Daftar Isi
Masuk kuliah itu penuh tantangan, ya! Dari tugas menumpuk, nyari teman, sampai kebingungan cari arah hidup. Tapi, siapa sangka kalau perjalanan itu bisa jadi lebih seru dan penuh warna dengan hadirnya seseorang yang spesial?
Nah, di cerpen kali ini, kita bakal ngikutin perjalanan Raisa yang baru masuk kuliah, bertemu Rangga, dan mulai menemukan arti cinta yang sesungguhnya di tengah kesibukan kampus. Dari kebingungan jadi rasa yang tumbuh pelan-pelan, bikin kamu baper dan mungkin jadiin cerpen ini inspirasi buat perjalanan kuliahmu sendiri! Baca yuk, dan rasakan serunya kisah cinta yang dimulai dari langkah pertama di kampus!
Cerpen Romantis Langkah Bersama di Jalan Cinta
Hari Pertama di Kampus
Pagi itu, matahari menyinari kampus yang masih tampak sepi. Angin berhembus pelan, menyapu dedaunan yang bergoyang di sepanjang jalan setapak yang kutapaki. Suasana pagi di kampus selalu terasa lebih tenang, seolah dunia belum sepenuhnya terbangun dari tidurnya. Aku merasa sedikit tertekan, meskipun suasana di luar tampak begitu damai. Hari pertama kuliah, dan aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan semua yang baru.
Aku berjalan pelan, memandang sekeliling dengan rasa penasaran. Kampus ini besar, lebih besar dari yang aku bayangkan. Gedung-gedung tinggi menjulang, sementara di sisi-sisi jalan, pohon-pohon besar memberikan rasa teduh yang menenangkan. Sejumlah mahasiswa baru sudah mulai berkumpul, terlihat sibuk mencari ruang orientasi atau sekadar berbincang dengan teman-teman baru mereka. Mereka tampak tidak canggung, seperti sudah terbiasa di tempat ini. Aku? Aku masih merasa seperti pendatang asing yang baru saja memasuki dunia yang penuh dengan wajah-wajah asing.
Pandanganku tertuju pada sekelompok mahasiswa yang sedang berdiri di dekat pintu masuk Fakultas Ilmu Komunikasi. Ada dua perempuan yang terlihat berbicara dengan seru, beberapa lelaki yang tampak serius membaca peta kampus, dan seorang pria dengan jaket bomber hijau yang sedang mengutak-atik ponselnya. Entah kenapa, mataku terus tertuju pada pria itu. Rangga, aku baru mengetahui namanya setelah beberapa menit.
Namun, sebelum aku bisa bergerak lebih jauh, langkah kaki pria itu terdengar mendekat, dan dengan cepat ia berada tepat di hadapanku. Aku menatapnya, agak bingung, dan dia sepertinya menyadari tatapanku yang agak terkejut.
“Hah, kamu juga mahasiswa baru, ya?” tanyanya sambil tersenyum, matanya yang tajam memancarkan kehangatan yang membuat aku merasa sedikit lebih tenang.
Aku mengangguk, merasa agak canggung. “Iya, ini pertama kalinya aku di sini,” jawabku sambil sedikit menarik napas, mencoba mengusir gugup yang mulai datang.
Pria itu mengangguk dengan penuh pengertian, seolah memahami kekhawatiranku. “Sama. Aku juga baru pertama kali masuk kampus ini, tapi kayaknya udah bisa sedikit ngeh sih. Kampus ini, kalau kamu udah pernah lewat beberapa kali, pasti gampang banget kok,” ujarnya sambil tertawa kecil, memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi.
“Serius? Aku baru aja ngelihat peta kampus tadi,” jawabku sambil menunjukkan selembar peta yang masih kugenggam. Rasanya semua jalan di kampus ini seperti satu labirin besar. “Kayaknya lebih bingung daripada peta yang harus aku pelajari.”
“Ha, sama banget! Tapi jangan khawatir, kita semua pasti bakal sering ketemu di sini. Di kampus ini, semua orang kayaknya kenal satu sama lain, meskipun baru pertama kali ketemu,” katanya sambil melangkah perlahan menuju pintu masuk gedung. Aku menatapnya, merasa ada semacam energi positif yang mengalir dari cara dia berbicara.
Aku mengikutinya, meskipun agak malu karena merasa seperti orang yang tak tahu arah. “Aku Raisa, by the way,” ujarku ketika kami berjalan berdampingan.
“Rangga,” jawabnya singkat, lalu menoleh ke arahku dengan senyum yang sedikit lebih lebar. “Tapi kamu pasti udah tahu kan, siapa Rangga yang sering duduk di kantin? Orang-orang pada ngomongin aku.”
Aku terkikik mendengar gurauannya. “Oh, jadi kamu terkenal di sini?” tanyaku dengan nada sedikit bercanda.
“Ya, kalau dihitung-hitung, mungkin nggak juga. Cuma karena jarang masuk kuliah, jadi mereka mikir aku itu misterius,” jawabnya dengan santai, seolah itu hal biasa. Aku tak bisa menahan tawa kecil, merasa lebih nyaman dengan kehadirannya.
Kami akhirnya tiba di ruang orientasi. Beberapa mahasiswa baru sudah duduk di bangku yang disediakan. Rangga menepuk kursi kosong di sebelahnya dan mengangguk ke arahku, memberi isyarat agar aku duduk di sana. Aku ragu sejenak, namun akhirnya duduk di sebelahnya.
Saat acara dimulai, kami duduk berdampingan, mendengarkan pemateri yang menjelaskan hal-hal seputar kampus dan perkuliahan. Namun, meskipun aku mencoba untuk fokus, pikiranku terus melayang pada pertemuanku dengan Rangga. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Sesuatu yang membuatku merasa lebih tenang, meskipun kami baru pertama kali bertemu.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa lebih nyaman dengan Rangga. Setiap kali kami bertemu, ada perasaan yang selalu hadir—perasaan yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Rangga punya cara tersendiri untuk membuat orang merasa rileks. Cara dia berbicara yang lugas, senyumnya yang ramah, dan tawa kecilnya yang selalu hadir di setiap kalimat membuat aku merasa tidak begitu asing dengan kampus ini.
Sampai acara orientasi selesai, kami tetap duduk berdampingan. Tak ada obrolan serius, hanya sedikit percakapan ringan tentang kuliah, kehidupan kampus, dan berbagai hal yang terasa penting di saat itu.
Setelah acara berakhir, kami berjalan keluar bersama, menghindari kerumunan mahasiswa yang bergegas menuju kantin atau ruang lain. Angin sore yang sedikit lebih dingin menerpa kulit, memberi rasa segar setelah seharian duduk dalam ruangan.
“Jadi, kamu senang nggak masuk sini?” Rangga bertanya, memecah kesunyian yang tiba-tiba muncul di antara kami.
Aku mengangguk, mencoba mengingat kembali apa yang telah dijelaskan tadi. “Iya, aku senang sih, meskipun masih bingung dengan semuanya. Tapi… kayaknya kampus ini seru. Cuma butuh waktu aja buat ngerasa nyaman.”
Rangga tersenyum dan menoleh ke arahku. “Wajar kok. Aku juga ngerasa gitu. Semua mahasiswa baru pasti ngerasain kebingungannya, apalagi di kampus sebesar ini.”
Kami berjalan bersama menuju gerbang kampus. Tidak ada kata-kata lebih dari itu, namun aku merasakan ada ikatan yang mulai terjalin di antara kami. Sebuah kedekatan yang tidak terucapkan, tetapi bisa dirasakan.
Malam itu, di kamar asrama, aku kembali memikirkan pertemuanku dengan Rangga. Sesuatu tentang dirinya menarik perhatian, dan aku merasa, mungkin, ini baru permulaan dari sebuah kisah yang menarik. Kisah yang dimulai dengan langkah pertama di kampus, di mana semuanya terasa baru, dan kemungkinan-kemungkinan tak terbatas.
Obrolan di Taman
Hari-hari pertama di kampus berlalu dengan cepat, dan aku mulai terbiasa dengan rutinitas baru. Kuliah, tugas, teman-teman baru—semuanya terasa baru dan penuh kejutan. Tapi ada satu hal yang membuatku merasa lebih nyaman di tengah segala kebingunganku, yaitu Rangga. Semakin hari, kami semakin sering bertemu, meskipun tak ada janji atau rencana sebelumnya. Mungkin karena kami memiliki jadwal kuliah yang hampir sama, atau mungkin juga karena kedekatan yang tumbuh begitu alami di antara kami.
Suatu sore, setelah kuliah selesai, kami berjalan keluar dari gedung fakultas. Seperti biasa, Rangga menoleh padaku dengan senyum tipikalnya yang membuat aku merasa lebih ringan. “Ada waktu luang nggak?” tanyanya sambil menepuk tas ranselnya yang terlihat agak berat.
“Pasti. Kenapa?” jawabku, penasaran.
“Aku mau ajak kamu ke taman kampus. Aku nemu tempat yang enak buat ngobrol. Sepertinya kita butuh sedikit udara segar,” kata Rangga, sambil melangkah lebih cepat menuju pintu keluar.
Aku mengikuti langkahnya tanpa banyak bertanya, hanya merasa nyaman dengan keberadaannya. Taman kampus ini bukan tempat yang sering aku kunjungi, tapi ketika kami sampai di sana, aku bisa melihat bahwa tempat itu benar-benar menyenangkan. Pohon-pohon besar memberikan keteduhan, dan bangku panjang yang tersebar di bawahnya sepertinya sudah menjadi tempat favorit para mahasiswa yang ingin melepas penat.
Kami duduk di salah satu bangku yang cukup tersembunyi di sudut taman. Suasana sekeliling tenang, hanya terdengar suara angin yang berdesir dan beberapa percakapan dari kelompok mahasiswa yang sedang duduk di sekitar. Rangga membuka tasnya dan mengeluarkan dua botol air mineral, memberikannya padaku.
“Buat tenggorokan kamu,” ujarnya, sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku, lalu menatap langit sore yang mulai menguning.
“Terima kasih,” jawabku, merasa sedikit tersentuh dengan perhatiannya. Aku membuka botol air dan meminumnya perlahan, menikmati kesegaran yang hadir. Setelah itu, aku menatap Rangga yang masih memandangi langit dengan ekspresi yang tak terduga.
“Rangga, kamu sering ke sini, ya?” tanyaku setelah beberapa detik keheningan, mencoba memecah suasana yang agak sunyi.
Ia mengangguk, masih memandangi langit. “Iya, aku sering ke sini kalau lagi butuh berpikir. Tempat ini tenang, jauh dari hiruk-pikuk kampus yang ramai. Kadang, kamu butuh waktu untuk sendiri, atau cuma sekadar ngobrol ringan sama orang lain. Ini jadi tempat favorit aku buat nyari inspirasi.”
Aku tersenyum, merasa bisa sedikit mengerti apa yang ia maksud. “Tempat ini memang enak. Aku juga butuh tempat kayak gini, sih, untuk berpikir tentang banyak hal.”
Rangga akhirnya menoleh ke arahku, senyumnya kembali hadir. “Aku ngerti kok. Kuliah itu bikin pusing, banyak yang harus dipelajari. Tapi di sini, kamu bisa lebih santai.”
Aku mengangguk setuju. Rasanya, dengan adanya Rangga, segalanya terasa lebih ringan. Mungkin karena dia tahu bagaimana cara membawa suasana jadi lebih nyaman, tanpa ada tekanan.
“Jadi, Raisa…” Rangga mulai berbicara lagi, kali ini dengan nada yang agak serius. “Kamu suka nggak sih, kuliah di sini? Maksudnya, bener-bener suka? Atau cuma karena terpaksa?”
Aku memandangnya sejenak, terkejut dengan pertanyaannya yang agak berbeda dari biasanya. “Aku… suka sih. Mungkin awalnya agak bingung, tapi lama-lama, aku mulai merasa ada tempat di sini. Tapi, jujur aja, aku kadang merasa sedikit kesepian. Semua orang kayaknya udah punya teman, sementara aku masih berusaha cari tempat aku sendiri.”
Rangga tersenyum, kali ini senyum yang lebih lembut. “Raisa, kamu nggak sendirian kok. Kamu cuma belum nemuin orang yang bisa bikin kamu merasa nyaman. Dan… kalau kamu butuh teman ngobrol, aku ada kok.”
Aku menatapnya, sedikit terkejut dengan kata-katanya. “Maksud kamu, kamu mau jadi temanku?” tanyaku, setengah bercanda, meskipun dalam hati aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.
“Ya, tentu aja,” jawabnya dengan percaya diri, “Aku udah mulai ngerasa nyaman sama kamu, Raisa. Aku nggak masalah jadi temen kamu, atau lebih dari itu kalau kamu mau.”
Aku terdiam sejenak, mencerna kata-katanya. Ada rasa hangat yang mengalir di dadaku. Meski kami baru mengenal satu sama lain, aku merasa, mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.
Namun, Rangga sepertinya bisa membaca pikiranku. Dia tertawa pelan, seperti menyadari kegugupanku. “Tenang aja, aku nggak buru-buru kok. Kita jalanin aja dulu, step by step.”
Aku tersenyum, merasa lebih lega mendengar itu. “Aku juga nggak buru-buru, Rangga. Tapi, kalau kita bisa jadi teman baik, itu udah cukup buat aku.”
Kami berdua tertawa, dan untuk sesaat, suasana di taman ini terasa begitu hangat dan penuh arti. Tidak ada kata-kata yang harus diucapkan lebih banyak. Cukup dengan senyuman dan keberadaan satu sama lain, aku merasa, kami telah memulai sebuah hubungan yang bisa berkembang lebih jauh.
Sore itu, kami menghabiskan waktu berbicara tentang segala hal yang datang ke pikiran, tentang kuliah, tentang hobi, dan bahkan tentang impian kami ke depan. Angin sore berhembus lembut, membawa serta harapan-harapan kecil yang tumbuh di dalam hati kami.
Senja yang Berarti
Hari-hari di kampus semakin terasa lebih hidup. Kuliah semakin padat, tugas makin menumpuk, dan pertemuan dengan teman-teman baru mulai menjadi bagian dari rutinitas. Namun, satu hal yang tetap konsisten dalam hidupku sejak beberapa waktu lalu adalah Rangga. Keberadaannya yang selalu ada di sekitar membuat segalanya terasa lebih ringan dan menyenangkan. Kami sering bertemu di berbagai kesempatan—kadang hanya untuk sekadar ngopi di kantin, kadang untuk belajar bersama di perpustakaan, dan beberapa kali, kami berdua hanya duduk di bangku taman kampus, berbicara tentang hal-hal sederhana yang tak pernah habis untuk dibicarakan.
Pada suatu sore, setelah kuliah berakhir, aku dan Rangga memutuskan untuk berjalan-jalan di luar kampus. Matahari mulai merunduk rendah di ufuk barat, menciptakan langit dengan gradasi warna oranye yang mempesona. Senja di kampus ini terasa berbeda, lebih romantis dan tenang dibandingkan sore-sore lainnya. Kami berjalan tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti alur langkah kami sendiri, menikmati kebersamaan yang tanpa beban.
“Aku suka banget sama senja di sini,” ujarku sambil menatap langit yang berubah warna. “Kayak, rasanya dunia ini berhenti sejenak, terus kita bisa melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.”
Rangga yang berjalan di sampingku mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya mengikuti pandanganku ke arah langit yang semakin memerah. “Aku juga. Senja itu bisa jadi saat yang paling damai, tapi sekaligus penuh makna. Mungkin karena saat-saat seperti ini jarang datang, jadi kita jadi lebih menghargai setiap detiknya.”
Aku tersenyum mendengar jawabannya, merasa senang bahwa Rangga juga bisa merasakan hal yang sama. Kami berjalan lebih jauh, menuju sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan dekat kampus. Kafe itu kecil dan sederhana, dengan desain interior yang nyaman. Terdapat banyak mahasiswa yang memilih tempat itu sebagai tempat melepas lelah setelah seharian kuliah. Kami duduk di pojok dekat jendela besar yang menghadap ke luar, mengamati jalanan yang mulai sepi.
“Jadi, Raisa… kalau kamu bisa pilih, mau jadi apa nantinya?” Rangga tiba-tiba bertanya, membuka percakapan setelah kami memesan dua cangkir kopi hangat.
Aku terdiam sejenak, berpikir. Pertanyaan itu datang dengan cara yang santai, namun ada kesan serius di baliknya. “Aku… masih belum tahu sih,” jawabku pelan. “Kadang, aku merasa bingung sama pilihan yang ada. Kayak, jurusan yang aku pilih ini bener nggak ya buat aku? Semua orang kayaknya udah tahu mau jadi apa, tapi aku… masih bingung.”
Rangga menatapku dengan pandangan yang lembut, seolah mencoba memahami keraguanku. “Gak apa-apa, kok. Kadang kita emang butuh waktu buat nemuin apa yang bener-bener kita mau. Yang penting, kamu nikmatin aja prosesnya. Nggak semua orang punya jawaban langsung. Aku sendiri juga masih belum tahu pasti mau jadi apa, tapi aku yakin, aku akan tahu kalau sudah saatnya.”
Aku mengangguk, merasa sedikit lebih lega dengan kata-katanya. Terkadang, memang yang kita butuhkan bukan jawaban langsung, melainkan seseorang yang bisa membuat kita merasa lebih baik dengan kebingungan yang kita rasakan. Rangga seperti itu, selalu bisa membuatku merasa bahwa semuanya akan berjalan dengan baik, meski tanpa ada kepastian.
Percakapan kami berlanjut ringan, membahas hal-hal kecil yang kadang terlupakan dalam kesibukan sehari-hari. Namun, meski semua itu terdengar biasa saja, aku merasa ada kedekatan yang semakin dalam antara kami. Rangga tidak pernah membuatku merasa canggung atau tertekan, dan aku merasa nyaman berbicara tentang apapun dengannya. Ada sesuatu dalam cara dia mendengarkan yang membuatku merasa dihargai dan dimengerti.
Setelah beberapa lama, kami memutuskan untuk meninggalkan kafe itu. Malam sudah semakin larut, dan udara yang tadinya hangat kini mulai terasa lebih sejuk. Kami berjalan perlahan menyusuri trotoar kampus, melewati bangku-bangku taman yang mulai kosong, hanya ditemani cahaya lampu jalan yang redup. Senja yang tadi begitu indah kini telah berakhir, tetapi aku merasa, ada sesuatu yang lebih dalam yang terbangun di antara kami.
Saat kami hampir sampai di depan gerbang kampus, Rangga berhenti sejenak dan menoleh ke arahku. “Raisa, aku… merasa kita udah mulai dekat banget, ya?” katanya dengan suara yang sedikit lebih dalam dari biasanya.
Aku menatapnya, mencoba memahami maksud dari kalimat itu. “Iya, aku juga merasa gitu,” jawabku, hati mulai berdebar lebih cepat dari biasanya.
“Kadang, aku mikir, mungkin kita bisa lebih dari sekadar teman, ya?” Rangga melanjutkan, matanya yang tajam menatapku dengan serius, namun tetap dengan senyum yang menyenangkan.
Aku terdiam sejenak, meresapi kata-katanya. Sesuatu yang aku rasa sudah tumbuh di dalam hatiku akhirnya terucap, meskipun aku masih ragu apakah ini saat yang tepat untuk mengatakannya. “Aku… juga merasa begitu, Rangga. Tapi, mungkin kita butuh waktu, kan? Nggak perlu buru-buru.”
Rangga tertawa kecil, dan tangannya perlahan menyentuh bahuku, dengan lembut namun penuh makna. “Kita jalanin aja dulu, Raisa. Langkah demi langkah. Aku nggak akan pernah memaksamu. Tapi kalau suatu saat kamu merasa siap, aku ada.”
Kami saling tersenyum, dan untuk sesaat, dunia di sekitar kami seolah berhenti berputar. Langit malam yang cerah, cahaya bintang yang menyinari, dan langkah-langkah kami yang berjalan berdampingan. Di tengah keramaian kampus yang sibuk, kami berdua menemukan sebuah kenyamanan yang hanya bisa ditemukan di dalam hati. Mungkin, memang benar kata orang—kadang, cinta itu datang tanpa perlu direncanakan, hanya mengalir begitu saja, seperti aliran sungai yang mengikuti jalannya.
Langkah-langkah kami beriringan menyusuri malam yang mulai mendingin, namun di dalam hati kami, ada api kecil yang menyala, penuh dengan harapan akan masa depan yang lebih cerah.
Langkah Bersama di Jalan Cinta
Minggu-minggu berikutnya terasa seperti mimpi yang indah. Kampus yang sebelumnya terasa asing kini menjadi rumah kedua bagiku. Aku mulai merasa lebih percaya diri, lebih tenang, dan semuanya terasa lebih bermakna. Banyak hal yang berubah, namun yang paling mencolok adalah kedekatanku dengan Rangga. Kami semakin sering menghabiskan waktu bersama, bukan hanya sebagai teman, tetapi juga sebagai dua orang yang saling memahami satu sama lain.
Suatu hari, ketika aku dan Rangga sedang duduk di taman kampus, dia mengajakku untuk berjalan ke luar kampus. Kami berdua sudah menyelesaikan kuliah dan memutuskan untuk meluangkan waktu di luar. Aku tidak tahu harus ke mana, namun Rangga seperti selalu tahu tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi.
“Ke mana kita?” tanyaku, sedikit penasaran.
“Ke suatu tempat yang aku rasa, kamu bakal suka banget,” jawabnya dengan senyum penuh arti.
Kami berjalan menyusuri jalanan yang mulai sepi, meninggalkan kampus yang sibuk. Di luar kampus, suasana malam sangat berbeda. Lampu-lampu kota yang temaram memberi kesan hangat dan damai, dan suara kendaraan yang lewat menjadi latar belakang yang menenangkan. Rangga menggenggam tanganku, dan aku merasa lebih dekat dengannya. Ada kehangatan dalam genggaman tangannya, seolah dia ingin mengatakan sesuatu yang lebih, namun memilih untuk tetap diam.
Setelah beberapa menit berjalan, kami sampai di sebuah kafe kecil yang terletak di pinggir jalan. Kafe itu terlihat sederhana, dengan pencahayaan lembut dan suasana yang nyaman. Rangga menarik kursi dan mempersilakanku duduk. Aku menatapnya dengan penuh tanya, namun dia hanya tersenyum.
“Ada yang ingin aku bicarakan, Raisa,” katanya, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya. “Aku… udah lama mikir tentang kita. Tentang hubungan ini. Aku merasa kita udah cukup dekat, dan aku nggak ingin membiarkan ini cuma jadi sekadar pertemanan.”
Aku menatapnya, sedikit terkejut. Hati ini mulai berdegup kencang. “Rangga, maksud kamu…?” tanyaku pelan, mencoba mencari jawaban dari matanya yang tajam namun penuh kelembutan.
“Aku suka kamu, Raisa. Bukan cuma sebagai teman. Aku udah merasa nyaman banget sama kamu, dan aku nggak mau kehilangan kesempatan untuk lebih dekat lagi. Aku tahu ini mungkin kedengerannya mendadak, tapi aku udah lama nunggu momen yang tepat buat ngomongin ini.”
Kata-katanya itu membuat dadaku terasa penuh. Meskipun aku sudah merasakan hal yang sama, mendengarnya langsung dari Rangga membuat aku merasa seperti baru terbangun dari mimpi. Ada perasaan hangat yang mengalir begitu cepat, namun juga ada rasa gugup yang membuatku ragu sejenak.
“Rangga… aku juga suka kamu,” akhirnya aku berkata, tak kuasa menahan perasaan yang sudah lama kupendam. “Aku cuma… nggak mau terburu-buru. Aku takut kalau kita langsung terlalu cepat, semuanya jadi nggak sesuai harapan.”
Rangga tersenyum dengan lembut, mengangguk seolah memahami keraguanku. “Gak masalah, Raisa. Kita jalanin aja pelan-pelan. Yang penting kita nikmatin setiap momen yang ada. Aku nggak akan memaksamu, dan aku janji, aku akan sabar.”
Aku menghela napas lega. Rasanya seperti bebannya sedikit terangkat. Semua ketakutan dan keraguan yang ada di hati perlahan memudar begitu saja. Aku tahu, meskipun ada ketidakpastian di depan, ada satu hal yang pasti—aku ingin menjalani semua ini bersamanya.
Kami menghabiskan sisa malam itu dengan berbicara lebih banyak tentang masa depan, tentang impian-impian yang ingin kami capai, dan bagaimana kami ingin terus berjalan bersama melewati semua itu. Setiap kata yang keluar dari mulut Rangga seakan memberi harapan baru, dan aku merasa semakin kuat, semakin yakin, bahwa jalan yang kami pilih adalah jalan yang benar.
Kehidupan kuliah yang sebelumnya terasa berat dan penuh dengan kebingungan kini mulai terasa lebih terang. Semua beban yang sempat menggelayuti perasaanku terasa lebih ringan, karena aku tahu, ada Rangga di sampingku, berjalan bersamaku.
Beberapa minggu kemudian, kami mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama. Tidak lagi hanya sebagai teman, namun juga sebagai pasangan yang saling mendukung. Kami belajar bersama, mengerjakan tugas-tugas kuliah, dan sesekali pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan, hanya berdua. Setiap perjalanan, setiap langkah yang kami ambil, membuatku semakin yakin bahwa keputusan untuk membuka hati untuk Rangga adalah keputusan yang tepat.
Kami tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi satu hal yang pasti—kami ingin berjalan bersama. Dalam suka dan duka, dalam kebahagiaan dan kesedihan. Dengan Rangga di sisiku, aku merasa siap menghadapi apapun yang datang.
Langkah-langkah kami terus beriringan, menyusuri jalanan kehidupan yang penuh dengan kemungkinan. Dan meskipun jalan itu mungkin tidak selalu mulus, aku tahu kami akan selalu ada untuk satu sama lain, seperti senja yang selalu hadir setiap hari, penuh warna, penuh harapan.
Gimana, seru kan perjalanan cinta Raisa dan Rangga? Kadang, cinta itu datang tanpa diduga, bahkan dari tempat yang paling tak terduga sekalipun, seperti di tengah kesibukan kuliah. Cerpen “Langkah Bersama di Jalan Cinta” bukan cuma cerita tentang hubungan, tapi juga tentang menemukan diri sendiri, belajar membuka hati, dan menjalani hidup dengan penuh harapan.
Jadi, siapa tahu, mungkin kisah ini bisa jadi refleksi buat kamu yang lagi menjalani masa kuliah dan mencari arti sejati dari sebuah hubungan. Terus semangat, nikmati setiap langkah, dan siapa tahu cinta juga akan datang di jalanmu!