Ibu Ketinggalan Beli Ikan: Kejaran Misterius yang Membingungkan dan Menegangkan

Posted on

Jadi gini ceritanya, ada seorang ibu yang cuma mau beli ikan buat masak, tapi malah terjebak dalam kejadian yang lebih absurd dari yang dia bayangin.Mulai dari lari-larian gak jelas sampai dikejar orang-orang yang entah dari mana datangnya, semua berawal dari ikan yang ketinggalan. Penasaran gimana ceritanya? Cek deh, jangan sampai ketinggalan!

 

Ibu Ketinggalan Beli Ikan

kan Segar, Drama Segar

Pasar tradisional itu selalu ramai di pagi hari. Bau ikan, sayuran, dan rempah-rempah bercampur jadi satu, menyatu dengan teriakan pedagang yang menawarkan barang dagangannya. Di antara hiruk-pikuk itu, ada seorang ibu bernama Ningsih yang sudah beraksi, menyeret anaknya, Yogi, yang masih setengah ngantuk. Wajah Yogi selalu tampak malas setiap kali mereka pergi berbelanja. Biasanya, dia hanya ingin segera pulang dan bermain game, tapi hari itu Ningsih punya misi yang cukup serius: membeli ikan tenggiri segar untuk masakan malam.

“Iya, Bu, cepetan, dong,” Yogi menggeliat sambil melangkah malas mengikuti ibunya yang sudah jauh di depan.

Ningsih tak peduli. Dia sudah terlanjur terbawa suasana pasar yang sibuk. Tangannya yang cekatan memegang keranjang besar, siap menampung segala barang yang ada. Dia melirik kiri kanan, melihat ikan-ikan segar yang menggiurkan di lapak-lapak pedagang. Ikan tenggiri, ikan salmon, ikan layur—semuanya nampak menggiurkan.

“Kamu cepetan, Gi. Ikan tenggiri enak buat masakan, tuh!” Ningsih berteriak, berusaha menarik perhatian Yogi yang setengah berjalan, setengah terhuyung karena terlalu fokus dengan handphone-nya.

“Apa, Bu? Tenggiri?” Yogi menoleh malas, matanya masih terpaku di layar.

“Iya! Tenggiri, buat masakan nanti!” jawab Ningsih sambil menarik lengan Yogi untuk lebih cepat. “Kalau kamu lama-lama gitu, nanti ikannya habis, baru deh kamu bilang ‘kenapa nggak ada ikan segar, Bu?'”

Yogi hanya menghela napas. Dia tahu, kalau ibunya sudah memulai misi belanja, maka semua harus cepat dan tepat. Lagi pula, kalau dia nggak segera mengikuti, pasti akan kena omelan panjang yang bisa mengubah suasana perjalanan jadi berjam-jam penuh keluhan.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di lapak Pak Rusman, penjual ikan langganan Ningsih. Pak Rusman ini terkenal bisa memotong ikan dengan cepat, bahkan lebih cepat dari Yogi mengeluh tentang tugas sekolahnya. Namun, hari itu, meskipun Pak Rusman tampak sibuk melayani pembeli lain, Ningsih langsung menyapa dengan semangat.

“Pak Rusman! Ada tenggiri nggak? Yang segar, lho!” Ningsih berteriak sambil mengangkat tangan.

Pak Rusman, yang sedang memotong ikan, memandang dengan tatapan datar. “Ada, Bu. Tenggiri baru datang, tuh,” jawabnya, menunjukkan deretan ikan yang tertata rapi di atas meja.

Wajah Ningsih langsung berseri-seri. “Berapa harganya?” tanyanya, tanpa basa-basi.

“Seratus lima puluh ribu per kilo, Bu,” jawab Pak Rusman sambil menyeka keringat di dahinya.

“Seratus lima puluh ribu?” Ningsih melongo. “Aduh, Pak, kan itu harga tenggiri di pasar jauh lebih murah dari itu!”

Pak Rusman tersenyum tipis, seperti sudah tahu kalau Ningsih pasti akan menawar. “Itu harga terbaik, Bu. Jangan lihat di tempat lain, kalau nggak beli, ya nggak apa-apa,” katanya sambil memasukkan ikan ke dalam ember besar.

Ningsih menghela napas panjang, menilai keadaan sekeliling. Beberapa pembeli tampaknya sudah mulai melirik ikan-ikan yang ada, dan waktu terus berjalan.

“Yogi, kamu bawa uang nggak? Pakai diskon pelanggan setia, nih,” Ningsih melirik anaknya yang dari tadi cuma berdiri sambil mengetik di handphone.

“Ha? Ah, ya ampun, Bu, kok bisa aku yang bayar?” Yogi berkelit, tidak mau terlibat. “Ibu kan udah siap-siap bawa uang.”

“Ayo dong, kamu tuh harus ikut bantu!” Ningsih nyaris berteriak, tapi dia menahan diri. “Udah, ambil aja uangnya. Sekalian bawa kantong plastik buat belanja.”

Yogi akhirnya menyerah. Dia mengambil dompet dari saku belakang, tapi wajahnya tetap menunjukkan tanda-tanda ketidaksenangan. “Ya udah, Bu. Tapi kalau sampai ikan ini nggak segar, aku bakal komplain!”

“Ya, ya, tenang aja. Yang penting harganya pas!” jawab Ningsih cepat, tidak mau kalah.

Pak Rusman tersenyum simpul, mengangguk pelan sambil menghitung uang. “Ikan tenggiri ini emang yang terbaik, Bu. Pasti puas.”

Setelah uang dibayar dan ikan dimasukkan ke dalam kantong plastik besar, Ningsih merasa lega. Namun, sebelum mereka beranjak, Yogi yang sudah tampak bosan memutuskan untuk berjalan ke lapak sebelah. “Bu, aku beli minuman dulu, ya. Pasti laper kalau jalan-jalan terus.”

“Ya udah, cepetan. Jangan lama-lama, nanti ikannya bau!” jawab Ningsih dengan nada serius, padahal dia tahu Yogi lebih suka mencari hiburan sendiri daripada ikut terus.

Ningsih akhirnya kembali ke lapak ikan, berdiri di sana sambil mengamati ikan-ikan yang ada, berpikir mungkin mereka bisa sekalian beli udang, kalau Yogi sudah cukup lama membeli minuman. Sementara itu, Yogi yang menuju lapak minuman justru tidak sadar bahwa ia sedang ditinggal jauh lebih lama dari yang seharusnya.

Ningsih sibuk memilih bahan belanjaan lain. Saat dia sadar, Yogi sudah tidak ada di dekatnya lagi. Namun, dia tetap asyik dengan urusan sendiri. Pasar, dengan segala kehebohannya, seakan mengingatkannya pada waktu yang berlalu begitu cepat.

“Gi!” serunya beberapa kali, tapi tak ada jawaban. “Gi, kok nggak balik-balik?”

Hati Ningsih mulai gelisah. Dia mendongak, melihat ke sekeliling. Yogi tak ada di tempat semula. Sepertinya, ia harus mencari anaknya dulu.

 

Hilangnya Ningsih, Petaka Dimulai

Ningsih sudah mulai cemas. Pasar yang penuh sesak itu tiba-tiba terasa begitu sepi tanpa kehadiran Yogi. Rasanya, semua suara riuh yang sebelumnya membuatnya tenang kini hanya menambah kegelisahannya. Dia memandangi kantong ikan tenggiri yang digenggamnya, seolah barang itu bisa memberi jawaban tentang keberadaan anaknya. Namun, sepertinya kali ini, ikan itu tak dapat menolong.

“Gi!” panggil Ningsih sekali lagi, lebih keras dari sebelumnya. Masih tak ada jawaban.

Dengan sedikit rasa panik, Ningsih melangkah ke kanan, menembus kerumunan orang. Ia menyusuri jalan setapak yang dipenuhi pedagang sayur-mayur, melirik ke setiap sudut yang tampaknya terlalu ramai untuk dilihat secara jelas.

“Duh, kemana sih anak itu?” gumamnya. Kepalanya mulai berputar, mencarikan solusi, tapi tetap saja Yogi tak muncul.

Ningsih memutuskan untuk kembali ke lapak ikan, berharap Yogi ada di sana, tetapi yang ada justru kepanikan yang semakin menambah kegelisahan di dalam dirinya.

“Pak Rusman!” serunya, panik. “Anak saya, Yogi, hilang! Tadi dia cuma ke lapak minuman. Lihat nggak?”

Pak Rusman mengangkat wajahnya dari ember ikan dan menatap Ningsih sejenak, wajahnya bingung. “Wah, nggak lihat, Bu. Coba cek dekat lapak minuman itu, kali aja dia masih ngeliatin es krim.”

Dengan langkah terburu-buru, Ningsih langsung bergegas menuju arah lapak minuman. Ketika ia sampai di sana, hanya ada deretan botol minuman dingin dan dua orang pembeli yang sedang sibuk memilih.

“Yogi!” teriaknya dengan suara nyaris hilang di antara suara pasar. Tapi tak ada jawaban.

Sudah hampir sepuluh menit sejak Yogi pergi, dan meskipun dia yakin Yogi bukan tipe yang suka berlama-lama, kali ini ia benar-benar hilang. Ningsih merutuki dirinya sendiri, merasa bodoh karena tidak lebih waspada.

Dalam keputusasaannya, Ningsih berpaling ke pedagang yang sedang menyusun botol minuman di sebelahnya. “Permisi, Pak, apakah tadi ada anak muda lewat sini? Tingginya sekitar seratus tujuh puluh, pakai jaket biru, rambutnya agak acak-acakan…”

Pedagang itu menatapnya sebentar. “Hah? Ada, Bu. Tadi dia lewat, terus belok ke pasar belakang, katanya mau cari es kelapa muda. Kayaknya dia udah jauh.”

“Ke pasar belakang?” Ningsih terbelalak. “Kenapa dia nggak bilang dulu?”

Rasa panik mulai merasuk. Pasar belakang itu jauh. Itu tempat yang selalu dipenuhi orang-orang yang datang membeli barang murah dengan harga miring, tempat yang penuh dengan pedagang tak terdaftar dan barang-barang yang kadang nggak jelas asal-usulnya.

Tanpa pikir panjang, Ningsih berlari, membawa kantong ikan yang rasanya semakin berat dan tidak menyenankan. Suasana pasar belakang lebih riuh, lebih gelap, dan lebih kacau dibandingkan dengan depan. Ningsih memaksa dirinya untuk tetap tenang, meski rasa khawatir kian menyesakkan dada.

“Yogi!” teriaknya lagi, kali ini suaranya hampir hilang tenggelam dalam keramaian pasar belakang yang penuh dengan pedagang yang riuh, tumpukan barang, dan suara tawar-menawar.

Ningsih terus berjalan, melangkah lebih cepat. Ia menelisik setiap sudut, setiap orang yang lewat, berharap melihat anaknya. Namun tak ada tanda-tanda Yogi di mana pun.

Setelah beberapa menit berjalan lebih jauh, Ningsih merasa lelah dan putus asa. Di tengah pasar belakang yang kacau itu, ia berhenti sejenak, menarik napas panjang dan mengatur pikirannya.

“Apa aku harus cari polisi?” gumamnya.

Namun, tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu. Di ujung lorong yang agak sepi, dia melihat sesosok tubuh yang mengenakan jaket biru dan rambut acak-acakan. Mungkin itu Yogi! Tanpa berpikir panjang, Ningsih melangkah cepat ke arah itu.

Tapi begitu mendekat, ia terkejut. Sosok itu bukan Yogi.

“Eh, Bu! Ada apa?” tanya pria paruh baya yang baru saja melihat Ningsih mendekat dengan tatapan bingung.

“Maaf, Pak, saya kira itu anak saya,” jawab Ningsih dengan suara hampir tak terdengar, tubuhnya sedikit lemas.

Pedagang itu tersenyum dan mengangguk. “Wah, emang banyak yang mirip-mirip di sini, Bu. Jangan khawatir, pasar ini memang bikin pusing.”

Ningsih menarik napas panjang. Ia sudah terlalu lelah dan bingung. Dia harus melanjutkan pencarian, tapi semakin lama semakin terasa tak ada ujungnya. Hati kecilnya merasa cemas, tapi ia berusaha untuk tidak membiarkan dirinya putus asa.

Beberapa menit kemudian, di tengah kekacauan pasar, Ningsih mendengar suara familiar dari arah kanan.

“Ibu!” suara itu memanggil dengan riang.

Ningsih menoleh cepat. Ada sosok Yogi yang tampak santai berjalan ke arahnya, sambil memegang es kelapa muda.

“Yogi!” Ningsih hampir menangis karena lega. “Kamu kenapa sih nggak bilang mau ke sini? Ibu nyariin kamu sampai ke pasar belakang, tahu nggak?”

Yogi hanya tersenyum lebar, sedikit kikuk. “Maaaf, Bu. Aku cuma pengen beli es kelapa muda dulu, udah panas banget. Lupa bilang.”

Ningsih menghela napas, mengatur napasnya yang hampir tak terkendali. “Lupa? Kamu hampir buat aku pusing setengah mati, tau nggak?”

Namun, meskipun Yogi terlihat santai, Ningsih masih merasa sedikit terganggu. Kenapa anaknya bisa seapatis itu dalam situasi yang begitu serius? Mungkin ada pelajaran yang harus diambil dari kejadian ini. Namun, untuk saat ini, ia hanya ingin segera pulang dengan ikan tenggiri itu.

 

Kembali ke Rumah, Tapi Ada yang Berbeda

Ningsih dan Yogi berjalan bersama keluar dari pasar belakang, dengan langkah yang lebih tenang setelah kebingungannya sempat mencemaskan mereka. Matahari mulai meredup di langit, memberikan nuansa senja yang menenangkan, meskipun rasa frustrasi Ningsih masih menyelimuti dirinya.

“Ibu, tenang aja, kan aku udah balik,” kata Yogi sambil memegang es kelapa muda yang masih ada di tangannya. Dia mengangkat bahu, tampak seperti tidak merasa ada yang salah.

Ningsih menatapnya, sedikit kesal, tapi berusaha menahan diri. “Kamu tahu nggak sih, Yogi? Pasar itu bukan tempat main, loh. Kalau sampai kamu hilang beneran, gimana coba, ngabisin waktu kita cari-cari kamu kayak gitu?”

Yogi cuma terkekeh kecil. “Iya, iya. Maaf, Bu.”

Mereka berjalan kembali ke rumah. Suasana di sepanjang jalan mulai sepi, dan toko-toko pun mulai menutup. Hanya ada sedikit orang yang masih berjalan, tergesa-gesa menuju tempat mereka masing-masing. Ningsih tetap memegang kantong ikan tenggiri yang semakin berat di tangannya.

“Yogi, Ibu serius nih. Lain kali kalau mau pergi, bilang dulu,” tambah Ningsih, lebih lembut kali ini, meskipun sedikit masih marah.

“Ayolah, Ibu, aku kan cuma sebentar doang,” jawab Yogi santai, tanpa merasa ada yang luar biasa dengan kejadian tadi.

Ketika mereka sampai di depan rumah, Ningsih merasa sedikit lega karena akhirnya bisa pulang. Namun, ada sesuatu yang tidak beres. Pintu rumah tampak terbuka sedikit, seperti ada yang tidak tertutup rapat.

“Apa ini?” gumam Ningsih, dengan rasa penasaran mulai tumbuh.

“Kenapa, Bu?” tanya Yogi, yang juga melihat pintu itu.

Ningsih berjalan pelan menuju pintu, dan perlahan membukanya lebih lebar. Di dalam, semua tampak sepi dan tidak ada yang berubah, tapi ada sesuatu yang aneh. Ada jejak kaki di lantai, seolah-olah ada orang yang baru saja masuk.

“Hah? Siapa ini?” Ningsih berjalan hati-hati ke dalam, matanya mencari-cari sesuatu yang mencurigakan.

Yogi ikut masuk dan mendekat ke meja ruang tamu. “Gak ada apa-apa, Bu. Cuma jejak kaki, mungkin kotoran.”

Namun, saat Ningsih melangkah lebih jauh ke ruang tengah, matanya menangkap sesuatu yang membuatnya terkejut. Di atas meja, ada sepotong kertas yang terlipat rapi. Ningsih mendekat dan membukanya perlahan.

“Ini apa?” gumamnya, membaca tulisan di kertas tersebut.

“Jangan khawatir, Ningsih. Kami hanya sedang mencari sesuatu yang kamu sembunyikan. Kalau tidak ingin ada masalah, beri kami apa yang kami inginkan.”

Jantung Ningsih berdegup kencang. Rasa takut mulai merasuki dirinya. Siapa yang meninggalkan pesan ini? Kenapa di rumah mereka? Dan apa yang mereka inginkan?

“Ibu, ada apa?” tanya Yogi, melihat ekspresi cemas di wajah ibunya.

Ningsih hanya bisa menatap kertas itu dengan mata terbuka lebar. “Ini, Yogi, ini nggak beres. Ada orang di rumah kita.”

Yogi mendekat dan membaca kertas itu. Wajahnya langsung berubah serius. “Ini… nggak bagus, Bu. Kita harus lapor polisi.”

Ningsih mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa berat. Apa yang sedang terjadi? Kenapa mereka harus jadi sasaran orang-orang yang tidak dikenal ini?

Namun, sebelum sempat mereka berpikir lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di luar rumah. Ningsih dan Yogi saling memandang, dan Yogi mengedipkan matanya, memberi isyarat agar mereka lebih berhati-hati.

“Siapa itu?” tanya Ningsih pelan, matanya bergerak cepat mencari sumber suara.

“Gak tahu, Bu. Tapi kita harus hati-hati.” Yogi menatap Ningsih, dan ada sesuatu dalam tatapannya yang menunjukkan dia mulai merasa bahwa situasi ini jauh lebih serius dari yang mereka bayangkan.

Ningsih menahan napas dan berjalan perlahan ke pintu belakang, berharap tidak ada yang bisa mendengar atau melihat mereka. Tapi ketika Ningsih membuka sedikit tirai jendela, dia melihat dua sosok yang tengah berjalan mendekat ke arah rumah mereka.

“Yogi… ada dua orang di luar,” bisiknya.

Yogi langsung bergerak, cepat dan gesit. “Kita harus keluar, bu. Sekarang juga.”

Dengan perasaan yang semakin cemas, Ningsih mengikuti langkah Yogi, berlari menuju pintu belakang, berharap mereka masih bisa melarikan diri sebelum kedua orang itu sampai. Tetapi saat mereka hampir mencapai pintu, langkah-langkah berat terdengar lebih dekat dari yang mereka duga.

“Ningsih! Yogi!” suara seseorang terdengar memanggil dengan nada rendah, penuh ancaman.

Tubuh Ningsih membeku. Dia mengenali suara itu. Itu suara pria yang pernah dia temui beberapa minggu lalu, saat dia membeli ikan di pasar. Suara yang dikenali, tetapi terasa begitu menakutkan.

Yogi menatap ibunya dengan penuh kekhawatiran. “Lari, Bu!”

Dan tanpa ragu, mereka berdua melesat, melupakan ikan tenggiri yang masih ada di tangan Ningsih, dan berlari ke arah jalan belakang yang lebih sepi.

 

Kejaran yang Tak Terduga

Ningsih dan Yogi terus berlari, kaki mereka terasa berat, namun mereka tidak berani berhenti. Suara langkah kaki yang mendekat semakin jelas terdengar, semakin mendekati mereka. Terkadang Ningsih menoleh sekilas, melihat bayangan gelap yang terus mengejar mereka. Setiap napas yang keluar dari mulutnya terasa lebih cepat dan lebih berat, seolah jantungnya ingin lepas dari dada.

“Ibu, kita harus terus lari!” teriak Yogi, menarik tangan ibunya untuk berlari lebih cepat.

Mereka berlari menyusuri gang sempit yang berkelok, berharap bisa mencapai jalan raya yang lebih ramai. Ningsih merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Kejadian ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Apa yang mereka inginkan? Apa yang harus mereka lakukan?

Ningsih menggenggam erat kantong ikan tenggiri yang masih dia bawa, merasakannya seperti sebuah benda yang tidak berguna di tengah situasi gawat ini. Namun, dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, dia harus melindungi anaknya.

Akhirnya, mereka sampai di ujung gang dan melihat jalan raya yang cukup ramai. Lampu jalan bersinar terang, namun itu tidak membuat Ningsih merasa lebih tenang. Ketika mereka berbalik sejenak, dua pria yang mengejar mereka sudah semakin dekat.

“Yogi, ke sana!” perintah Ningsih, menunjuk ke arah toko kecil yang tampak terbuka.

Tanpa pikir panjang, Yogi langsung berlari menuju toko, dan Ningsih mengikuti di belakangnya. Mereka berdua masuk dengan tergesa-gesa, berharap bisa menemukan tempat untuk sembunyi sementara waktu. Di dalam, hanya ada seorang wanita pemilik toko yang sedang merapikan barang dagangannya.

“Ada apa, Bu?” tanya wanita itu, tampak terkejut melihat mereka masuk dengan wajah pucat.

“Maaf, Bu, tolong sembunyikan kami sebentar,” kata Ningsih cepat, dengan suara bergetar.

Wanita itu menatap mereka beberapa detik, lalu mengangguk dan menarik mereka ke bagian belakang toko, tempat penyimpanan barang. Di sana, ada beberapa rak berisi barang-barang lama dan barang dagangan yang belum sempat dipajang.

Ningsih dan Yogi berdiri di sana, bersembunyi di balik rak besar yang terbuat dari kayu. Mereka mendengar langkah kaki orang-orang itu di luar, semakin dekat. Detak jantung Ningsih semakin kencang, hampir bisa terdengar di telinga.

“Ningsih! Yogi!” suara pria itu terdengar lebih keras, memanggil mereka dengan nada yang mengancam. “Kami tahu kalian di sini. Jangan coba-coba melarikan diri!”

Tubuh Ningsih kaku, namun dia mencoba untuk tetap tenang. “Mereka pasti sudah tahu kalau kita bersembunyi,” bisiknya kepada Yogi.

“Jangan khawatir, Bu. Kita harus cari jalan keluar,” Yogi berkata dengan suara rendah, meskipun jelas ada rasa takut di wajahnya.

Tiba-tiba, terdengar suara bel pintu toko yang dibuka. Langkah kaki memasuki ruangan. Ningsih dan Yogi saling berpandangan. Mereka menahan napas, berharap orang itu tidak melihat mereka.

Wanita pemilik toko tampak maju ke depan, menyambut kedatangan pria-pria itu dengan tenang. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, meskipun ada ketegangan di udara.

“Kami mencari seseorang,” jawab pria itu dengan suara dingin. “Ningsih dan Yogi. Mereka baru saja lewat di sini. Apa kamu melihat mereka?”

“Ah, mereka? Tidak, saya tidak melihat siapa-siapa,” jawab wanita itu dengan senyum yang dipaksakan.

Ningsih dan Yogi menahan napas lebih dalam, tidak berani bergerak. Mereka tahu, jika pria-pria itu menemukan mereka, semuanya akan berakhir buruk.

Setelah beberapa saat, pria itu tampak ragu. “Baiklah, jika kamu melihat mereka, beri tahu kami,” katanya, suara masih penuh ancaman, lalu mereka berbalik dan keluar dari toko.

Ningsih dan Yogi menunggu beberapa detik setelah mereka mendengar suara langkah kaki pria-pria itu semakin menjauh. Mereka akhirnya keluar dari tempat persembunyian mereka, berpelukan erat.

“Terima kasih, Bu,” kata Ningsih kepada wanita pemilik toko yang telah menolong mereka.

“Jangan khawatir, semoga kalian aman,” jawab wanita itu, tersenyum ringan.

Setelah keluar dari toko, Ningsih dan Yogi bergegas menuju jalan utama, lebih hati-hati dari sebelumnya. Mereka harus segera kembali ke rumah, tapi hati mereka masih dipenuhi kekhawatiran. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka dikejar-kejar seperti ini?

Di tengah perjalanan pulang, Ningsih mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi, lebih dari sekadar masalah ikan tenggiri yang terlupakan. Tangan Ningsih meremas kantong ikan yang masih digenggamnya erat. Dia tahu, apa pun yang datang selanjutnya, mereka harus siap.

Dan di balik kejadian yang tampaknya kacau ini, ada sebuah kenyataan yang harus mereka hadapi—sesuatu yang lebih mengerikan daripada yang mereka duga.

 

Dan begitulah, kadang hidup emang gak bisa diprediksi. Dari sekadar beli ikan, bisa jadi petualangan yang bikin deg-degan dan bingung setengah mati.

Siapa sangka, kan? Tapi ya, siapa tahu setelah ini ada kejutan lebih gila lagi. Yang pasti, ibu sama anak itu cuma bisa berharap kejadian aneh ini bakal berakhir dengan tenang. Atau… siapa tahu, ini baru awal dari cerita yang lebih seru.

Leave a Reply