Daftar Isi
Siapa bilang matematika itu membosankan? Yuk, simak kisah Riva dan Damar yang bikin angka jadi seru! Di balik rumus-rumus yang bikin kepala puyeng, mereka justru menemukan cinta yang manis dan penuh tawa. Dari kue hingga perasaan, siap-siap baper bareng mereka! Let’s go!!!
Cinta di Balik Matematika
Pelajaran yang Membosankan
Di dalam kelas yang dipenuhi dengan berbagai wajah, suasana terlihat cukup tegang. Hari itu adalah hari pelajaran Matematika, dan semua orang tahu betapa beratnya pelajaran ini. Pak Taufik, guru yang terkenal dengan gaya mengajarnya yang kaku, berdiri di depan papan tulis, menulis rumus-rumus yang membuat para siswa mengerutkan dahi. Riva, yang duduk di bangku depan, merasa gelisah. Pikirannya melayang jauh dari angka-angka yang berputar di kepalanya.
Riva adalah gadis ceria yang selalu menghiasi suasana dengan senyumnya. Namun, kali ini, senyumnya seolah terpaksa. Ia menatap papan tulis, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan Pak Taufik. “Persamaan kuadrat, persamaan kuadrat…,” ucapnya pelan sambil menggelengkan kepala. Tiba-tiba, pikirannya melayang ke kue cokelat yang ia simpan di tasnya. “Kenapa harus belajar angka sementara ada kue yang menunggu?” batinnya.
Saat Pak Taufik melanjutkan penjelasannya, Riva melihat ke arah Damar. Damar duduk di bangku belakang dengan wajah serius, matanya terfokus pada papan tulis. Dia memang dikenal sebagai si jenius dalam Matematika, dan selalu mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Riva tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya. Dia berbalik, melambaikan tangannya, dan berteriak, “Damar! Kau yakin ini bukan pelajaran tentang kue?”
Suasana di kelas menjadi sedikit riuh. Damar, yang tersentak mendengar suara Riva, menoleh dan mendapati semua mata tertuju padanya. Dia mengerutkan dahi, sedikit bingung. “Riva, kita sedang belajar matematika, bukan resep masakan,” jawabnya sambil tersenyum, meski wajahnya sedikit memerah.
“Ah, tetapi kita bisa menggunakan kue sebagai contoh! Coba bayangkan, kalau aku punya dua kue dan ingin membagi dengan teman-temanku, berapa banyak potongan yang bisa kita bagi?” Riva menjawab dengan semangat, matanya berbinar penuh harapan.
“Kalau kita menghitungnya, itu berarti kita harus membagi jumlah kue dengan jumlah orang yang ada,” Damar mencoba menjelaskan dengan serius, namun tidak bisa menahan tawa melihat wajah Riva yang penuh harapan itu.
“Hmm, jadi kita butuh rumus untuk menghitung jumlah potongan kue? Kalau kamu memakannya semua, apakah aku tetap dapat nilai A di ujian?” Riva menggoda sambil melirik Pak Taufik yang tampaknya tidak terhibur dengan interaksinya.
Damar tertawa terbahak-bahak. “Kalau kamu tidak bisa membagi kue itu dengan baik, mungkin tidak. Tapi kita bisa menghitung kalori dan berat badan yang kamu dapatkan!”
Kelas pun riuh dengan gelak tawa. Pak Taufik, yang melihat keributan itu, mulai menatap tajam. “Riva, tolong fokus pada pelajaran. Kita di sini untuk belajar matematika, bukan untuk berdiskusi tentang kue!”
Riva menunduk, sedikit malu, tetapi tidak bisa menghindari senyum di wajahnya. Dia menganggap bahwa dia telah berhasil menghibur Damar—misi kecil yang menyenangkan. Namun, saat pelajaran berlanjut, Riva merasa semakin tidak berdaya. Matematika memang sangat jauh dari dunia yang dia cintai.
Setelah pelajaran usai, Riva meraih tasnya dan bersiap untuk pergi. “Damar, tunggu sebentar!” teriaknya, berlari mendekatinya sebelum Damar melangkah keluar kelas. “Aku butuh bantuanmu. Matematika ini benar-benar menyiksaku.”
Damar berhenti dan menatapnya dengan serius. “Aku? Membantu kamu? Kenapa tidak minta bantuan teman-temanmu yang lain saja?”
“Karena… mereka semua juga tidak bisa, dan aku tahu kamu adalah satu-satunya yang bisa mengeluarkanku dari penderitaan ini,” Riva menjawab dengan nada memelas, matanya berbinar penuh harapan.
Damar menghela napas, tampak berpikir sejenak. “Baiklah, aku bisa membantu. Tapi kita harus belajar dengan serius, ya?”
“Serius? Hmm… kita bisa membuatnya lebih menyenangkan! Bagaimana kalau kita belajar sambil ngemil? Kue cokelatku itu bisa jadi semangat belajar,” Riva berkata, matanya berkilau dengan ide yang mengasyikkan.
Damar hanya menggelengkan kepala, tetapi senyumnya tak bisa disembunyikan. “Oke, kita bisa coba. Tapi ingat, kita harus fokus!”
Sejak saat itu, mereka sepakat untuk belajar bersama setiap sore di perpustakaan. Riva merasa gembira. Mungkin belajar matematika tidak akan seburuk yang dia bayangkan, apalagi jika ada Damar yang membantunya. Saat Riva berjalan pulang, dia tidak bisa menahan senyum lebar di wajahnya.
“Kalau saja kue bisa menggantikan semua rumus ini…” gumamnya dalam hati, membayangkan semua petualangan yang akan terjadi saat belajar bersama Damar. Di benaknya, ada semacam perhitungan baru: rumus persahabatan, dengan sedikit rasa manis dari kue, dan sedikit tawa yang membuat semuanya lebih ringan.
Dengan semangat baru, Riva tidak sabar menunggu hari esok, saat dia bisa berbagi waktu dan belajar dengan Damar—si jenius matematika yang secara tak terduga telah mencuri perhatian dan hatinya.
Dua Kue dan Satu Persamaan
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Riva berdiri di depan cermin, mengatur rambutnya yang ikal dan memastikan penampilannya rapi sebelum berangkat ke perpustakaan. Dia merasa sedikit bersemangat—semangat yang berbeda dari biasanya. Sore itu bukan hanya tentang belajar matematika, tapi juga tentang menghabiskan waktu dengan Damar, si jenius yang berhasil mencuri perhatian hatinya.
Riva melangkah cepat menuju perpustakaan, membayangkan apa yang akan terjadi. Dalam pikirannya, dia mengingat kembali saat-saat lucu ketika mereka bercanda di kelas. “Kalau aku bisa mendapatkan nilai A, Damar harus merayakannya dengan kue,” gumamnya sambil tersenyum.
Sesampainya di perpustakaan, Riva segera mencari meja di sudut yang biasanya sepi. Di sanalah dia bisa berbagi kue cokelatnya dengan Damar. Ketika dia meletakkan tasnya, dia melihat Damar sudah duduk dengan buku matematika terbuka di depannya. Damar, dengan kacamata yang meluncur di ujung hidungnya, tampak sangat fokus.
“Hey, jenius! Apakah kamu sudah menghitung berapa banyak potongan kue yang kita butuhkan untuk belajar hari ini?” Riva menyapa, melangkah mendekat sambil mengeluarkan kotak kue dari tasnya.
Damar menoleh dan tersenyum. “Riva, itu bukan pertanyaan matematis yang baik. Kita tidak bisa membagi kue sebelum kita membagi persamaan.” Dia mengulurkan tangannya untuk membantu Riva membuka kotak kue.
Riva tertawa, “Kalau begitu, kita harus mulai dengan persamaan kue! Dua kue untuk dua orang—berarti kita masing-masing dapat satu!”
“Hmm, logika yang sangat bagus,” Damar menjawab sambil mengambil satu potong kue, “tapi kita harus hitung kalori yang kita konsumsi setelahnya, ya?”
Riva mencibir. “Ah, itu tidak penting! Kue ini adalah bahan bakar untuk otak kita!”
Mereka mulai belajar sambil mencicipi kue. Riva menjelaskan satu persatu rumus yang dia tidak mengerti, dan Damar dengan sabar menerangkannya. Mereka saling bercerita, dan suasana pelajaran yang kaku itu bertransformasi menjadi sebuah momen yang hangat dan penuh tawa.
“Jadi, coba kamu jelasin ke aku. Kenapa kita harus belajar soal ini?” Riva bertanya, penasaran.
“Karena dalam hidup, kita harus bisa menghitung segala sesuatu—seperti menghitung berapa banyak kue yang bisa kamu bagi dengan temanmu atau berapa banyak waktu yang kamu butuhkan untuk menyelesaikan tugas,” Damar menjawab sambil tersenyum.
“Hmm, tapi kalau soal waktu, aku butuh banyak! Bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk membuat kue,” Riva berkelakar, dan Damar tertawa lepas.
Di tengah-tengah tawa mereka, Damar berusaha menjelaskan konsep persamaan kuadrat dengan cara yang lebih sederhana. “Bayangkan, persamaan ini seperti sebuah jembatan. Kita harus mencari dua titik agar bisa melewati sungai.”
“Jembatan? Ah, itu sangat menarik! Jadi, jika aku tidak bisa membangun jembatan, aku tidak akan bisa menyeberang?” Riva mengerutkan dahi, membayangkan dirinya di tepi sungai yang lebar.
“Benar! Jadi, untuk membangun jembatan itu, kita butuh dua titik yang saling terhubung,” Damar melanjutkan, mulai menikmati penjelasannya.
“Jadi, dua titik itu seperti kue yang harus dibagi sama rata?” Riva menambahkan, berusaha menghubungkan analogi Damar dengan kue yang mereka nikmati.
“Persis! Sekarang kamu mulai paham!” Damar berkata, matanya bersinar.
Mereka melanjutkan belajar, dan semakin banyak lelucon yang terlontar. Riva merasa belajar matematika ini jauh lebih mudah dan menyenangkan bersama Damar. Dia mulai menyadari bahwa kehadiran Damar tidak hanya membuatnya lebih paham, tetapi juga membuat hatinya berdebar-debar.
Setelah beberapa jam belajar, Riva menyandarkan kepalanya di meja. “Damar, terima kasih sudah jadi guru yang sabar. Siapa sangka, pelajaran ini bisa menyenangkan seperti ini,” ujarnya sambil memejamkan mata sejenak.
Damar tersenyum lembut. “Aku senang bisa membantu. Kita masih punya banyak hal yang harus dibahas, jadi jangan tidur dulu!”
“Oh, aku tidak bisa tidur! Aku hanya membayangkan betapa lucunya jika kita belajar matematika di luar ruangan dengan kue dan minuman dingin,” Riva menyatakan dengan mata berbinar.
“Kalau begitu, kita bisa adakan kelas luar ruangan! Belajar matematika sambil ngemil kue!” Damar menyetujui ide itu, dan mereka berdua tertawa.
Setelah belajar, mereka berkemas dan bersiap pulang. Damar menghampiri Riva, “Kalau kamu tidak keberatan, kita bisa bertemu lagi besok untuk belajar. Aku rasa kita harus menghitung berapa banyak kue yang bisa kita buat bersama juga!”
“Deal! Tapi kita harus membuat kue yang lebih besar untuk pelajaran besok!” Riva menjawab penuh semangat, tidak sabar untuk berbagi waktu lagi dengan Damar.
Saat mereka berjalan keluar perpustakaan, Riva merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar belajar matematika. Persahabatan ini perlahan-lahan mulai menjadi sesuatu yang lebih manis, dan dia ingin menyimpannya di dalam hati, di antara semua rumus dan kue yang mereka bagi bersama.
Kedua remaja ini, yang awalnya bertemu karena angka dan rumus, sekarang sudah melangkah ke sebuah perhitungan baru—sebuah rumus cinta yang sedang terbentuk tanpa mereka sadari.
Kue dan Kemanisan yang Tak Terduga
Pagi yang cerah menyapa Riva saat dia bergegas ke dapur. Aroma segar dari kue yang sedang dipanggang memenuhi ruangan, menambah semangatnya. Dia sudah merencanakan untuk membuat kue yang lebih besar dan lebih menarik daripada sebelumnya—kali ini, dia ingin memasukkan beberapa rasa yang berbeda agar Damar terkesan.
“Satu untuk Damar, satu untuk aku, dan satu lagi untuk perhitungan ekstra,” Riva berbicara sendiri sambil menghitung bahan-bahan yang diperlukan. “Siapa tahu, kita bisa menarik perhatian beberapa teman untuk bergabung.”
Ketika dia sedang mencampur adonan, pikirannya melayang kembali ke pertemuan kemarin. Riva tak bisa berhenti tersenyum saat mengingat Damar yang bersemangat menjelaskan rumus-rumus matematika dengan cara yang menggelitik. Rasa ingin tahunya tumbuh, dan dia berharap bisa lebih mengenal Damar hari ini.
Setelah beberapa jam di dapur, Riva akhirnya selesai. Kue cokelat berlapis yang berukuran lebih besar sudah siap dan terletak cantik di atas meja. “Perfect!” Dia bersorak, membayangkan senyum Damar saat melihat kue ini.
Tepat pukul empat sore, mereka sudah berjanji untuk bertemu di taman kampus. Riva melangkah cepat, berusaha menyimpan kue dalam kotak dengan hati-hati. Dia ingin memastikan semua tetap utuh dan tidak ada yang bocor.
Sesampainya di taman, Riva melihat Damar sudah menunggu di bangku. Dia mengenakan kaus biru yang pas di tubuhnya, tampak sangat santai. Melihat Damar membuat hati Riva berdebar lebih kencang.
“Hey! Kue apa yang kamu bawa hari ini?” Damar bertanya, matanya langsung tertuju pada kotak di tangan Riva.
“Ini adalah kue spesial—kue lapis cokelat! Dan yang lebih menarik, kita akan mempelajari matematika sambil makan kue!” Riva menjawab ceria, sambil membuka kotak dan memperlihatkan kue yang cantik.
Damar mengerutkan dahi, pura-pura berpikir. “Hmm, apakah kita harus menghitung kalori kue ini untuk perhitungan hari ini?”
“Dilarang! Kalori bukan bagian dari pelajaran kita!” Riva menegaskan sambil terkekeh. “Kita akan menggunakan kue ini sebagai alat bantu belajar. Siapa yang bisa menghitung potongan kue yang kita bagi?”
“Oh, baiklah. Mari kita mulai,” Damar merespons sambil tersenyum lebar. Mereka duduk bersisian di bangku taman, menyantap kue dan mempelajari rumus-rumus dengan penuh semangat.
Setiap kali Damar menjelaskan suatu rumus, Riva tidak hanya merasa lebih paham, tapi juga terhibur oleh cara Damar yang lucu. Mereka bercanda, tertawa, dan kadang-kadang Riva melemparkan lelucon yang membuat Damar terpingkal-pingkal.
“Kalau kita anggap kue ini sebagai variabel ‘X’, berapa banyak potongan yang bisa kita bagi agar kita tidak terlalu kenyang?” Damar bertanya sambil menggigit kue.
“Jika kita membagi ‘X’ dengan dua orang, setiap orang mendapat setengah ‘X’! Tapi jika kita terlalu banyak makan, kita bisa beralih ke variabel baru—‘perut kembung’!” Riva menjawab sambil tertawa.
Damar menggelengkan kepala, “Kamu memang punya cara unik untuk mengaitkan segala sesuatu dengan makanan. Seharusnya kamu jadi guru matematika, bukan siswa!”
“Ah, itu berlebihan! Aku hanya tahu bagaimana mengolah rumus agar lebih lezat,” Riva membalas dengan semangat, matanya berbinar-binar.
Setelah beberapa potong kue, Riva mulai merasakan kedekatan yang lebih dalam dengan Damar. Di antara tawa dan perhitungan, dia mulai berani bertanya lebih jauh tentang Damar. “Damar, apa kamu punya hobi selain belajar matematika?”
Damar menghela napas, tampak berpikir. “Aku suka menggambar. Kadang, aku menggambar grafik atau diagram untuk menjelaskan konsep yang sulit. Ini membantuku lebih paham.”
“Wow! Itu keren. Aku ingin sekali melihat gambarmu!” Riva berkata, terpesona. Dia membayangkan betapa menariknya jika Damar menggambar kue mereka dalam sketsa.
“Aku bisa menunjukkan satu atau dua gambar jika kamu mau,” Damar menjawab, wajahnya mulai bersemu.
Mereka melanjutkan percakapan, bercerita tentang hobi masing-masing, hingga waktu berlalu begitu cepat. Riva menyadari, semakin banyak waktu yang dihabiskan dengan Damar, semakin dia menyukai semua tentangnya—senyum, kecerdasan, dan cara berpikirnya yang berbeda.
“Tapi Damar, kamu harus tahu, saat kita belajar bersama, aku bukan hanya belajar matematika. Aku juga belajar tentang bagaimana membuat hidupku lebih manis,” Riva mengungkapkan, berharap kata-katanya tidak terdengar terlalu berlebihan.
Damar menatapnya, tampak sedikit terkejut. “Itu… menyentuh, Riva. Aku juga merasakan hal yang sama. Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu.”
Keduanya terdiam sejenak, merasakan kedekatan yang tumbuh di antara mereka. Tak ada kata yang terucap, tetapi tatapan mereka sudah cukup menggambarkan perasaan yang sedang berkembang. Riva merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan, dan itu membuat jantungnya berdebar.
Saat matahari mulai terbenam, Riva merasa hari itu sangat sempurna. Dia berharap bisa memiliki lebih banyak momen seperti ini, di mana mereka bisa belajar, tertawa, dan berbagi kue.
Dengan senyum yang tak pernah pudar, mereka mengemas kue yang tersisa dan beranjak pulang, menantikan pertemuan berikutnya. Namun, Riva tahu, pertemuan selanjutnya bukan hanya tentang belajar matematika, tapi juga tentang menelusuri perasaan baru yang perlahan-lahan muncul di antara mereka.
Rumus Cinta yang Terungkap
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan setiap pertemuan Riva dan Damar semakin penuh warna. Mereka tidak hanya belajar matematika bersama, tetapi juga menggali lebih dalam tentang diri masing-masing. Riva menemukan dirinya tidak hanya menyukai angka, tetapi juga semakin tertarik pada Damar. Setiap kali Damar tertawa, hatinya bergetar; setiap kali Damar menjelaskan suatu rumus, dia merasa terhubung dengan cara yang lebih dalam.
Suatu sore, saat mereka duduk di taman lagi, Damar memutuskan untuk mengubah suasana. “Riva, bagaimana kalau kita tidak hanya belajar matematika hari ini? Aku ingin membuat eksperimen dengan perasaan kita.”
“Eksperimen? Seperti apa?” Riva bertanya, sedikit bingung tapi juga antusias.
“Aku punya ide. Mari kita buat rumus kita sendiri tentang bagaimana kita merasakan satu sama lain. Misalnya, seberapa banyak kita menikmati waktu bersama, seberapa sering kita tertawa, dan seberapa manis kue yang kita buat.” Damar menjelaskan sambil menggambar rumus di udara dengan jarinya.
Riva tersenyum lebar. “Itu keren! Jadi, kita akan menilai pertemanan kita dengan rumus yang kita buat sendiri?”
“Persis!” Damar mengangguk. “Jadi, berapa banyak perasaan positif yang kamu dapatkan dari setiap potongan kue yang kita buat bersama?”
“Hmm, satu potong kue memberikan dua poin kebahagiaan, dan jika kamu ada di sampingku, itu bisa menjadi tiga poin. Jadi, satu potong kue plus kehadiranmu menghasilkan lima poin kebahagiaan!” Riva menghitung sambil tertawa.
“Bagus! Sekarang, jika kita menghabiskan satu jam bersama, kita harus menambahkan dua poin per jam. Jadi, jika kita sudah bertemu lima kali, berapa total poin kita?” Damar melanjutkan, terlihat semakin bersemangat.
Riva berpikir sejenak. “Tunggu, jadi kita sudah menghabiskan lima jam bersama? Itu berarti 10 poin dari waktu dan 25 dari kue. Totalnya adalah 35 poin! Kita harus mengulangi eksperimen ini terus-menerus!”
Mereka berdua tertawa, dan Riva merasa hatinya bergetar. Damar mengalihkan pandangannya, tampak sedikit serius. “Tapi, Riva, jika ada satu hal yang harus kita tambahkan ke rumus kita, itu adalah…”
Riva mengangkat alisnya. “Apa itu?”
“Rasa suka kita satu sama lain.” Damar menatap mata Riva. “Jadi, jika kita tambahkan satu poin untuk perasaan ini, berapa totalnya?”
Riva merasakan jantungnya berdebar. “Jadi, totalnya akan menjadi 36 poin.”
“Dan itu sangat spesial,” Damar menambahkan, senyum manisnya membuat Riva semakin bersemangat. “Karena itu berarti kita bukan hanya teman, tetapi mungkin lebih dari itu.”
Di dalam hati Riva, semangat dan kebahagiaan menyatu menjadi satu. “Damar, aku suka bersamamu. Semua waktu yang kita habiskan terasa sangat berharga.”
“Mungkin, kita bisa mengembangkan rumus ini lebih jauh. Kita bisa menggambarkan perasaan kita dengan cara yang lebih nyata, tanpa harus menggunakan angka,” Damar berkata, mengulurkan tangan dan meraih tangan Riva.
Mereka saling menatap, dan seolah-olah dunia di sekitar mereka memudar. Dalam momen itu, mereka tahu bahwa perasaan mereka lebih dari sekadar angka dalam rumus. Itu adalah sesuatu yang lebih mendalam dan manis—sebuah ikatan yang tak terduga.
“Riva, jika aku harus menyatakan perasaan ini, aku ingin melakukannya dengan cara yang tepat. Apakah kamu mau menjadi bagian dari hidupku, bukan hanya dalam pelajaran, tetapi juga di luar itu?” Damar bertanya, suaranya lembut namun penuh harapan.
Riva merasa jantungnya melompat. “Tentu, Damar. Aku ingin sekali. Kita bisa membuat rumus cinta kita sendiri, dan bersama-sama menjalani setiap bab di dalamnya.”
Damar tersenyum lebar, dan Riva tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang indah. Mereka berbagi tawa dan kue, menciptakan momen-momen kecil yang akan diingat selamanya. Dari rumus sederhana tentang kue, mereka melangkah ke bab baru dalam hidup mereka—bab yang penuh dengan cinta, tawa, dan segala yang manis.
Sambil menikmati sisa kue mereka, Riva dan Damar merasa bahwa matematika tidak hanya ada dalam angka. Cinta mereka adalah rumus terindah yang pernah ada, dan itu sudah mulai terukir dalam hati mereka.
Dengan hati yang berdebar dan senyuman di wajah mereka, mereka melangkah menuju petualangan baru—menemukan cinta di balik matematika, di mana setiap momen adalah angka yang berharga dalam kisah yang akan terus berkembang.
Jadi, buat kamu yang selalu merasa matematika itu hanya soal angka, ingatlah bahwa cinta juga punya rumusnya sendiri. Riva dan Damar sudah membuktikannya—bahwa di balik setiap perhitungan, bisa ada momen-momen manis yang tak terduga. Semoga kisah mereka menginspirasi kamu untuk menemukan cinta di setiap sudut hidup, bahkan di antara angka-angka yang tampak membingungkan!