Daftar Isi [hide]
Pernah ngerasa sendirian padahal punya keluarga lengkap? Cerpen “Di Balik Dinding yang Retak” ini bakal bikin kamu mikir ulang soal arti rumah, perhatian, dan penyesalan yang datang terlambat. Cerita ini bukan cuma soal anak broken home dan orang tua yang terlalu sibuk buat dengar, tapi juga tentang kehilangan yang nggak bisa dibalikin, luka yang dipendam bertahun-tahun, dan usaha buat tetap bertahan di tengah kekacauan.
Kalau kamu lagi cari cerita yang relate, emosional, dan jauh dari kata membosankan—selamat, kamu udah nemu tempatnya. Yuk, selami kisah Elvano dan Rae yang dijamin bakal bikin dada kamu sesak tapi hangat di akhir.
Di Balik Dinding yang Retak
Rumah Tanpa Suara
Di sebuah sudut kota yang tak pernah terjamah sinar lampu jalan dengan layak, berdiri sebuah rumah kecil yang cat temboknya mulai mengelupas seperti luka lama yang tak kunjung sembuh. Di dalamnya, kesunyian menjadi penguasa. Dinding-dinding tipis memantulkan suara detik jam lebih nyaring daripada tawa. Rumah itu milik keluarga Zaskiel.
Elvano Zaskiel, atau El, tinggal di kamar sempit berdinding abu-abu pucat. Satu-satunya benda yang tampak masih baru di sana adalah gitar listrik yang sudah setahun lebih tak disentuh. Debunya menumpuk, seperti kenangan indah yang perlahan dilupakan. Di meja belajarnya, selembar rapor semester lalu masih terbuka, nilainya nyaris sempurna. Tapi tak ada tanda tangan, tak ada coretan ucapan bangga, hanya lipatan usang seperti tak pernah diacuhkan.
Jam makan malam tidak pernah ada. Meja makan hanya diisi tiga piring kosong dan teko air putih yang isinya selalu dingin tapi tak menyegarkan. Ayahnya, Marcellius Gatra, baru pulang saat ayam mulai berkokok, dengan baju kerja masih melekat dan kantung mata yang tak kalah berat dari beban hidupnya. Sementara ibunya, Alma Vioretta, lebih sering tertidur di depan laptop, ditemani file Excel dan kertas-kertas yang tak pernah habis.
“Ma, kamu udah makan?”
Pertanyaan sederhana itu pernah dilontarkan El satu malam. Jawaban ibunya singkat, tanpa menoleh, tanpa jeda dari layar.
“Udah. Makan aja sendiri ya.”
Kalimat itu seolah menggantung di udara, lebih dingin dari angin yang menyusup lewat ventilasi. Sejak malam itu, El berhenti bertanya. Ia juga tak lagi menunggu ayahnya di ruang tamu. Cukup sekali ditatap seperti gangguan oleh lelaki yang wajahnya selalu lelah—itu cukup untuk tahu: rumah bukan tempat untuk berharap.
Di sekolah, El bukan anak yang suka cari masalah. Ia pintar. Guru-gurunya tahu itu. Tapi mereka juga tahu El bukan anak yang mudah didekati. Selalu duduk di pojok, selalu pulang paling cepat. Di hari pembagian rapor, wali kelasnya sempat berkata,
“El, kamu nggak mau ajak orang tua buat ambil rapor?”
El hanya tersenyum tipis. “Mereka sibuk, Bu. Nggak sempet.”
Itu bohong. Tapi apa gunanya jujur kalau kenyataannya tetap sama?
Lingkungan tempat tinggal El juga tak membantu. Di luar pagar rumah, suara motor knalpot bobrok dan remaja yang tertawa sambil melempar botol bekas jadi hal biasa. Di ujung gang, anak-anak yang seharusnya belum lulus SMP sudah duduk mengisap rokok dengan tatapan kosong. Mereka bukan penjahat, hanya anak-anak yang tumbuh tanpa pelukan.
Suatu sore, El duduk di atap rumah, menatap langit yang keruh. Dari atas, terlihat ibunya baru pulang. Tumit sepatunya terdengar menjejak lantai, ritmenya cepat seperti orang yang takut telat. El sempat ingin turun, ingin menyapa, sekadar bilang “Ma, aku tadi menang lomba desain grafis”, tapi langkah ibunya langsung masuk kamar, menutup pintu seperti menutup segala kemungkinan komunikasi.
Lalu telepon berdering.
“El! Tolong angkatin telponnya! Cepet!”
Suara Alma menggema dari kamar. El meraih gagang, membaca nama di layar: “Kepala Sekolah.”
“Iya, halo?”
“Elvano, Ibu Erna ini. Bisa sampaikan ke Mama, kita mau undang beliau hadir di acara penghargaan siswa berprestasi minggu depan.”
“Oh… ya Bu. Saya bilangin.”
Setelah menutup telepon, El berjalan ke kamar ibunya, mengetuk pelan.
“Ma, tadi kepala sekolah nelepon…”
“Kamu yang jawab?”
“Iya. Mereka undang Mama buat hadir minggu depan, ada acara penghargaan. Aku—”
“Kamu kan udah gede, El. Nggak usah semua hal Mama yang urus. Mama ada deadline.”
Ucapan itu lebih tajam dari tamparan. El terdiam. Ia ingin bicara, ingin marah, tapi suaranya hilang entah ke mana. Ia hanya melangkah pergi, kembali ke kamarnya, menutup pintu perlahan. Di balik pintu itu, malam menua, dan anak laki-laki berprestasi duduk memeluk lutut di sudut ruangan yang hampa.
Beberapa minggu kemudian, catatan nilai El masih bagus. Tapi tatapannya mulai redup. Di sekolah, ia jarang hadir. Ketika hadir pun, matanya sembab, langkahnya lesu. Teman-temannya mulai menjauh, bukan karena El berubah jadi jahat—tapi karena mereka tak tahu cara mendekati seseorang yang pelan-pelan menjauh dari dirinya sendiri.
Suatu malam, ketika hujan turun dan listrik padam, El menyalakan lilin dan menulis di selembar kertas:
“Kalian terlalu sibuk untuk lihat kalau anak kalian hilang. Nggak hilang secara fisik… tapi hati dan semangatnya udah nggak di rumah lagi.”
Surat itu diselipkan di balik buku agenda ibunya. Tapi seperti semua hal lain di rumah itu, surat itu pun tak pernah dibaca.
Dan malam kembali sunyi. Hanya suara hujan dan bunyi tetesan dari atap bocor yang menemani anak laki-laki yang belajar dewasa tanpa contoh, belajar hidup tanpa arah, dan perlahan kehilangan dirinya di rumah yang tak pernah benar-benar jadi rumah.
Pelarian di Balik Asap dan Musik
Lampu-lampu malam kota menyala setengah hati, sebagian berkelip lemah seperti sedang sekarat. Di bawahnya, lorong demi lorong menyimpan cerita yang tak dicatat di laporan polisi, tak tertulis di buku pelajaran, dan tak pernah masuk pembicaraan orang tua di meja makan.
El mulai sering menghilang dari rumah saat senja baru jatuh. Tas sekolah digantung di punggung hanya sebagai formalitas. Isinya bukan buku, melainkan baju ganti, satu kaleng deodoran, dan dompet tipis yang isinya pas-pasan. Di dalam dompet, ada foto kecil dirinya saat SD, sedang memeluk piala lomba menggambar. Foto itu sudah mulai pudar.
Tempat El pulang bukan lagi rumah. Ia lebih sering menghabiskan waktu di gudang terbengkalai dekat rel kereta. Tempat itu dulu bekas bengkel, tapi kini jadi markas kecil anak-anak pinggiran yang tak punya ruang aman. Di sana, tawa terdengar lebih lepas, meski tanpa alasan yang sehat. Asap rokok menyatu dengan udara malam. Musik dari speaker curian memekakkan telinga, tapi justru itu yang dicari—kebisingan yang bisa menenggelamkan suara hati.
Di antara mereka, ada satu sosok yang belakangan ini sering duduk dekat El—gadis bertubuh mungil dengan rambut dicat sebagian, bernama Rae. Wajahnya seperti sisa dari seseorang yang dulu pernah bahagia. Tawanya cepat meledak, tapi matanya sering menatap kosong ke arah langit-langit. Mereka tidak saling tanya terlalu banyak. Di tempat seperti itu, semua orang tahu: masa lalu lebih baik dikubur dalam-dalam.
“Mau minum?” Rae menawarkan sebotol soda bercampur entah apa.
El mengangguk, meski tenggorokannya belum tentu butuh.
“Kamu anak mana sih?” Rae bertanya tanpa sungguh-sungguh ingin tahu.
“Dekat-dekat sini aja,” jawab El singkat.
“Keluarga?”
“Hah?”
“Kamu tinggal sama siapa?”
“Ya… masih ada orang tua, sih.”
Rae tertawa pelan, lalu menatapnya.
“Tapi nggak berasa, ya?”
El hanya menghela napas. Tak ada kata yang bisa menjelaskan perasaannya lebih baik dari hening yang menjawab pertanyaan Rae.
Malam-malam berikutnya, mereka mulai jadi sepasang pelarian tanpa perjanjian. Rae mengajak El ke pesta rumah kosong di ujung terminal, tempat anak-anak dari tiga gang berbeda berkumpul. Di sana, semua jenis pelarian tersedia: suara keras, minuman murah, bahkan obat-obatan yang disembunyikan di balik bungkus permen.
“Coba deh, satu ini aja. Biar pikiran kamu istirahat,” bujuk Rae suatu malam sambil mengangsurkan pil kecil berwarna pastel.
El menatap pil itu lama. Kepalanya penuh suara-suara yang tak ingin didengar: suara ibunya yang selalu tergesa, suara ayahnya yang berat dan datar, suara hatinya yang lelah. Ia mengambil pil itu, menatapnya sebentar, lalu menyelipkannya ke saku.
“Aku pengen inget rasanya jadi manusia, Rae… tapi bukan kayak gini,” bisiknya.
Rae hanya tertawa dan menyender di pundaknya.
“Kamu terlalu serius. Hidup nggak seberat itu, El…”
“Buat kamu mungkin nggak.”
“Buat aku juga berat. Tapi setidaknya kalau ketawa, aku bisa lupa sebentar.”
Hubungan mereka tak pernah didefinisikan. Tidak seperti pacaran di sinetron—tak ada bunga, tak ada janji. Tapi ketika tangan mereka bersentuhan di tengah keramaian, dunia luar terasa lebih pelan. Rae memberinya ruang untuk diam, dan El memberinya telinga untuk cerita.
Namun, semua yang semu pasti punya batas.
Suatu malam, pesta diadakan lebih besar dari biasanya. Musik disetel sekeras-kerasnya, lampu sorot dipasang seadanya. Rae datang lebih dulu, mengenakan jaket kulit yang terlalu besar untuk tubuhnya. Ia tampak lelah, tapi masih memaksakan senyum saat melihat El datang.
“El, aku dapet yang baru. Katanya efeknya lebih cepet, kamu mau coba bareng?”
El menggeleng. “Nggak, Ra. Nggak malam ini.”
Rae cemberut. “Kamu nggak pernah seru sih…”
El ingin bicara, ingin bilang kalau ia takut kehilangan satu-satunya orang yang masih membuatnya merasa nyata. Tapi sebelum sempat bicara, Rae sudah masuk ke salah satu kamar, pintunya tertutup.
Jam menunjukkan lewat tengah malam. Musik tetap menggema, tapi El tak lagi menikmati. Ia berdiri di balkon lantai dua rumah kosong itu, menatap jalanan sepi, lalu memutuskan pulang. Entah kenapa, malam itu ada rasa asing di dadanya, seperti firasat yang menempel di tengkuk.
Paginya, berita menyebar lebih cepat dari sinyal internet. Seorang gadis ditemukan tak bernyawa di kamar mandi rumah kosong dekat terminal. El mendengar namanya sebelum sempat bertanya. Rae.
Ia datang ke tempat itu lagi, tapi kali ini tidak sebagai anak nakal yang ingin lari dari rumah. Ia datang sebagai seseorang yang baru saja kehilangan satu-satunya alasan bertahan. Di balik garis polisi, ia melihat jaket kulit Rae tergantung di paku tembok, basah oleh embun dan kenangan yang tak akan kembali.
Sejak malam itu, El tak lagi datang ke gudang dekat rel. Ia juga tak menyentuh gitar, tak menyapa siapa-siapa di sekolah. Teman-teman lamanya tak menanyakan kabar, guru-guru mulai angkat tangan.
Yang tersisa hanyalah sepi yang lebih pekat dari biasanya, dan satu catatan di kertas sobekan kecil yang ditemukannya di saku jaket Rae:
“Kalau suatu hari aku nggak ada, jangan jadi kayak aku ya. Cari cahaya kamu sendiri, El…”
Saat Semua Runtuh
Beberapa hari setelah kepergian Rae, waktu seolah kehilangan strukturnya. Matahari tetap terbit dan terbenam, tapi buat El, itu hanya formalitas alam yang tak lagi punya makna. Sekolah? Hanya tempat asing yang makin jarang ia pijak. Rumah? Tak lebih dari ruang tunggu yang menyesakkan dada. Ia seperti berjalan dalam lorong panjang yang dindingnya terus bergerak menekannya dari kiri dan kanan.
Namun hari itu, lorong itu runtuh.
Pagi masih muda ketika dua pria berseragam cokelat datang ke rumah keluarga Zaskiel. Alma yang masih memakai daster dan kantung mata menggantung di bawahnya membuka pintu dengan raut bingung. Marcellius belum pulang dari kantor sejak semalam—lagi-lagi lembur katanya, meski entah untuk apa semua lembur itu kalau rumah selalu terasa kosong.
“Selamat pagi, Bu. Kami dari kepolisian sektor XX. Ingin berbicara dengan Elvano Zaskiel. Apakah beliau ada di rumah?”
Alma tertegun. “El? Memangnya kenapa? Dia… dia tidur di kamarnya.”
Seketika, suasana rumah yang tadinya hanya sunyi berubah jadi dingin dan berat. Langkah-langkah menuju kamar El diiringi tatapan curiga dan gumaman pelan. El yang masih duduk di tepi ranjang hanya menoleh lelah ketika pintu dibuka paksa.
“Kamu Elvano?”
“Iya…”
“Ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan soal kejadian di rumah kosong terminal selatan. Kami mohon kerja samanya.”
Alma berteriak pelan. “Tunggu, ini maksudnya apa? Anakku—dia anak baik!”
Tapi tak ada yang peduli pada kalimat defensif yang datang telat. El dibawa pergi dengan kepala tertunduk, sementara ibunya berdiri terpaku, jantungnya berdetak kacau, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, air matanya jatuh bukan karena stres kerja.
Di kantor polisi, interogasi berlangsung berjam-jam. Tidak ada tuduhan—belum. Tapi banyak pertanyaan, dan setiap pertanyaan seperti cermin besar yang memaksa El menatap versi dirinya yang selama ini ia abaikan.
“Kamu tahu Rae menggunakan zat terlarang?”
“Enggak.”
“Kamu tahu siapa yang memberinya?”
“Enggak.”
“Kamu di lokasi saat kejadian?”
“Udah pulang sebelum itu.”
“Kenapa pergi?”
“Karena aku takut kehilangan dia.”
Kalimat terakhir itu terlontar tanpa filter, dan petugas di depannya hanya menunduk sebentar, sebelum menuliskan sesuatu di kertas. El dilepaskan malam itu, karena tidak cukup bukti untuk menahannya. Tapi stigma tidak butuh bukti. Namanya sudah tersebar, gosip sudah menyebar. Sekolah memanggil Alma ke kantor kepala sekolah. Marcellius pulang lebih cepat dari biasanya, kali ini bukan karena sayang—tapi karena panggilan darurat dari ibu rumah tangga yang tiba-tiba dipaksa menghadapi kenyataan: anak mereka bukan sekadar menyendiri. Anak mereka rusak.
Untuk pertama kalinya, Marcellius dan Alma duduk berdua di ruang tamu bersama El, tanpa televisi menyala, tanpa laptop terbuka, dan tanpa ada ponsel di tangan. Tapi anehnya, diam yang melingkupi mereka lebih bising daripada teriakan.
“Kenapa kamu bisa… sampai kayak gini?” suara Alma lirih, nyaris berbisik.
El mendongak. “Kayak gimana, Ma?”
“Kamu—terlibat sama… dia. Sama anak-anak itu. Kami kira kamu—”
“Jadi itu masalahnya? Karena aku bikin malu kalian?” El memotong, suaranya naik satu oktaf. “Kalian nggak nanya aku kenapa. Kalian cuma mikir, anak kalian merusak citra!”
“Bukan begitu!” seru Marcellius, akhirnya bicara. Tapi nada suaranya goyah.
El berdiri, menatap mereka berdua. “Selama ini kalian di mana, sih? Aku nggak butuh orang tua yang tiba-tiba jadi peduli cuma karena polisi datang. Aku butuh kalian waktu aku nunggu di meja makan sendirian. Waktu aku menang lomba, waktu aku sakit, waktu aku… hancur!”
Suasana berubah hening lagi. Tapi kali ini bukan hening karena tidak peduli—melainkan hening karena luka yang terbuka terlalu dalam dan terlalu tiba-tiba.
Alma meneteskan air mata. Tidak dramatis. Hanya perlahan, dan terus menerus, seperti kran air bocor di dapur yang selama ini ia abaikan karena terlalu sibuk dengan spreadsheet dan deadline.
“Kami pikir kamu kuat, El,” ucap Alma, hampir berbisik.
“Kuat bukan berarti nggak butuh pelukan, Ma.”
Kalimat itu membuat jantung Alma seperti diikat kencang. Marcellius hanya diam, wajahnya tak lagi setegas biasanya. Ia ingin marah pada El, tapi lebih dari itu, ia marah pada dirinya sendiri.
Sejak malam itu, rumah tidak lagi sunyi. Tapi bukan karena tiba-tiba bahagia. Melainkan karena luka-luka yang akhirnya mulai bicara. Tidak semua luka bisa disembuhkan dengan cepat. Tapi setidaknya kini, mereka tak lagi saling diam.
El masih menyendiri. Tapi sesekali, ketika Alma menyodorkan semangkuk sup di meja, atau ketika Marcellius menepuk bahunya diam-diam sebelum pergi kerja, El tahu: mungkin terlambat, tapi tidak sepenuhnya sia-sia.
Namun satu hal belum selesai. Rae.
Dan rasa bersalah yang El bawa dalam diam.
Rasa yang tak bisa dihapus hanya dengan pelukan atau permintaan maaf.
Surat yang Tak Pernah Sampai
Minggu pagi datang tanpa suara. Udara lebih dingin dari biasanya, dan langit kelabu seperti menggantung awan-awan berat yang enggan tumpah. Di kamarnya yang masih dipenuhi poster lama dan gitar berdebu, El duduk di depan meja belajar yang sudah lama tak terpakai untuk belajar.
Tangannya menulis pelan. Pulpen biru goresannya tak stabil, kadang tinta macet, kadang berlebihan, seperti perasaannya yang kacau tapi memaksa keluar. Di hadapannya, secarik kertas putih mulai terisi huruf demi huruf yang ditulis dengan dada sesak dan mata sedikit basah.
Rae,
Maaf.
Aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi… aku nulis ini karena ada terlalu banyak hal yang nggak sempat aku bilang ke kamu waktu itu. Waktu terakhir kita ngobrol, kamu masih sempat ketawa, masih sempat bilang hidup nggak seberat itu. Tapi aku tahu kamu bohong. Sama kayak aku.
Kamu selalu jadi tempat pelarian, Ra. Tempat aku bisa jadi diriku sendiri tanpa harus mikirin ekspektasi siapa-siapa. Tapi aku lupa kalau kamu juga lari. Kita berdua lari, tapi nggak pernah tahu arah pulang.
Aku pengen minta maaf karena nggak cukup kuat buat nyelamatin kamu. Pengen marah juga, kenapa kamu pergi segampang itu. Tapi makin ke sini, aku ngerti. Kamu nggak pergi karena lemah. Kamu cuma terlalu capek.
Aku juga capek, Ra. Tapi kamu tahu apa? Sekarang aku pengen bertahan. Bukan karena hidup jadi lebih mudah. Tapi karena aku nggak mau ada lagi yang pergi kayak kamu.
Dan mungkin, itu cara aku menghargai kamu.
Dari El, yang masih nunggu kamu di rel kereta, meski cuma bayangannya.
El melipat kertas itu rapi, menyelipkannya dalam amplop kosong, lalu memasukkannya ke dalam saku jaket—jaket yang dulu sempat dipakai Rae sekali, lalu lupa dikembalikan. Bukan untuk dikirim. Bukan untuk dibaca siapa pun. Tapi sebagai pengingat. Tentang kesalahan, kehilangan, dan sesuatu yang tak bisa lagi diperbaiki.
Siang harinya, El berjalan ke tempat yang sudah lama tidak ia datangi. Bekas gudang dekat rel itu kini hanya puing-puing. Sebagian temboknya roboh, lantainya dipenuhi lumut. Tapi El tetap melangkah masuk, menatap ke sudut tempat ia dan Rae biasa duduk. Masih ada bekas tanda sepatu di sana, entah milik siapa. Tapi ia duduk juga, meletakkan amplop itu di bawah batu kecil.
Lalu diam. Lama.
Suara kereta lewat tak jauh dari sana. Angin menerbangkan sedikit debu dan daun-daun kering. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, El tidak merasa ingin pergi.
**
Beberapa minggu kemudian, Alma datang ke kamar El sambil membawa sesuatu. Sebuah kotak kayu kecil, dengan ukiran nama El di atasnya.
“Ayahmu yang buat. Katanya… dia pengen kamu simpan apa aja yang penting di sini.”
El membuka kotaknya pelan. Kosong. Tapi itu justru membuatnya terasa luas.
“Ma, boleh nanya satu hal nggak?”
“Hm?”
“Kalau aku berubah… pelan-pelan… kalian tetap mau nerima aku, kan?”
Alma menatap El dalam. Kali ini tidak ada air mata, hanya senyum kecil.
“Justru itu yang kami tunggu selama ini, El.”
Dan pelan-pelan, untuk pertama kalinya, El merasa punya rumah.
**
Di malam hari, El kembali menyentuh gitar lamanya. Jari-jarinya masih kaku, tapi bunyi yang keluar cukup untuk mengisi keheningan. Ia mulai mencoret lirik baru di kertas lusuh yang dulu sempat ia buang. Bukan lagu tentang lari, tapi tentang pulang.
Sementara itu, di tempat lain, angin malam berembus ke arah bekas gudang dekat rel. Amplop kecil itu masih ada di sana, terjepit batu, agak kotor, tapi tak hilang.
Surat yang tak pernah sampai, tapi tak pernah sia-sia.
Tamat.
Setiap orang punya luka, tapi nggak semua sempat nyembuhinnya. Cerpen “Di Balik Dinding yang Retak” ngajarin kita bahwa perhatian kecil bisa jadi segalanya, dan kadang… yang paling kita rindukan bukan rumahnya, tapi rasa pulang itu sendiri.
Kalau kamu punya orang yang kamu sayang—entah itu orang tua, teman, atau saudara—jangan tunggu sampai semuanya terlambat buat bilang, “Aku butuh kamu.” Karena nggak semua surat sempat terkirim, dan nggak semua penyesalan bisa diperbaiki.
Jadi, udah peluk orang rumah hari ini?