Daftar Isi
Kadang hidup itu terasa kayak film, tapi lebih sadis. Bayangin aja, kita duduk bareng orang yang paling kita sayang, terus ngerasain banget apa yang mereka rasain—ketakutan, kesedihan, bahkan harapan yang pelan-pelan pudar.
Di cerpen ini, kamu bakal diajak merasain gimana rasanya ngeliat ibu yang dulu selalu ada, kini terkulai di kursi, nunggu waktu yang akhirnya datang juga. Gak ada yang bisa nyelamatin dari perpisahan itu, dan gak ada yang bisa nahan air mata pas waktunya udah tiba. Yuk, simak cerita ini, semoga bisa bikin kamu mikir lebih dalam tentang waktu dan orang yang kita sayang.
Cerpen Sedih Ibu Terkulai di Kursi
Di Ujung Waktu
Waktu terasa sangat berat malam itu. Di ruang tamu yang sunyi, hanya ada suara detak jam tua di sudut ruangan yang mengiringi tiap helaan napas yang semakin berat. Riko duduk di ujung kaki ibu, menatap wajahnya yang terkulai lemah di kursi kayu yang sudah usang. Kursi itu, yang dulu menjadi tempat ibunya bercerita tentang segala hal, tentang dunia luar, tentang kebahagiaan, kini hanya menjadi saksi dari keheningan yang meresap dalam setiap detiknya.
Lina, ibunya, tak lagi seperti dulu. Tangannya yang selalu penuh kasih kini hanya menggantung di sisi tubuhnya. Wajahnya yang dulu cerah dan penuh semangat kini hanya terlihat lesu, seolah ada sesuatu yang memudar dalam dirinya. Rambut yang dulu tergerai rapi, kini kusut dan menutupi sebagian wajahnya. Wajah itu, yang telah dikenalnya sejak ia lahir, kini terasa sangat asing.
Riko mencoba berbicara, meskipun kata-kata itu terasa begitu berat di mulutnya. “Ibu…” Suaranya terdengar begitu serak, seolah ada batu besar di tenggorokannya. Ia menundukkan kepala, mengatur napasnya yang mulai tak teratur. “Kamu nggak bisa pergi, kan?”
Tak ada jawaban. Hanya ada keheningan. Lina terdiam, matanya terpejam, dan Riko tahu bahwa ia harus kuat. Ia harus bisa menghadapi ini. Tapi, ada sesuatu yang menggerogoti hatinya. Sesuatu yang tak bisa ia kontrol, yang terus menghimpitnya tanpa ampun.
“Kenapa kamu jadi begini, Bu?” Riko bertanya pada dirinya sendiri, meskipun ia tahu jawabannya. Kesehatan ibu memang sudah menurun sejak beberapa bulan lalu, tetapi melihat Lina yang selalu kuat dan penuh kasih seperti ini, kini begitu rapuh, rasanya seperti dunia ini hancur berkeping-keping.
Ia memegangi tangan ibu, merasakan dinginnya kulit yang tak lagi hangat seperti dulu. Dulu, ketika ia merasa takut atau terjatuh, ibu selalu ada untuk menenangkan, merangkulnya erat, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi malam ini, hanya ada keheningan yang menggigit.
“Ibu, kamu nggak akan pergi kan? Aku… aku nggak siap tanpa kamu,” kata Riko lagi, suaranya hampir hilang, tenggelam dalam getaran ketakutan yang menghantui setiap helaan napasnya. Tubuhnya terasa sangat lelah, seakan-akan semua energi hidupnya menguap begitu saja bersama dengan kesedihan yang menyelimuti.
Riko menatap ibunya yang kini terkulai lemah, ingin sekali ia bisa mengubah waktu, membawa ibu kembali seperti dulu—ibu yang penuh senyuman dan tawa, ibu yang tak pernah menyerah meski hidup memberinya ujian yang tak ada habisnya. Tapi kini, segalanya terasa begitu sulit, seperti ada tembok besar yang menghalangi antara dia dan ibunya.
Ia tak bisa menerima kenyataan ini. Riko merasa seperti ada sesuatu yang tercabut dari dirinya. Sesuatu yang membuatnya merasa begitu kosong, begitu hampa. Selama ini, ibu adalah segalanya. Ibu adalah rumah, ibu adalah tempat pulang, ibu adalah cahaya yang selalu memandu jalan. Tanpa ibu, ia merasa seperti kehilangan arah.
Lina terkulai semakin lemah, matanya terbuka perlahan, meskipun pandangannya kabur. Riko melihat ibunya berusaha untuk berbicara, bibirnya bergerak-gerak meski hanya terdengar desisan halus. Ia mendekat, berharap bisa menangkap kata-kata itu, kata-kata yang mungkin bisa menghapus rasa takut yang terus meremukkan hatinya.
“Ibu… apa yang kamu ingin katakan?” Riko bertanya dengan lembut, wajahnya semakin dekat, berharap bisa mendengar suara ibunya sekali lagi. Tapi Lina hanya bisa menggerakkan bibirnya, seolah ada kekuatan yang menahan segala kata yang ingin ia ucapkan. Riko menahan napasnya, merasakan hatinya berdegup kencang. Ia menunggu, berusaha sekuat tenaga agar tidak jatuh dalam ketakutan.
Tapi tak ada jawaban. Hanya ada isak halus yang terlepas dari tubuh ibunya. Riko menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang sudah lama ingin keluar. “Ibu… aku nggak tahu bagaimana rasanya hidup tanpa kamu. Aku takut… aku takut kalau aku harus kehilangan kamu.” Suara itu, yang tadinya penuh dengan keraguan dan ketakutan, sekarang menjadi lebih tegas. Riko menggenggam tangan ibunya, merasakan setiap lekuk tubuh yang mulai lemah.
“Ibu, tolong jangan pergi,” tambahnya, berusaha berbicara dengan suara yang lebih tenang, meskipun hatinya seperti dihantam ribuan batu. Ia ingin ibu mendengarnya. Ia ingin ibu tahu bahwa dia tidak bisa hidup tanpa dia. Riko menundukkan kepala, menutup matanya, seakan mengingat setiap momen yang pernah mereka lewati bersama.
Detik demi detik berlalu, tetapi tak ada perubahan. Hanya ada rasa takut yang terus menghantui setiap detik yang berjalan. Waktu terasa berjalan terlalu cepat, dan ia merasa tak siap menghadapi kenyataan yang akan datang. Lina mulai terkulai lebih dalam, dan Riko hanya bisa menatap dengan cemas, dengan harapan bahwa ia akan bisa mendengar suara ibu lagi.
Namun, tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menunggu, berharap, dan merasakan keheningan yang begitu menekan. Semua yang ia rasakan malam itu hanya berputar di dalam pikirannya—rasa takut, rasa kehilangan, dan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Ibu sudah di ujung waktu, dan ia tak tahu bagaimana harus menghadapinya.
Di ruang tamu yang sunyi itu, hanya ada detik-detik yang berlalu tanpa ampun, mengisi ruang dengan ketakutan yang kian mendalam. Riko hanya bisa duduk di sana, menunggu, berharap, sambil merasakan dunia yang semakin menjauh dari jangkauannya.
Kenangan yang Terlupakan
Sudah beberapa jam sejak Lina terkulai begitu lemah di kursi kayu tua itu. Ruang tamu yang biasanya dipenuhi suara riang tawa keluarga, kini hanya terisi oleh keheningan yang menggigit. Riko masih duduk di ujung kaki ibu, matanya tak lepas dari tubuh ibunya yang tak bergerak. Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang semakin berat untuk ditanggung.
Badan Riko terasa kaku, otot-ototnya tegang, dan jantungnya berdebar dengan cara yang hampir tak terkendali. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tetapi pikirannya tetap berlarian, mengingat kembali semua kenangan indah bersama ibunya. Kenangan yang kini terasa begitu jauh, begitu terlupakan.
Dulu, ketika ia masih kecil, Lina selalu ada untuknya. Setiap kali ia terjatuh atau merasa takut, ibunya adalah orang pertama yang datang, memeluknya erat, dan membisikan kata-kata yang membuat segala kekhawatirannya hilang. Riko ingat dengan jelas bagaimana ibu selalu membuatkan makanan kesukaannya, bagaimana ia selalu menuntunnya belajar hingga larut malam, dan bagaimana tawa ibunya selalu mengisi setiap sudut rumah mereka.
Namun kini, rumah itu terasa begitu kosong. Tidak ada lagi suara ibu yang ceria. Tidak ada lagi pelukan yang menenangkan. Hanya ada Lina yang terkulai lemah, terperangkap dalam tubuh yang tak lagi mampu memberi perlawanan.
“Ibu…” Riko berseru pelan, suara itu terdengar begitu putus asa. Ia meremas tangan ibunya yang dingin, seolah berharap ada sedikit kehangatan yang kembali mengalir di dalam tubuh ibunya. Tetapi tak ada. Hanya ada keheningan yang semakin menekan.
Riko teringat masa kecilnya, saat ibu masih muda, penuh semangat, dan penuh hidup. Ia ingat betul bagaimana Lina selalu mengatakan padanya bahwa hidup ini penuh dengan tantangan, bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan jika kita berani menghadapi semuanya dengan hati yang tulus. “Jangan pernah menyerah, Riko,” kata ibu suatu kali, sambil menatapnya dengan mata yang penuh keyakinan. “Kamu bisa lebih dari yang kamu kira.”
Tapi sekarang, kata-kata itu hanya terdengar seperti bisikan jauh di dalam kepalanya. Lina yang dulu begitu tegas, begitu penuh dengan hidup, kini hanya terbaring lemah. Tidak ada lagi kata-kata penyemangat yang bisa ia berikan, tidak ada lagi pelukan hangat yang bisa menenangkan kekacauan di hati Riko. Semua yang ada hanya ketakutan yang semakin menyelimuti dirinya.
Dia berdiri, berjalan perlahan menuju jendela yang menghadap ke halaman rumah. Di luar, hujan turun dengan deras, menciptakan suara gemericik yang menyatu dengan kesunyian yang ada di dalam rumah. Riko menatap ke luar, melihat tetesan air hujan yang membasahi daun-daun di pepohonan. Hujan selalu mengingatkannya pada masa kecilnya—masa-masa ketika ia dan ibu berjalan di bawah hujan, tertawa sambil berlari menuju rumah, basah kuyup tapi tetap senang.
“Ibu, kenapa kamu nggak pernah bercerita tentang ini?” Riko berbicara pada dirinya sendiri. “Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu sudah begitu lelah?”
Lina tidak pernah menunjukkan kelemahannya di hadapan Riko. Selama bertahun-tahun, ia selalu terlihat kuat, selalu menjadi sosok yang tak tergoyahkan. Tapi sekarang, di hadapannya, Lina hanya tampak seperti sosok yang kehilangan arah. Riko merasa seperti ada sesuatu yang hilang, yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. Sesuatu yang ia abaikan, sesuatu yang kini menyadarkannya bahwa ia tak pernah cukup dekat dengan ibunya.
Riko kembali duduk di samping ibu, menatap wajah ibunya yang semakin memudar. Tangan ibunya terasa semakin dingin, dan tubuhnya terasa semakin ringan, seolah-olah Lina sedang terseret jauh dari dunia ini. Riko menggenggam tangan ibunya lebih erat, mencoba memberi sedikit kehangatan, sedikit kekuatan, meskipun ia tahu itu tak akan cukup.
“Ibu…” suara Riko bergetar lagi, meskipun ia berusaha menahannya. “Aku… aku nggak tahu bagaimana cara hidup tanpa kamu.”
Lina membuka matanya perlahan, dan kali ini, pandangannya tidak kosong seperti sebelumnya. Ada sesuatu yang berbeda, ada kilatan pengertian yang tiba-tiba muncul di mata ibunya. Riko merasakan sedikit harapan muncul dalam dirinya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang harus diungkapkan, tetapi ia tak tahu apa itu.
“Ibu, kamu harus bertahan…” Riko berbicara dengan suara yang lebih keras, mencoba memberi dorongan. Tetapi Lina hanya bisa menatapnya dengan tatapan yang begitu dalam, seakan-akan ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tetapi tidak ada suara yang keluar.
Tangan Lina perlahan menggenggam tangan Riko, dan sejenak, keduanya terdiam. Riko bisa merasakan getaran yang datang dari tangan ibunya, getaran yang seakan menyampaikan semua yang belum terungkap. Riko tahu, meskipun ibu tidak bisa lagi berbicara, ada sesuatu yang lebih kuat yang menghubungkan mereka—sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tetapi dirasakan oleh hati.
Di tengah hujan yang semakin deras, dan dalam keheningan yang menghantui, Riko menyadari bahwa ia harus menghadapi kenyataan yang tak bisa ia elakkan. Namun, di saat yang sama, ia merasa bahwa meskipun waktu semakin habis, ada hal yang lebih penting dari sekadar bertahan hidup—cinta yang tak pernah pudar, meski tubuh sudah rapuh. Cinta itu, mungkin, akan menjadi satu-satunya yang tetap hidup, bahkan setelah semua yang lain hilang.
Di Ujung Waktu
Waktu terasa semakin tak menentu. Detik-detik yang berlalu hanya meninggalkan ketegangan, seakan setiap tarikan napas Riko terhenti pada saat yang sama. Hujan di luar rumah masih turun dengan deras, menghujam atap rumah yang sudah mulai rapuh. Begitu banyak hal yang ingin Riko ungkapkan, begitu banyak pertanyaan yang masih terjebak di dalam dadanya. Tapi, tidak ada jawaban yang bisa mengisi kesunyian yang mendalam ini.
Riko menatap ibunya yang terkulai di kursi, wajahnya pucat dan tak lagi menunjukkan sinar kehidupan yang dulu begitu hidup. Lina masih berada dalam keadaan yang sama seperti tadi, matanya setengah terbuka, napasnya terdengar terengah-engah, dan tangan yang digenggamnya hanya memberi sedikit sentuhan kehangatan, namun tidak cukup untuk menghalau dingin yang merayapi tubuhnya.
Riko merasa seakan tubuhnya tertarik ke dalam kekosongan itu. Seperti ada jurang yang menganga di depan matanya, siap menelan segalanya, bahkan dirinya. Kenapa ini terjadi? Apa yang salah? Kenapa ia baru menyadari bahwa ada begitu banyak hal yang tidak ia perhatikan selama ini? Seberapa lama lagi ibunya bisa bertahan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergemuruh di kepalanya.
Namun, di saat-saat yang paling sulit ini, ada satu hal yang tiba-tiba terlintas dalam pikiran Riko—kenangan tentang ibunya yang selalu mengajarkannya untuk tidak menyerah. Lina selalu berkata bahwa hidup akan terus bergerak maju, tidak peduli betapa sulitnya. Setiap kali Riko merasa terpojok, ibunya adalah orang yang selalu meyakinkannya bahwa ia mampu untuk bertahan.
Riko mendekatkan wajahnya pada wajah ibunya, melihat setiap garis halus yang membingkai kulit wajahnya yang semakin menua. Tangan Riko menggenggam tangan ibunya lebih erat, seakan tidak ingin melepaskan. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Bagaimana mungkin ia bisa mengungkapkan semua rasa takut dan frustasinya kepada ibu yang sudah begitu lemah? Bagaimana mungkin ia bisa menunjukkan betapa rapuhnya hatinya saat ini, ketika ibunya sudah hampir kehilangan segalanya?
“Ibu…” suara Riko nyaris tenggelam dalam isakannya. “Aku nggak tahu kalau rasanya seperti ini. Kenapa kamu nggak pernah cerita? Kenapa kamu selalu diam?”
Lina hanya terdiam, matanya terpejam, tetapi jemarinya masih sedikit bergerak, seolah mencoba memberikan sedikit penghiburan. Riko merasa seperti ada benang tak kasat mata yang menghubungkan mereka, mengingatkan bahwa meskipun situasinya semakin suram, ibu masih ada di sana. Namun, ketakutan untuk kehilangan ibu semakin menggerogoti hati Riko, seperti sesuatu yang menggerus setiap harapan yang ia miliki.
Seiring berjalannya waktu, keadaan Lina semakin memburuk. Tak ada perubahan signifikan yang terjadi. Riko hanya bisa melihatnya, memegangi tangannya, sambil berusaha menyembunyikan rasa putus asa yang semakin menggerogoti dirinya. Setiap kali ia menatap ibunya, ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa ia kembalikan, tidak peduli berapa banyak waktu yang ia habiskan.
Suatu malam, ketika hujan akhirnya mulai reda dan angin dingin menggantikan hujan yang terus mengguyur sepanjang hari, Riko merasakan perubahan dalam diri ibunya. Lina membuka matanya perlahan, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ada sorot cahaya dalam matanya. Mungkin itu hanya ilusi, tapi Riko merasa seperti ada kekuatan yang mengalir kembali dalam diri ibunya.
“Riko…” Lina berbicara dengan suara yang lemah, hampir seperti bisikan. “Maafkan ibu…”
Riko terkejut. Kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk dalam, karena ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Seumur hidup, ia tak pernah mendengar ibu mengungkapkan penyesalan seperti itu.
“Kenapa ibu bilang begitu?” Riko menatapnya, matanya mulai basah oleh air mata yang tak bisa ia tahan. “Ibu nggak perlu minta maaf. Kamu nggak pernah salah…”
Lina hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang begitu memudar, seperti bunga yang layu di musim gugur. Matanya menatap Riko dengan penuh kehangatan, meskipun tubuhnya semakin rapuh.
“Ibu hanya ingin kamu tahu… bahwa hidup ini nggak selalu mudah, Riko. Tapi kamu harus bisa berdiri sendiri…” suara Lina semakin lemah, dan napasnya semakin tersengal. “Jangan biarkan rasa takut menghancurkanmu. Jangan biarkan dirimu terpuruk…”
Riko menahan napas. Ada sesuatu dalam kata-kata ibu yang membuatnya semakin merasa terhimpit. Ia tahu, mungkin ini adalah bagian dari perpisahan yang sudah tak terhindarkan. Tetapi kata-kata ibu seperti sebuah pesan terakhir yang ingin disampaikan sebelum semuanya berakhir. Riko merasakan ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya, sesuatu yang sulit untuk ia terima.
“Aku akan berusaha, ibu,” suara Riko tersendat. “Aku janji…”
Lina mengangguk pelan, dan untuk sesaat, ada kedamaian di wajahnya. Riko merasa seakan-akan dunia berhenti berputar, dan dalam keheningan yang mencekam itu, ia merasakan ada sebuah hubungan yang tak terucapkan antara dirinya dan ibunya—sesuatu yang akan tetap ada, meskipun waktu tak bisa berbalik lagi.
Namun, di dalam hati Riko, ia tahu satu hal yang pasti—perpisahan ini akan datang, dan ia harus siap untuk kehilangan ibu yang selama ini menjadi sandaran hidupnya.
Ujung yang Tak Terhindarkan
Pagi itu, Riko duduk di samping ibunya, memandangi wajah yang semakin pudar dari waktu ke waktu. Cuaca cerah di luar rumah tidak sebanding dengan kehampaan yang terasa begitu dalam. Di luar sana, dunia terus bergerak, sementara di dalam rumah ini, segala sesuatunya tampak berhenti. Hanya ada keheningan yang tebal, begitu sunyi, begitu berat.
Riko mengamati ibunya dengan saksama, seperti ingin menorehkan setiap detail yang ada dalam memorinya, meski ia tahu, tak ada yang bisa ia pegang selamanya. Lina terkulai di kursi, wajahnya kaku, napasnya hanya terdengar lemah, seperti sayup-sayup angin yang hampir tak terdengar. Riko merasakan ketakutan yang luar biasa. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk mencegah perpisahan ini. Waktu yang begitu cepat berlalu, seperti hujan yang datang lalu menghilang. Tak ada yang abadi, termasuk diri mereka.
Ketika Riko memegang tangan ibunya dengan lembut, ia bisa merasakan kehangatan yang semakin memudar. Tangan itu kini terasa dingin, seolah-olah ia sedang menggenggam es. Tangannya yang lembut dulu kini hanya menyisakan kesan kosong, kehampaan yang tak tertahankan.
“Ibu…” suara Riko bergetar, namun ia tak bisa berkata lebih banyak. Rasanya setiap kata yang terucap hanya akan memperburuk rasa sakit yang ada dalam hatinya.
Lina membuka matanya perlahan, kali ini dengan kesadaran yang lebih tajam daripada sebelumnya. Ia tersenyum tipis, meskipun bibirnya tampak begitu rapuh. Matanya yang dulunya penuh kehidupan kini hanya menyisakan kenangan yang semakin luntur. Tetapi, meskipun tubuhnya lemah, ada satu hal yang tak bisa dilepaskan dari Lina—kemampuannya untuk memberi kekuatan pada orang lain, bahkan ketika dirinya sendiri tengah terjatuh.
“Riko…” suara Lina lembut dan hampir tak terdengar. Riko mendekatkan wajahnya, mendengarkan dengan seksama, berharap kata-kata itu adalah sesuatu yang bisa memberi sedikit harapan.
“Jangan… jangan biarkan dirimu sendiri. Hidup ini memang berat, tapi kamu bisa bertahan. Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan,” Lina berusaha tersenyum, meskipun jelas ia sudah kelelahan. “Aku akan selalu ada di hatimu. Tak akan ada yang bisa merubah itu…”
Riko merasakan ada sesuatu yang meremukkan hatinya. Kata-kata ibunya bukan sekadar ucapan biasa. Itu adalah pesan terakhir, seperti amanat yang harus diterima meski begitu berat. Ia ingin menangis, tapi air matanya terasa terjebak. Ia tak tahu harus bagaimana, tak tahu bagaimana cara ia bisa melepaskan orang yang telah memberikan begitu banyak padanya.
“Tidak… Ibu, jangan bilang gitu. Kamu nggak boleh pergi.” Riko menahan napas, tubuhnya mulai gemetar. “Aku nggak bisa… hidup tanpa ibu…”
Lina mengangkat tangannya yang lemah, mencoba meraih pipi Riko dengan jari-jari yang hampir tak mampu bergerak. Riko merasa sentuhan itu begitu dingin, namun dalam ketenangan itu, ada cinta yang tak bisa digantikan oleh apapun.
“Aku tahu kamu bisa,” Lina membisikkan itu dengan pelan. “Jangan biarkan rasa takut menghancurkanmu, Riko. Kamu akan menemukan jalannya. Kamu sudah cukup besar untuk menghadapinya.”
Dan saat itu, Riko tahu, bahwa meskipun ia tak ingin menghadapinya, saat yang ditakuti itu akhirnya datang juga. Satu tarikan napas terakhir terdengar begitu lemah dari tubuh ibunya. Lalu, dalam diam yang sangat mencekam, Lina tidak lagi membuka matanya. Tangannya yang tadi mengusap pipi Riko terkulai, membiarkan tubuhnya jatuh ke dalam keheningan yang abadi.
Waktu seperti berhenti seketika. Dunia terasa berputar dengan lambat, seperti kehilangan kekuatan untuk bergerak. Riko tidak bisa berkata-kata, tidak bisa bergerak. Hatinya terbelah menjadi ribuan bagian yang tak bisa ia rapatkan lagi. Semua kenangan tentang ibunya yang kuat, yang selalu mengajarinya untuk bertahan, kini terasa seperti bayangan yang memudar begitu saja. Ia hanya bisa duduk diam, memegangi tangan ibunya yang kini dingin, membiarkan perasaan itu menyelimutinya dengan perlahan.
Di luar rumah, langit mulai mendung, seperti merasakan kesedihan yang meliputi hati Riko. Angin yang berhembus membawa aroma tanah basah, seperti menandakan bahwa hujan akan turun kembali, menyapu segala kepedihan yang ada.
Riko menatap tubuh ibunya untuk terakhir kalinya. Meski berat, ia tahu ia harus melepaskan, karena cinta tak selalu bisa menghalangi waktu. Lina telah pergi, namun pesan-pesan yang ia tinggalkan tetap ada dalam dirinya.
Riko berdiri, menghela napas dalam-dalam, mencoba meresapi kenyataan ini. Ia mengusap air matanya, perlahan, dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan bertahan. Meskipun sekarang dunia terasa kosong, ia tahu, ibunya akan selalu ada di dalam hatinya, memberikan kekuatan yang ia butuhkan untuk berjalan terus ke depan.
Langit yang cerah di luar mulai berubah menjadi kelabu. Dan dengan satu langkah kecil, Riko mulai melangkah keluar dari rumah itu. Ada rasa sakit yang begitu mendalam, namun di balik itu, ada secercah harapan yang masih bisa ia pegang. Mungkin, inilah awal dari hidup yang baru—tanpa ibunya di dunia ini, tapi dengan segala kenangan yang akan terus hidup dalam dirinya, selamanya.
Kadang, perpisahan memang gak bisa dihindari, bahkan meski kita udah berusaha keras nahan semuanya. Tapi dari setiap momen yang kita lewatin, ada hal yang gak akan pernah hilang—kenangan, pelajaran, dan rasa cinta yang terus hidup.
Mungkin hari ini kita kehilangan, tapi di setiap detik hidup kita, ibu tetap ada, selalu di hati. Jadi, jangan lupa buat selalu menghargai orang yang kita sayang, karena waktu nggak pernah mau nunggu. Semoga cerita ini bisa ngebuat kita lebih sadar, betapa berharganya setiap detik bersama mereka.