Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Masa remaja yang penuh dengan warna-warni kehidupan, termasuk kisah cinta yang tak terduga.
Di cerita ini, kita akan bisa menyelami sebuah perjalanan cinta Glenda, seorang gadis SMA yang aktif dan gaul, saat ia bisa menghadapi ujian bersama kekasihnya, Evan. Mulai dari pertemuan manis hingga sebuah tantangan yang sangat besar yang bisa menguji hubungan mereka, cerpen ini menunjukkan bagaimana cinta yang tulus bisa bertahan meski penuh berbagai rintangan. Baca lebih lanjut dan temukan makna sebuah perjuangan dan kesetiaan di balik hubungan remaja ini!
Kisah Glenda yang Gaul dan Penuh Warna
Rahasia Hati Glenda
Matahari sudah mulai condong ke barat ketika Glenda duduk di bangku taman sekolah yang sudah dipenuhi oleh daun-daun kering. Sore itu angin bertiup lembut, membawa suara tawa teman-temannya yang sedang bercanda di seberang lapangan. Namun, pikiran Glenda melayang jauh, terpaku pada satu sosok yang tidak jauh dari sana Evan.
Evan adalah cowok yang selalu bisa membuat Glenda tertarik. Bukan karena penampilan fisik semata, meskipun ia memang punya senyum yang bisa bikin siapa pun jadi terpesona, tapi karena caranya berbicara, cara ia memperlakukan orang lain dengan penuh perhatian dan kesederhanaan. Dia bukan tipe cowok yang suka pamer atau mencari perhatian. Justru itulah yang membuat Glenda semakin terpesona.
Dari kejauhan, Glenda melihat Evan sedang berdiskusi serius dengan beberapa teman sekelasnya. Mereka sedang mempersiapkan proyek pentas seni sekolah yang sudah lama dinantikan. Glenda sendiri terlibat dalam tim dekorasi acara, tapi setiap kali bekerja, pikirannya selalu tertuju pada satu hal: Evan.
“Aku harus ngelakuin sesuatu,” gumam Glenda dalam hati sambil menggigiti sedotan dari minumannya. Perasaan yang ia simpan selama berbulan-bulan sudah terlalu berat untuk ditahan. Setiap kali melihat Evan, perutnya selalu bergejolak aneh, seolah ada ribuan kupu-kupu yang terbang di dalamnya. Masalahnya, Glenda bukan tipe cewek yang bisa dengan mudah menyatakan perasaannya. Sebagai gadis yang aktif, gaul, dan penuh percaya diri, ia bisa dengan mudah ngobrol dengan siapa saja, kecuali dengan Evan.
Sore itu, saat matahari hampir tenggelam, sahabat-sahabat Glenda datang dan langsung duduk di sampingnya. Ada Alia, Sarah, dan Nadine tiga orang yang selalu ada untuk Glenda dalam setiap suka dan duka.
“Kamu ngelamun lagi ya, Glenda?” tanya Sarah sambil menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Glenda. “Kamu tuh ya, kalau udah kepikiran si Evan, pasti suka lupa dunia!”
Alia tertawa mendengar ucapan Sarah, sementara Nadine mengangguk setuju. Glenda hanya bisa tersenyum kecil, merasa ketahuan.
“Iya nih,” sahut Glenda akhirnya, “aku kayak nggak bisa berhenti mikirin dia. Padahal kita udah sering ngobrol, tapi tiap mau ngomong lebih jauh, rasanya kayak ada yang nahan. Gengsi juga sih kalau cewek yang mulai duluan.”
Nadine yang biasanya lebih kalem tiba-tiba ikut bicara. “Glenda, zaman sekarang nggak ada yang namanya gengsi kalau soal perasaan. Kamu kan nggak bakal tahu dia suka kamu balik atau enggak kalau kamu nggak pernah ungkapin perasaanmu. Lagipula, kamu cewek yang berani, nggak ada salahnya kalau kamu mulai duluan.”
Kata-kata Nadine membuat Glenda terdiam. Memang benar, selama ini ia selalu terkurung oleh rasa takut dan gengsi. Namun, dalam hatinya, ada dorongan kuat untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini ia simpan. Tapi bagaimana caranya? Glenda bukan tipe cewek yang bisa sekadar mengirim pesan atau menyatakan cinta secara langsung. Itu terlalu biasa, terlalu monoton untuk Glenda yang selalu berpikir kreatif.
“Kamu harus cari cara yang keren, Glenda,” ujar Alia tiba-tiba, seakan bisa membaca pikiran Glenda. “Kamu kan anak seni, bikin sesuatu yang bisa bikin Evan terkesan. Siapa tahu lewat karya seni, kamu bisa ngungkapin perasaanmu tanpa harus ngomong langsung.”
Glenda terdiam sesaat. Ide itu sepertinya masuk akal, dan lebih penting lagi, sangat sesuai dengan kepribadiannya. Sebagai anggota tim dekorasi di pentas seni sekolah, ia punya kesempatan untuk membuat sesuatu yang spesial. Mungkin ini adalah jalan yang bisa membantunya menyatakan perasaan.
“Kayaknya ide kamu keren juga, Alia,” kata Glenda sambil tersenyum. “Aku bisa bikin sesuatu di pentas seni nanti. Tapi apa ya? Harus sesuatu yang meaningful dan bisa ngungkapin semua perasaanku.”
Malam itu, Glenda pulang ke rumah dengan kepala penuh ide. Di kamar tidurnya yang dipenuhi poster-poster seni dan foto-foto hasil jepretannya, Glenda mulai mencari inspirasi. Ia memandangi kanvas besar di sudut kamarnya, yang biasanya ia gunakan untuk melukis. Mungkin, ini saatnya untuk mengekspresikan semua perasaan lewat seni. Ia bisa menciptakan karya yang indah dan penuh makna, dan siapa tahu, Evan bisa merasakan apa yang ia sampaikan melalui lukisannya.
Dengan semangat yang menggebu, Glenda menghabiskan waktu beberapa hari berikutnya merancang sebuah konsep untuk karyanya. Ia ingin membuat grafiti penuh warna, sesuatu yang mencerminkan betapa rumit dan indahnya perasaan cinta. Setiap garis, setiap warna akan mewakili bagian dari perasaannya yang selama ini ia pendam. Dan di tengah karya itu, ia akan menulis sesuatu yang sederhana, namun dalam: “Cinta itu seni, dan kamu adalah inspirasiku.”
Malam menjelang pentas seni, Glenda bekerja keras menyelesaikan karyanya. Setiap sapuan kuas yang ia lakukan terasa seperti langkah mendekat ke Evan. Ada rasa gugup dan takut, tapi lebih dari itu, ada rasa lega bahwa akhirnya ia menemukan cara untuk menyatakan perasaannya. Jika Evan tidak merespon seperti yang ia harapkan, setidaknya Glenda sudah berani untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Itu sudah cukup untuk membuatnya merasa kuat.
Keesokan harinya, di sekolah, suasana semakin meriah. Pentas seni sudah di depan mata, dan Glenda merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Dengan penuh antusias, ia membawa karyanya ke lokasi pameran, berharap bahwa karya itu akan menjadi jembatan untuk mengungkapkan perasaannya. Meskipun masih ada rasa takut ditolak, Glenda tahu bahwa ia telah berjuang dengan segenap hati. Dan untuk itu, ia merasa bangga.
Di tengah persiapan dan hiruk-pikuk acara, Glenda tersenyum sendiri. Hari ini, semuanya akan berubah.
Sinyal dari Evan
Suasana pentas seni di sekolah begitu meriah. Sepanjang lorong, stand-stand yang dipenuhi karya seni mulai dibuka. Poster-poster dan dekorasi warna-warni menghiasi setiap sudut sekolah, memberikan nuansa ceria yang memenuhi hati para siswa yang hadir. Glenda berdiri di depan karyanya, sebuah grafiti penuh warna dengan tulisan “Cinta itu seni, dan kamu adalah inspirasiku”. Jantungnya berdegup kencang, seolah-olah menunggu detik-detik di mana Evan akan melewati karyanya.
Hari itu, Glenda merasa emosinya bercampur aduk. Ada rasa senang karena karyanya berhasil diwujudkan dengan sempurna, namun juga ada perasaan takut dan gugup. Bagaimana jika Evan tidak menyadari bahwa karya itu ditujukan untuknya? Atau, lebih buruk lagi, bagaimana jika Evan tahu tapi tidak merespon? Pikiran-pikiran itu terus berputar di kepala Glenda, membuatnya sesekali menggigit bibir sambil memandang karyanya.
Teman-teman Glenda datang menyemangatinya. Alia, Sarah, dan Nadine tampak bangga dengan usaha yang telah Glenda lakukan. Mereka berkerumun di sekitar Glenda, memberikan dukungan moral yang sangat dibutuhkan.
“Glenda, aku nggak sabar buat lihat reaksi Evan!” seru Alia dengan mata berbinar. “Aku yakin dia bakal kagum banget!”
Glenda tersenyum kecil, meski hatinya masih bergemuruh. “Aku harap sih gitu, Alia. Tapi ya, kita lihat aja nanti.”
Sementara mereka berbincang, Glenda tidak bisa berhenti melirik ke arah Evan. Evan yang saat itu sedang berbincang dengan teman-temannya di dekat panggung tampak begitu santai, seolah tidak menyadari kegelisahan yang sedang dirasakan Glenda. Namun, di dalam diri Glenda, setiap detik terasa seperti satu jam.
Beberapa waktu berlalu, dan pameran seni dimulai. Para siswa dan guru mulai berjalan-jalan di sepanjang stand, mengagumi karya-karya yang dipamerkan. Glenda memperhatikan satu per satu orang yang berhenti di depan karyanya, memberikan komentar atau sekadar mengambil foto. Namun, dari sekian banyak orang, hanya ada satu orang yang Glenda harapkan untuk berhenti di depan karyanya.
Kemudian, akhirnya saat yang dinanti tiba.
Evan berjalan mendekat. Glenda menahan napas saat melihatnya melangkah perlahan menuju karya seninya. Dengan jantung yang berdegup kencang, ia memperhatikan Evan dari jauh. Apakah Evan akan mengerti pesan yang ia sampaikan? Apakah Evan akan merasakan apa yang ia rasakan?
Evan berdiri di depan karya Glenda, tangannya bersilang di dada, dan tatapannya tertuju pada grafiti penuh warna itu. Ia tampak serius, memperhatikan setiap detail. Glenda, yang berdiri tak jauh dari situ, mencoba mengalihkan perhatian, tapi matanya terus tertuju pada Evan.
“Dia lagi baca itu,” bisik Alia sambil menggenggam lengan Glenda, membuat Glenda semakin gugup.
Evan mengerutkan keningnya sejenak, lalu tersenyum tipis. Ia membaca tulisan “Cinta itu seni, dan kamu adalah inspirasiku” dengan seksama. Glenda hampir tidak bisa bernapas, menunggu reaksi selanjutnya. Kemudian, yang membuat Glenda benar-benar kaget, Evan melirik ke arah tempat Glenda berdiri. Tatapan mereka bertemu.
Glenda cepat-cepat berpura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal hatinya berdegup semakin kencang. “Ya Tuhan, dia ngelihat ke sini,” batinnya. Evan melangkah mendekat, sementara Glenda semakin merasa seluruh tubuhnya menegang.
“Ini karya kamu ya, Glenda?” Evan bertanya dengan nada yang tenang.
Glenda menoleh perlahan, mencoba terlihat santai meskipun hatinya kacau balau. “Eh, iya… iya, ini karyaku,” jawabnya sambil tersenyum canggung.
Evan kembali menatap grafiti itu, lalu berkata, “Aku suka. Keren banget. Penuh makna.”
Glenda hampir tidak percaya mendengar kata-kata itu. Senyumnya melebar tanpa bisa ia tahan. “Seriusan? Aku nggak nyangka kamu bakal suka.”
Evan mengangguk, masih memandangi grafiti itu. “Iya. Kayaknya ada pesan yang dalam di balik semua warna ini.” Ia melirik ke Glenda, seolah menanti konfirmasi lebih lanjut.
Glenda merasakan desakan di hatinya untuk jujur. Ini momen yang tepat, pikirnya. Namun, di saat yang sama, rasa takut masih menghantui. Apakah ia berani mengungkapkan semuanya sekarang?
“Aku… sebenarnya mau bilang sesuatu, Evan,” kata Glenda akhirnya, memberanikan diri.
Evan tersenyum kecil, lalu menunggu dengan penuh perhatian. “Apa itu?”
Glenda menarik napas dalam-dalam. “Grafiti ini… ya, ini nggak cuma sekadar karya seni. Ini juga… tentang perasaan. Perasaan yang aku pendam, tapi nggak pernah berani aku ungkapin.”
Evan terdiam sejenak, lalu menatap Glenda dengan tatapan yang lebih serius. “Perasaan? Kamu maksud… perasaan kamu ke seseorang?”
Glenda mengangguk pelan, jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. “Iya, Evan. Aku… aku suka sama kamu.”
Kalimat itu akhirnya meluncur dari bibirnya, terasa seperti beban besar yang terangkat dari dadanya. Glenda menunduk, menunggu reaksi Evan. Suasana di sekeliling mereka terasa hening, seolah hanya ada mereka berdua di dunia ini.
Evan tidak langsung menjawab. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit dibaca, campuran antara kaget dan terkejut. Glenda merasa waktu berjalan begitu lambat, setiap detik seperti menambah berat di hatinya.
Kemudian, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Evan tersenyum. “Glenda… aku nggak nyangka kamu akan bilang ini. Aku seneng kamu jujur. Tapi aku juga harus jujur sama kamu…”
Hati Glenda mencelos mendengar kata-kata itu. Ada perasaan lega karena Evan tidak menolak langsung, tapi juga ketakutan yang semakin besar. Apa yang akan dia katakan?
“Aku juga suka sama kamu, Glenda,” kata Evan akhirnya, membuat Glenda terpaku.
Kalimat itu menggema di benak Glenda. Ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Evan suka padanya? Rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
“Serius, Van?” Glenda hampir berbisik, matanya membulat.
Evan mengangguk pelan. “Aku nggak pernah nyangka kamu bakal bisa ngungkapin sebuah perasaan duluan. Tapi aku juga ngerasa hal yang sama. Selama ini aku juga suka sama kamu, cuma aku nggak pernah tau gimana caranya ngomong.”
Perasaan lega, bahagia, dan keharuan menyeruak di hati Glenda. Semua ketakutan dan keraguan yang ia rasakan sebelumnya seolah menguap begitu saja. Ternyata perjuangannya untuk berani mengungkapkan cinta berbuah manis.
Mereka berdua berdiri di sana, tersenyum satu sama lain, tanpa ada kata-kata yang perlu diucapkan lagi. Glenda merasa seolah seluruh beban di hatinya telah terangkat. Ia senang karena akhirnya bisa mengungkapkan perasaannya, dan lebih dari itu, Evan merespon dengan hal yang sama.
Hari itu, di tengah hiruk-pikuk pentas seni, Glenda merasa dunia lebih cerah dari sebelumnya. Tidak ada lagi keraguan atau ketakutan. Hanya ada kebahagiaan yang memenuhi hatinya, karena kini ia tahu bahwa cinta yang ia pendam selama ini ternyata berbalas.
Perjuangan Glenda untuk berani mengungkapkan perasaannya akhirnya membuahkan hasil, dan di tengah keramaian pentas seni, ia dan Evan memulai babak baru dalam hubungan mereka.
Rasa yang Tumbuh dalam Diam
Hari-hari setelah pentas seni menjadi lebih berwarna bagi Glenda. Setiap kali ia bertemu dengan Evan di sekolah, jantungnya berdetak lebih cepat. Sekarang, hubungan mereka sudah berubah. Bukan lagi sekadar teman biasa, tapi ada perasaan yang lebih dalam yang mulai terjalin. Namun, ada sesuatu yang membuat Glenda merasa ragu. Meski Evan sudah menyatakan perasaannya, mereka belum benar-benar berbicara lebih lanjut tentang status hubungan mereka.
Setiap kali Glenda melewati Evan di koridor sekolah, senyum manisnya selalu menyapa Glenda. Mereka sering bertukar pandang, dan setiap pandangan itu membuat Glenda merasa hangat di dalam hatinya. Namun, meski perasaan saling suka sudah jelas, keduanya belum pernah benar-benar membicarakan langkah selanjutnya. Apakah mereka hanya akan tetap begini berteman tapi saling menyimpan perasaan—atau ada sesuatu yang lebih?
Di sisi lain, Glenda merasa Evan belum benar-benar membuka diri sepenuhnya. Meski mereka sering bercanda dan menghabiskan waktu bersama, ada sisi dari Evan yang tampak tertutup. Terkadang, di saat-saat tertentu, Glenda merasakan bahwa Evan menyimpan sesuatu yang sulit diungkapkan. Dan hal itu membuat Glenda penasaran.
Suatu hari, saat sedang duduk di kantin bersama teman-temannya, pikiran Glenda kembali melayang ke Evan. Teman-temannya, Alia dan Nadine, memperhatikan tatapan kosong Glenda yang mengarah ke jendela kantin.
“Glenda, lo masih mikirin Evan, ya?” goda Alia sambil menyenggol bahunya.
Glenda tersenyum kecil, lalu menatap Alia. “Gue nggak ngerti, Al. Dia udah bilang suka sama gue, gue juga udah bilang suka sama dia. Tapi kenapa ya, kayak ada yang ganjel? Kita nggak pernah ngomongin hal itu lagi setelah pentas seni.”
Nadine, yang duduk di sebelah Glenda, ikut menyahut. “Mungkin dia lagi butuh waktu. Cowok kadang suka nggak langsung buka diri. Lo kasih dia ruang, Glen. Tapi kalau lo penasaran banget, ya tinggal tanya aja, simple.”
Glenda menghela napas, merasa frustrasi. Ia tahu Nadine benar, tapi untuk bertanya langsung pada Evan rasanya sulit. Ada rasa takut yang mengganjal, seolah-olah ia khawatir akan jawaban yang akan diberikan Evan. Glenda tidak ingin terburu-buru, namun di saat yang sama, ia juga tidak ingin terus terjebak dalam ketidakpastian ini.
Hari itu, sepulang sekolah, Glenda memutuskan untuk menghubungi Evan. Tangannya gemetar saat mengetik pesan, bertanya apakah Evan mau bertemu di taman dekat sekolah nanti sore. Ia berharap Evan akan bersedia, karena Glenda tahu bahwa ini adalah saatnya mereka bicara dari hati ke hati.
Beberapa menit berlalu dengan perasaan cemas, hingga akhirnya notifikasi pesan dari Evan muncul di layar ponselnya.
“Sure, Glen. Gue bakal ada di sana jam 4.”
Jawaban singkat tapi cukup membuat jantung Glenda berdegup kencang. Ada perasaan lega, namun juga ketegangan yang mulai merayap ke dalam dirinya. Ia tahu bahwa sore ini mungkin akan menentukan bagaimana hubungan mereka ke depannya.
Saat jam menunjukkan pukul 4, Glenda tiba di taman lebih awal. Ia duduk di salah satu bangku dekat pohon besar, menunggu Evan. Angin sore yang sejuk berhembus, namun tidak cukup untuk menenangkan kegelisahan yang dirasakannya. Pikirannya berlarian ke berbagai skenario, membayangkan bagaimana percakapan mereka nanti.
Tidak lama kemudian, Evan muncul dari kejauhan. Dengan langkah santai, ia mendekati Glenda. Senyum tipis tersungging di bibirnya, tapi ada sesuatu di wajahnya yang membuat Glenda merasa ada hal penting yang harus mereka bicarakan.
“Hey,” sapa Evan sambil duduk di sebelah Glenda.
“Hey,” balas Glenda, mencoba tersenyum meskipun hatinya dipenuhi berbagai pertanyaan.
Untuk beberapa saat, mereka hanya cuma duduk dalam diam. Suasana sore yang tenang seolah menjadi saksi bisu dari ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Glenda akhirnya memutuskan untuk memulai percakapan.
“Evan… gue mau nanya sesuatu,” kata Glenda pelan, suaranya bergetar sedikit.
Evan menoleh, tatapannya serius namun lembut. “Apa yang mau lo tanyain, Glen?”
Glenda menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Setelah pentas seni, kita… kita belum pernah ngobrol lagi soal perasaan kita. Gue bingung, Evan. Kita suka sama satu sama lain, tapi gue nggak tau harus ngapain selanjutnya. Lo sendiri gimana?”
Evan terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Gue ngerti, Glen. Gue juga ngerasa hal yang sama. Gue suka sama lo, itu nggak perlu diragukan. Tapi ada hal yang selama ini gue belum cerita ke lo.”
Jantung Glenda berdetak lebih cepat. “Apa maksud lo?”
Evan mengalihkan pandangannya ke arah langit yang mulai berwarna jingga. “Gue nggak mau buru-buru buat ngebawa lo untuk masuk ke hidup gue sebelum lo tau apa yang sedang gue rasain. Gue punya tanggung jawab yang mungkin bikin lo berpikir ulang soal perasaan lo ke gue.”
Glenda mengerutkan kening, merasa bingung. “Apa maksud lo, Van? Tanggung jawab apa?”
Evan menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut. “Gue punya adik yang masih kecil. Orang tua gue udah pisah, dan gue yang ngerawat adik gue setiap hari. Setiap pulang sekolah, gue nggak bisa banyak nongkrong atau ngabisin waktu lama di luar karena harus pulang cepet buat jagain dia.”
Glenda terdiam. Evan yang selalu terlihat tenang dan penuh senyum ternyata menyimpan beban yang tidak pernah ia duga. Glenda merasa ada rasa haru dan simpati yang menyeruak di dalam hatinya. Di balik sikap santainya, Evan menyimpan tanggung jawab besar yang jarang diketahui orang lain.
“Kenapa lo nggak pernah cerita, Van?” tanya Glenda, suaranya yang lembut.
Evan tersenyum getir. “Gue nggak mau bikin lo ngerasa kasihan atau jadi bingung sama hubungan kita. Gue suka sama lo, Glen, tapi gue nggak tau gimana caranya bikin semuanya balance. Gue takut lo bakal kecewa kalau gue nggak bisa ngasih waktu lebih banyak buat kita.”
Glenda merasakan hatinya teriris mendengar pengakuan Evan. Tapi di saat yang sama, ia juga merasa semakin kagum dengan Evan yang ternyata begitu bertanggung jawab dan peduli dengan keluarganya.
“Van,” Glenda menatap Evan dalam-dalam. “Gue nggak akan mundur cuma karena lo punya tanggung jawab itu. Justru gue makin kagum sama lo. Lo kuat, lo perhatian sama keluarga lo. Dan gue siap buat ngertiin lo, apapun yang lo hadapin.”
Evan tertegun mendengar kata-kata Glenda. Perlahan, senyum tulus muncul di wajahnya. “Glen, lo beneran nggak ada masalah sama kondisi gue?”
Glenda menggeleng pelan, senyumnya penuh ketulusan. “Gue nggak masalah, Van. Yang penting, kita bisa jujur satu sama lain dan saling dukung. Gue nggak butuh lo ada di samping gue setiap saat. Gue cuma butuh tau kalau lo juga punya perasaan yang sama dan kita bisa jalanin ini bareng-bareng.”
Evan menghela napas lega, seolah-olah beban yang selama ini ia pikul sedikit demi sedikit mulai terangkat. “Makasih, Glen. Lo nggak tau seberapa berarti dukungan lo buat gue.”
Glenda merasakan kehangatan di dalam hatinya. Ia senang karena akhirnya bisa mengetahui sisi lain dari Evan dan memberikan dukungan yang ia butuhkan. Meskipun perjalanan mereka tidak akan mudah, Glenda yakin bahwa dengan saling pengertian dan dukungan, mereka bisa menghadapi segala tantangan yang ada.
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat jingga yang indah. Di bawah langit senja itu, Glenda dan Evan duduk berdua, merasakan kedekatan yang semakin tumbuh. Perjuangan mereka baru saja dimulai, namun mereka tahu bahwa cinta yang mereka miliki akan menjadi kekuatan terbesar untuk menghadapi segalanya.
Perjalanan Cinta yang Diuji
Hari-hari berlalu setelah perbincangan Glenda dan Evan di taman. Kini, Glenda lebih memahami kehidupan Evan yang penuh tanggung jawab. Meski begitu, Glenda merasa hubungan mereka semakin dalam. Setiap kali mereka bertemu, ada perasaan hangat yang tumbuh, seolah-olah mereka menjadi lebih kuat menghadapi kehidupan dengan saling dukung. Namun, seperti semua kisah cinta, perjalanan mereka tak selalu mulus. Ada ujian yang harus mereka hadapi.
Di suatu pagi yang cerah, Glenda merasa ada yang berbeda. Evan tampak lebih diam dari biasanya. Meski ia tetap tersenyum saat bertemu dengan Glenda di sekolah, ada sesuatu yang hilang dari sorot matanya. Glenda tidak bisa mengabaikan perasaan aneh itu, tapi ia memutuskan untuk menunggu sampai Evan siap bicara.
“Lo kenapa, Van? Gue perhatiin lo akhir-akhir ini kayak ada yang lo pikirin,” tanya Glenda saat mereka duduk berdua di kantin, setelah jam pelajaran berakhir.
Evan menatap Glenda, kemudian tersenyum kecil. “Gue baik-baik aja kok, Glen. Cuma lagi banyak pikiran aja soal keluarga.”
Glenda mengangguk, mencoba memahami. Namun, hatinya tidak bisa tenang begitu saja. Ia tahu Evan sedang menghadapi sesuatu yang sulit, tapi ia tidak ingin memaksa Evan untuk bercerita sebelum siap. Mereka melanjutkan obrolan tentang hal-hal biasa, namun di dalam hati Glenda, ada rasa khawatir yang tak bisa disingkirkan.
Hari berikutnya, saat Glenda sedang belajar di rumah, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Evan muncul.
“Glen, lo bisa ketemu gue nggak nanti sore di taman yang biasa?”
Hati Glenda berdegup lebih cepat. Ada rasa cemas yang tiba-tiba muncul. Evan jarang mengajak Glenda bertemu tanpa alasan yang jelas. Glenda segera membalas pesan itu dengan singkat, menyetujui untuk bertemu. Sore itu, Glenda merasa gugup. Apa yang akan Evan katakan? Apa yang sedang ia hadapi?
Saat tiba di taman, Evan sudah menunggu di bangku yang sama seperti sebelumnya. Wajahnya terlihat lelah, tapi ia berusaha tetap tersenyum ketika melihat Glenda datang. Setelah saling menyapa, keduanya duduk dalam keheningan. Glenda merasakan ada sesuatu yang besar sedang terjadi, dan ia tahu bahwa Evan akan segera berbicara.
“Glenda…” Evan memulai dengan suara pelan. “Gue minta maaf kalau akhir-akhir ini gue kayak menjauh. Gue nggak bermaksud nyakitin lo, tapi gue harus jujur.”
Glenda menatap Evan, hatinya mulai berdegup lebih cepat. “Apa yang terjadi, Van? Lo bisa cerita sama gue.”
Evan menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Adik gue sakit, Glen. Dia butuh perawatan intensif, dan biaya pengobatannya besar. Gue harus lebih banyak kerja part-time buat bantu biaya rumah sakit. Gue mungkin nggak bisa sering ketemu lo seperti biasanya.”
Kata-kata Evan membuat Glenda merasa terkejut. Ia tidak menyangka bahwa situasinya seberat ini. Selama ini Evan selalu terlihat kuat, namun ternyata ia menyembunyikan beban besar di pundaknya. Glenda merasakan simpati yang mendalam, tapi di saat yang sama, ia juga merasa bimbang. Bagaimana hubungan mereka akan bertahan jika Evan harus fokus sepenuhnya pada keluarganya?
“Van, gue ngerti. Gue nggak akan maksa lo buat selalu ada di samping gue. Gue bisa nunggu,” kata Glenda, meskipun hatinya bergetar.
Evan tersenyum pahit. “Gue tahu lo bisa ngerti, Glen. Tapi gue nggak mau nyakitin lo. Gue nggak mau lo harus nunggu terus-terusan tanpa kepastian. Karena gue sendiri nggak tau kapan semua ini bisa selesai. Gue mungkin bakal makin sibuk, dan gue takut itu bikin lo kecewa.”
Glenda menatap Evan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu bahwa apa yang Evan katakan ada benarnya. Menunggu seseorang dalam ketidakpastian bukanlah hal yang mudah. Namun, di dalam hatinya, Glenda merasa bahwa Evan adalah orang yang pantas diperjuangkan.
“Evan, lo nggak harus ngerasa bersalah karena harus fokus ke keluarga lo. Gue ngerti, dan gue bakal selalu dukung lo. Jangan pikirin soal gue dulu. Yang penting sekarang lo bisa fokus buat ngebantu adik lo. Gue percaya, kita bisa ngelewatin ini bareng-bareng.”
Evan terdiam sesaat, menatap Glenda dengan tatapan lembut. “Makasih, Glen. Lo bener-bener luar biasa. Gue nggak tau apa yang bakal gue lakuin tanpa lo.”
Glenda tersenyum, meski hatinya masih dipenuhi perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa sebuah perjalanan ini tidak akan mudah. Ada banyak hal yang harus mereka hadapi ke depannya, dan salah satunya adalah jarak yang mungkin akan memisahkan mereka. Tapi Glenda percaya bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua rintangan ini.
Minggu-minggu berikutnya menjadi masa yang penuh tantangan bagi Glenda dan Evan. Seperti yang Evan katakan, ia semakin sibuk dengan pekerjaan part-time-nya dan mengurus adiknya. Waktu untuk bertemu Glenda semakin sedikit, dan Glenda pun harus berjuang dengan perasaannya sendiri. Terkadang, ia merasa kesepian, tapi ia berusaha untuk tetap kuat.
Di sekolah, Glenda sering merenung di bangku taman tempat mereka biasa bertemu. Ia merindukan kebersamaan dengan Evan, namun ia sadar bahwa ini adalah bagian dari perjuangan mereka. Setiap kali ia merasa ingin menyerah, Glenda mengingat senyum Evan dan semua momen indah yang pernah mereka lalui. Itu memberinya kekuatan untuk terus bertahan.
Pada suatu sore, setelah seharian belajar untuk ujian akhir, Glenda memutuskan untuk mengunjungi Evan di tempat kerjanya. Ia tahu bahwa Evan mungkin sedang sibuk, tapi Glenda hanya ingin memberinya dukungan. Saat tiba di kafe tempat Evan bekerja, Glenda melihat Evan sedang melayani pelanggan dengan senyum yang meski lelah, tetap tulus.
Evan terkejut melihat Glenda datang, tapi ada kebahagiaan di matanya. Setelah selesai melayani pelanggan, ia mendekati Glenda.
“Hey, Glen! Gue nggak nyangka lo datang,” kata Evan dengan senyum yang lebih cerah dari sebelumnya.
“Yeah, gue cuma pengen liat lo dan kasih lo semangat,” jawab Glenda sambil tersenyum manis.
Mereka menghabiskan waktu singkat di sela-sela pekerjaan Evan, berbicara ringan sambil minum teh. Meski hanya sebentar, momen itu terasa begitu berarti bagi mereka berdua. Glenda menyadari bahwa, meskipun mereka tidak bisa sering bertemu seperti dulu, kehadiran mereka satu sama lain tetap memberikan kekuatan.
Saat Glenda pulang malam itu, ia merasa lebih tenang. Perjalanan cinta mereka memang penuh dengan rintangan, tapi Glenda yakin bahwa dengan ketulusan dan pengertian, mereka akan mampu menghadapi apapun yang datang. Di dalam hatinya, Glenda merasa bahwa perjuangan ini bukanlah tentang seberapa sering mereka bisa bersama, tapi tentang seberapa dalam mereka saling mendukung.
Meskipun hubungan mereka diuji oleh waktu dan jarak, Glenda tahu bahwa cinta yang mereka miliki akan selalu menemukan jalan untuk bertahan. Ia percaya bahwa setiap langkah yang mereka ambil, meskipun sulit, akan membawa mereka semakin dekat pada kebahagiaan yang sejati.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Di akhir kisah ini, kita belajar bahwa cinta sejati tidak akan hanya cuma soal perasaan, tetapi juga tentang sebuah perjuangan, pengertian, dan kesetiaan. Glenda dan Evan yang berhasil melewati ujian yang tidak akan mudah, memperlihatkan bahwa hubungan remaja bisa menjadi landasan yang sangat kuat untuk bisa tumbuh bersama. Kisah mereka bisa mengajarkan kita semua untuk tetap percaya pada cinta, meskipun kadang jalan yang dilalui penuh dengan liku. Jadi, siapkah kamu mengungkapkan perasaanmu dan mempertahankan cinta seperti Glenda?