Cerpen Ibu Tiri Kejam: Kisah Anak Tiri yang Mencintai Meski Disiksa

Posted on

Bayangin deh, punya ibu tiri yang nggak cuma kejam tapi juga bikin kamu takut setiap hari. Rasanya kayak hidup dalam ketegangan terus, kayak ada yang ngintip di setiap sudut rumah. Tapi, yang bikin aneh adalah meskipun semuanya berat, ada perasaan yang nggak bisa hilang.

Perasaan sayang, entah kenapa, meskipun si ibu tiri selalu buat kamu nangis. Ini ceritanya tentang itu, tentang bagaimana seorang anak tiri bisa bertahan dan masih punya sedikit harapan, meski ibu tirinya bukan orang yang paling baik. Penasaran? Yuk, baca terus!

 

Cerpen Ibu Tiri Kejam

Duri di Balik Kasih

Naya duduk di sudut dapur, tangannya menggenggam kain lap dengan gemetar. Wajahnya terlihat pucat, matanya berkaca-kaca, dan bibirnya terkatup rapat, seakan takut mengeluarkan suara. Dapur yang semula penuh dengan bau masakan kini terasa sepi dan dingin. Hanya suara desiran angin yang menerobos melalui celah jendela yang rusak yang menemani kesunyian itu.

Di luar, matahari sudah hampir tenggelam, tetapi di dalam rumah, ada hal lain yang lebih menakutkan—Ibu Titi. Wanita yang sudah menjadi ibu tirinya selama hampir tiga tahun ini selalu menghadirkan ketegangan di setiap sudut rumah mereka. Ibu Titi tidak pernah menunjukkan senyum untuknya. Setiap gerak-geriknya penuh amarah dan kebencian, bahkan untuk hal-hal yang sepele. Naya tak pernah mengerti mengapa wanita itu begitu keras padanya, meskipun ia tidak pernah berbuat salah.

“Kenapa kamu belum selesai cuci piring, Naya?!” suara Ibu Titi menyentak, membuat Naya hampir terjatuh dari kursi.

Ibu Titi muncul di ambang pintu dapur dengan wajah yang merah padam. Tangannya terangkat, menunjuk ke tumpukan piring kotor yang masih menunggu untuk dicuci.

Naya menundukkan kepala, berusaha untuk tidak menangis. “Maaf, Bu… Aku… aku baru selesai makan.”

“Tidak ada alasan untuk menunda pekerjaan, Naya! Kalau kamu tidak bisa menyelesaikan pekerjaan sederhana ini, berarti kamu tidak pantas tinggal di sini!” Suara Ibu Titi semakin keras.

Naya merasakan dadanya sesak. Tidak bisa berkata-kata, ia hanya mengangguk, lalu dengan tangan yang gemetar, ia mulai mencuci piring. Setiap tetes air yang mengenai telapak tangannya terasa seperti jarum yang menusuk. Namun, ia tetap melakukannya, tak berani untuk membantah.

Ibu Titi mendekat, berdiri tepat di samping Naya dengan wajah penuh kemarahan. “Cepat, cepat! Jangan kau buat aku menunggu lebih lama lagi!”

Naya menelan ludah. Ia tahu apa yang akan terjadi jika ia tidak menyelesaikan pekerjaan ini tepat waktu. Ibu Titi akan memukulnya lagi dengan sapu rotan yang selalu ada di dekatnya. Suara rotan itu sering terdengar, menghantam tubuhnya dengan keras. Setiap kali, rasa sakitnya semakin membekas. Namun, Naya tetap diam, berusaha menahan tangisnya, mencoba menyelesaikan piring-piring itu dengan cepat.

Akhirnya, setelah satu jam, Naya menyelesaikan tugasnya. Tapi tubuhnya terasa sangat lelah. Ia duduk di sudut dapur, menyandarkan punggungnya di dinding yang dingin, berharap bisa sedikit tenang. Saat itu, langkah kaki Ibu Titi terdengar mendekat lagi.

“Dasar anak pemalas,” kata Ibu Titi sambil melihat Naya yang sedang duduk dengan wajah lelah. “Kenapa kamu masih di sini? Pergi, bersihkan ruang tamu sebelum aku bilang ayahmu!”

Naya tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu bahwa jika Ibu Titi mengancam untuk memanggil ayahnya, itu lebih buruk. Ayahnya tidak pernah melawan keinginan Ibu Titi. Bahkan seringkali, ia membiarkan wanita itu memperlakukan Naya dengan kasar.

Dengan perlahan, Naya berdiri dan berjalan menuju ruang tamu. Kaki-kakinya terasa lemah, tapi ia berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa sakitnya. Saat ia mulai menyapu, suara tangisan perlahan terdengar dari balik pintu kamar Ibu Titi.

Naya terhenti sejenak, menoleh ke pintu yang tertutup rapat itu. Ia pernah mendengar suara tangisan itu sebelumnya, tetapi tidak pernah berani menanyakannya. Tangisan itu selalu datang setiap malam, seakan menandakan ada sesuatu yang sangat terluka di dalam hati Ibu Titi. Namun, Ibu Titi tidak pernah membiarkan siapa pun mendekat. Ia menutup rapat pintu hatinya.

“Apa yang kamu lihat?” Suara Ibu Titi tiba-tiba memecah keheningan, dan Naya terkejut. Ibu Titi berdiri di ambang pintu ruang tamu, matanya tajam memandang.

“N-nothing, Bu…” jawab Naya dengan suara pelan. Ia segera menundukkan kepala dan kembali menyapu lantai.

Ibu Titi tidak berkata apa-apa lagi. Namun, Naya bisa merasakan tatapan tajam itu masih terasa di punggungnya.

Selesai membersihkan ruang tamu, Naya kembali ke dapur dan duduk di kursi dekat meja makan. Ia berharap bisa sekadar mengistirahatkan tubuhnya sejenak, tapi waktu tidak pernah memberi kesempatan.

Tiba-tiba, Ibu Titi muncul di depan pintu dapur, matanya penuh amarah. “Kenapa kamu duduk di sini? Apa kamu pikir rumah ini tempat tidurmu? Ayo, bantu aku bersihkan halaman depan!”

“Ya, Bu…” jawab Naya, suaranya hampir tak terdengar. Ia berdiri, menyeka air matanya yang hampir tumpah.

Namun, saat ia melangkah keluar rumah, ada sesuatu yang ganjil. Di balik amarah dan ketegasan Ibu Titi, Naya merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, yang tersembunyi jauh di balik tatapan tajam itu. Ia tidak tahu apa itu, tetapi ia bisa merasakannya. Ada kesedihan yang belum pernah disembuhkan, sebuah luka yang belum pernah dijamah.

Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, Naya terbaring di ranjang kecilnya, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan bayangan. Tiba-tiba, suara tangisan yang ia dengar beberapa kali dalam seminggu itu kembali memenuhi telinganya.

Ibu Titi menangis lagi.

Namun Naya tahu, tidak ada yang bisa dilakukannya. Ia hanya bisa mendengarkan tangisan itu, berusaha memahami, meskipun ia tak pernah bisa benar-benar mengerti mengapa.

Namun, ada satu hal yang pasti—meski Ibu Titi sering kali kejam padanya, Naya tetap tidak bisa berhenti menyayanginya. Seperti duri yang tersembunyi di balik kasih, meski sakit, ia tetap mencintai ibu tirinya, dan berharap suatu hari nanti wanita itu bisa melihatnya bukan sebagai musuh, tapi sebagai anaknya yang sejati.

 

Tangisan yang Terpendam

Naya terjaga lebih pagi dari biasanya. Suara ayam berkokok di kejauhan mengingatkannya bahwa hari baru sudah dimulai. Namun, rasa takut dan kecemasan masih membelenggu tubuhnya. Pagi ini terasa berbeda—lebih sunyi dan lebih menekan. Ibu Titi, yang selalu ada dengan wajah marahnya, tampak lebih murung dari biasanya. Ada sesuatu yang berubah, meskipun tak ada kata-kata yang terucap.

Setelah menyelesaikan tugasnya di dapur, Naya berjalan ke luar rumah, seperti biasa, untuk membersihkan halaman depan. Namun, entah mengapa, kali ini langkah kakinya terasa lebih berat. Ia tak tahu mengapa, tetapi hatinya seolah berkata bahwa ada sesuatu yang sedang menunggu.

“Jangan lama-lama!” Suara Ibu Titi terdengar dari dalam rumah, membuat Naya terkejut. Tapi kali ini, suaranya tidak sekeras biasanya. Ada kelelahan yang terdengar begitu dalam, seolah-olah wanita itu sudah kehabisan tenaga untuk meneriaki Naya.

Naya mengangguk pelan, meski tak ada yang bisa dilihatnya dari balik pintu dapur. Ibu Titi sudah terlalu lama bersembunyi di balik tirai kebencian dan kesedihan. Naya tahu itu. Tapi, apakah ia cukup berani untuk mencari tahu?

Selama membersihkan halaman depan, Naya merasa ada sesuatu yang tak beres. Pandangannya terus tertuju pada jendela kamar Ibu Titi yang terbuka sedikit, membiarkan udara pagi masuk. Biasanya, Ibu Titi akan langsung berteriak jika melihatnya lambat bekerja, tetapi hari ini tidak ada suara. Hanya angin yang berdesir, dan itu membuat Naya semakin curiga.

Setelah selesai, Naya memberanikan diri untuk mendekati jendela kamar itu. Ia tahu betul bahwa Ibu Titi pasti tak suka jika ia mengintip, tetapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukannya. Perlahan, ia mendekatkan telinganya ke dinding yang memisahkan dapur dengan kamar ibu tirinya.

Dan tiba-tiba, suara itu datang lagi—suara tangisan, lirih, penuh sesak, seperti seseorang yang tengah merasakan sakit yang sangat dalam. Ibu Titi menangis lagi. Namun kali ini, tidak seperti sebelumnya. Tangisan itu bukan hanya sekadar karena kemarahan, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih pribadi.

Naya menahan napas. Ia tahu ini adalah saat yang paling sulit. Ia ingin berlari, pergi dari rumah ini, tapi tubuhnya terasa kaku. Ada kekuatan yang menariknya untuk tetap di sini, untuk mencoba mengerti, meski tahu itu akan menyakitkan.

Dengan hati yang berdebar, Naya membuka sedikit pintu kamar dan mengintip ke dalam. Ibu Titi duduk di ujung tempat tidurnya, dengan tangan terlipat di dada, wajahnya tertunduk. Naya bisa melihat mata ibu tirinya yang merah, penuh dengan air mata yang tak kunjung kering. Itu bukan lagi amarah, tapi kesedihan yang tak tertahankan. Ibu Titi tampak sangat rapuh saat itu, seperti seorang wanita yang telah kehilangan segalanya.

Naya berdiri di sana, terpaku, tidak tahu harus bagaimana. Dalam hatinya, ia merasa iba, meskipun selama ini ia hanya melihat sisi lain dari Ibu Titi yang penuh kebencian dan kekerasan. Ia tidak tahu harus merasa apa—apakah ini saat yang tepat untuk menunjukkan kepeduliannya, atau apakah ia hanya akan semakin terluka?

Tiba-tiba, Ibu Titi mengangkat wajahnya dan melihat ke arah jendela. Mata mereka bertemu sejenak, dan Naya merasa jantungnya berhenti berdetak. Ibu Titi menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti—ada sesuatu yang samar di mata wanita itu. Entah amarah, kebingungan, atau hanya kelelahan. Ibu Titi tidak berkata apa-apa. Hanya saja, sebuah senyum tipis muncul di wajahnya, yang terlihat sangat lemah, bahkan terpaksa.

“Kamu…” suara Ibu Titi pelan, seperti enggan mengucapkannya. “Kamu memang aneh, Naya.”

Naya merasa seperti ada batu besar yang jatuh ke dadanya. Hatinya berdegup kencang, antara takut dan ingin tahu lebih banyak. Namun, ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menatap Ibu Titi, bingung, tidak tahu bagaimana harus bersikap.

Ibu Titi menarik napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidurnya dan melangkah menuju pintu. “Kamu boleh kembali ke dalam,” katanya, dengan nada yang jauh lebih lembut daripada biasanya. “Aku… aku hanya butuh waktu sendiri.”

Naya mengangguk pelan dan kembali ke dalam rumah, langkahnya terasa lebih ringan, meskipun hatinya masih berat dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Ibu Titi bukanlah wanita yang mudah ditebak, dan semakin lama ia mengenalnya, semakin sulit untuk memahami perasaan ibu tirinya itu. Satu hal yang pasti, meski kejam dan penuh dengan luka, Naya mulai melihat ada sesuatu yang lebih dalam pada diri Ibu Titi—sesuatu yang mungkin tak pernah bisa ia ungkapkan, bahkan pada dirinya sendiri.

Ketika ia duduk kembali di dapur, memikirkan apa yang baru saja dilihatnya, perasaan kesepian datang kembali. Ibu Titi mungkin tidak akan pernah bisa melihatnya sebagai anak kandung, tetapi Naya tahu, ia tetap akan mencoba, meskipun tidak ada janji bahwa semuanya akan menjadi lebih baik.

Malam itu, Naya kembali terbaring di ranjang kecilnya, mencoba merenung. Ia tahu, ke depan, mungkin akan ada lebih banyak hal yang harus dihadapi. Namun, ada satu hal yang pasti—meskipun Ibu Titi tak pernah mengungkapkannya secara langsung, Naya merasa, di dalam hati wanita itu, ada ruang untuk cinta yang selama ini terpendam, terkubur dalam amarah dan kesedihan yang tak terucapkan.

 

Ketegangan yang Tertahan

Pagi itu, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Naya terbangun dengan perasaan yang berbeda. Meskipun kemarin ia menyaksikan Ibu Titi menangis, ia tak bisa melepaskan rasa takut yang masih mencengkeram jantungnya. Apa yang sebenarnya terjadi pada ibu tirinya? Mengapa ia begitu rapuh? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, seolah-olah ada yang belum selesai, sebuah cerita yang masih belum terbuka sepenuhnya.

Ibu Titi belum keluar dari kamar seperti biasanya. Biasanya, pagi hari adalah waktunya untuk mengatur rumah, menyusun rencana-rencana yang penuh ketegangan, atau memberikan tugas-tugas yang harus segera diselesaikan. Namun, hari itu, ada hening yang menggelayuti. Naya tahu, ini bukanlah waktu yang tepat untuk bertanya. Tetapi, hatinya begitu ingin tahu.

Dengan langkah pelan, Naya menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia masih teringat senyuman lemah yang Ibu Titi berikan kemarin, meski disertai dengan tatapan yang sulit dimengerti. Seiring dengan suara panci yang berbunyi di atas kompor, ingatan itu kembali menghantui. Ada sesuatu yang terlewat—sesuatu yang terlalu dalam untuk dipahami oleh Naya yang masih berusaha mengerti cara kerja dunia ini. Ibu Titi, yang dulu selalu tampak tegas dan tak terkalahkan, kini justru tampak seperti wanita yang hilang arah.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah kamar. Ibu Titi muncul, dengan wajah yang masih terlihat pucat dan lelah. Matanya sembab, seolah belum tidur nyenyak sepanjang malam. Namun, ada yang berbeda—ada keraguan yang tergambar di wajahnya, dan sedikit kepanikan yang membuat Naya bertanya-tanya.

“Ada apa, Bu?” Naya memberanikan diri untuk bertanya, meskipun hatinya masih berdebar kencang.

Ibu Titi hanya menggelengkan kepala. Ia berjalan perlahan ke arah meja makan, duduk dengan ekspresi yang sulit dibaca. Sambil menatap kosong, tangan ibu tirinya memegang secangkir teh, tetapi tampaknya pikirannya jauh sekali dari apa yang sedang ia pegang. Keheningan yang tercipta begitu menyesakkan, membuat Naya semakin merasa cemas.

“Kamu tidak perlu khawatir tentang aku,” kata Ibu Titi akhirnya, dengan suara yang sangat pelan, hampir berbisik. “Aku hanya… sedang lelah.”

Naya menatap ibu tirinya dengan hati yang penuh kebingungan. Tidak ada kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaan yang tengah ia rasakan. Bagaimana bisa Ibu Titi yang dulu begitu penuh dengan amarah dan kekuasaan, kini berubah menjadi seseorang yang begitu rapuh? Apa yang telah terjadi? Apa yang membuat wanita itu jatuh begitu dalam?

“Bu…” Naya memanggil pelan, berusaha untuk tidak mengganggu ketenangan yang masih menyelimuti ibu tirinya. “Aku… bisa membantu, kalau kamu mau bicara.”

Ibu Titi terdiam sejenak, menatap Naya dengan pandangan kosong. Lalu, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut, ia bangkit dari tempat duduknya dan pergi menuju pintu depan, membuka dengan kasar, seolah ingin mengusir segala kegelisahan yang mengganggu pikirannya.

Naya mengikuti dengan langkah hati-hati, dan melihat Ibu Titi berdiri di luar rumah, menatap langit yang mulai gelap dengan ekspresi yang sangat kosong. Ada rasa ketakutan yang begitu dalam di mata ibu tirinya, meskipun ia berusaha menutupi perasaan itu dengan sikap yang acuh tak acuh.

“Ibu Titi, kamu tidak harus sendiri,” Naya berkata dengan suara yang penuh kehangatan, mencoba mendekat.

Namun, Ibu Titi hanya menghela napas panjang. “Aku tidak ingin kamu terlibat. Kamu hanya akan membuat segalanya lebih rumit,” jawabnya dengan nada yang keras, meskipun jelas ada ketidakpastian di dalam suara itu.

Naya terdiam, perasaan hampa merayapi hatinya. Apa yang dimaksud oleh Ibu Titi? Apa yang begitu rumit dalam hidupnya? Ia hanya bisa menatap ibu tirinya, tak tahu harus berkata apa. Semua kata yang ingin keluar terasa tersangkut di tenggorokannya. Keinginan untuk mengerti dan menyelami hati Ibu Titi semakin besar, tetapi di saat yang sama, ada juga rasa takut yang menahan langkahnya.

Hari itu berlalu begitu saja, dan meskipun segala ketegangan terasa begitu mengganjal, Naya tidak bisa berbuat banyak. Ia kembali melakukan tugas-tugas rumah seperti biasa, tetapi hatinya tetap terperangkap dalam kecemasan. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam yang harus ia hadapi, dan itu tak hanya tentang ibu tirinya. Ini tentang dirinya sendiri—tentang siapa ia di mata Ibu Titi, dan apakah segala usaha yang dilakukannya akan pernah dihargai.

Malam datang, dan rumah kembali terasa sunyi. Naya sudah menyelesaikan segalanya dan duduk di ruang tamu, menunggu. Ibu Titi belum juga kembali dari luar. Ada rasa takut yang begitu menggelisahkan di dalam dirinya, karena ia tahu, akan ada sesuatu yang besar yang terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Sesuatu yang akan mengubah semua yang selama ini ia kenal.

Hanya malam yang menjadi saksi bisu dari setiap ketegangan yang tertahan di dalam hati mereka berdua. Ketika akhirnya Ibu Titi muncul dari balik pintu dengan wajah yang lebih dingin daripada sebelumnya, Naya tahu bahwa sesuatu sudah berubah. Dan perubahan itu tidak akan mudah untuk diterima.

“Kenapa kamu masih di sini?” Tanya Ibu Titi dengan suara yang terdengar tegas, namun matanya tidak bisa menyembunyikan kerapuhan yang terpendam di sana.

Naya menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk menjawab. “Karena aku ingin tahu, Bu. Aku ingin tahu apa yang terjadi padamu, pada kita.”

Ibu Titi menatapnya untuk beberapa detik, lalu menarik napas panjang. “Suatu saat, kamu akan mengerti, Naya. Tapi untuk sekarang, lebih baik kamu tidak terlalu peduli.”

Naya hanya bisa menatapnya, tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin berteriak, ingin menangis, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Hari-hari selanjutnya akan menjadi lebih sulit, dan ia tahu itu. Tapi, entah mengapa, ia tetap memilih untuk tetap berada di sisi Ibu Titi, meskipun semua itu penuh dengan luka dan ketakutan yang tak terucapkan.

 

Titik Terang yang Terlambat

Hari-hari setelah pertemuan malam itu terasa lebih berat. Naya merasa ada yang mengganjal di setiap langkahnya. Ibu Titi semakin menarik diri, tidak lagi menunjukkan amarah yang biasa ia lemparkan, tapi justru keheningan yang lebih dalam. Keheningan yang hampir memekakkan telinga, yang seolah-olah menenggelamkan Naya dalam ketakutan yang lebih nyata daripada sebelumnya.

Di sekolah, Naya tidak bisa fokus. Setiap kali ia melirik jam, pikirannya kembali terbang ke rumah, mencari tahu apa yang sedang terjadi pada ibu tirinya. Apakah Ibu Titi baik-baik saja? Apa yang sedang disembunyikan darinya? Semua pertanyaan itu terus menghantui setiap detik yang berjalan, tetapi jawaban seakan-akan tidak pernah muncul.

Pagi itu, Naya bangun lebih pagi dari biasanya. Ia merasa gelisah. Ada yang berbeda dalam dirinya, dalam suasana rumah ini. Meskipun Ibu Titi berusaha menyembunyikan segalanya, Naya bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang lebih besar dari apa yang pernah ia bayangkan. Sesuatu yang akan mengubah segalanya.

Ketika ia turun ke ruang makan, ia menemukan Ibu Titi duduk di meja, memandangi secangkir kopi yang sudah lama dingin. Wajah ibu tirinya terlihat jauh lebih tua, lebih lelah daripada sebelumnya. Meski bibirnya tertarik ke sebuah senyum yang dipaksakan, matanya kosong. Naya tidak bisa berpura-pura lagi bahwa semuanya baik-baik saja.

“Ada apa, Bu?” Naya bertanya dengan suara lembut, mencoba mencari tahu lebih dalam.

Ibu Titi menatapnya tanpa berkata apa-apa. Sekejap, ada keheningan yang begitu panjang. Namun, akhirnya, ibu tirinya menghela napas panjang dan menatap Naya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Tatapan yang berisi keraguan, ketakutan, dan kesedihan yang dalam.

“Aku tidak bisa terus seperti ini, Naya,” kata Ibu Titi akhirnya, dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Aku… aku sudah banyak melakukan hal-hal yang salah. Aku… bukan ibu yang baik untukmu.”

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar, menghancurkan setiap dinding yang dibangun Naya di dalam hatinya. Apa maksud Ibu Titi? Apakah ini berarti ia akhirnya mengakui semua yang telah ia lakukan? Naya bisa merasakan ada keinginan yang tersisa dalam diri ibu tirinya—sebuah keinginan untuk berubah, untuk memperbaiki semuanya. Tapi apakah itu cukup?

“Aku tahu aku sudah banyak membuatmu takut, membuatmu menderita. Aku tidak pernah menjadi ibu yang seharusnya. Aku… aku bahkan tidak tahu apakah aku pantas disebut ibu. Aku hanya ingin meminta maaf, Naya.”

Naya terdiam. Kata-kata itu, meskipun terdengar tulus, tetap meninggalkan banyak rasa sakit yang terpendam. Sungguh, ia tidak pernah membayangkan akan mendengar kata-kata ini dari Ibu Titi. Seolah-olah semua yang ia lakukan selama ini—segala rasa takut, segala rasa terhina—ternyata hanya bagian dari perjalanan panjang yang belum selesai. Ia tidak tahu harus merasa apa, bingung antara marah dan kasihan.

“Aku… tidak tahu apa yang harus aku katakan, Bu.” Naya berbicara dengan suara yang pelan, penuh kebingungan. “Tapi… aku tidak bisa mengabaikan apa yang sudah terjadi. Kita tidak bisa langsung lupa begitu saja.”

Ibu Titi menundukkan kepala, wajahnya kembali tertutup dengan kepedihan. “Aku tahu. Aku tahu itu. Tapi aku berharap, suatu hari, kamu bisa memaafkanku, Naya. Aku tidak tahu apakah itu akan pernah terjadi, tapi aku berharap kamu bisa menemukan cara untuk melupakan semuanya dan melanjutkan hidupmu.”

Naya menatap ibu tirinya dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa bingung dan terluka, tetapi ada perasaan lain yang datang—perasaan yang tidak dapat ia jelaskan. Apakah ia bisa memaafkan ibu tirinya? Apakah ia bisa melupakan segala perlakuan buruk selama ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, tetapi Naya tahu bahwa jawabannya tidak akan pernah mudah.

“Aku tidak tahu, Bu,” jawabnya akhirnya. “Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin kita berdua mencoba untuk menjadi lebih baik, meskipun itu akan sangat sulit.”

Ibu Titi mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya, ada senyum yang nyata, meskipun tipis, muncul di wajahnya. Seolah-olah beban yang selama ini ia pikul sedikit berkurang, meskipun hanya sekejap.

“Terima kasih,” bisik Ibu Titi. “Aku tidak tahu bagaimana cara mengucapkan terima kasih atas semua yang telah kamu beri padaku, Naya.”

Tapi di dalam hati Naya, ada rasa takut yang tak kunjung hilang. Meskipun ia merasa seolah-olah ada sedikit harapan yang tumbuh, ia tahu bahwa proses untuk memperbaiki hubungan mereka akan memakan waktu yang lama. Tidak ada yang bisa instan. Semua luka yang ada tidak akan bisa sembuh hanya dengan kata-kata maaf.

Hari itu pun berlalu, namun di dalam diri Naya, sesuatu telah berubah. Ia tahu bahwa meskipun Ibu Titi mengakui kesalahannya, ia harus terus berjalan dengan hati-hati. Tidak ada yang mudah dalam hubungan mereka. Tetapi, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Naya merasa ada sedikit cahaya di ujung jalan yang gelap.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tetapi, satu hal yang pasti: ia akan tetap berusaha. Karena terkadang, meskipun kita terluka, kita tetap harus belajar untuk mencintai—termasuk diri kita sendiri, dan mungkin, sedikit demi sedikit, bahkan orang-orang yang telah menyakiti kita.

Namun, perjalanan ini baru saja dimulai, dan Naya tahu bahwa jalan menuju penyembuhan akan penuh dengan cobaan. Ia hanya bisa berharap bahwa cinta, meskipun terlambat, masih bisa menjadi jawabannya.

 

Dan begitulah, meskipun hidup penuh luka dan rasa takut, tetap ada ruang untuk mencoba memahami dan memaafkan. Karena, siapa tahu, dalam perjalanan yang panjang ini, cinta bisa datang dengan cara yang paling tak terduga. Mungkin ini bukan akhir yang sempurna, tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? Terkadang, kita hanya bisa berharap bahwa cahaya akan datang, meski terlambat.

Leave a Reply