Sulawesi Barat mempunyai banyak sekali legenda daerah yang patut untuk dikenalkan lebih kepada masyarakat umum di seluruh Indonesia. Misalnya saja legenda asal mula Pamboang, legenda hawadiyah, dan legenda burung cengnge. Penasaran seperti apa kisah dari legenda-legenda yang telah disebutkan? Simak selengkapnya dengan legenda lainnya berikut.
Daftar Isi
Asal Usul Pamboang
Pamboang menjadi salah satu daerah di Majene, Sulawesi Barat yang punya legenda dibalik penamaannya. Dahulu, ada tiga orang pemuda bernama I Lauase, I Lauwella, dan I Labuqang yang ingin membuat sebuah wilayah baru. Mereka bertugas bekerja di bagiannya masing-masing, sehingga dalam kurun 1 minggu saja wilayah baru itu sudah berhasil dibuka.
Mereka berunding membuat nama wilayah tersebut dan terpilihlah satu nama yaitu Pallayarang Talu yang berarti tiga tiang layar. Beberapa bulan kemudian, Puatta Di Karena datang ke Pallayarang Talu dan mengajak wilayah tersebut untuk bergabung dengan Pitu Baqbana Binanga atau persekutuan kerajaan-kerajaan di daerah Mandar. Namun, I Lauase sempat menolak karena warga mereka masih miskin.
Puatta Di Karena kemudian menawarkan untuk memberi upah atau tambo kepada seluruh warga Pallayang Talu. I Lauase pun menyetujui hal tersebut dan mengumumkan hal itu kepada warganya. Tetapi, setelah ditunggu berbulan-bulan Puatta Di Karena tak kunjung kembali dan memberikan tambo. Sehingga, para warganya terus membicarakan tambo itu. Dikarenakan hal tersebut, wilayah itu berubah menjadi Tamboang, serta kelamaan berubah menjadi Pamboang.
Asal Usul Tari Patuddu
Tari patuddu menjadi tari tradisional yang berasal dari Mandar, Sulawesi Barat. Tarian ini berasal dari kisah seorang putra raja yang melihat tujuh kawanan burung merpati berubah menjadi tujuh bidadari yang begitu cantik sedang mandi. Putra raja itu pun berencana menyembunyikan selendang salah satu bidadari. Seperti yang diduga, bidadari itu tak bisa pulang ke kahyangan dan ditolong si putra raja.
Singkat cerita, mereka menikah dan mempunyai anak. Saat si bidadari itu sedang membersihkan rumahnya, dia menemukan selendang miliknya. Dia begitu senang dan berujar pada suaminya kalau dia akan kembali ke kahyangan.
Suaminya sekaligus putra raja itu pun tak bisa melarang. Si bidadari mulai naik ke kahyangan ketika pelangi membentang di langit. Gerakan sang bidadari melewati pelangi menuju ke kahyangan itulah yang dijadikan inspirasi untuk tari patuddu.
Legenda Hawadiyah
Hawadiyah adalah gadis miskin yang ikut bekerja dengan ibunya di rumah ayah Bekkandari. Suatu hari, saat ayah Bekkandari pergi ke Pulau Jawa, ibu Hawadiyah menitipkan minyak kelapa untuk dijual di sana. Tiba di Jawa, ayah Bekkandari menjual minyak itu ke pemuda kaya bernama Maradia Jawa. Saat membuka minyak tersebut, Maradia melihat pantulan wajah Hawadiyah, wajah yang selalu muncul di mimpinya.
Hal ini membuat Mara Dia penasaran dengan Hawadiyah dan memutuskan datang ke Mandar untuk menemui Hawadiyah. Ketika sudah tiba di Mandar, Maradia melakukan pendekatan dengan Hawadiyah, lantas mengajaknya menikah dan tinggal di Jawa. Betapa senangnya Hawadiyah, namun Bekkandari yang iri dengan Hawadiyah malah mencelakai Hawadiyah dan membuat wajahnya menjadi rusak.
Ibu Mara Dia Jawa pun tak setuju mendapat menantu seperti itu. Dia lebih setuju jika Maradia Jawa menikah dengan Bekkandari. Keajaiban pun datang kepada Hawadiyah, saat dia diasingkan, wajahnya berubah menjadi cantik kembali. Setelah itu, Maradia juga menyadari kalau Bekkandari lah yang mencelakai Hawadiyah. Kemudian, Maradia dan Hawadiyah pun menikah.
Legenda Kanne Paummisang
Legenda yang satu ini bermula dari daerah Tinambung Mandar, Sulawesi Barat. Hidup seorang kakek yang tinggal sendiri di gubuknya dengan bekerja sebagai petani. Si kakek ini punya kebiasaan yang sangat unik yaitu memakan tebu dan ampasnya dia kumpulkan di rumahnya. Oleh karena kebiasaan ini, si kakek dijuluki Kanne Paummisang.
Kanne Paummisang suka sekali membagikan hasil kebunnya ke para warga, sehingga banyak warga yang begitu hormat kepadanya. Kedermawanan tersebut terus berlanjut, begitu juga dengan kebiasaannya mengumpulkan ampas tebu di rumahnya hingga menggunung. Entah apa alasannya, sampai-sampai Kanne Paummisang pun ditemukan wafat di atas tumpukan ampas tebunya sendiri.
Legenda Panglima To Dilaling
Sebelum bernama Panglima To Dilaling, pemuda gagah nan sakti itu bernama Panglima I Manyambungi. Dia merupakan anak dari Raja Balanipa yang hendak dibunuh ketika bayi, namun diselamatkan oleh panglima raja, Puang Mosso, lalu dibawa oleh elang besar hingg dirawat oleh Raja Gowa.
Baca juga: Legenda Dari Bali
Setelah I Manyambungi dewasa, ternyata Raja Balanipa, ayahnya, telah meninggal dan digantikan oleh Raja Lego yang begitu kejam pada rakyatnya. Hal ini membuat I Manyambungi ingin menolong warga Kerajaan Balanipa dengan hijrah terlebih dulu dari Gowa ke Napo. Nah, dari peristiwa inilah namanya berubah menjadi Panglima To Dilaling yang artinya orang yang hijrah dari Gowa ke Napo.
Panglima To Dilaling pun bersama warga kerajaan dan bala tentara mulai menyerang Kerajaan Balanipa. Segala kekuatan dikerahkan, Panglima To Dilaling pun berhasil mengalahkan Raja Lego. Kemudian, dia juga diangkat menjadi raja menggantikan Raja Lego yang kejam itu.
Legenda I Tui-Tuing dan Siti Rukiah
Dahulu, di suatu desa di Mandar, seorang suami istri mempunyai anak laki-laki yang badan dan wajahnya penuh sisik ikan terbang, sehingga dia diberi nama I Tui-Tuing (si manusia ikan terbang). Saat I Tui-Tuing sudah dewasa, dia meminta orang tuanya untuk melamar salah seorang putri juragan kaya.
Awalnya, kedua orang tuanya ragu apalagi kondisi I Tui-Tuing yang tak seperti orang kebanyakan. Namun, mereka tetap mencoba menuruti kemauan anaknya. Ternyata, salah seorang putri bernama Siti Rukiah yang berwajah hitam penuh aranglah yang menerima pinangan I Tui-Tuing. Mereka pun menikah dan menjalani kehidupan pernikahan dengan baik.
Setelah mereka menikah, I Tui-Tuing dan Siti Rukiah ternyata berubah menjadi cantik dan tampan. Kulit I Tui-Tuing yang bersisik itu hilang dan wajah Siti Rukiah yang awalnya penuh arang itu juga menjadi bersih. Rupanya, selama ini wajah Siti Rukiah selalu diberi arang oleh kakak-kakaknya karena mereka iri dengan cantiknya Rukiah.
Legenda Samba Paria
Samba Paria’ tinggal di hutan bersama adik kecilnya dikarenakan orang tuanya sudah meninggal. Suatu hari ada rombongan raja yang datang ke hutan itu, dan ternyata sang raja jatuh cinta dengan Samba. Raja itu begitu licik, dia ingin membawa Samba ke kerajaan tanpa membawa adiknya pula. Dengan akal-akalannya, Samba pun berhasil dibawa ke kerajaan, sedangkan adiknya ditinggal di gubuk hutan itu.
Samba Paria’ yang tak tega dengan adiknya pun merencanakan untuk kabur. Usahanya berhasil dan ketika dia tiba di hutan, adiknya ternyata dalam kondisi sakit. Samba lantas membuatkan masakan untuk adiknya sembari membuat adonan untuk raja.
Raja itu tahu kalau Samba kabur ke rumahnya, namun ketika raja mulai menggedor pintu, Samba langsung menyiram mata sang raja dengan adonan dari cabe. Akibat matanya kesakitan, raja itu terpeleset dan akhirnya jatuh hingga tewas.
Legenda Burung Cengnge
Ada seorang gadis cantik yang pada masa bayi, dia diasingkan oleh ibunya dikarenakan sang ayah akan membunuhnya. Gadis cantik itu tumbuh besar dan entah dari mana kekuatannya, dia bisa berubah menjadi burung Cengnge. Dia pun terbang kea rah pulau Jawa dan tiba di taman kerajaan.
Di sana, dia dirawat oleh seorang putra raja. Namun, penyamaran gadis itu menjadi Cengnge ternyata ketahuan oleh raja. Cengnge itu pun menceritakan kisah awalnya dia bisa sampai di kerajaan itu. Begitu iba mendengar cerita dari Cengnge, lantas raja tersebut menikahkan Cengnge dengan putra raja yang merawatnya. Setelah menikah, Cengnge tak lagi berubah menjadi burung.
Baca juga: Legenda Sulawesi Selatan
Demikian legenda-legenda dari Sulawesi Selatan yang tersebar di kalangan masyarakatnya. Legenda itu bisa jadi masih belum dikenal oleh banyak orang. Oleh karenanya diperlukan upaya tersendiri agar legenda tersebut tidak punah dan tetap dikenal oleh kalangan kaum muda.