Peranan Keluarga dalam Mendukung Prestasi Anak: Kisah Inspiratif Dirga yang Membawa Semangat Baru untuk Desa

Posted on

Pernah nggak sih kamu merasa kalau dukungan keluarga itu punya peran besar dalam meraih impian? Cerita tentang Dirga ini bakal bikin kamu makin percaya bahwa keluarga adalah kunci utama dalam mencapai prestasi, baik itu di bidang akademis atau dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam cerita Jendela Timur yang Terus Menyala, kamu bakal melihat bagaimana Dirga, anak desa yang awalnya dianggap biasa saja, bisa berkembang pesat berkat dorongan dan kasih sayang dari orang tuanya. Jadi, buat kamu yang sedang mencari inspirasi tentang pentingnya peranan keluarga dalam mendukung anak, artikel ini bakal jadi bacaan yang sangat menginspirasi. Yuk, simak cerita lengkapnya dan temukan bagaimana dukungan keluarga bisa menjadi pendorong terbesar bagi prestasi anak!

Peranan Keluarga dalam Mendukung Prestasi Anak

Benih di Bawah Pohon Asam

Di Desa Lerang Jaya, waktu bergerak lambat, tapi tidak pernah benar-benar berhenti. Matahari selalu menyapa lebih awal, membangunkan ayam, memanggil embun untuk turun sebentar, lalu menghilang sebelum pukul delapan. Di halaman belakang rumah keluarga Tirtanegara, berdiri sebuah pohon asam tua—rindangnya seperti payung alami, batangnya bengkok ke arah timur, seolah memberi tempat untuk seseorang yang suka duduk diam di bawahnya. Seseorang itu bernama Dirga Satriaputra.

Dirga bukan anak yang suka berisik. Suaranya pelan, tapi pikirannya berisik—selalu penuh pertanyaan yang tak biasa. Sejak usia tujuh, ia lebih senang membongkar radio rusak dibanding ikut main kelereng. Ia pernah membongkar jam dinding tua yang sudah tak berdetik, hanya untuk tahu kenapa ia bisa “berhenti bernapas.”

“Ini gara-gara per di dalamnya copot,” katanya pada ibunya, sambil menunjuk bagian kecil dari mesin jam itu yang seperti rambut kawat melingkar.
Raras, ibunya, terkekeh pelan sambil melipat kain. “Terus sekarang kamu bisa benerin, Dir?”
Dirga mengangguk mantap. “Aku coba pasang lagi, tapi kalau nggak bisa, nanti aku bikin jam baru aja dari kaleng susu.”

Sejak saat itu, benda-benda mati di rumah mulai kehilangan bagian tubuhnya. Radio, senter, bahkan kipas angin rusak di ruang tamu—semuanya menjadi bahan eksperimen Dirga. Bukan karena iseng, tapi karena rasa penasaran yang menuntut jawaban. Dan setiap kali ia duduk di bawah pohon asam, ia akan membawa kardus kecil berisi obeng, kabel, dan potongan plastik.

Tapi keingintahuan saja tak cukup. Sekolah Dasar Negeri Lerang Jaya 01 tempat Dirga belajar hanya memiliki satu globe kecil di perpustakaan dan dua tabung reaksi yang disimpan dalam lemari berkunci. Lab sainsnya lebih mirip gudang buku tua daripada tempat belajar. Guru IPA mereka, Bu Sulastri, lebih sering menjelaskan dengan gambar di papan tulis ketimbang praktik langsung.

Namun Dirga tidak pernah mengeluh. Ia justru mulai mencatat apa saja yang ia lihat di sekitar. Ia mencatat arah angin saat pagi dan sore, mencatat bayangan pohon jam demi jam, bahkan mencoba mengukur waktu menggunakan sendok berlubang yang ia isi air. Semua ide itu ia simpan di buku tulis kotak-kotak, yang dijaga lebih rapi dari buku pelajaran sekolah.

Di suatu sore, saat langit baru saja berubah warna keemasan, Raras datang membawa teh hangat ke bawah pohon asam. Ia menatap anaknya yang sedang memotong botol plastik dengan hati-hati, lidahnya sedikit menjulur keluar seperti sedang berkonsentrasi penuh.

“Kamu bikin apa lagi sekarang?” tanya Raras sambil duduk di sampingnya.
Dirga tidak langsung menjawab. Ia menempelkan sedotan kecil ke sisi botol, lalu baru menoleh. “Mau bikin alat ukur tekanan udara. Katanya ini bisa tahu kalo hujan mau turun.”
Raras mengangguk pelan. “Biar kamu tau kapan harus narik jemuran, ya?” godanya.
Dirga tertawa pendek. “Nggak cuma itu. Aku mau tahu gimana udara bisa ngubah cuaca. Soalnya kadang matahari cerah, tapi ujan turun aja.”
Raras menghela napas kecil. Anaknya ini memang bukan anak biasa.

Malamnya, saat Dirga sudah tertidur dengan catatan masih terbuka di sebelah bantalnya, Tama—ayahnya—menelpon dari proyek di kota. Suaranya serak dan terdengar lelah.

“Gimana kabar anak kita hari ini?” tanyanya dari ujung sana.
Raras memutar tubuh sambil menahan senyum. “Masih setia di bawah pohon asam. Sekarang dia bikin alat ramal cuaca dari botol bekas.”
Tama terkekeh kecil, lalu terdiam beberapa detik. “Aku kirim uang tambahan minggu ini. Belikan dia alat-alat, ya. Apa pun yang bisa bantu dia belajar.”
“Mas, kita kan juga harus makan.”
“Aku bisa tahan makan enak. Tapi aku nggak bisa tahan liat anak kita berhenti belajar.”

Percakapan itu tidak berlangsung lama. Tapi cukup untuk membuat hati Raras hangat. Ia tahu suaminya keras, irit bicara, tapi cinta yang diselipkan dalam kalimat pendek itu lebih dari cukup.

Beberapa hari kemudian, kiriman dari Tama sampai. Isinya kabel warna-warni, beberapa baut kecil, dan sebuah senter kepala. Dirga menyambutnya seperti hadiah ulang tahun.

“Ini kayak harta karun, Bu!” serunya. “Aku bisa bikin mini motor dari ini!”
Raras tersenyum sambil mengamati anaknya membongkar kotak. “Kamu udah mikirin buat ikut lomba IPA, belum?”
Dirga menoleh cepat. “Lomba? Aku bisa ikut?”
“Ya bisa dong. Tapi kamu harus lebih rajin lagi. Baca buku, bikin catatan, tanya ke guru.”
Dirga mengangguk semangat. “Aku bakal coba. Aku janji.”

Dari hari ke hari, rumah keluarga Tirtanegara mulai berubah. Sudut ruang tamu penuh kabel dan kardus. Meja makan sesekali dipakai jadi tempat merakit. Bahkan tirai dapur pernah terbakar sedikit karena eksperimen lilin dan plastik—kejadian yang membuat Raras naik nada bicara, tapi akhirnya hanya bisa menggeleng sambil berkata, “Yang penting jangan kebakar rumahnya, ya.”

Semangat kecil itu terus tumbuh. Dan di bawah pohon asam yang sudah mulai meranggas daunnya, Dirga duduk dengan kepala penuh mimpi. Ia tahu jalannya belum mudah, tapi ia tak pernah sendirian.

Karena di belakang setiap ide gilanya, ada dua pasang tangan yang tak pernah lelah menopang: tangan ibunya yang menjahit malam-malam untuk beli baterai, dan tangan ayahnya yang mengangkat semen siang hari untuk membelikan kabel.

Dan di situlah, benih prestasi mulai tumbuh. Diam-diam, tapi pasti. Seperti bunga liar yang mekar di sela batu.

Jahitan Harapan dan Kiriman Kabel

Musim hujan datang lebih awal tahun itu. Hujan deras mengguyur desa Lerang Jaya nyaris setiap sore, memukul-mukul genteng rumah keluarga Tirtanegara dengan irama yang tak beraturan. Tanah jadi becek, jalanan penuh genangan, dan pohon asam di belakang rumah mulai kehilangan sebagian besar daunnya. Tapi di balik itu semua, ada sesuatu yang tak ikut luntur: semangat Dirga yang terus tumbuh.

Di kamar kecilnya yang berdinding kayu, Dirga mengubah suasana menjadi seperti laboratorium mini. Temboknya penuh coretan rumus dan sketsa alat-alat. Meja belajarnya tak lagi cukup menampung proyek-proyek kecil yang terus bertambah. Di sisi lain rumah, suara mesin jahit milik Raras tak pernah benar-benar berhenti, bahkan saat malam sudah jauh lewat tengah.

“Kamu yakin mau ikutan olimpiade itu?” tanya Raras suatu malam, sambil tetap fokus menjahit baju pesanan.
Dirga, yang sedang membongkar kipas angin bekas, menjawab cepat, “Yakin. Tapi aku masih harus banyak belajar. Baca-baca soal, terus bikin alat-alat juga.”
Raras mengangguk. “Kalau kamu niat, ya ibu dukung. Tapi kamu harus siap juga kalau nanti capek.”
“Aku nggak apa-apa capek. Yang penting bisa coba.”

Raras diam sejenak. Jemarinya tetap menjahit, tapi pikirannya melayang jauh. Ia ingat betul waktu dulu ia sendiri terpaksa berhenti sekolah karena harus bantu ibunya menjaga adik. Sekarang, melihat anaknya punya mimpi, ia tak mau lagi ada yang terputus hanya karena alasan sederhana seperti biaya atau keadaan.

Malam itu, Raras mulai membuat rencana. Ia menerima lebih banyak pesanan dari tetangga—kebaya, baju seragam PKK, bahkan gorden rumah Pak RT. Semua diterima. Ia bahkan rela begadang, meski tubuhnya kadang pegal dan matanya terasa berat. Setiap kali merasa lelah, ia akan memandangi satu sudut dinding kamar yang dipenuhi gambar planet, kabel, dan sketsa aneh buatan Dirga—dan itu cukup membuatnya kuat lagi.

Beberapa hari kemudian, Tama menelepon lagi. Suaranya masih serak seperti biasa, tapi ada nada lebih berat malam itu.

“Raras, aku kayaknya harus kerja sampai akhir bulan ini di luar kota. Nggak bisa pulang dulu.”
“Iya, nggak apa-apa. Kamu jaga kesehatan, ya.”
“Kamu udah kasih tahu Dirga soal lombanya?”
“Udah. Dia semangat banget. Tapi… kita harus cari cara buat beliin dia alat-alat. Katanya dia butuh baterai litium, kabel jumper, sama resistor warna-warni.”
Tama tertawa kecil. “Aku kayaknya cuma ngerti kata kabel.”
“Aku juga,” jawab Raras sambil ikut tertawa.

Dua hari kemudian, paket kecil datang lagi. Isinya lebih beragam dari biasanya—selain kabel dan komponen listrik, ada juga buku bekas berjudul “100 Eksperimen Fisika untuk Anak SMA.” Di bagian dalamnya, ada tulisan tangan Tama, miring dan agak gemetar: “Untuk Dirga. Biar kamu bisa bikin apa aja yang kamu bayangin.”

Dirga membacanya berkali-kali. Ia bahkan menempel halaman depan buku itu di dinding kamarnya. Sejak itu, ia jadi lebih rajin bangun pagi, lebih serius belajar, dan makin sering ke perpustakaan sekolah meskipun buku-bukunya kebanyakan usang dan beberapa halaman hilang.

Bu Sulastri, guru IPA-nya, akhirnya ikut melirik potensi itu. “Dirga, kalau kamu serius, ibu bisa daftarkan kamu ke olimpiade tingkat kecamatan dulu. Tapi kamu harus belajar lebih dari kurikulum sekolah, ya.”
Dirga mengangguk cepat. “Aku siap, Bu.”

Setiap sore, setelah membantu ibunya menyapu halaman atau menjemur kain, Dirga duduk di lantai ruang tamu dengan buku dan komponen elektronik berserakan. Raras akan duduk tak jauh, sambil terus menjahit.

“Kamu ngerti semua tulisan di buku itu?” tanya Raras suatu malam.
“Nggak semuanya. Tapi aku bisa nyari artinya. Kadang aku tanya Bu Sulastri, kadang aku nonton video di warung internet.”
“Jadi kamu ke warnet juga sekarang?”
“Iya. Cuma sejam. Aku catat dulu pertanyaannya di rumah, terus aku cari jawabannya di sana.”

Raras mengangguk pelan. Di dalam hatinya ada bangga, tapi juga khawatir. Ia tahu biaya warnet itu kecil, tapi jika ditambah dengan kebutuhan lain, semuanya jadi terasa berat. Tapi tak sekali pun ia mengeluh di depan Dirga. Ia justru mulai menghemat lebih ketat: mengurangi gula di teh, menunda beli kain baru, bahkan kadang mengganti lauk makan malam dengan tahu goreng saja.

Semua itu bukan pengorbanan, baginya. Itu bentuk cinta. Cinta yang diam-diam, tidak perlu diumbar.

Saat pengumuman lomba tingkat kecamatan datang, Dirga lolos sebagai satu-satunya wakil dari sekolahnya. Berita itu menyebar cepat, sampai ke telinga kepala desa.

“Kamu anak pintar, Dirga,” kata Pak Lurah saat menemuinya di rumah. “Kalau kamu butuh bantuan biaya ke tingkat provinsi nanti, kita bisa bantu dari dana desa. Tapi kamu harus tunjukkan kalau kamu layak, ya.”

Dirga mengangguk penuh keyakinan. “Aku bakal belajar lebih keras, Pak.”

Hari-hari berikutnya berubah jadi lebih sibuk. Rumah mereka seperti bersalin fungsi—setengah jadi ruang belajar, setengah lagi jadi bengkel kecil. Tama, yang akhirnya bisa pulang sebentar, membantu Dirga merakit alat peraga sederhana dari kayu dan magnet bekas.

“Coba kamu jelasin ini cara kerjanya ke ayah,” kata Tama sambil menunjuk papan kecil yang dipenuhi gulungan kawat.
Dirga menjelaskan panjang lebar. Meski Tama tak sepenuhnya paham, ia mendengarkan dengan penuh perhatian, tak sekalipun menyela.
“Kalau kamu bisa bikin ayah ngerti, kamu pasti bisa bikin juri ngerti juga,” ujarnya sambil menepuk bahu anaknya.

Raras memperhatikan itu dari dapur. Di matanya, kebersamaan itu lebih dari cukup. Tapi ia tahu, tantangan sesungguhnya belum datang. Prestasi itu seperti bunga—butuh waktu, butuh pupuk, dan kadang, harus bertahan di musim yang buruk.

Dan mereka belum tahu, musim seperti apa yang akan datang. Tapi satu hal pasti: mereka tidak akan hadapi itu sendiri.

Seragam Biru di Tengah Kota

Kota tempat olimpiade sains diadakan bukanlah kota besar dengan gedung-gedung tinggi dan lalu lintas yang padat. Tapi bagi Dirga, itu seperti dunia baru yang jauh berbeda dari desa kecilnya. Ada hiruk-pikuk di sana—suara kendaraan, orang-orang yang terburu-buru, dan pencakar langit yang menjulang tinggi. Semua itu membuat Dirga merasa seperti datang dari dunia lain.

Di pagi hari pertama olimpiade, Dirga mengenakan seragam biru yang ibunya jahitkan dengan tangan penuh kasih. Sebuah seragam yang lebih dari sekadar pakaian. Seragam itu adalah simbol dari harapan yang ditanamkan keluarganya—sebuah harapan yang ia bawa ke setiap langkahnya.

“Kamu pasti bisa, Dirga,” kata Raras dengan suara yang sedikit bergetar saat mengencangkan ikatan dasi di leher anaknya. “Ingat, jangan pernah ragu sama dirimu sendiri.”
Tama yang lebih pendiam, hanya menepuk pundak anaknya. “Nggak usah mikirin yang lain. Fokus aja sama apa yang kamu bisa.”
Dirga hanya mengangguk, meskipun dadanya terasa penuh dengan campuran rasa takut dan semangat. Ia tahu, di balik kedua orang tuanya yang selalu tampak tenang itu, ada ribuan doa yang mengiringinya.

Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu berjam-jam, mereka tiba di gedung olimpiade yang besar dan modern. Dirga merasakan dunia sekelilingnya berubah. Sekolah-sekolah lain datang dengan perlengkapan yang jauh lebih canggih—laptop terbaru, alat peraga canggih, bahkan tim pendamping yang tampak seperti profesional. Sementara Dirga hanya membawa papan tulis mini dan beberapa alat eksperimen sederhana yang ia buat sendiri.

Tama, yang tetap tidak banyak bicara, menepuk punggung Dirga. “Kamu bawa rumah kamu ke sini, kan? Jangan takut.”
Raras menambahkan, “Ingat, nak, di sini kamu bukan cuma mewakili dirimu, tapi juga kita semua.”

Dirga menatap mereka, lalu menoleh ke depan. Matanya bertemu dengan mata seorang anak dari sekolah lain yang tampaknya lebih tua darinya. Anak itu mengenakan jas rapi, dengan kacamata tebal dan ransel besar yang penuh dengan alat-alat teknologi. Dirga merasa sedikit canggung, tapi ia menguatkan diri. Ia tahu, jika ia membandingkan dirinya dengan orang lain, ia akan kehilangan kepercayaan pada apa yang telah ia pelajari.

Olimpiade dimulai dengan sesi pertama yang menguji teori fisika dasar. Dirga duduk di meja yang disediakan, menghadap papan putih besar dan layar proyektor yang menampilkan soal-soal. Ia menarik napas dalam-dalam. Walaupun suasana sangat formal dan kompetitif, ia merasa seperti berada di rumah sendiri—di ruang tamu dengan meja belajar yang dipenuhi buku dan alat-alat elektronik yang dibuatnya.

Waktu terus berjalan, dan Dirga mengerjakan soal-soalnya dengan tenang. Terkadang, ia berhenti sejenak untuk berpikir, kemudian melanjutkan dengan penuh keyakinan. Ia tidak perlu alat canggih. Yang ia miliki adalah pengetahuan dan kepercayaan diri yang ia dapatkan dari tahun-tahun pembelajaran bersama keluarga di desa.

Setelah sesi pertama selesai, para peserta dihadapkan dengan sesi kedua yang lebih menantang: eksperimen langsung di depan juri. Dirga dipasangkan dengan dua peserta lainnya, dan mereka diberikan bahan-bahan untuk membuat alat sederhana yang bisa mendeteksi suhu udara.

Dirga melihat ke arah kedua peserta lainnya, yang sudah mulai mengeluarkan peralatan canggih mereka. Salah satu dari mereka bahkan sudah menyambungkan komputer ke alat-alatnya, sementara yang lainnya menggunakan sensor digital. Dirga hanya punya alat dasar—termometer dan beberapa bahan kimia yang ia bawa. Namun, ia tetap tenang. Ia ingat kata ibunya: jangan ragu pada dirimu sendiri.

Ia mulai bekerja dengan cekatan, menjelaskan eksperimennya kepada juri dengan percaya diri. Dirga tidak berbicara banyak, hanya menjelaskan proses kerjanya dengan tenang, sambil menunjukkan setiap langkahnya. Juri tampak terkesan dengan penjelasannya yang jelas dan aplikatif, meskipun alat yang digunakan jauh dari canggih.

“Apa yang membuat kamu memilih menggunakan alat ini?” tanya salah satu juri, yang tampaknya sedikit tercengang melihat eksperimen sederhana Dirga.
Dirga menjawab dengan tenang, “Saya percaya bahwa tidak selalu alat yang mahal yang membuat eksperimen berhasil. Yang penting adalah cara kita memanfaatkannya dan mengerti prinsip dasarnya.”
Juri itu mengangguk, tampak berpikir sejenak. “Kamu benar. Sering kali, prinsip dasar yang terlupakan.”
Dirga hanya tersenyum tipis, meskipun hatinya berdebar.

Saat lomba berakhir, Dirga merasa lelah, tapi puas. Meskipun ia tidak tahu apakah ia akan menang atau tidak, ia merasa bahwa ini adalah pengalaman yang sangat berharga. Ia telah memberi yang terbaik, dan itu sudah cukup.

Setelah acara selesai, Dirga bertemu dengan banyak peserta lainnya yang tampak sangat bersemangat dan percaya diri. Beberapa dari mereka mendekatinya, lalu memberi komentar tentang eksperimennya. “Keren juga kamu pakai alat simpel itu, gue nggak kepikiran,” kata seorang anak dari sekolah lain, sambil mengangguk kagum.

Di luar gedung olimpiade, ketika matahari sudah tenggelam, Dirga berdiri di samping orang tuanya. Tama menepuk pundaknya dengan bangga. “Bagus, Dirga. Kamu udah coba yang terbaik.”
Raras menggenggam tangan anaknya. “Apa pun hasilnya, kamu sudah membuat kami bangga.”

Dirga menatap mereka, matanya berbinar. “Aku belum selesai, Bu, Pak. Aku masih mau belajar lebih banyak.”
“Dan kami akan selalu ada untuk mendukung kamu,” jawab Raras, sambil tersenyum hangat.
Tama mengangguk, menatap langit malam yang penuh bintang. “Semoga ini hanya awal, nak. Langit masih luas, dan kamu bisa meraihnya.”

Dalam perjalanan pulang, Dirga duduk di kursi belakang mobil, menatap jalanan kota yang semakin jauh. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, pengalaman ini sudah membuka banyak pintu baru. Ia sudah berada di jalan yang benar, dan ia tak akan berhenti sampai ia bisa mencapai lebih jauh lagi. Keluarganya telah menunjukkan bahwa dukungan tanpa syarat adalah kekuatan yang tak terlihat, namun sangat kuat.

Jendela Timur yang Terus Menyala

Kota itu sudah jauh tertinggal di belakang, begitu juga dengan kegembiraan olimpiade yang mulai memudar, meninggalkan Dirga dengan kenangan yang manis dan pelajaran berharga. Namun, perjalanan sejati Dirga sebenarnya baru saja dimulai. Setelah kembali ke Lerang Jaya, desa yang selama ini menjadi tempat ia tumbuh, ia merasa ada sesuatu yang lebih penting yang harus dilakukan.

Hari-hari kembali berjalan dengan ritme yang familiar. Dirga kembali ke sekolah, memulai semester baru dengan semangat yang lebih besar. Namun, ia tidak hanya datang untuk belajar. Ia datang dengan misi baru. Misi untuk berbagi apa yang telah ia pelajari dan, yang lebih penting, untuk menginspirasi teman-temannya.

Setiap sore setelah belajar, Dirga duduk di bangku bawah pohon asam, tempat biasa ia dan teman-temannya berkumpul. Kini, ia duduk sendiri, tetapi dengan papan kecil dan beberapa komponen alat sederhana di meja. Satu per satu, teman-temannya mulai mendekat, tertarik dengan apa yang ia buat.

“Dirga, kamu lagi apa?” tanya Nita, salah satu teman sekelasnya yang dulu sering meremehkan prestasi Dirga.
“Lagi nyoba bikin alat detektor hujan. Kalian mau coba?” jawab Dirga dengan senyum lebar.

Teman-temannya terdiam sejenak, bingung dengan alat sederhana yang dirakit Dirga. Tapi setelah mendengarkan penjelasannya, mereka mulai tertarik. Dirga dengan sabar menunjukkan langkah-langkahnya, menjelaskan prinsip dasar fisika yang diajarkan Bu Sulastri, serta cara kerja alat yang sangat sederhana itu. Tanpa sadar, lebih banyak anak-anak yang duduk di sekelilingnya, mendengarkan dengan antusias.

“Jadi, gitu caranya? Nggak perlu alat mahal juga ya, bisa bikin alat kayak gini?” tanya Bimo, salah satu anak yang selalu tampak cuek dan jarang tertarik dengan pelajaran.
“Betul. Kalau kita ngerti prinsip dasarnya, kita bisa bikin apa aja,” jawab Dirga.

Raras yang kebetulan lewat, melihat pemandangan itu. Ia tersenyum bangga melihat anaknya mulai memimpin teman-temannya dengan cara yang berbeda. Tidak hanya sebagai siswa yang berprestasi, tetapi juga sebagai pemimpin kecil yang berbagi ilmu dan semangat.

Sore itu, mereka tidak hanya membuat alat deteksi hujan. Dirga mengajarkan mereka cara menggunakan bahan-bahan sederhana untuk eksperimen lain, seperti membuat lampu listrik dari bahan daur ulang. Tanpa disadari, anak-anak desa mulai menyebutnya “Dirga Si Inovator.” Itu adalah julukan yang penuh makna, bukan hanya karena Dirga pandai dalam hal sains, tetapi juga karena ia telah membuka mata teman-temannya tentang kemungkinan yang tak terhingga.

“Eh, Dirga, bisa nggak kita bikin robot dari barang-barang bekas kayak yang kamu liat di olimpiade itu?” tanya Lila, temannya yang dulu sering memandang Dirga sebelah mata.
Dirga tersenyum. “Bisa banget. Nanti kita coba bikin bareng-bareng, ya?”

Dengan semangat yang baru, Dirga mulai meluangkan waktu lebih banyak untuk mengajar teman-temannya setelah sekolah. Ia tidak hanya mengajari mereka fisika atau elektronika, tetapi juga bagaimana cara berpikir kreatif. Bagaimana cara menemukan solusi meski keterbatasan bahan dan alat menghalangi. Setiap sore, pohon asam itu dipenuhi oleh tawa dan percakapan yang tidak hanya mengarah pada hal-hal biasa. Mereka berbicara tentang mimpi-mimpi besar—tentang kemungkinan membuat proyek ilmiah yang bisa mengubah desa mereka menjadi lebih maju.

Suatu hari, kepala sekolah, Pak Suyono, mendatangi Dirga di ruang kelasnya. “Dirga, kamu sudah mulai menjadi inspirasi bagi teman-temanmu. Aku dengar kamu sering mengadakan kelas kecil di bawah pohon asam. Aku bangga sama kamu.”

Dirga merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Tapi saya cuma ngasih apa yang saya tahu, Pak.”
“Ya, itu yang penting. Tapi aku pikir kita bisa bawa ini ke tingkat yang lebih tinggi. Bagaimana kalau kamu membuat klub ilmuwan muda di sekolah? Biar anak-anak di sini bisa terus belajar bersama.”

Dirga terkejut, tapi hatinya berbunga. “Kamu serius, Pak?”
“Serius. Aku percaya, kamu bisa bimbing mereka. Kalau ada bantuan yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bilang.”

Kata-kata Pak Suyono seperti angin segar yang membawa harapan baru. Dirga mulai merencanakan semuanya. Dengan bantuan teman-temannya dan dukungan dari sekolah, ia mendirikan klub ilmuwan muda di Lerang Jaya. Setiap sore, anak-anak dari kelas 5 hingga kelas 9 berkumpul, berbagi ide, dan membuat eksperimen sederhana yang mereka rancang bersama.

Klub ini berkembang pesat, dan tidak hanya menjadi tempat bagi mereka untuk belajar sains, tetapi juga untuk belajar bekerja sama dan berkreasi. Dirga tahu, ini bukan hanya tentang alat atau rumus. Ini adalah tentang cara melihat dunia yang lebih besar, tentang menemukan potensi dalam keterbatasan, dan, yang terpenting, tentang memberi mereka harapan yang tidak pernah padam.

Keluarga Tirtanegara pun merasakan perubahan yang luar biasa. Raras yang dulu bekerja sendiri di rumah kini bisa melihat anaknya memberi dampak yang lebih luas dari yang ia bayangkan. Tama yang jarang pulang mulai merasa tenang. Ia tahu, semua yang telah mereka lakukan, semua yang telah mereka perjuangkan, kini menjadi lebih berarti daripada sekadar sekotak uang atau selembar kertas penghargaan.

Ketika malam tiba, dan Dirga duduk di meja belajarnya, menulis rencana eksperimen untuk besok, ia tersenyum sendiri. Di luar jendela, langit mulai gelap, tapi jauh di timur, bintang-bintang terus menyala, memberi petunjuk bagi mereka yang berani bermimpi.

Bagi Dirga, jendela itu akan selalu terbuka lebar, memberi jalan untuk masa depan yang penuh dengan harapan.

Dengan berakhirnya bab ini, perjalanan Dirga bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan baru—sebuah perjalanan yang tidak hanya ia tempuh sendiri, tetapi bersama keluarganya, teman-temannya, dan seluruh desa yang kini memandangnya sebagai simbol cahaya yang terus menyala.

Cerita Dirga mengingatkan kita bahwa tak ada impian yang terlalu besar jika kita punya keluarga yang mendukung. Dalam setiap langkahnya, keluarga menjadi pilar yang kokoh, memberi kekuatan dan kepercayaan diri untuk mengatasi segala tantangan.

Jadi, jika kamu ingin melihat anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang berprestasi, ingatlah bahwa dukungan dan kasih sayang keluarga adalah modal utama. Jangan pernah ragu untuk memberikan yang terbaik untuk mereka, karena perjalanan mereka menuju sukses dimulai dari rumah. Semoga kisah Dirga bisa jadi inspirasi buat kita semua untuk selalu mendukung dan mempercayai potensi anak-anak kita!

Leave a Reply