu yang akan terjadi.

Dia memutuskan untuk membersihkan rumah, menata segala sesuatu dengan teliti, agar hari ini setidaknya dia bisa merasa sedikit lebih baik. Namun, suara langkah berat di luar kamar membuatnya berhenti.

“Syifa!” suara ibu mertuanya memecah keheningan pagi. “Cepat ke ruang tamu. Aku perlu bicara.”

Syifa mendengus pelan, menghela napas panjang. Dia tahu, pertemuan ini tidak akan berjalan mulus. Langkahnya terhenti sejenak, menenangkan diri, kemudian dia keluar menuju ruang tamu. Di sana, Nyai Marwah sudah duduk di sofa dengan ekspresi yang tak bisa diartikan.

“Ada apa, Bu?” tanya Syifa pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

Nyai Marwah menatapnya dengan tajam, seakan mencoba menilai setiap gerak-geriknya. “Aku ingin bicara tentang kebiasaanmu yang selama ini membuat rumah ini tidak nyaman.”

Syifa menunduk, meski tak ingin, dia tahu ini akan menyakitkan. “Apa yang salah, Bu?”

“Semua yang kamu lakukan tidak pernah cukup,” jawab Nyai Marwah, menghembuskan napas seperti melepaskan amarah yang sudah terpendam. “Aku sudah lihat betapa kerasnya kamu berusaha. Tapi kamu harus tahu, aku lebih memilih Fatimah sebagai menantu. Dia lebih tahu bagaimana cara menjadi wanita yang benar.”

Syifa menahan napas. Sakit. Lagi-lagi perbandingan dengan Fatimah. Padahal, dia sudah melakukan yang terbaik. Setiap kali ibu mertuanya memujinya, dia merasa seolah pujian itu hanyalah alasan untuk menyelamatkan wajah, bukan tulus dari hati.

“Fatimah selalu tahu cara berbicara dengan lembut,” lanjut Nyai Marwah, seolah tak peduli dengan perasaan Syifa. “Dia tahu cara menjaga penampilan dan memberi kesan yang baik. Kamu? Tidak ada yang istimewa dari dirimu.”

Syifa menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah mulai menggenang. Dia tidak bisa membalas kata-kata ibu mertuanya. Apa yang bisa dia katakan? Dia tidak tahu lagi bagaimana cara membuktikan dirinya. Semua yang dia lakukan seolah sia-sia.

“Fatimah tidak pernah gagal dalam hal apa pun. Kamu harus belajar darinya,” ujar Nyai Marwah dengan tegas, tanpa rasa kasihan. “Dia tahu bagaimana cara membuat orang lain terkesan. Tidak seperti kamu yang selalu gagal.”

Kalimat itu seperti jarum yang menusuk jantung Syifa. Setiap kata yang keluar dari mulut ibu mertuanya adalah luka baru yang tertoreh dalam hidupnya. Tapi, meskipun hatinya hancur, dia tetap memaksa dirinya untuk tetap tenang. Syifa tahu, jika dia mulai menangis, semua ini hanya akan dianggap sebagai kelemahan. Dan ibu mertuanya tidak akan pernah menganggapnya layak jika dia menangis.

“Aku akan coba lebih baik lagi, Bu,” jawab Syifa dengan suara tercekat. “Aku akan berusaha menjadi seperti yang ibu harapkan.”

Nyai Marwah tidak berkata apa-apa lagi. Dengan gerakan cepat, dia berdiri dan melangkah keluar dari ruang tamu. “Lakukan saja,” katanya acuh tak acuh, seolah tak peduli apakah kata-katanya menyakitkan atau tidak.

Setelah ibu mertuanya pergi, Syifa duduk terdiam di kursi. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia menahan air mata itu sekuat mungkin. Ini bukan pertama kalinya dia merasa begitu rendah. Setiap kali ibunya Zahran berbicara, selalu ada rasa dibandingkan dengan Fatimah yang serba sempurna.

Syifa memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai kacau. Zahran pasti akan datang sebentar lagi. Dia ingin bercerita, tapi takut reaksinya akan sama seperti sebelumnya—terjebak dalam kebingungannya. Syifa tahu, Zahran mencintainya, tetapi ibu mertuanya selalu berada di antara mereka.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Itu pesan dari Zahran.

“Syifa, aku akan pulang lebih awal hari ini. Kita makan siang bersama, ya? Aku kangen.”

Membaca pesan itu, hati Syifa sedikit terangkat. Setidaknya ada satu orang yang mencintainya tanpa syarat. Zahran tidak pernah memperbandingkan dirinya dengan orang lain, meskipun ibunya selalu berusaha untuk menanamkan pikiran itu dalam diri Zahran.

Syifa membalas pesan itu dengan cepat.

“Aku juga kangen, Zahran. Sampai nanti.”

Namun, di balik pesan-pesan manis itu, Syifa tak bisa menutupi perasaan hampa yang menggerogoti dirinya. Apa yang bisa dia lakukan untuk membuat ibunya Zahran melihatnya dengan cara yang sama seperti dia melihat Fatimah? Apakah selama ini, semua yang dia lakukan hanya akan dianggap sebagai usaha yang sia-sia?

Siang itu, Zahran pulang lebih cepat dari yang Syifa harapkan. Senyumannya yang hangat membuat suasana rumah sedikit lebih terang. Syifa merasa ada ketenangan yang datang ketika Zahran duduk di sampingnya. Namun, suasana hati Syifa tetap tak bisa tenang.

Setelah beberapa saat, Zahran menatapnya dengan mata penuh perhatian. “Syifa, kamu kenapa? Aku lihat ada yang mengganggumu.”

Syifa menatap suaminya, mencoba mengontrol suaranya yang mulai bergetar. “Ibu… tadi bicara lagi, Zahran. Tentang Fatimah. Aku tahu aku tak akan pernah bisa seperti dia.”

Zahran terdiam sejenak, menatap Syifa dengan wajah serius. “Syifa, ibu memang seperti itu. Dia selalu membandingkan kamu dengan orang lain. Tapi kamu harus tahu, bagi aku, kamu sudah lebih dari cukup. Kamu tidak perlu menjadi seperti siapa pun selain dirimu sendiri.”

Mendengar kata-kata Zahran, hati Syifa sedikit terangkat. Tetapi, tetap saja ada rasa yang tak bisa dia ungkapkan. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya. Ketika Zahran memegang tangannya, Syifa merasa sedikit lebih baik, tetapi tetap ada luka yang belum sembuh.

“Tapi, Zahran, aku hanya ingin ibumu melihat aku seperti dia melihat Fatimah,” Syifa menghela napas berat. “Aku ingin bisa membuktikan bahwa aku layak di sini.”

Zahran menarik Syifa ke pelukannya, mencoba memberi kenyamanan. “Syifa, kamu sudah lebih dari cukup. Aku tidak peduli dengan apa yang ibu katakan. Aku hanya peduli padamu. Dan aku ingin kamu tahu, kamu tak perlu berubah. Aku mencintaimu apa adanya.”

Syifa menunduk, mengelus dada Zahran. Di balik pelukan itu, dia merasa ada kehangatan yang membuatnya merasa sedikit lebih baik. Tetapi hatinya masih terluka. Perasaan bahwa dia selalu dibandingkan dengan Fatimah begitu dalam, begitu sulit dihapus.

Dia tahu, hari-hari yang akan datang tidak akan mudah. Tapi, di saat seperti ini, Syifa hanya bisa berharap pada satu hal—kesabaran yang akan membawanya keluar dari perasaan sakit ini.

 

Dalam Bayang-Bayang Ibu

Kehidupan di rumah masih terasa sama. Setiap pagi, Syifa menjalani rutinitas yang sama, membersihkan rumah, memasak, dan berusaha sebaik mungkin untuk tidak membuat ibu mertuanya merasa terganggu. Namun, meskipun dia berusaha keras, tetap saja ada perasaan terabaikan yang mengendap di dalam hatinya. Di balik senyum Zahran yang selalu membuatnya merasa tenang, ada kenyataan yang tak bisa ia hindari—ibu Zahran selalu menjadi bayang-bayang yang mengekang kehidupannya.

Pada suatu sore, ketika Zahran pulang dari kantor, Syifa sedang duduk di ruang tamu, memandangi foto pernikahan mereka yang tersimpan dalam bingkai. Syifa senyum kecil, mengenang momen itu. Momen yang dulu begitu membahagiakan. Namun, kini, semuanya terasa berbeda. Senyum itu seperti terselubung kabut keraguan yang menyesakkan.

Zahran memasuki ruang tamu dan mendekat, duduk di sampingnya. “Syifa, kamu kenapa? Wajahmu kelihatan lelah.”

Syifa tersenyum lemah. “Aku cuma capek, Zahran. Tidak ada yang lebih dari itu.”

Zahran menatapnya tajam, seakan bisa membaca segala perasaan yang tersembunyi di dalam hati Syifa. “Jangan bohong sama aku. Kamu pasti sedang berpikir tentang ibu lagi, kan?”

Syifa terdiam, memandangi tangan Zahran yang meraih tangan kirinya, menggenggamnya lembut. “Aku… aku tidak bisa lepas dari perbandingan itu, Zahran. Ibu selalu membandingkan aku dengan Fatimah. Apa pun yang aku lakukan selalu dianggap kurang.”

Zahran menundukkan kepala, menyesali kata-kata ibunya yang sering kali menyakitkan hati Syifa. “Syifa, kamu tidak perlu peduli dengan apa yang ibu katakan. Aku tahu siapa kamu. Kamu lebih dari cukup. Kamu lebih baik daripada Fatimah dalam banyak hal.”

Namun, kata-kata Zahran tak mampu menenangkan Syifa sepenuhnya. Meski ia sangat mencintai suaminya, bayang-bayang perbandingan itu terus menghantui setiap langkahnya. Rasa cemas dan takut bahwa suatu saat Zahran akan terpengaruh oleh kata-kata ibunya, membuat hati Syifa semakin rapuh.

Ketika malam tiba, Syifa memutuskan untuk keluar berjalan-jalan sejenak. Zahran sudah lebih dulu tidur, dan dia merasa tak ingin membangunkan suaminya. Dengan langkah berat, ia berjalan menyusuri jalanan yang sepi, merenung. Dalam benaknya, ia terus bergulat dengan perasaan yang tak kunjung reda. Semua yang ia lakukan tak pernah cukup. Ibu Zahran selalu menemukan cara untuk membandingkan dirinya dengan Fatimah. Padahal, Fatimah adalah wanita yang begitu sempurna, begitu indah di mata orang lain, termasuk ibu Zahran.

Sementara Syifa, meski sudah berusaha menjadi istri yang baik, tetap saja merasa tidak dihargai. Bahkan, ketika dia merawat rumah dengan sebaik mungkin, ibunya Zahran masih saja berkata bahwa semuanya tak cukup.

Perasaan itu semakin menyesakkan ketika dia tiba di taman kecil di ujung jalan. Duduk di bangku yang ada di sana, Syifa merenung dalam. “Kenapa, ya?” bisiknya pelan, suaranya seperti terbungkus angin malam. “Kenapa aku selalu merasa seperti ini? Apa yang salah dengan aku?”

Bulan yang tergantung di atas sana seolah menjadi saksi dari kegalauan yang melanda hatinya. Begitu banyak perasaan yang ingin dia lepaskan, namun dia tak tahu bagaimana caranya. Apa yang bisa dia lakukan agar semua ini berhenti? Agar ibu Zahran berhenti membandingkan dirinya dengan Fatimah, agar dia bisa merasa diterima sebagaimana adanya.

“Syifa…” sebuah suara menyentuh telinga Syifa. Dia menoleh, dan melihat Zahran berdiri di depan bangku taman itu. Wajahnya penuh kekhawatiran. “Kamu sudah lama di sini. Aku cari-cari kamu ke sana kemari.”

Syifa tersenyum canggung. “Aku cuma butuh waktu sebentar, Zahran. Aku hanya… bingung.”

Zahran duduk di sampingnya, meraih tangan Syifa dan menggenggamnya erat. “Aku tahu kamu sedang berjuang dengan perasaanmu. Tapi kamu harus tahu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu hanya karena kata-kata ibu. Aku mencintaimu, dan kamu yang terbaik untukku. Tidak ada yang bisa merubah itu.”

Syifa menunduk, menahan air mata yang semakin sulit ditahan. “Tapi, Zahran, aku ingin menjadi seperti yang ibu inginkan. Aku ingin dia melihatku sama seperti dia melihat Fatimah.”

Zahran menarik wajah Syifa agar menatapnya. “Syifa, kamu tidak perlu menjadi orang lain untuk mendapatkan penerimaan dari ibu. Kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri, dan itu sudah cukup untuk aku.”

Namun, meskipun kata-kata Zahran begitu manis, Syifa tetap merasa ada luka yang tak kunjung sembuh. Zahran mengelus rambut Syifa dengan lembut, mencoba menenangkan perasaannya. “Kita akan hadapi ini bersama, Syifa. Aku ada untukmu. Jangan biarkan kata-kata orang lain mengubah siapa dirimu.”

Di dalam hati Syifa, ada rasa lega yang perlahan muncul, tetapi perasaan sakit itu tetap tinggal. Ia tahu, masalah ini tidak akan selesai dalam semalam. Begitu banyak yang harus ia perjuangkan, dan tidak hanya Zahran, tapi dirinya sendiri yang harus belajar untuk lebih tegar, lebih kuat dalam menghadapi semua perbandingan yang datang.

Dengan pelukan Zahran yang menghangatkan tubuhnya, Syifa merasa sedikit lebih tenang. Tetapi, ia tahu bahwa hari-hari berikutnya akan penuh dengan cobaan. Dia harus belajar menerima dirinya sendiri, dan berharap bahwa cinta Zahran akan cukup untuk membuatnya merasa cukup, meskipun dunia di sekitarnya terus memberikan perbandingan yang menyakitkan.

Malam itu, saat mereka kembali ke rumah, Syifa merasakan sedikit ketenangan. Meskipun perasaan hatinya masih belum sepenuhnya damai, ada keyakinan bahwa dia tidak sendirian. Zahran ada di sisinya. Begitu banyak cobaan yang datang, tetapi bersama Zahran, Syifa merasa sedikit lebih kuat.

Namun, di dalam rumah yang sama, ada ibu Zahran yang masih saja belum melihat siapa Syifa sebenarnya. Bayang-bayang perbandingan itu masih menghantui, dan Syifa tahu bahwa perjalanannya untuk diterima dengan segala kekurangan dan kelebihannya baru saja dimulai.

 

Menerima dengan Ikhlas

Hari-hari terus berlalu, dan meski Zahran selalu berusaha memberikan dukungan dan cinta untuk Syifa, ada hal yang sulit untuk diatasi. Setiap pagi, Syifa bangun dengan perasaan yang sama—terbebani dengan harapan-harapan yang tidak pernah terwujud, dengan perasaan selalu dibandingkan, seolah hidupnya tidak pernah cukup untuk memenuhi standar ibu mertuanya.

Di satu sisi, Zahran tetap setia ada, menghibur, dan mencoba memberikan ketenangan pada Syifa. Namun, di sisi lain, ibu Zahran semakin terlihat acuh dan terus mengalihkan perhatian pada keperluan Fatimah—yang sudah lama menikah dan memiliki anak-anak yang lucu dan pintar. Syifa mulai merasakan ketegangan itu, bukan hanya dalam rumah, tetapi juga dalam hatinya.

Pada suatu hari, saat Syifa sedang memasak di dapur, ibu Zahran datang dan duduk di meja makan dengan wajah yang tidak bersahabat. “Syifa,” suara ibu Zahran begitu datar. “Kenapa kamu tidak pernah bisa seperti Fatimah? Dia lebih pandai mengurus rumah dan anak-anak, dia lebih bisa berbicara dengan orang-orang, lebih bisa menjaga sikapnya.”

Syifa menelan ludah, berusaha menahan amarah yang mulai muncul. Zahran sedang tidak di rumah, dan dia harus menghadapinya sendirian. “Ibu,” kata Syifa dengan suara pelan namun tegas, “saya bukan Fatimah. Saya adalah saya, dengan kekurangan dan kelebihan saya. Saya juga berusaha sebaik mungkin untuk menjadi istri yang baik untuk Zahran.”

Ibu Zahran mendengus, tidak percaya dengan jawaban Syifa. “Tapi kamu tidak pernah cukup. Apa yang kamu lakukan tidak pernah memuaskan aku.”

Syifa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Ibu, saya tahu saya tidak sempurna. Tapi saya berjanji akan terus berusaha. Saya mencintai Zahran dan saya ingin menjadi istri yang baik, meskipun itu tidak mudah.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Ibu Zahran menatapnya dengan tatapan kosong. Tidak ada kata-kata selanjutnya. Syifa merasa seolah dirinya kalah, namun dia tahu bahwa jika dia terus membiarkan perasaan ini menguasai dirinya, hidupnya tidak akan pernah damai.

Ketika Zahran pulang, Syifa sudah duduk di ruang tamu, menunggu suaminya dengan hati yang berat. Zahran mendekat, menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres. “Ada apa, Syifa? Apa ibu sudah bilang sesuatu lagi?”

Syifa mengangguk, menunduk. “Ibu… selalu mengatakan kalau aku tidak pernah cukup. Dia selalu membandingkan aku dengan Fatimah.”

Zahran menghela napas, duduk di samping Syifa dan menggenggam tangannya. “Syifa, aku tahu betapa sulitnya ini buatmu. Tapi kamu harus tahu satu hal: ibu mungkin tidak akan pernah bisa menerima siapa kamu. Tapi aku sudah menerima kamu, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu. Dan itu sudah cukup.”

Syifa menatap suaminya, hatinya sedikit terbuka. “Zahran, aku ingin sekali diterima, tidak hanya oleh kamu, tapi juga oleh ibu. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa menjadi istri yang baik, bahwa aku pantas untukmu.”

Zahran menarik wajah Syifa dengan lembut, memaksanya untuk menatap matanya. “Kamu sudah menjadi istri yang luar biasa, Syifa. Aku bangga punya kamu di sisiku. Ibu mungkin tidak akan pernah mengerti itu, tapi aku tahu kamu sudah melakukan yang terbaik.”

Air mata Syifa mulai jatuh. “Tapi aku merasa… tidak cukup. Aku merasa selalu gagal di mata ibu.”

Zahran memeluk Syifa dengan lembut, menenangkannya. “Jangan merasa begitu, Syifa. Kamu tidak pernah gagal. Kita semua punya perjuangannya masing-masing. Kamu cukup. Cukup untuk aku. Cukup untuk Tuhan. Tidak ada yang lebih penting dari itu.”

Mendengar kata-kata Zahran, hati Syifa mulai merasa lebih ringan. Tidak ada jaminan bahwa ibu Zahran akan pernah melihatnya sebagaimana Zahran melihatnya. Tetapi dia sadar, dia tidak bisa terus menerus mencari penerimaan dari orang lain. Dia hanya perlu menerima dirinya sendiri, dengan segala kelemahan dan kelebihannya.

Pada malam itu, setelah Zahran tidur, Syifa duduk di balkon rumah mereka, merenung. Angin malam berhembus lembut, membawa kedamaian yang selama ini dia cari. Syifa memejamkan mata, merasakan ketenangan yang akhirnya bisa diraihnya. Dia tidak lagi mencari penerimaan dari ibu mertuanya, karena dia sudah tahu satu hal yang paling penting—penerimaan yang sejati datang dari dirinya sendiri.

Hari-hari berikutnya, meskipun ibu Zahran masih melakukan perbandingan itu, Syifa tidak lagi merasa tersakiti. Dia mulai menerima bahwa tidak semua orang akan menerima dia dengan cara yang sama seperti Zahran. Tetapi dia juga tahu, dia tidak perlu menjadi orang lain untuk mendapatkan cinta dan penghargaan.

Syifa sudah cukup. Dan itu adalah hal yang paling berharga yang bisa dia temukan—kenyataan bahwa dia adalah dirinya sendiri, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, dan itu sudah lebih dari cukup. Di hadapan Zahran, dia merasa dicintai, dihargai, dan itu lebih dari yang bisa dia harapkan.

Begitulah, Syifa belajar bahwa hidup tidak selalu tentang membuktikan diri kepada orang lain. Terkadang, yang paling penting adalah menerima diri sendiri, dan membiarkan cinta yang sejati mengalir dengan tulus. Karena pada akhirnya, itulah yang akan memberikan kedamaian yang sesungguhnya.

 

Dan begitulah, perjalanan hati seorang menantu yang merasa selalu gagal akhirnya menemukan kedamaian. Terkadang, penerimaan yang kita cari bukan berasal dari orang lain, tapi dari diri kita sendiri.

Di tengah segala perbandingan dan penilaian, dia belajar untuk mencintai dirinya apa adanya. Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati datang bukan dari memenuhi harapan orang lain, tapi dari menerima diri sendiri dengan ikhlas. Jadi, siapa pun kamu, ingatlah, kamu cukup apa adanya.

Leave a Reply