Daftar Isi [hide]
Kalau kamu lahir dan besar di era 90-an, pasti tahu gimana serunya main di luar rumah, ngerakit markas rahasia dari barang bekas, dan perang pake kertas basah atau biji saga. Nah, cerpen yang satu ini bakal bawa kamu balik ke masa-masa itu—ke petualangan bocah kampung yang nemu kotak misterius di balik semak belakang masjid.
Ceritanya lucu, kocak, kadang absurd tapi penuh makna. Geng semak, anak kolong, sampai kisah persahabatan yang bikin senyum sendiri… semuanya lengkap di sini. Yuk, baca sampai habis dan siap-siap nostalgia bareng!
Rahasia di Balik Semak Belakang Masjid
Klan Tembak-Tembakan dan Petualangan Sore Hari
Tahun 1997, bulan Agustus, udara kampung Rembangwetan terasa lebih lengket dari biasanya. Matahari masih menyisakan sengatan terakhir sebelum tenggelam, dan dari ujung jalan tanah merah, suara sandal jepit beradu dengan tumit anak-anak terdengar berirama. Debu-debu beterbangan tiap kali kaki kecil menghantam tanah keras, menari mengikuti jejak langkah bocah-bocah yang berlarian menuju tanah lapang di sebelah masjid.
Di sanalah mereka biasa berkumpul. Lapangan berumput setengah mati itu bukan sekadar tempat main, tapi pusat segala hal yang menurut mereka penting: markas, arena perang, hingga tempat menggosipkan siapa yang nyontek PR di kelas.
Siang itu, seperti biasa, lima bocah mendominasi wilayah. Mereka bukan sembarang anak kecil, mereka adalah “KLAN TEMBAK-TEMBAKAN PLASTIK”, nama yang diusulkan Gibran karena menurutnya terdengar seperti nama pasukan rahasia di film Power Rangers, walau senjata andalan mereka cuma sedotan bekas es mambo yang ditembakkan pakai biji saga atau pentol korek api.
“Cepetan, woi! Kena magrib kita nanti,” teriak Gibran sambil menancapkan tongkat bekas bendera ke tengah lapangan. Di ujungnya tergantung celana dalam bayi yang katanya “tanda bendera perang”.
Ojak datang sambil ngos-ngosan, membawa kotak sepatu bekas berisi amunisi—biji saga merah yang sudah dikeringkan dua hari di atas genteng. “Aku tadi ditahan sama ibu, disuruh beli tahu isi dulu. Tapi aku kabur,” katanya bangga.
“Eh, kamu ninggalin uangnya, nggak?” tanya Lilis sambil melipat tangan.
“Nggak lah. Ibu masih nyari dompetnya waktu aku kabur.”
Lilis menggeleng pelan. “Kamu tuh anak durhaka, Jak.”
Sementara mereka sibuk memperdebatkan definisi durhaka, Eros dan Erosan—duo kembar yang kalau dilihat dari belakang sama persis, tapi dari depan Erosan punya tahi lalat di bibir—datang membawa ember plastik penuh air. “Ini buat peluru basah. Biar makin pedih kalau kena jidat!” seru Erosan.
Mereka pun mulai membagi peran. Gibran jadi pemimpin perang, tentu saja. Ojak jadi penembak jarak jauh. Lilis yang jago ngumpet di semak diangkat jadi mata-mata. Sedangkan Eros dan Erosan… ya, mereka biasanya ditugaskan sebagai “penarik perhatian musuh”—alias umpan.
Belum sempat pertempuran dimulai, suara adzan magrib dari masjid Al-Huda membelah udara sore. Semua mendadak diam. Ada peraturan tidak tertulis di kampung: kalau adzan magrib, main harus berhenti. Tapi anak-anak itu, seperti biasa, tidak langsung bubar. Mereka masih duduk melingkar di bawah pohon kelor di ujung lapangan, menunggu momen pas buat lanjut sedikit lagi sebelum pulang.
“Eh,” kata Gibran tiba-tiba, “kamu pernah nyoba masuk ke belakang masjid nggak?”
Mereka semua saling menatap. Belakang masjid dikenal sedikit angker. Ada semak-semak tinggi, dan katanya di situ pernah ada ular sebesar lengan orang dewasa. Tapi yang lebih bikin merinding: kabar kalau ada bocah ilang pas main petak umpet di sana.
“Aku sih pernah,” kata Ojak, suaranya setengah berbisik. “Tapi cuma sampe semak paling pinggir. Aku denger suara kaya… kaya kentut tapi panjang banget.”
“Itu mungkin suara bapak kamu lagi ngaji,” sahut Lilis, membuat yang lain ketawa ngakak.
Tapi Gibran tetap serius. “Aku penasaran. Kalau kita bikin markas di sana, musuh-musuh kita pasti nggak bakal nemu. Aman.”
“Musuh siapa?” tanya Erosan sambil ngeluarin biji saga dari saku celananya.
“Geng ‘Anak Kolong’ dari RT 3. Yang suka ngerusak layangan kita. Minggu lalu mereka ngambil layanganku terus dikencingin bareng-bareng,” kata Gibran, matanya menatap ke arah semak dengan tekad yang nggak main-main.
Beberapa detik kemudian, mereka berdiri. Tak perlu kata sepakat, karena dalam dunia anak-anak, logika bukan syarat utama untuk mulai petualangan. Yang penting seru. Dan kadang, sedikit berbahaya.
Semak-semak belakang masjid ternyata lebih rimbun dari yang mereka kira. Ada suara cicak, nyamuk, dan sesuatu yang entah apa menyentuh kaki mereka. Gibran berjalan paling depan, memegang ranting kayu seperti pendekar kampung. Ojak menyusul sambil bawa batu, jaga-jaga kalau tiba-tiba muncul makhluk tak dikenal. Di belakang, Lilis terus komat-kamit baca ayat kursi, walau sebagian kata-katanya terdengar seperti lagu Iwa K.
“Eh, stop,” bisik Gibran sambil jongkok. Tangannya menunjuk ke sebuah gundukan di balik semak. Ada sesuatu di sana. Kayu? Kotak? Entahlah. Tapi bentuknya tak wajar. Tidak seperti potongan kayu biasa.
Mereka pun berkumpul mengelilinginya. Hening. Hanya napas dan jantung mereka yang terasa berdetak cepat.
“Kamu yakin ini bukan kuburan?” tanya Erosan pelan.
“Kalau ini kuburan, mana batu nisannya?” balas Gibran.
“Mungkin nisannya jatuh.”
“Kalau jatuh berarti ini kuburan ceroboh!”
Suasana makin tegang sekaligus konyol. Tapi seperti biasa, rasa penasaran anak-anak 90-an jauh lebih besar daripada rasa takut.
“Aku gali ya?” tawar Ojak.
“Pakai tangan aja. Pelan-pelan. Jangan sampe rusak,” kata Gibran.
Dengan peralatan darurat—ranting, sendok plastik, dan sepotong papan bekas lemari rusak—mereka mulai menggali. Pelan tapi pasti, benda misterius itu mulai terlihat… kotak kayu usang, tertutup tanah, ada tanda-tanda bekas paku yang sudah berkarat. Kotaknya kecil, kira-kira sebesar kotak sepatu.
Belum sempat mereka buka, suara azan berakhir, disusul dengan suara Pak Marwan—marbot masjid—teriak dari kejauhan, “Heh! Bocah-bocah, udah magrib! Pulang semua! Mau diculik wewe?”
Mereka semua tersentak.
“Udah, kita balik besok pagi aja. Ini rahasia kita berlima. Jangan bilang siapa-siapa,” kata Gibran.
Mereka mengangguk. Kompak. Sekaligus penuh rasa penasaran.
Sore itu, mereka pulang dengan kepala penuh imajinasi. Ada yang yakin mereka nemu harta karun, ada juga yang curiga itu cuma kotak pancing bekas. Tapi satu hal pasti: petualangan baru sudah dimulai, dan markas rahasia itu… menunggu untuk ditemukan sepenuhnya.
Kotak Kayu dan Surat dari Masa Lalu
Pagi keesokan harinya, udara kampung masih segar dengan bau rumput basah dan asap dapur kayu. Tapi di antara aroma itu, ada sesuatu yang lebih kuat menarik lima bocah Rembangwetan keluar rumah: rasa penasaran yang belum tuntas sejak sore kemarin.
Tanpa janjian, mereka semua udah muncul di depan masjid sejak matahari baru naik satu tombak. Gibran bawa obeng tua dari laci ayahnya. Ojak ngantongin senter kecil hadiah dari tante Bandung-nya yang dulu kerja di pabrik lampu. Lilis bawa buku catatan kecil dan pulpen, katanya buat mencatat segala temuan “arkeologis”. Eros dan Erosan? Seperti biasa, datang berdua dengan rambut acak-acakan dan baju masih bau minyak kayu putih.
“Langsung ke belakang aja. Nggak usah banyak ngomong,” perintah Gibran tanpa basa-basi. Wajahnya serius, seperti anak SD yang habis nonton film Indiana Jones semalam.
Mereka menyusup melewati sisi masjid, menyelinap lewat celah di antara tembok dan tong air wudhu, lalu menyibak semak-semak ke arah tempat penggalian kemarin. Kotaknya masih di sana. Sedikit basah kena embun, tapi tetap utuh.
“Bismillah,” gumam Ojak sambil mengangkat tutup kotak dengan pelan.
Bunyi krek! pelan terdengar saat engsel berkarat dipaksa bergerak. Debu beterbangan begitu tutupnya terbuka sepenuhnya.
Di dalam kotak itu, tidak ada emas, tidak ada pedang pusaka, dan tidak ada peta menuju harta karun. Tapi isi kotaknya justru membuat mereka semua melongo.
Ada majalah anak-anak tahun 1986 yang warnanya sudah pudar, beberapa kartu Dragon Ball KW dengan nama karakter yang salah ketik (“Songoku” jadi “Son Koku” dan “Vegita” jadi “Fegita”), serta robot Gundam kecil tanpa kaki. Tapi yang paling mencolok adalah gulungan kertas yang terikat benang wol merah.
Gibran mengambilnya duluan, lalu membuka pelan-pelan. Tulisan tangan di atas kertas sudah agak luntur, tapi masih bisa dibaca.
“Buat kamu yang nemu kotak ini, berarti kamu bocah yang nggak takut semak dan nyamuk. Ini markas rahasia Anggota Bayangan 1986. Jangan ambil semua isinya. Sisain buat anak-anak masa depan. Teruskan perjuangan kita. Jangan kasih tahu orang dewasa.
— Damar, Ketua Bayangan.”
“Wah gila…” desis Lilis sambil merem-melek, mencoba mencerna tulisan itu.
“Berarti ini warisan dari geng bocah sebelum kita lahir?” Erosan berujar, suaranya setengah tak percaya.
“Lah iya. Tahun 1986 mah emak bapakku aja belum nikah,” kata Gibran.
Ojak menepuk dada sendiri. “Berarti kita… penerusnya. Keren! Aku langsung ngerasa kayak tokoh utama di komik.”
Tanpa banyak diskusi, mereka tahu satu hal pasti: ini bukan main-main lagi. Kotak itu bukan cuma temuan acak, tapi pesan dari masa lalu. Dari anak-anak lain, di zaman lain, yang juga punya dunia rahasianya sendiri, tersembunyi di balik semak belakang masjid ini.
“Mulai sekarang, ini jadi markas resmi kita. Nama klan tetap sama, tapi kita harus hormat sama pendiri pertama,” kata Gibran sambil berdiri dan mengepalkan tangan.
“Aku setuju,” timpal Lilis. “Tapi kita harus tambahin sesuatu yang lebih keren. Supaya nanti anak-anak masa depan juga bisa nemu dan ikut lanjut.”
Mereka pun mulai menata ulang isi kotak. Kartu palsu tetap dibiarkan di dalam, tapi ditambah satu set kartu gambar Power Rangers yang dimiliki Eros—meskipun setengah dari kartunya sudah dimakan rayap. Robot Gundam tetap disimpan, sementara Lilis menaruh satu jepit rambut berbentuk bintang yang katanya “simbol kekuatan perempuan”. Ojak menyelipkan batu kecil berbentuk hati, yang sebenarnya dia ambil dari halaman sekolah seminggu lalu.
Lalu, mereka menulis surat balasan. Di sobekan kertas buku tulis bergaris dua, mereka coretkan tulisan:
“Halo Damar,
Kami nemu kotak kamu. Sekarang kami yang jaga. Namanya masih rahasia juga. Isinya kami tambah, biar anak-anak lain yang nemu nanti tahu kita juga keren.
Salam dari tahun 1997.
— Klan Tembak-Tembakan Plastik.”
Surat itu mereka lipat rapi dan masukkan ke dalam kotak, sebelum menutupnya kembali.
Setelah itu, Gibran berdiri dan menunjuk sekitar. “Mulai hari ini, kita harus bikin wilayah ini lebih aman. Kita kasih sandi. Kita bikin peraturan. Dan yang paling penting… kita rahasiakan semuanya dari orang dewasa.”
“Kalau ditanya ngapain ke belakang masjid, kita jawab… nyari belalang,” kata Ojak.
“Bisa juga bilang nyari sandal yang jatuh ke selokan,” sambung Eros.
“Kalau bilang nyari cinta sejati?” goda Lilis sambil melirik Ojak.
“Eh, nggak lucu, Lis!” Ojak langsung memerah. Yang lain tertawa.
Hari itu, mereka menghabiskan waktu bukan untuk perang tembak-tembakan seperti biasanya. Tapi membuat aturan rahasia, menyusun kode, dan menggambar peta lokasi markas di balik buku catatan bekas. Mereka juga menyumpah serapah bahwa siapa pun yang bocorin rahasia markas, harus rela dimandikan pakai air bekas cucian kaki Pak Marbot.
Ketika matahari mulai tinggi dan suara ibu-ibu mulai memanggil dari kejauhan, mereka pun bubar. Tapi kali ini beda. Ada rasa bangga. Rasa jadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar permainan sore.
Dan di balik semak belakang masjid itu, sebuah warisan kecil terus hidup. Warisan dari bocah-bocah lintas generasi, yang percaya bahwa dunia mereka—dunia imajinasi, petualangan, dan persahabatan—layak disembunyikan dari kebosanan dunia orang dewasa.
Markas Rahasia dan Geng Musuh Bebuyutan
Dua hari setelah mereka menemukan kotak kayu warisan anak-anak 1986 itu, semak belakang masjid Al-Huda berubah drastis. Tak lagi hanya rimbunan liar dan tanah becek, tapi kini jadi markas penuh kehidupan. Mereka menyebutnya Basecamp Bayangan, sebagai bentuk penghormatan buat “Anggota Bayangan” yang ninggalin jejak duluan.
Gibran dan Ojak udah bawa palu mainan, paku bekas, dan beberapa papan triplek sisa proyek rumah tetangganya. Lilis nyumbang taplak meja bekas dapur, yang dijadikan “tirai markas”. Sementara Eros dan Erosan nyangking karpet plastik yang baunya masih bau lem tikus—tapi tetap mereka bentangkan sebagai alas duduk markas kebanggaan itu.
Pagi sampai sore, markas makin lengkap. Ada tempat penyimpanan “arsip penting” alias komik bekas dan majalah Bobo tahun lalu. Ada rak khusus buat senjata perang: sedotan, pentol korek, dan ketapel dari sandal jepit yang dipotong segitiga. Bahkan mereka bikin lobang kecil di tanah buat sembunyiin makanan darurat: dua bungkus mie kering dan sebungkus permen karet sisa lebaran.
Semuanya nyaris sempurna… sampai kabar menyebar: Geng Anak Kolong dari RT 3 tahu soal markas mereka.
Geng itu terdiri dari anak-anak liar yang tinggal dekat kolong jembatan kecil kampung. Pemimpinnya bernama Rijal, anak kelas 6 SD yang punya suara berat kayak tokoh antagonis di sinetron, padahal baru 11 tahun. Anggotanya ada Beben, spesialis bikin jebakan dari tali tambang dan sabun colek, lalu Teguh, anak pendiam tapi mukanya selalu kayak mau mukul orang, dan satu lagi, Junaedi, yang punya reputasi tukang ngadu paling nyebelin.
Kabar mereka tahu markas semak langsung bikin rapat darurat di Basecamp Bayangan.
“Kita harus bikin pertahanan,” ucap Gibran serius. “Jangan sampe anak-anak Kolong nginjek-injek tempat suci ini.”
“Kita bisa jebak mereka pake paku?” tanya Ojak semangat.
“Lah, kamu pikir ini perang beneran? Kita masih SD, Jak,” kata Lilis sambil manyun. “Tapi… kita bisa pakai benang kasur. Kalau ditarik, bunyiin kaleng.”
Eros pun mengusulkan ide terbaik hari itu, “Kita bikin kode alarm. Kayak… tiga kali siul buat bahaya, satu kali buat aman.”
“Dan dua kali buat… ehm… kebelet?” sahut Erosan. Semua langsung ngakak.
Hari itu mereka kerja ekstra keras. Erosan pasang kaleng susu bekas dan tali rafia buat alarm perimeter. Lilis gambar denah pertahanan lengkap di buku tulis halaman belakang. Gibran menyusun strategi patroli, bahkan bikin shift jaga malam—meski akhirnya nggak ada yang sanggup begadang lebih dari jam 8 malam.
Tiga hari berlalu tanpa gangguan.
Tapi pada hari keempat, alarm kaleng akhirnya berbunyi. Tepat saat siang bolong, ketika Lilis lagi sendirian di markas buat beresin rak komik.
Tlinggggg!
Suara kaleng beradu nyaring bikin jantung Lilis hampir loncat. Ia langsung tarik peluit darurat dan tiup tiga kali cepat.
Fiiit! Fiiit! Fiiit!
Gibran yang lagi mancing di parit langsung lempar joran dan lari. Ojak jatuhin gorengan di tangan dan nyaris kepleset. Eros dan Erosan kabur dari warung Pak Kumis tanpa bayar.
Mereka tiba di markas dalam waktu kurang dari dua menit. Napas ngos-ngosan. Tapi telat. Kaleng sudah diam, dan pelakunya tidak terlihat.
“Ada yang masuk. Aku lihat bayangan. Tapi dia langsung lari ke arah pohon pisang,” kata Lilis, wajahnya serius.
“Rijal,” desis Gibran. “Pasti dia. Dia udah ngancem minggu lalu di warung Bu Lastri. Katanya, ‘Liat aja, gue yang pegang semak sekarang.’”
Mereka sadar, ini lebih dari sekadar iseng. Ini awal dari perang wilayah.
Malamnya, Gibran menulis surat balasan. Ia tahu Rijal nggak bisa dihadapi pakai omongan biasa. Jadi dia bikin surat pakai huruf besar semua dan ditulis di kertas bekas bungkus nasi.
KEPADA: ANAK KOLOK RT 3
INI TANAH KAMI. KALO BERANI MASUK LAGI, BERSIAPLAH DIBOM KERTAS BASAH DAN PELURU BIJI SAGA.
KAMI TIDAK TAKUT.
— BASECAMP BAYANGAN
Surat itu mereka selipkan di celah papan dekat pohon pisang—tempat Rijal kabur tadi. Satu hari berlalu. Dua hari. Tiga hari…
Tak ada balasan. Tapi Gibran tahu, ini tenang sebelum badai.
Mereka tetap jaga markas tiap sore. Lebih waspada. Lebih rapat. Bahkan sekarang mereka punya “kode tempur”: kalau siulan dari arah selatan, artinya serang dari barat. Kalau suara kentut (buatan, tentu), berarti musuh sudah di semak kiri.
Namun, di tengah ancaman geng musuh, sesuatu yang tak terduga terjadi. Lilis mulai lebih sering datang lebih awal ke markas. Kadang bawa cemilan, kadang cuma duduk sambil baca majalah. Gibran yang biasanya cuek, jadi sering cari alasan buat ngobrol sama Lilis.
Suatu sore, ketika yang lain belum datang, Lilis duduk di karpet plastik sambil ngunyah kuaci.
“Kamu tahu nggak,” katanya tiba-tiba, “markas ini… tempat paling nyaman sedunia.”
Gibran yang lagi ikat tali alarm berhenti sebentar.
“Ya… walau penuh nyamuk dan baunya campur keringat sama tanah,” jawabnya.
Lilis tertawa kecil. “Tapi kan, cuma kita yang ngerti rasanya. Tempat ini nggak bisa dimengerti orang dewasa.”
Gibran diam. Lalu duduk di sampingnya, masih pegang tali.
“Aku harap nanti, kita masih inget markas ini. Bahkan kalau kita udah tua.”
Lilis menatap langit. “Aku juga.”
Dan saat itulah suara langkah kaki terdengar dari semak sisi timur. Disusul suara ranting patah. Mereka berdiri cepat.
“Musuh?” tanya Lilis pelan.
“Entah. Tapi kita siap.”
Sore itu, tanpa aba-aba, perang kecil pun dimulai.
Tawa yang Tertinggal di Balik Semak
Suara ranting patah yang mereka dengar sore itu bukan suara sembarangan.
Dari balik semak sisi timur, empat bayangan muncul satu-satu—dan benar saja, mereka adalah Rijal dan anak-anak Kolong. Beben bawa botol plastik isi pasir. Teguh mengangkat ranting besar kayak tongkat sakti. Junaedi malah bawa tas kresek yang entah isinya apa.
Mata Gibran langsung menyipit. Lilis berdiri di sampingnya, siap dengan senjata rahasia: sabun colek di sendok plastik, senjata paling ampuh buat bikin musuh panik kalau kena mata.
Ojak, Eros, dan Erosan datang terlambat, tapi langsung lompat ke posisi tempur.
Dan… perang semak pun dimulai.
Gak pakai aba-aba, mereka saling lempar peluru kertas, pasir, ranting, bahkan satu dua semangka kecil mentah yang nyasar dari kebun warga sebelah. Teriakan, tawa, dan umpatan khas bocah kampung bergema di tengah semak, seperti konser rock kecil dengan semak sebagai panggung.
Gibran berhasil nyelinap dari sisi kiri dan nyeruduk Junaedi sampe jatuh terguling. Ojak dan Eros lempar kaleng bekas yang digantung ke arah Beben. Teguh sempat melempar pasir ke arah Lilis, tapi kena angin dan malah balik ke mukanya sendiri.
Setelah hampir sepuluh menit perang tanpa henti, hujan mendadak turun.
Petir membelah langit, dan hujan besar mengguyur tanpa kompromi. Anak-anak langsung kabur, lari tunggang langgang dari semak, sebagian ke masjid, sebagian ke rumah warga.
Basecamp Bayangan pun jadi korban. Tirai markas roboh, karpet plastik hanyut ke got, dan kaleng-kaleng alarm beterbangan ke mana-mana. Markas itu luluh lantak.
Besoknya, mereka datang lagi. Bukan buat membalas, bukan buat perang, tapi berdiri di tengah puing-puing markas yang tinggal sisa. Gibran diam. Lilis juga. Ojak, Eros, dan Erosan hanya memungut beberapa potongan komik yang lembap.
Tapi yang tak mereka duga: dari arah barat, Rijal dan geng Kolong datang… tanpa senjata.
“Kami cuma mau ngomong,” kata Rijal, suaranya nggak segarang biasanya.
Gibran menatap, siap siaga. Tapi Rijal tiba-tiba buka tas kreseknya. Isinya… potongan papan dari markas mereka yang hanyut semalam.
“Kami nemu ini di kali kecil. Kami ambil. Sayang aja kalau kebuang,” ucap Rijal sambil nyodorin papan ke Gibran.
Semua terdiam. Teguh menunduk. Beben menggaruk kepala. Junaedi bahkan nggak ngomong apa-apa.
Mereka nggak tahu harus marah atau terharu. Tapi Lilis maju selangkah, ambil papan itu, dan tersenyum kecil.
“Terima kasih… ya,” katanya pelan.
Gibran mengangguk. “Mungkin… kita bisa bikin markas baru. Bareng.”
Ekspresi anak-anak Kolong berubah. Rijal bahkan tersenyum, meski masih kelihatan kaku.
Hari itu, tanpa disadari, markas rahasia tak lagi milik lima anak saja. Tapi milik semua anak kampung Rembangwetan yang punya rasa ingin tahu, keberanian, dan sedikit nekat buat masuk semak-semak dan nyari petualangan.
Mereka mulai bangun markas baru. Bukan hanya dengan kayu dan plastik, tapi juga dengan cerita. Mereka bentuk kelompok baru: Pasukan Campur Aduk, gabungan antara geng Bayangan dan anak-anak Kolong. Tiap sore mereka berkumpul, main, ngobrol, berdebat soal siapa yang lebih hebat—Power Rangers Merah atau Kamen Rider Hitam—dan bikin aturan baru yang aneh-aneh.
Satu aturan yang paling penting ditulis di papan besar dan ditancapkan di tengah markas:
“SEMUA ANAK BOLEH MASUK
ASAL TIDAK BOSAN BERIMAJINASI”
Tahun demi tahun berlalu. Satu-satu dari mereka masuk SMP, lalu SMA, lalu ada yang pindah, ada yang kerja, ada yang menikah. Semak belakang masjid pun akhirnya dibersihkan dan dibangun gudang. Markas itu hilang.
Tapi cerita tentangnya… tetap ada.
Di kepala anak-anak yang dulu menertawakan hujan sambil lempar pasir. Di hati mereka yang dulu percaya kalau dunia kecil mereka lebih seru dari layar televisi.
Dan di surat lusuh yang masih tersimpan rapi di kotak kayu… yang kini disimpan Gibran di laci lemari rumahnya—bersama kartu Dragon Ball KW dan jepit bintang milik Lilis.
Karena sebagian dari masa kecil… memang layak disembunyikan. Biar jadi rahasia kecil yang cuma bisa dibuka dengan tawa, lumpur, dan kenangan.
Itulah kisah “Rahasia di Balik Semak Belakang Masjid”—cerpen yang bukan cuma tentang petualangan bocah-bocah lugu di kampung, tapi juga tentang kenangan, persahabatan, dan rasa rindu pada masa kecil yang gak akan pernah tergantikan.
Di balik tawa dan lumpur, mereka tumbuh. Dan di balik semak itu, tersimpan bagian kecil dari hidup yang gak bisa dibeli waktu. Jadi, kalau kamu masih punya sahabat masa kecil, coba deh hubungi mereka lagi… siapa tahu, kalian juga pernah punya rahasia yang belum sempat dibongkar.