Daftar Isi
Perpisahan selalu menjadi momen yang penuh perasaan, apalagi saat kita harus berpisah dengan teman-teman satu kelas setelah melewati tiga tahun penuh tantangan di SMK. Cerita perpisahan kelas 3 SMK ini nggak hanya tentang ucapan selamat tinggal, tapi juga tentang tawa, kenangan, dan perjuangan yang membentuk siapa kita hari ini.
Dalam artikel ini, kamu bakal diajak menyelami perjalanan emosional para siswa yang telah melalui hari-hari sulit, PKL yang penuh tantangan, hingga akhirnya menghadapi langkah besar menuju masa depan. Yuk, simak cerita seru yang pasti bikin kamu ingat kembali momen-momen tak terlupakan di sekolah!
Perpisahan Kelas 3 SMK
Satu Kursi, Banyak Cerita
Pagi itu, ruang kelas 10 TKJ 1 masih kosong. Dindingnya putih pucat, seperti belum pernah disentuh kehidupan. Kursi-kursi kayu tersusun rapi, tapi terlalu kaku seolah takut disentuh. Bau cat tembok dan plastik dari meja-meja baru masih tajam, menusuk hidung seperti peringatan—ini awal, dan nggak semua orang bakal kuat sampai akhir.
Bel masuk belum berbunyi, tapi satu per satu siswa mulai berdatangan. Beberapa terlihat canggung, ada yang datang sendirian dengan wajah tertutup masker, ada yang datang bareng teman dari SMP yang sama, saling berbisik, mengintip nama guru wali kelas di papan.
Reina duduk di kursi kedua dari depan, baris ketiga. Ia melihat ke sekeliling, lalu membenarkan kerah seragam barunya. Di sampingnya, kursi masih kosong sampai seorang cewek berambut pendek dan tas selempang penuh gantungan kunci duduk sambil menghembuskan napas panjang.
“Udah duduk di sini belum ada yang marah, kan?” tanya Ara tanpa menoleh.
Reina mengangkat bahu. “Belum, aku juga baru duduk.”
“Syukur deh,” jawab Ara sambil membuka bungkus permen kopi dari sakunya. “Aku butuh yang manis dikit, pagi-pagi udah deg-degan.”
Reina tertawa kecil. Di belakang mereka, suara kursi digeser mulai bersautan, ruangan mulai hidup. Cowok tinggi bermuka datar masuk bareng dua temannya yang langsung rebutan kursi belakang.
“Eh, sini aja lah, Rin,” ujar salah satu dari mereka sambil menarik kursi. “Duduk deket colokan, bisa ngecas HP.”
Delano menatap mereka sekilas. Cowok itu kelihatan dingin, tapi cara dia menyusun kabel charger dan headset yang dikeluarkan dari tasnya menunjukkan dia udah biasa sendiri. Di tangannya ada kertas jadwal pelajaran, sudah dilipat rapi jadi seukuran dompet.
Jam pertama pun dimulai. Guru wali kelas, Bu Winda, masuk dengan rambut disanggul, mengenakan batik khas guru-guru produktif yang selalu tampak sibuk. Suaranya lembut tapi tegas, dan ia memperkenalkan diri sambil sesekali melempar candaan garing yang entah kenapa tetap bikin satu kelas ketawa.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti potongan puzzle yang perlahan menyatu. Mereka mulai saling kenal—nggak langsung akrab, tapi cukup untuk saling sebut nama dan saling pinjam penghapus. Satu per satu, karakter masing-masing mulai kelihatan.
Galvin, si tukang nyindir yang duduk paling belakang, ternyata jago bongkar rakitan PC. Dia pernah ngebenerin komputer lab yang error dan nyambung kabel LAN tanpa alat crimping.
“Gal, kamu belajar dari mana sih bisa begitu?” tanya Regia suatu hari.
Galvin cuman nyengir. “Belajar dari hidup.”
Nggak semua orang suka dia, tapi semua orang butuh dia saat tugas praktik. Sementara itu, Nara dan Arel, dua cewek yang awalnya pendiam, justru yang paling rajin dekor kelas waktu lomba kebersihan antar jurusan. Mereka bawa kain bekas, kaleng bekas cat yang disulap jadi pot gantung, dan bikin kelas mereka berubah dari suram jadi nyaman.
Meski suasana makin akrab, bukan berarti semuanya mulus. Masih sering ada adu argumen pas kerja kelompok. Ada yang ngerasa lebih dominan, ada yang cuman numpang nama di laporan. Tapi mereka belajar ngatur ego, karena cepat atau lambat, mereka bakal ketemu tantangan yang lebih dari sekadar tugas Excel atau teori jaringan.
Suatu siang, saat kelas bubar dan hanya tersisa beberapa orang, Zafran, cowok kalem yang sering bawa kamera DSLR kecil, duduk di bangku paling depan. Ia memperhatikan cahaya yang masuk dari jendela, lalu memotret kursi kosong di barisan tengah.
“Kamu foto apaan sih?” tanya Delano sambil nyuap keripik singkong.
“Cuma kursi. Entar mungkin bakal jadi kosong terus,” jawab Zafran pelan.
Delano cuman mengangguk. Nggak ada yang komentar, tapi semua ngerti. Kursi itu punya cerita. Pernah ada tawa di situ. Pernah ada air mata diam-diam. Pernah ada seseorang yang nyaris dikeluarin karena bolos tapi akhirnya balik dan lulus dengan nilai tertinggi di satu mata pelajaran.
Hari-hari mereka mulai dipenuhi hal-hal khas jurusan Teknik Komputer dan Jaringan—praktikum kabel UTP, ujian praktik setting mikrotik, sampai drama rebutan solder yang akhirnya rusak karena dipakai terlalu keras.
Di balik semua itu, mereka mulai paham… kursi-kursi di kelas itu bukan cuma tempat duduk. Tapi saksi tumbuhnya hubungan, benturan, dan akhirnya, pengertian.
Di salah satu sore yang mendung, saat jam pelajaran kosong dan sebagian besar siswa pulang lebih awal, Reina dan Ara duduk di bawah tangga belakang gedung D.
“Kamu ngerasa kita bakal temenan sampai kelas 3?” tanya Ara sambil menyeruput teh kotak.
Reina mengangkat alis. “Kenapa nanya gitu?”
“Nggak tahu. Aku cuma takut… kita berubah.”
Reina diam sebentar, lalu menjawab, “Kalaupun berubah, semoga tetep bareng.”
Percakapan itu berakhir dengan hening yang nyaman. Angin sore membawa suara hujan ringan dari kejauhan, dan tangga belakang itu—yang awalnya cuma tempat ngumpet dari guru piket—perlahan jadi tempat yang paling sering mereka kunjungi untuk ngobrol tanpa topik.
Mereka belum tahu apa yang akan terjadi di depan. Belum tahu tentang beratnya PKL, stresnya nyusun laporan akhir, atau betapa cepat waktu akan berjalan setelah mereka naik ke kelas 3.
Tapi satu hal pasti:
Di kursi itu, di kelas yang sama, mereka sedang menulis awal dari kisah yang akan mereka kenang seumur hidup.
Jalan Terjal Bernama PKL
PKL dimulai di awal semester lima, dan semuanya tiba-tiba terasa sangat nyata. Sekolah tak lagi jadi tempat untuk sekadar belajar teori dan praktikum ringan. Kini, mereka harus berhadapan dengan dunia yang lebih keras, tempat di mana kesalahan kecil bisa berujung pada masalah besar. Semua yang mereka pelajari selama ini diuji di sana, di dunia yang lebih besar dan lebih riuh.
Di hari pertama PKL, Zafran disuruh ikut dalam tim maintenance jaringan di perusahaan teknologi lokal. Dia disambut dengan wajah dingin oleh supervisor yang hanya tahu memberi tugas tanpa banyak kata. “Tugas pertama kalian, cek server ini dan pastikan nggak ada yang crash. Paham?” kata supervisor itu sambil menunjuk tumpukan kabel yang berserakan di ruang server.
Zafran mengangguk dan memulai pekerjaan. Dunia yang baru dan penuh kabel itu memang menantang, tapi juga menambah gairahnya. Di sisi lain, Galvin yang ditempatkan di sebuah toko komputer merasa lebih beruntung. Dia nggak hanya belajar tentang hardware, tetapi juga punya kesempatan untuk menata komputer dan merakit PC gaming dari awal. Di sana, dia ketemu dengan berbagai tipe pelanggan—dari yang sok tahu sampai yang bingung banget cara pasang RAM.
“Aduh, saya tuh nggak ngerti komputer, Mbak. Bisa bantuin pasangin?” ujar seorang ibu muda yang datang ke toko dengan laptop yang udah mati suri.
Galvin hanya tersenyum sambil membantu. “Ibu tenang aja, ini gampang kok,” jawabnya, meskipun dalam hatinya dia bingung juga. Tugas pertama di dunia kerja ternyata nggak semudah yang dibayangkan.
Sedangkan Reina, yang ditempatkan di kantor IT kecil di pinggir kota, menghadapi tantangan yang lebih berat. Selain mengatur jaringan untuk karyawan kantor yang ribet, dia juga harus mengurus perangkat komputer yang sering rusak, dan harus banyak belajar cara ngubungin klien dengan bahasa teknis yang jauh dari apa yang biasa dia pelajari di sekolah. Tapi yang membuatnya bertahan adalah satu hal: dia mulai merasa, inilah kenyataan yang harus dia hadapi. Mungkin ini bagian dari perjalanan yang nggak bisa ditawar lagi.
“Reina, bisa bantu aku perbaiki koneksi Wi-Fi di lantai dua?” Tanya salah satu rekan kerjanya di kantor.
“Bisa, Pak,” jawab Reina sambil menatap router yang nggak sengaja dia matikan beberapa menit lalu. Ketegangan itu terasa, tapi dia tahu dia harus bisa menghadapinya.
Hari-hari selama PKL pun jadi penuh perjuangan, bukan hanya soal pekerjaan, tetapi juga soal bertahan. Nara dan Arel yang beruntung mendapatkan tempat di perusahaan desain grafis, kadang berangkat pagi-pagi buta untuk bisa on time. “Kamu nggak ngerasa capek, Rin?” tanya Arel saat mereka menunggu bus di halte.
Reina menggeleng pelan, meskipun hatinya berat. “Ya capek, sih. Tapi kalau nggak sekarang, kapan lagi?”
Delano, yang akhirnya ditempatkan di sebuah start-up teknologi, merasa lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar daripada bekerja. Dengan banyaknya pemrograman yang harus dipelajari dalam waktu singkat, ia merasa tertekan. Tapi entah kenapa, setiap kali keluar dari kantor, dia selalu merasa sedikit lebih dekat dengan tujuan hidupnya.
Di sana, dia bertemu dengan orang-orang yang lebih berpengalaman. Kadang mereka ngobrol tentang teknologi yang Delano baru dengar. Ada kalanya ia merasa sangat kecil di antara mereka, tapi di sisi lain, ia merasa seperti ada sesuatu yang menggelitik di dadanya. Sesuatu yang membuatnya bertahan. Sesuatu yang membuatnya percaya, ini jalan yang tepat.
“Delano, kamu udah bisa nyelesaikan bug itu?” tanya rekan kerjanya suatu sore.
Delano menatap layar komputernya dengan cemas, “Kayaknya belum, sih. Tapi aku coba lagi.”
Setiap malam, setelah pulang kerja, mereka semua sering berkumpul di grup chat kelas. Mereka bercerita tentang kejadian-kejadian lucu yang terjadi selama PKL, tentang bagaimana mereka menyelesaikan tugas yang terasa mustahil, atau sekadar berbagi foto-foto makanan aneh yang mereka makan selama istirahat.
Namun, di balik semua canda itu, ada rasa yang tak bisa mereka sembunyikan. PKL bukan hanya tentang belajar keterampilan teknis. Itu adalah ujian untuk mengenal batasan diri, untuk tahu seberapa jauh mereka bisa bertahan. Bukan hanya soal pekerjaan, tapi soal bagaimana mereka bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan, dan bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.
Suatu sore, saat mereka duduk bersama di taman sekolah setelah pulang PKL, Ara berkata dengan tatapan serius, “Aku nggak tahu kenapa, tapi setelah lewat minggu-minggu kayak gini, aku jadi ngerasa takut banget bakal selesai. Kita harus ngapain setelah ini?”
Reina menatap langit yang perlahan memerah, mengingat semua tantangan yang sudah mereka hadapi. “Kita lulus, Ara. Itu yang harus kita lakukan. Selebihnya, kita lihat aja nanti.”
Mereka tertawa, tetapi dalam tawa itu ada rasa yang sulit dijelaskan. Rasa takut, rasa cemas tentang apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi di sisi lain, ada keyakinan, ada semangat yang terbentuk dari perjuangan mereka di dunia kerja nyata. Mereka tahu, apapun yang terjadi, mereka nggak akan pernah melupakan momen-momen di PKL.
Hari-Hari Terakhir, Tawa yang Berbeda
Sisa waktu di SMK terasa semakin menipis. Setiap hari yang berlalu seakan semakin berat, semakin penuh dengan bayang-bayang kelulusan yang sudah semakin dekat. Di setiap sudut sekolah, ada rasa yang tak bisa dihindari—kenangan yang mulai menumpuk, dan perasaan ingin memperpanjang waktu yang seakan berlalu begitu cepat.
Beberapa minggu menjelang kelulusan, kelas 3 TKJ 1 mulai disibukkan dengan tugas-tugas terakhir. Selain ujian, ada juga persiapan untuk acara perpisahan. Semua harus serba cepat, tapi tidak bisa terburu-buru. Tugas akhir mereka adalah menyelesaikan laporan akhir PKL yang sangat detail dan menyita banyak waktu.
Namun di balik semua itu, ada hal yang lebih sulit dari sekadar laporan. Rasa cemas itu, ketidakpastian tentang masa depan, mulai terasa nyata. Mereka semua sadar bahwa setelah lulus nanti, jalan yang akan mereka tempuh akan berbeda. Entah itu kuliah, kerja, atau mungkin melanjutkan usaha yang sudah mulai dijalankan sejak PKL.
Reina seringkali melamun saat istirahat, melihat teman-temannya sibuk ngobrol tentang ujian dan kelulusan, sementara dia justru merasa bingung dengan langkah selanjutnya. “Kamu udah tau mau ngapain setelah lulus?” Ara bertanya suatu hari, sambil menyenderkan punggung di tembok kantin.
Reina hanya menggeleng pelan. “Mungkin aku bakal ambil kursus tambahan, atau cari kerja… Tapi nggak tahu. Rasanya kayak udah waktunya berubah, tapi nggak tahu kemana.”
Ara menatapnya dengan tatapan memahami. “Gue juga gitu, Rin. Kadang ngerasa takut banget, tapi ya gimana lagi… kita cuma punya satu kesempatan ini, kan?”
Hari-hari mereka berlalu dengan canda dan tawa yang tak lagi sama. Tawa itu, yang dulunya sering pecah karena hal-hal sepele, kini lebih terdengar seperti pelarian dari ketakutan. Dari mulut Zafran yang biasanya pendiam, sering keluar candaan ringan untuk membuat semua orang tertawa, meski di dalam dirinya dia juga bertanya-tanya tentang masa depan.
“Jadi, Zafran, lo jadi kuliah di mana?” tanya Galvin di tengah-tengah break kelas. “Gue sih belum kepikiran kuliah dulu, lebih ke kerja. Tapi ya, siapa tahu kalau ada kesempatan.”
Zafran mengangkat bahu sambil melipat kertas ujian. “Gue belum tahu, sih. Cuma… kuliah nggak pernah jadi impian gue. Gue cuma pengen kerja dan bantuin orang tua.”
Galvin mengangguk pelan, kemudian mengeluarkan laptop kecil dari tasnya. “Gue juga sih. Gue udah coba-coba ngebangun bisnis online juga. Nanti kalau lancar, gue mungkin fokus di situ.”
Perbincangan itu seperti angin yang berlalu. Semua tahu bahwa keputusannya masing-masing nggak bisa diubah dalam waktu singkat. Yang jelas, mereka sudah jauh melangkah lebih dari sekadar siswa SMK biasa.
Acara perpisahan semakin dekat, dan mereka mulai menyiapkan segalanya. Setiap sudut kelas mereka hias dengan poster dan spanduk yang dibuat secara gotong-royong. Nara dan Arel yang sudah biasa dengan dunia desain grafis, membuat template undangan yang elegan. Zafran dan Delano ditugaskan untuk mendokumentasikan acara tersebut dengan kamera dan video. Sementara, Galvin memimpin pengumpulan dana untuk makan malam perpisahan.
Semuanya sibuk, tetapi di balik kesibukan itu, ada perasaan yang sulit diungkapkan. Rasa yang membuat mereka lebih sering terdiam, melamun, atau hanya sekadar duduk bersama di kantin tanpa banyak bicara. Mereka tahu bahwa ini adalah momen terakhir, momen yang tak akan pernah terulang.
Hari-Hari terakhir itu terasa berbeda. Saat pelajaran teori yang biasanya membosankan, mereka malah duduk sambil ngobrol tentang pengalaman selama PKL, tentang apa yang mereka pelajari, dan tentang hal-hal yang mereka belum sempat lakukan. Di setiap sudut kelas, ada percakapan yang lebih dalam, lebih berarti, dan semakin sedikit waktu untuk mengatakannya.
Suatu sore, saat matahari mulai terbenam, Reina dan Ara duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah, tempat biasa mereka bercanda saat istirahat. Suasana itu terasa lebih sunyi, lebih tenang, dan lebih penuh dengan perasaan yang belum sempat diungkapkan.
“Ara,” kata Reina pelan, “Lo ingat nggak waktu pertama kali masuk kelas ini? Semua masih canggung, nggak kenal siapa-siapa.”
Ara tersenyum. “Iya, gue ingat banget. Lo duduk di sebelah gue, bahkan nggak ada yang nyapa. Terus kita jadi temenan, akhirnya hampir nggak pernah pisah lagi.”
Reina tertawa kecil. “Kita udah melalui banyak hal bareng, ya. Ternyata waktu cepat banget lewat.”
Ara mengangguk, menatap langit yang mulai gelap. “Kadang gue mikir, apa sih yang bakal kita lakuin setelah lulus? Mau lulus aja kayaknya udah susah, apalagi yang lebih jauh.”
Reina menatapnya, matanya sedikit berkaca. “Gue juga mikir gitu, Ara. Tapi, gue percaya kita bakal ngelewatin apapun yang ada di depan, kok. Kita udah berjuang dari awal. Sekarang tinggal lihat aja gimana kita terusin.”
Mereka berdua terdiam, hanya mendengarkan suara angin yang berdesir di antara daun-daun pohon. Semua kata-kata itu terasa penuh makna. Rasa takut, rasa ragu, dan rasa ingin melangkah lebih jauh—semua bercampur dalam satu perasaan yang tak bisa diungkapkan.
Ketika bell berbunyi, memanggil mereka untuk kembali ke kelas, Reina dan Ara berpegangan tangan sejenak. Tidak banyak yang perlu dikatakan lagi. Semua sudah jelas, bahkan tanpa kata-kata.
Hari-hari terakhir di sekolah itu memang penuh tawa yang berbeda—tawa yang lebih dalam, tawa yang tak hanya sekadar pelarian, tetapi juga tanda bahwa mereka sudah siap untuk melangkah lebih jauh.
Langkah Terakhir di Lorong Itu
Hari-hari terakhir di SMK 1 penuh dengan keramaian yang berbeda dari biasanya. Kelas yang biasanya sepi karena tugas-tugas dan ujian kini dipenuhi oleh kesibukan menyiapkan segala hal untuk acara kelulusan. Semua orang sibuk, tetapi ada ketegangan yang terasa di udara. Di luar sana, senyum mereka terlihat lebih lebar, lebih penuh harapan, tetapi di dalam hati mereka, ada sesuatu yang tak bisa diungkapkan—perasaan campur aduk yang tak pernah semudah itu dijelaskan.
Reina dan Ara berdiri di depan pintu kelas, memandang lorong sekolah yang biasa mereka lewati setiap pagi. Lorong itu kini terasa lebih sempit, lebih hening, meskipun suara tawa teman-teman mereka terdengar di luar sana.
“Gue nggak nyangka, ya. Kita akhirnya sampai di sini,” kata Ara, melirik Reina yang juga tampak sedikit cemas.
Reina mengangguk pelan, matanya menatap sekeliling. “Iya, ara. Semua yang kita lewati, akhirnya menuju sini. Tapi, gue nggak tahu kenapa rasanya aneh banget.”
“Gue juga. Kayak udah nggak sabar, tapi… ada yang hilang,” jawab Ara dengan nada yang lebih dalam.
Mereka berdua berjalan menyusuri lorong yang pernah mereka lewati berulang kali—dengan tawa, dengan cemas, dengan semua perasaan yang mengiringi setiap langkah. Lorong itu penuh kenangan. Penuh cerita yang dulu terasa begitu dekat, tapi kini terasa semakin jauh.
Zafran dan Delano duduk di bangku panjang dekat pintu keluar, dengan wajah yang lebih serius dari biasanya. Mereka sudah melalui banyak hal, tapi kali ini perasaan itu berbeda. Ada rasa kehilangan yang tak terungkap, meskipun mereka masih bisa tersenyum.
“Lo udah siap?” tanya Delano, matanya memandang ke depan, tak benar-benar melihat apa yang ada di depan matanya.
Zafran menghela napas, “Gue nggak tahu. Mungkin lebih ke nggak siap sih. Kadang gue mikir, apakah kita bener-bener siap untuk apa yang ada setelah lulus?”
Delano tersenyum pahit. “Kita nggak pernah siap, Zaf. Tapi kita harus jalanin aja. Semua yang udah kita lalui, itulah yang bakal bawa kita ke masa depan.”
Di ujung lorong, mereka semua berkumpul untuk acara perpisahan. Kelas 3 TKJ 1 tampak lebih rapi dari biasanya. Spanduk besar dengan tulisan “Terima Kasih Kelas 3 TKJ 1” digantung di atas panggung, dan suasana yang awalnya penuh dengan kegembiraan kini berubah menjadi lebih serius. Semua orang tahu, ini adalah momen terakhir mereka bersama, sebelum mereka berpisah dan menjalani hidup masing-masing.
Reina, yang sudah berdiri di depan panggung, melirik Ara, Zafran, Galvin, Delano, dan teman-temannya. Semua tampak tenang, tetapi di mata mereka ada sesuatu yang lebih dalam—perasaan yang sulit diungkapkan. Mereka semua tahu, perpisahan ini bukan hanya tentang kata-kata, tapi tentang mengucapkan selamat tinggal pada kenangan, pada masa lalu, pada teman-teman yang telah menjadi bagian dari perjalanan hidup mereka.
Acara kelulusan dimulai dengan upacara yang penuh dengan pidato dan sambutan. Setiap kata yang diucapkan oleh guru dan kepala sekolah terasa lebih berarti dari sebelumnya. Mereka berbicara tentang perjuangan, tentang usaha, dan tentang bagaimana mereka semua telah berkembang selama tiga tahun terakhir. Tetapi, bagi Reina dan yang lainnya, ada satu hal yang lebih besar dari itu—perpisahan yang semakin terasa dekat.
Saat giliran mereka untuk menerima ijazah tiba, hati Reina berdegup kencang. Melihat wajah gurunya yang penuh dengan harapan dan kebanggaan, dia merasa campur aduk. Semua perasaan itu bercampur—rasa takut, rasa bangga, dan rasa terima kasih yang tak terungkapkan.
Setelah upacara selesai, mereka semua berkumpul di halaman sekolah, tempat biasa mereka menghabiskan waktu istirahat. Tak ada lagi pembicaraan tentang tugas atau ujian. Semua yang ada di sana hanya tawa, pelukan, dan kata-kata perpisahan yang terasa lebih berat daripada sebelumnya.
“Ara…” Reina memanggil dengan suara pelan.
“Apa?” Ara menatapnya, matanya mulai berkaca.
“Gue bakal kangen banget sama lo, lo tahu kan?” Reina berkata dengan suara yang bergetar.
Ara tersenyum, meski air mata sudah menetes. “Gue juga, Rin. Tapi, kita bakal selalu ingat ini. Kita pernah ngelewatin banyak hal bareng, dan itu nggak bakal hilang begitu aja.”
Reina memeluk Ara erat, merasakan setiap detik yang mereka habiskan bersama. “Semoga jalan kita nggak berhenti di sini.”
Di sisi lain, Zafran dan Delano juga berbicara, tetapi kali ini mereka lebih diam. Hanya senyum yang bisa mereka berikan satu sama lain. Tidak perlu banyak kata, karena mereka sudah tahu bahwa meskipun hidup membawa mereka ke jalan yang berbeda, kenangan itu akan selalu ada.
Sore itu, ketika acara kelulusan berakhir dan semua teman-teman mulai bersiap untuk meninggalkan sekolah, Reina dan teman-temannya berdiri di depan pintu gerbang. Mereka tahu, ini adalah perpisahan yang tak terhindarkan. Tapi mereka juga tahu, ini bukanlah akhir dari segalanya.
“Terima kasih, teman-teman. Semoga sukses, di mana pun kalian berada,” kata Reina, sambil menatap teman-temannya dengan penuh haru.
Mereka semua saling memberi pelukan terakhir, dan dengan langkah yang berat, mereka pun mulai berjalan ke arah yang berbeda. Bukan karena mereka ingin melupakan, tapi karena mereka tahu, waktu mereka di SMK sudah berakhir, dan hidup mereka selanjutnya akan dimulai.
Reina menoleh sekali lagi ke belakang, melihat sekolah yang telah menjadi rumah kedua mereka selama ini. Dan saat dia melangkah pergi, dia tahu, meskipun mereka semua akan berpisah, kenangan tentang hari-hari yang mereka habiskan bersama—di kursi yang sama, di lorong yang sama—akan tetap hidup dalam hati mereka.
Perpisahan memang bukan hal yang mudah, apalagi ketika kita harus berpisah dengan teman-teman yang telah menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. Namun, seperti halnya cerita perpisahan ini, setiap langkah yang kita ambil membawa kita menuju babak baru yang penuh harapan.
Bagi para siswa kelas 3 SMK, perpisahan bukanlah akhir, melainkan awal dari petualangan baru yang lebih seru dan penuh tantangan. Jadi, meski berpisah, kenangan dan ikatan yang terjalin akan terus hidup di hati, membimbing kita menuju masa depan yang lebih cerah. Semoga cerita ini bisa mengingatkan kita semua bahwa setiap perpisahan menyimpan cerita yang tak terlupakan.