Daftar Isi
Gimana rasanya punya ibu tiri yang bukan cuma galak, tapi juga kejam? Mirelle pasti ngerasain hal itu setiap hari. Di balik rumah besar yang kelihatannya sempurna, dia harus menghadapi siksaan yang nggak pernah ada habisnya. Nggak cuma fisik, tapi juga psikis.
Setiap hari dia hidup dalam ketakutan, nggak tahu kapan Adira, ibu tirinya, bakal ngeluarin serangan berikutnya. Tapi, satu hal yang Mirelle nggak tahu adalah, meskipun dunia di sekitarnya penuh dengan ancaman, ada sesuatu dalam dirinya yang nggak bisa dihancurin. Ini cerita tentang bagaimana seorang gadis berjuang untuk bebas dari belenggu yang selama ini mengikatnya.
Cerpen Ibu Tiri Jahat
Pagi yang Terlupakan
Matahari baru saja merangkak naik, menembus tirai abu-abu yang jarang terbuka, memberi sinar lembut ke dalam rumah besar itu. Namun, dalam sepi yang menyelimuti rumah, setiap detik terasa berat. Terkadang, Mirelle merasa seperti berada di dalam ruang vakum, di mana waktu berjalan tapi tidak benar-benar menggerakkan apa-apa—hanya kesunyian yang mengisi udara.
Pagi itu, seperti biasa, terdengar suara langkah kaki berat di lantai kayu, diikuti oleh ketukan keras yang memecah ketenangan. “Mirelle! Bangun!”
Mirelle terlonjak. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu suara itu. Suara ibu tiri yang penuh amarah, tak pernah mengenal kasih sayang. Adira—wanita yang tak pernah melihat Mirelle lebih dari sekadar penghalang untuk meraih semua yang diinginkannya.
Dengan tubuh yang terasa kaku, Mirelle berusaha bangkit dari tempat tidur. Ia hanya mengenakan piyama lusuh yang sudah tidak bisa lagi menutupi rasa dingin yang merayap di dalam dirinya. Ia memandang ke luar jendela, di mana cahaya matahari yang lemah hanya cukup untuk memberi gambaran samar tentang dunia di luar sana. Dunia yang ia ingin raih, tapi terkunci di dalam rumah ini.
“Kenapa kamu belum bangun?” terdengar lagi suara Adira, kali ini lebih keras, lebih mengancam.
Mirelle menarik napas panjang dan mengumpulkan sisa keberaniannya. Ia tahu tidak ada gunanya membantah. Adira tidak pernah memberi ruang untuk penjelasan, hanya hukuman yang lebih keras.
“Aku sudah bangun, Bu,” jawab Mirelle dengan suara serak, berusaha terdengar tenang meski hatinya bergemuruh.
“Jangan memanggilku ‘Bu’! Aku bukan ibumu!” Adira berteriak, suaranya membuat darah Mirelle berdesir. “Kamu pikir aku ini siapa? Pembantu? Bangun dan cuci piring! Lakukan tugasmu!”
Mirelle menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Ia tahu, saat itu, tangisan bukanlah sesuatu yang bisa ia tunjukkan. Tidak di hadapan wanita itu. Tidak di hadapan orang yang tidak akan pernah melihatnya lebih dari sekadar penghalang hidup.
Ia cepat-cepat keluar dari kamarnya, berusaha melangkah pelan agar tidak menambah amarah Adira. Di tangannya, ia memegang sapu dan ember untuk mulai menyapu dan mencuci lantai—pekerjaan yang selalu ditugaskan setiap pagi. Ia tahu bahwa semakin cepat ia menyelesaikan pekerjaan, semakin sedikit hukuman yang akan diterimanya.
Ketika Mirelle menyapu ruang tamu, ia bisa mendengar suara Adira tertawa dari ruang makan, tertawa dengan suara penuh kemenangan, seolah seluruh dunia adalah miliknya. Di luar jendela, taman kecil yang seharusnya menyegarkan hati terasa jauh dan tidak terjangkau, seperti hidup Mirelle yang hanya bisa memandang kebebasan dari jauh, namun tidak pernah bisa merasakannya.
Mirelle melanjutkan pekerjaannya dengan cepat, namun hatinya terperangkap dalam kenangan. Ia teringat saat pertama kali ayahnya membawanya ke taman itu, memperkenalkan bunga-bunga yang mereka tanam bersama. “Bunga ini membawa kebahagiaan,” kata ayahnya saat itu. Dan sekarang, semua itu terasa seperti kenangan yang semakin kabur.
Namun, ada sesuatu yang mengingatkannya pada masa itu. Ada secercah harapan dalam dirinya yang tidak bisa padam. Bunga-bunga yang ia rawat sejak kecil itu—meski kini layu dan tak terurus—adalah satu-satunya hal yang mengingatkannya bahwa kehidupan bisa lebih baik dari yang ada saat ini.
Tapi harapan itu sering kali sirna begitu saja ketika Adira muncul dengan suara tajam yang menghancurkan. Seperti pagi ini.
“Kenapa kamu tidak cepat selesai?” Adira muncul tanpa suara, tiba-tiba berdiri di ambang pintu, memandang Mirelle dengan tatapan tajam. “Apa kamu ingin bekerja lebih lama lagi?”
Mirelle menundukkan kepalanya, berusaha menahan segala perasaan yang ingin ia keluarkan. “Aku sedang berusaha cepat, Bu,” jawabnya pelan.
Adira berjalan mendekat, mendekati Mirelle dengan langkah yang berat, seperti ingin menambah tekanan. “Berusaha cepat? Kamu kira aku ini siapa? Pembimbingmu? Aku tidak peduli seberapa cepat kamu, yang penting hasilnya sempurna!”
Mirelle bisa merasakan napasnya semakin berat. Adira tidak pernah puas. Tidak pernah.
Dengan tangan yang mulai gemetar, Mirelle melanjutkan pekerjaannya, sementara Adira tetap mengawasi dari sudut ruangan. Setiap detik yang berlalu terasa semakin menegangkan. Mirelle tahu, jika ia melakukan kesalahan sekecil apapun, hukuman yang lebih buruk menunggu di depan.
Tak lama setelah itu, Adira berbalik dan berjalan menuju ruang tamu, meninggalkan Mirelle yang masih terperangkap dalam kesunyian. Tetapi meski tubuh Mirelle bisa bergerak, pikirannya terjebak dalam kegelapan.
Apa yang bisa ia lakukan untuk keluar dari sini?
Mirelle menyelesaikan pekerjaan pagi itu dengan cepat, namun hatinya tetap gelap. Ia tahu bahwa hari berikutnya akan lebih berat, seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi ada satu hal yang terus menggerakkan langkahnya—harapan. Harapan bahwa suatu hari ia bisa bebas dari semua ini, meskipun jalan itu terasa sangat panjang dan penuh rintangan.
Sambil membersihkan sisa-sisa makanan yang tertinggal, Mirelle menatap taman di luar. Meski bunga-bunga itu tampak layu, ia masih bisa melihat kilasan warna cerah yang mencoba menyembul dari balik daun-daun yang rapuh. Bunga-bunga itu mengingatkannya bahwa hidup, meski penuh siksaan, tidak sepenuhnya hilang tanpa arti. Ada harapan, ada cahaya di balik kegelapan.
Dan Mirelle memutuskan bahwa ia tidak akan menyerah. Tidak pada dirinya sendiri, dan tidak pada impian yang terus menyala di dalam hatinya.
Air Mata di Taman Bunga
Sore itu, angin berhembus pelan, menggerakkan dedaunan di taman yang telah lama terlupakan. Mirelle duduk di bawah pohon besar, di tempat yang biasa ia jadikan pelarian. Taman itu tidak lagi seindah dulu, tanahnya kering dan bunga-bunganya layu, namun masih ada sedikit warna yang memikat hati.
Mirelle menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Setiap hari, ia merasa hidupnya seperti terperangkap dalam rutinitas yang tidak pernah berakhir—pekerjaan yang tiada henti dan sikap Adira yang semakin lama semakin mematahkan semangatnya. Namun, taman ini—meskipun terlupakan—masih memberi ruang bagi pikirannya untuk terbang bebas, jauh dari semua yang mengekangnya.
Tapi tidak hari itu.
Mirelle melihat sosok itu, Adira, yang datang mendekat dengan langkah berat, seolah tahu bahwa Mirelle sedang mencoba melarikan diri. Wajah Adira kali ini tidak terlihat marah, melainkan datar, seperti sedang menyembunyikan amarah yang lebih besar di dalam dirinya.
“Kamu lagi di sini,” kata Adira, suara datar, namun penuh ancaman. “Apa kamu pikir kamu bisa lari begitu saja?”
Mirelle tidak menjawab. Ia hanya menunduk, berusaha terlihat lebih kecil. Bahkan di tempat ini, di taman ini, tidak ada ruang untuk kebebasan.
Adira berdiri di depan Mirelle, memandanginya dengan tatapan tajam. “Aku sudah bilang, kan? Kamu harus lebih rajin. Tidak ada waktu untuk bermain-main.”
Mirelle merasakan darahnya berdesir, mengalir lebih cepat. Ia tahu, ada yang tidak beres. Biasanya, Adira tidak akan pernah secalm ini. Ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu.
“Kamu pikir kamu berhak istirahat? Hah?” suara Adira mulai naik, dan Mirelle bisa merasakan panas yang memancar dari tubuhnya. “Aku tidak butuh alasan dari kamu. Kamu hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan. Begitu saja.”
Dengan satu gerakan cepat, Adira meraih pergelangan tangan Mirelle dan menariknya dengan kasar. Mirelle terkejut, tubuhnya terhuyung ke depan, tapi ia berusaha menahan diri agar tidak jatuh. Matanya dipenuhi dengan kepedihan, tapi ia tahu, tidak ada gunanya menangis di hadapan wanita itu.
“Bangun! Sekarang!” Adira menggertak, menarik Mirelle menuju jalan setapak menuju rumah. “Kamu pikir aku ini siapa? Pembantu yang harus kamu abaikan?”
Mirelle merasa seperti dunia di sekitarnya berputar. Setiap langkah terasa semakin berat. Bahkan taman yang dulu memberikan sedikit kenyamanan kini tampak seperti penjara. Ia tidak bisa menahan lagi, air mata yang sejak pagi tadi ia tahan akhirnya mengalir.
Air mata itu bukan hanya karena sakit fisik yang ia rasakan akibat cengkeraman tangan Adira, tetapi juga karena keputusasaan yang semakin dalam. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan seperti ini.
Adira berhenti sejenak dan menoleh, matanya tajam seperti pisau. “Kamu pikir air mata itu bisa mengubah apa-apa? Kamu hanya akan terus menangis dan tidak pernah belajar, Mirelle.”
Dengan kasar, Adira mendorong Mirelle ke dalam rumah. “Masuk. Sekarang. Aku ingin kamu selesai dengan semua pekerjaan itu sebelum malam datang. Kalau tidak, kamu tahu konsekuensinya.”
Mirelle tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menatap Adira dengan mata yang dipenuhi rasa sakit. Setiap kata yang keluar dari mulut Adira terasa lebih tajam dari pisau, lebih menyakitkan dari apapun yang pernah Mirelle rasakan.
Di dalam rumah, Mirelle kembali pada rutinitas yang tak berujung. Mengambil kain lap, mencuci piring, menyapu lantai—semua pekerjaan itu seolah tak ada habisnya. Setiap gerakan yang ia lakukan terasa berat, seperti ada sesuatu yang mengikat tubuhnya. Tetapi ia tahu, jika ia berhenti, hukuman yang lebih buruk menanti.
Namun, meskipun tubuhnya lelah, Mirelle berusaha untuk tidak menyerah. Ia tahu bahwa di luar sana, ada dunia yang berbeda—dunia yang lebih baik, dunia yang ia impikan. Selama ia masih bisa merasakan harapan, ia tidak akan menyerah.
Ketika ia selesai, Mirelle kembali duduk di tempat yang sama, di bawah pohon besar di taman. Hatinya sakit, air matanya hampir kering, namun ia tetap berusaha untuk kuat.
Ia tahu, suatu hari nanti, ada harapan yang akan membawa dia keluar dari semua ini. Ia hanya harus bertahan sedikit lebih lama.
Siksaan yang Tak Terucapkan
Malam itu, rumah besar yang biasanya terasa sunyi, kini terasa lebih berat dari biasanya. Tembok-tembok yang menahan setiap langkah seolah ikut menekan dada Mirelle, membuat napasnya terasa semakin sesak. Ia duduk di sudut kamar tidurnya, memandang ke luar jendela, namun pemandangan yang ada di depannya hanya kabut malam yang menutupi dunia di luar sana. Segalanya tampak jauh, tak terjangkau, seperti impian yang tak pernah menjadi kenyataan.
Namun, dalam keheningan itu, ada suara yang menyelinap masuk, terdengar samar-samar, semakin dekat. Langkah-langkah kaki yang berat, langkah yang tak pernah gagal membuat Mirelle terjaga dari lamunannya. Adira.
Mirelle memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya, tapi ia tahu, langkah itu semakin dekat. Tak lama kemudian, pintu kamar Mirelle terbuka dengan suara berderit, dan di ambang pintu, Adira berdiri, wajahnya masam seperti biasa.
“Kamu pikir kamu bisa lari dari tanggung jawab?” Suara Adira terdengar begitu rendah, penuh kebencian.
Mirelle tak berani menjawab. Ia hanya menundukkan kepala, matanya menatap lantai seolah mencari jawaban yang tidak ada. Ia tahu, setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memperburuk keadaan.
Adira melangkah masuk, dan tanpa berkata apa-apa, ia duduk di meja rias Mirelle, menatap dirinya sendiri di kaca dengan ekspresi kosong. Seolah sedang mencari kekurangan pada dirinya, atau mungkin pada Mirelle, entahlah.
“Kenapa kamu selalu menghindar dari tugasmu?” Adira akhirnya memecah keheningan, suaranya masih rendah, namun penuh dengan ancaman. “Kenapa kamu tidak bisa seperti anak-anak lain yang patuh? Kenapa kamu harus menjadi beban?”
Mirelle menggigit bibirnya, berusaha menahan diri. Setiap kata yang diucapkan Adira seperti cambuk yang menyambar kulitnya, menghancurkan sedikit demi sedikit sisa-sisa keberaniannya.
“Apa kamu tidak pernah merasa bersyukur, Mirelle?” Adira melanjutkan, kali ini lebih dingin. “Kamu tidak tahu betapa sulitnya aku berjuang untuk membuat hidup ini lebih baik. Dan kamu? Kamu hanya terus mengeluh, tidak pernah cukup.”
Mirelle menunduk semakin dalam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terasa terhalang oleh sesuatu yang lebih kuat—ketakutan. Ketakutan yang sudah menjadi bagian dari dirinya, yang membuatnya tidak bisa lagi melihat dunia dengan jelas.
Adira mendekat, lalu berdiri di depan Mirelle, dan dengan satu gerakan kasar, ia menarik rambut Mirelle, memaksanya untuk menatapnya. “Jangan pernah merasa kamu lebih baik dari aku. Kamu hanya seorang anak yatim yang beruntung memiliki ayah yang baik hati. Tapi kamu tidak pantas mendapatkannya.”
Air mata kembali mengalir tanpa bisa ia hentikan. Bukan karena rasa sakit yang menyerang tubuhnya, melainkan karena kata-kata itu—kata-kata yang mengoyak hatinya, yang membuatnya merasa lebih hina dari yang ia rasakan sebelumnya.
Namun, Adira hanya tertawa. Tertawa dengan cara yang tidak wajar, seperti seseorang yang merasa menang. “Kamu tidak akan bisa keluar dari sini, Mirelle. Kamu akan selalu terjebak dalam hidup ini. Tak ada yang bisa menyelamatkanmu.”
Mirelle merasa seolah seluruh dunia runtuh di atasnya. Ia merasa tubuhnya tak lagi miliknya, terperangkap dalam cengkraman Adira yang semakin erat. Rasanya seperti ada lubang gelap yang menghisap seluruh kehidupannya, menenggelamkannya ke dalam keputusasaan yang tak terhindarkan.
Adira melepaskan rambut Mirelle, dan dengan langkah tegas, ia pergi meninggalkan kamar, meninggalkan Mirelle yang masih terbaring di tempat tidur dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Ia merasa seolah tubuhnya tak mampu lagi bergerak, terlalu lelah dan terlalu hancur untuk bangkit.
Namun, di tengah kepedihan itu, ada sedikit keberanian yang mulai tumbuh. Mirelle tahu, meski saat itu ia terpuruk, harapan masih ada. Meski Adira terus berusaha menghancurkan segala yang ia miliki, ia masih bisa melawan. Tidak hari ini, mungkin bukan besok, tapi suatu saat nanti.
Ia menghapus air mata yang terus mengalir, mencoba untuk merangkak kembali dari kegelapan. Ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya—sesuatu yang ia tak pernah sadari sebelumnya. Ketika Adira meninggalkannya begitu saja, ia merasa bahwa meskipun dunia di sekitarnya hancur, ia tidak boleh menyerah.
“Suatu hari nanti,” Mirelle berbisik pada dirinya sendiri, “aku akan bebas.”
Tapi untuk saat ini, ia harus bertahan. Bertahan dari siksaan yang tak terucapkan, dari kata-kata yang menusuk, dari luka yang tersembunyi. Karena di dalam dirinya, masih ada secercah harapan yang tidak akan pernah padam.
Akhir yang Baru Dimulai
Mirelle menatap bayangan dirinya di cermin, wajahnya pucat, matanya sembab, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Meski tubuhnya lelah dan rasa sakit masih membekas, ada secercah keberanian yang tak bisa ia padamkan. Adira telah memberikan banyak luka, tapi Mirelle sadar, luka-luka itu bukanlah akhir dari semuanya. Mereka hanya tanda bahwa ia masih hidup, bahwa ia masih punya kesempatan untuk berjuang.
Hari itu, rumah besar yang biasa terasa begitu menakutkan kini tampak berbeda. Ada sesuatu yang aneh, sebuah ketegangan yang menggantung di udara. Mirelle merasakan perubahan itu sejak pagi. Setiap langkah terasa lebih ringan, seolah dunia membuka sedikit celah untuknya. Ia tahu bahwa waktunya untuk berhenti hidup dalam ketakutan sudah tiba.
Ketika Adira masuk ke ruangan itu, seperti biasa dengan langkah tegas, Mirelle hanya mengangkat wajahnya, tidak lagi menunduk. Adira memandanginya dengan tatapan tajam, namun kali ini Mirelle merasakan sesuatu yang berbeda. Tatapan itu tidak lagi memberi rasa takut.
“Kenapa kamu diam saja? Tidak ada yang berubah, Mirelle.” Suara Adira tetap keras, namun ada kekosongan di dalamnya, seolah kekuatan wanita itu mulai luntur.
Mirelle berdiri perlahan, tanpa terburu-buru, dan berjalan menuju jendela. Ia membuka tirai, membiarkan cahaya matahari masuk. Udara luar terasa segar, penuh harapan. “Aku tidak takut padamu lagi,” kata Mirelle, suaranya tenang, meskipun ada getaran keteguhan di dalamnya.
Adira terdiam, tidak menyangka akan mendengar kalimat itu dari Mirelle. Ia berdiri di tempatnya, mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut anak tirinya. “Apa kamu pikir begitu mudah?” tanya Adira, meskipun nada suaranya mulai goyah.
“Aku sudah cukup hidup dalam ketakutanmu,” Mirelle melanjutkan, “Dan aku tidak akan membiarkan diriku terjebak dalam cengkramanmu lagi.”
Adira tidak menjawab, namun di wajahnya ada kerutan yang semakin dalam. Mirelle tahu, wanita itu merasa kalah. Dan itulah yang ia inginkan. Bukan untuk merendahkan Adira, tetapi untuk membebaskan dirinya dari belenggu yang selama ini mengikatnya.
“Jangan pernah coba mengontrol hidupku lagi,” kata Mirelle, suara yang sebelumnya lembut kini berubah tegas. “Aku punya hak untuk memilih apa yang aku inginkan.”
Adira terpaku, seolah tidak mengenali Mirelle yang berdiri di depannya sekarang. Ia mungkin berharap Mirelle akan tetap tunduk, akan tetap takut seperti dulu. Tapi tidak. Mirelle sudah berubah, dan Adira tidak bisa lagi mengendalikan semuanya.
Mirelle melangkah keluar dari ruangan itu, menuju pintu depan. Langkahnya pasti, meski hatinya berdebar. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang besar. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar bebas.
Ketika Mirelle sampai di depan pintu, ia menoleh sekali lagi. “Aku pergi, Adira,” ujarnya pelan, “Aku tidak akan kembali.”
Ada keheningan yang menyelimuti ruangan itu, dan Mirelle tahu, untuk pertama kalinya, ia berdiri sendiri, tanpa bayang-bayang ketakutan yang menghantuinya.
Ketika pintu itu tertutup di belakangnya, Mirelle merasa dunia luar menunggu. Tidak ada lagi yang menahan, tidak ada lagi yang menghalangi. Semua yang pernah terjadi, semua luka yang telah ia terima, kini menjadi bagian dari masa lalunya.
Ia melangkah ke depan, ke jalan yang baru, yang penuh dengan kemungkinan. Mirelle tahu, perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu, tidak ada lagi yang bisa menghalangi langkahnya.
Hari itu, dengan matahari yang mulai terbenam di balik awan, Mirelle menemukan kebebasan yang selama ini ia impikan. Kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri.
Dan dalam hati Mirelle, sebuah keyakinan tumbuh: Tidak ada yang bisa menghancurkannya lagi.
Jadi, terkadang kebebasan nggak datang dari tempat yang kita harapin. Mirelle nggak butuh dunia luar untuk bilang dia bisa bertahan. Dia cuma butuh keberanian buat melepaskan semua rasa takut yang selama ini nahan dia.
Kini, dengan langkah yang lebih pasti, Mirelle udah nggak lagi jadi korban dari siksaan yang terus-terusan datang. Ini bukan cuma cerita tentang ibu tiri yang jahat, tapi tentang seorang anak yang akhirnya memilih untuk hidup dengan caranya sendiri, tanpa rasa takut. Dan siapa tahu, perjalanan baru ini justru akan jadi awal dari kehidupan yang jauh lebih baik.