Daftar Isi [hide]
Penyesalan Seorang Anak yang Tak Pernah Pulang
Rumah yang Tak Pernah Ramah
Langit di atas kota kecil itu mendung sejak pagi, seolah tahu bahwa hari ini akan kembali dipenuhi amarah yang menggumpal. Di ujung gang, rumah dengan cat kusam dan pagar besi berkarat berdiri tanpa senyum. Daun jendela kayunya sudah mulai rapuh, berderit saat tertiup angin. Di dalamnya, dua jiwa tinggal bersama, namun tak pernah benar-benar hidup berdampingan.
Rafka Elmizan duduk di meja makan dengan wajah masam. Tangannya memainkan sendok, mengaduk nasi putih yang mulai dingin. Di seberang meja, Darsa Elmizan, sang ayah, duduk dengan postur tegak seperti biasanya. Tubuh tuanya masih tampak kokoh, tapi ada letih yang tergurat di wajahnya—bukan karena pekerjaan, melainkan karena hati yang tak pernah mendapat ruang.
“Jam segini baru bangun?” tanya Darsa, suaranya rendah tapi tegas.
“Aku capek, Yah,” jawab Rafka, tanpa menoleh. “Kerjaanku kemarin sampai malam.”
“Kerja? Nongkrong sama temen-temen di warung kopi itu bukan kerja. Itu buang waktu.”
Kalimat itu seperti bara yang dilempar ke minyak. Rafka menatap ayahnya, tajam.
“Kenapa sih kamu selalu ngerendahin apa yang aku lakuin? Aku punya cara sendiri buat hidup.”
“Ayah cuma nggak mau kamu nyesel nanti,” balas Darsa. “Umur kamu udah cukup buat mikir masa depan. Bukan malah main terus tiap hari.”
“Denger, Yah,” suara Rafka mulai meninggi. “Kamu pikir kerja nganterin makanan itu nggak layak? Aku nggak minta uang kamu. Aku nggak ngemis. Tapi kamu selalu aja ngerasa paling tahu!”
Darsa menghela napas. Ia menatap anaknya dengan sorot mata yang campur aduk—lelah, kecewa, dan sedikit sedih.
“Kamu bisa marah, bisa benci, tapi kamu harus denger juga. Dunia di luar sana nggak gampang, Rafka. Kamu cuma punya aku. Kalau aku nggak ngomong, siapa lagi?”
“Justru itu masalahnya! Aku cuma punya kamu! Dan kamu nggak pernah bikin rumah ini jadi tempat yang nyaman buat aku! Dari dulu cuma omelan, larangan, perintah! Kamu kira aku betah, ya?!”
Dentuman sendok yang dibanting ke meja menggetarkan ruang makan kecil itu. Darsa tidak menjawab. Matanya menunduk, bibirnya terkatup rapat. Ia sudah terlalu sering mencoba bicara, tapi semuanya selalu berubah jadi pertempuran. Hari demi hari, luka di antara mereka tak pernah sempat mengering—selalu terbuka lagi, dan lagi.
Hari itu tak berakhir dengan pelukan atau maaf. Hanya diam yang menggantung di udara, lebih dingin dari hujan yang mulai turun di luar. Rafka keluar dari rumah dengan langkah keras. Pintu dibanting. Darsa tetap di meja makan, menatap nasi yang sudah tak tersentuh. Tangan tuanya gemetar pelan.
Malamnya, Darsa masih duduk di depan televisi yang tak benar-benar ia tonton. Suara berita bercampur dengan angin malam yang menyusup dari celah-celah kayu. Di kamar Rafka, lampu tetap menyala, tapi penghuninya belum juga pulang. Jam dinding berdetak pelan, seakan turut menghitung sisa waktu kebersamaan mereka yang makin menipis.
Dan malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, tak ada yang mengetuk pintu kamar untuk minta maaf duluan. Tak ada yang menyapa, bertanya sudah makan atau belum. Hanya dua kepala batu yang sama-sama ingin dimengerti, tapi terlalu angkuh untuk memulai.
Keesokan harinya, suasana tak banyak berubah. Rafka bangun siang, mengambil sisa roti di dapur tanpa banyak bicara, lalu pergi begitu saja. Darsa tak menahan. Tak juga memanggil. Ia hanya berdiri di depan jendela, memandangi jalan kecil yang mulai sepi. Dalam hati, ia ingin memanggil nama anaknya, tapi tenggorokannya seperti terkunci oleh ego yang lama tertanam.
Sore menjelang malam, gerimis turun tipis. Rafka belum pulang. Darsa duduk di ruang tamu, memegang foto tua dalam bingkai kayu buatan tangannya sendiri—foto almarhum istrinya bersama Rafka kecil. Senyum dalam foto itu terlihat seperti kenangan yang terlalu jauh untuk digapai kembali.
Di balik semua diam dan amarah, ada rindu yang tidak tahu cara keluar. Ada sayang yang tak pernah sempat dibungkus dalam kata. Dan di dalam rumah tua itu, dua hati yang seharusnya saling menguatkan justru saling menjauh, hingga tak sadar bahwa waktu terus berjalan, membawa mereka ke arah yang tak bisa diulang.
Babak awal penyesalan itu mulai terbentuk. Tapi tak satu pun dari mereka tahu, bahwa suatu hari nanti, hanya kenangan yang akan tinggal, dan kata-kata yang tak pernah terucap akan menjadi luka yang abadi.
Langkah Tanpa Pamit
Pagi itu, udara di gang kecil masih dingin meski matahari sudah naik. Di dalam kamar sempit yang dindingnya dipenuhi coretan kecil masa remaja, Rafka berdiri menatap koper usang di pojok ruangan. Tangannya gemetar saat menarik resleting. Ia tak membawa banyak—hanya beberapa helai pakaian, dompet, dan sebuah charger ponsel yang sudah mulai retak di ujungnya.
Tak ada salam, tak ada ucapan pamit. Hanya suara pintu kamar yang terbuka pelan dan langkah kaki menyelinap keluar rumah saat Darsa sedang di kamar mandi. Rafka berjalan cepat menyusuri gang, menunduk, menghindari tatapan siapa pun yang mungkin mengenalnya. Di ujung gang, motornya menunggu—tua dan sedikit berkarat, tapi cukup untuk membawanya menjauh.
Hari itu, rumah tua di ujung gang jadi lebih sunyi dari biasanya. Darsa keluar dari kamar mandi dengan handuk di pundak, memanggil nama anaknya seperti rutinitas. Tak ada jawaban. Ia menuju kamar, menemukan kasur yang sudah kosong dan lemari yang terbuka sebagian. Tak ada catatan, tak ada pesan di meja. Hanya keheningan dan bekas lipatan di seprai sebagai sisa keberadaan Rafka.
Ia tak mencari. Tak menghubungi. Hanya duduk di kursi tua di ruang tengah, menatap jendela yang terbuka setengah. Mulutnya ingin bicara, tapi udara terlalu pekat untuk membentuk kata.
Sementara itu, Rafka melaju di atas motornya, meninggalkan kota kecil itu dengan kepala penuh kemarahan dan dada yang sebenarnya gamang. Ia tak tahu pasti akan tinggal di mana, hanya tahu bahwa ia bisa meminta tolong pada Rega, teman nongkrongnya yang pernah menawarkan sofa di apartemennya di kota.
Rega menerimanya dengan tawa. “Akhirnya juga kamu berani ninggalin rumah itu, Bro.”
Rafka hanya mengangguk. Ia tak bicara banyak soal ayahnya. Tak perlu, pikirnya. Toh tak ada yang akan mengerti.
Hari-hari di kota besar terasa berbeda. Hiruk-pikuk jalanan, suara klakson, gedung-gedung tinggi, semua terasa baru dan membebaskan. Rafka mulai bekerja sebagai pengantar makanan online. Ia menyukai sensasi menembus jalanan, mengejar waktu, dan merasa mandiri. Tak ada lagi omelan pagi hari. Tak ada pertanyaan ke mana akan pergi. Tak ada tatapan dingin yang membuatnya merasa kecil.
Namun setelah beberapa minggu, euforia itu memudar. Rega yang awalnya ramah mulai mengeluh soal listrik yang naik, soal dapur yang berantakan, soal kehadiran Rafka yang “kayak numpang tapi nggak pernah ada kontribusi”. Mereka mulai jarang bicara. Saling menghindari di lorong sempit antara kamar dan dapur.
Uang dari hasil antar makanan tak seberapa. Kadang cukup, seringnya pas-pasan. Makan seadanya. Nasi bungkus yang dibagi dua kali makan. Rafka masih enggan pulang. Harga dirinya terlalu tinggi untuk kembali begitu saja setelah keluar tanpa kata.
Malam-malamnya mulai sepi. Tak ada lagi obrolan hangat, meski hanya diselingi cecaran. Tak ada aroma nasi goreng buatan ayahnya yang meski keasinan, tetap membuatnya kenyang. Ia tidur di sofa yang mulai berderit, dengan punggung pegal dan kepala yang semakin penuh.
Di sela-sela kesibukannya, ia sering membuka galeri foto di ponsel. Banyak potret dirinya, selfie dengan teman, video lucu. Tapi setiap kali ia mencoba menggali lebih dalam, mencari satu saja foto bersama ayahnya, tak ada. Entah sejak kapan semua foto itu menghilang. Mungkin tak pernah ada dari awal. Atau mungkin, ia yang menghapusnya dengan sengaja, dulu—saat marah masih menjadi bahasa sehari-hari.
Suatu sore, saat ia sedang duduk sendirian di taman kota setelah mengantar pesanan terakhir, hujan turun. Gerimis kecil yang turun perlahan, nyaris tak terdengar. Ia terdiam, menatap langit yang abu-abu. Udara dingin menembus jaket tipisnya.
Tiba-tiba bayangan rumah tua itu muncul di benaknya—pohon jambu yang tumbuh liar di samping dapur, suara pintu yang selalu berderit saat dibuka, dan sosok tua dengan tatapan tegas tapi diam-diam selalu mengamati. Ada rasa asing yang mulai tumbuh di dalam dadanya. Seperti ruang kosong yang tak bisa diisi oleh kesibukan, uang, atau kebebasan.
Rafka mencoba mengabaikan. Tapi perasaan itu makin hari makin menghantui. Ia mulai bermimpi—mimpi tentang rumahnya, tentang ayahnya, tentang malam-malam penuh pertengkaran yang tak pernah terselesaikan. Dan dalam mimpinya, ayahnya selalu diam. Tak berkata apa-apa. Hanya menatapnya, lama.
Beberapa minggu kemudian, Rega akhirnya minta Rafka pergi. Dengan alasan klasik—sudah tak sanggup berbagi tempat dengan “orang yang nggak jelas arahnya.” Rafka mengemasi barangnya diam-diam, seperti saat ia pergi dari rumah. Ia pindah dari satu tempat ke tempat lain, tidur di kos temannya, kadang di mushola, kadang di motor.
Dan pada malam keempat tidur di emperan toko, ia menatap langit kota yang redup dan berkata pelan, “Aku kangen rumah.”
Tapi malam itu, tak ada yang menjawab. Tak ada suara sandal ayahnya menyusuri lorong rumah. Tak ada lampu ruang tamu yang menyala menyambutnya pulang.
Yang ada hanya sunyi, dan dingin yang masuk sampai ke tulang.
Surat di Meja Tua
Tiga bulan sejak langkahnya meninggalkan rumah, dan dunia tak sehangat yang dibayangkan Rafka. Tak ada lagi tempat menetap, hanya serangkaian persinggahan yang makin sempit dan makin dingin. Satu sore yang sepi di bulan Juni, ia akhirnya kembali berdiri di depan gang kecil tempat ia tumbuh—tapi tidak pulang sebagai pemenang.
Wajahnya lebih tirus, kulitnya lebih gelap terbakar matahari, dan sikapnya… tidak setegar dulu. Ia berdiri cukup lama di depan pagar rumah yang sudah berkarat lebih parah, menatap jendela yang tertutup rapat. Tak ada suara dari dalam. Tak ada televisi menyala. Tak ada gerak tirai.
Ia mengetuk perlahan, ragu.
Tak ada jawaban.
Rafka menghembuskan napas, lalu mencoba membuka pagar. Ternyata tidak dikunci. Pintu utama pun mudah didorong—entah karena lupa dikunci, atau memang sengaja dibiarkan begitu. Aroma lembap langsung menyambutnya. Debu tipis mengendap di lantai. Tidak ada tanda-tanda kehadiran seseorang.
“Yah?” panggilnya pelan. Suaranya gemetar, seperti takut mendengar jawabannya sendiri.
Tak ada sahutan. Hanya bunyi angin menyusup dari celah atap.
Langkahnya pelan menuju ruang tengah. Televisi masih di tempatnya, tapi sudah mati berhari-hari. Ia menyentuh sandaran kursi kayu ayahnya, mendapati sedikit debu di sana. Jantungnya mulai berdegup lebih cepat.
Di atas meja ruang tamu, ada secarik kertas yang dilipat rapi. Ditaruh tepat di bawah gelas kosong, seakan sengaja dibiarkan di sana untuk ditemukan. Rafka meraih kertas itu dengan tangan sedikit gemetar, lalu membukanya.
Tulisan tangan yang mulai goyah, tapi masih sangat dikenalnya:
Rafka,
Kalau kamu baca ini, berarti kamu akhirnya pulang.
Ayah nggak tahu kamu pulang karena marah sudah reda, atau karena kamu gagal di luar sana. Tapi ayah tetap senang. Karena itu berarti kamu masih ingat jalan pulang.
Ayah minta maaf. Mungkin ayah bukan ayah yang baik. Ayah terlalu keras, terlalu diam, dan nggak tahu gimana caranya ngomong baik-baik.
Sejak ibumu nggak ada, ayah cuma tahu satu cara bertahan hidup: tegas. Dan itu sering kali nyakitin kamu, ya?
Ayah lihat kamu tumbuh, tapi ayah jarang bilang kalau ayah bangga. Ayah tahu kamu bukan anak bodoh. Kamu punya cara sendiri buat jalanin hidup. Tapi ayah cuma takut… takut kamu ngelewatin jalan yang bikin kamu hancur.
Maaf kalau caranya salah. Ayah cuma nggak mau kamu hilang.
Kalau kamu pulang sebelum tanggal 10, kita masih bisa makan bareng. Masih bisa beresin hubungan kita yang lama tegang. Tapi kalau kamu pulang setelah itu, mungkin kamu cuma ketemu kenangan.
Jaga diri kamu, Nak.
Ayah sayang kamu, dari awal sampai nanti.
— Ayah
Kertas itu jatuh ke lantai saat tangan Rafka melemas. Jantungnya serasa diremas dari dalam. Nafasnya pendek-pendek. Ia memejamkan mata, menahan air yang tiba-tiba menggenang. Lalu berlari ke kamar ayahnya.
Kosong.
Tak ada suara napas berat seperti biasanya. Tak ada bantal berantakan atau sandal di bawah tempat tidur. Yang ada hanya lemari tua yang sedikit terbuka, dan di dalamnya, sepasang baju dilipat rapi.
Ia terduduk di lantai, memeluk dirinya sendiri. Rumah itu memang tak pernah benar-benar ramah, tapi sekarang… rumah itu juga tak lagi utuh.
Malamnya, ia mendatangi tetangga sebelah—Bu Jannah, yang dulu sering mengantar makanan saat ibunya masih hidup. Perempuan itu membuka pintu dengan ekspresi kaget dan penuh iba saat melihat Rafka berdiri di ambang pintu.
“Kamu… Rafka?” tanyanya dengan suara lirih.
“Iya, Bu. Ayah… di mana?” suara Rafka pecah di ujung kalimat.
Bu Jannah menghela napas panjang, lalu mempersilakan Rafka masuk. Di dalam rumahnya yang hangat dan wangi kayu manis, perempuan itu duduk di sebelah Rafka dan menceritakan semuanya.
“Dia sakit, Nak. Sakitnya nggak parah di awal, cuma masuk angin katanya. Tapi makin hari makin lemah. Kami suruh dia ke dokter, tapi dia cuma bilang: ‘Nanti, nunggu Rafka pulang.’”
Air mata mulai jatuh satu per satu di pipi Rafka. Ia tak sanggup bicara.
“Waktu tanggal sepuluh, dia pingsan di dapur. Waktu kami bawa ke rumah sakit, udah telat. Dan satu-satunya hal yang dia bisikkan sebelum benar-benar diam… cuma satu kata: ‘Rafka.’”
Tangis yang ia tahan sejak tadi akhirnya pecah. Tangis yang bukan sekadar sedih, tapi campur aduk dengan rasa bersalah, marah pada diri sendiri, dan kehilangan yang tak bisa diganti.
Malam itu, Rafka kembali ke rumah. Ia duduk di kursi ayahnya, menggenggam kertas surat yang kini basah di ujung-ujungnya. Rumah itu tak lagi berisi pertengkaran, tapi juga tak lagi punya kesempatan untuk memulai dari awal.
Dan di meja tua itu, hanya ada satu hal yang tersisa—surat dari seseorang yang diam-diam mencintai dengan cara yang tak pernah ia pahami… sampai semuanya sudah terlambat.
Lampu yang Tak Pernah Padam
Sejak malam itu, Rafka tak pernah benar-benar meninggalkan rumah lagi. Ia tinggal di sana, sendirian, dalam keheningan yang kini menjadi bagian dari dirinya. Rumah tua itu bukan lagi tempat pelarian dari konflik, melainkan ruang untuk berdamai dengan masa lalu yang gagal ia jaga.
Hari-harinya berlalu dengan rutinitas yang tenang—membersihkan kamar ayahnya, memperbaiki genteng bocor, menyapu halaman yang dulu selalu jadi tempat ayahnya duduk sore-sore sambil ngelap sepeda. Ia bahkan mulai menanam cabai dan tomat kecil di belakang rumah, seperti dulu ayahnya lakukan. Tapi yang paling sering ia lakukan adalah duduk di kursi tua ruang tengah, memandangi surat itu, yang kini ia bingkai dan letakkan di meja.
Surat itu bukan sekadar pesan terakhir. Itu luka yang tak bisa sembuh, tapi juga pelukan terakhir dari seseorang yang pernah ia benci tanpa benar-benar paham kenapa.
Di siang yang cerah, beberapa minggu setelah pemakaman, Rafka duduk di ruang tamu dan membongkar laci bawah meja. Di dalamnya, ia menemukan album foto lama—yang tak pernah ia tahu masih ada. Di antara lembaran yang menguning dan foto-foto kecil yang mulai pudar, ia melihat satu foto: dirinya kecil, duduk di bahu ayahnya, tersenyum lebar.
Foto itu membuat napasnya tercekat. Tiba-tiba, segala kemarahan yang dulu terasa besar, kini tampak begitu remeh. Semua bentakan, larangan, dan teguran yang dulu ia kira bentuk penindasan, ternyata cuma wujud lain dari rasa takut kehilangan.
Ia baru sadar, kasih sayang ayahnya bukan dalam bentuk pelukan atau kata-kata manis. Tapi lewat nasi yang selalu ada meski gajinya pas-pasan. Lewat sepeda yang diam-diam dibenerin saat ia tidur. Lewat kehadiran yang diam tapi tak pernah pergi.
Malam itu, Rafka menyalakan satu lampu kecil di ruang tamu. Lampu yang biasa ayahnya nyalakan setiap malam, bahkan saat tak ada siapa pun yang pulang.
Dulu, ia pernah mengeluh:
“Ngapain sih nyalain lampu terus? Boros listrik.”
Dan ayahnya hanya menjawab singkat,
“Biar rumah nggak gelap kalau kamu pulang malam.”
Kini, Rafka mengerti. Lampu itu bukan soal penerangan—tapi soal harapan. Bahwa suatu hari, ia akan kembali. Bahwa rumah akan tetap menunggu, meski tak ada jaminan siapa yang akan tiba lebih dulu—penyesalan, atau anak yang hilang arah.
Malam berganti malam. Rafka mulai menulis. Bukan untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya sendiri. Tentang hal-hal yang tak sempat ia katakan. Tentang maaf yang terlambat. Tentang cinta dalam bentuk yang keras kepala. Ia menulis di buku tulis kosong, dengan tulisan tangannya sendiri, mencoba menghidupkan kembali sesuatu yang sudah tak bisa disentuh.
Setiap halaman dibuka dengan kalimat yang sama:
“Kalau saja aku bisa ulang dari awal…”
Tapi ia tahu, hidup tak pernah memberikan kesempatan kedua. Yang bisa dilakukan hanyalah menjaga apa yang tersisa. Maka ia jaga rumah itu. Ia jaga kursi tua itu. Ia jaga lampu kecil itu agar tak pernah padam.
Karena di sanalah ayahnya pernah tinggal.
Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, Rafka belajar mencintai dengan cara yang tak keras kepala.
Dan ketika malam datang tanpa suara, rumah itu tetap menyala.
Menjadi satu-satunya tempat yang tak pernah benar-benar menutup pintu.
Bagi anak yang akhirnya pulang, walau hanya untuk menangis sendiri.
TAMAT.
Cerita ini mungkin fiksi, tapi rasanya begitu nyata—karena di dunia ini, ada banyak Rafka lain yang belum sempat minta maaf, belum sempat pulang. Jadi sebelum semuanya terlambat, coba deh tanya ke diri sendiri: apa kabar orang tuamu hari ini?
Kadang, hal kecil seperti pulang lebih cepat atau sekadar bilang “makasih” bisa jadi momen yang paling mereka tunggu. Karena pada akhirnya, yang paling menyakitkan bukan kehilangan… tapi penyesalan karena nggak sempat memperbaiki.