Ibu: Malaikat Tanpa Sayap yang Mengajarkan Cinta Sejati

Posted on

Bayangin deh, ada seorang ibu yang cinta dan sayangnya nggak pernah bisa diukur. Seperti malaikat tanpa sayap yang selalu ada, meski nggak tampak. Cerita ini bukan cuma tentang kasih sayang seorang ibu, tapi tentang betapa kuatnya ikatan yang nggak bisa dilihat, tapi terasa banget di hati.

Setiap pelukan, setiap kata-kata, dan setiap doa yang selalu mengiringi langkah kita. Ini bukan sekadar cerita tentang ibu, tapi tentang bagaimana seorang ibu memberikan segalanya tanpa pernah minta kembali. Cerita ini bakal bikin kamu mikir, udah cukup bersyukur belum sih dengan ibu yang ada di hidupmu?

 

Ibu

Langit di Atas Lembah Jingga

Pagi di Lembah Jingga selalu terasa tenang, meski angin pagi membawa kabar dari seberang desa yang jauh. Ada kekhusyukan di setiap detik yang berlalu, seperti waktu yang enggan pergi. Matahari baru saja muncul di balik gunung yang menghalangi pandanganku, dengan sinarnya yang merambat perlahan, memberi kehangatan pada bumi yang masih terlelap.

Aku duduk di bawah pohon flamboyan yang besar, pohon yang sering jadi tempat berlindungku ketika aku merasa dunia luar terlalu keras. Daun-daunnya yang merah menyala terlihat kontras dengan langit biru yang begitu luas. Di bawahnya, segelas teh hangat sudah menunggu, menemani aku yang sedang merenung.

Tak jauh dari tempatku duduk, rumah kami berdiri kokoh. Rumah kecil yang sudah lama menjadi saksi bisu perjalanan hidupku bersama Ibu. Rumah yang tidak mewah, bahkan cenderung sederhana, tapi selalu dipenuhi dengan tawa dan kasih sayang yang tak pernah berhenti.

Sejak aku kecil, Ibu selalu ada. Di setiap langkah, di setiap saat aku membutuhkan. Dia adalah satu-satunya yang membuat dunia ini terasa aman. Bahkan tanpa sayap, dia mampu mengangkat beban berat yang ada di dunia ini, menjadi malaikat tanpa sayap yang tidak pernah mengeluh.

Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan udara pagi yang sejuk. Tidak ada orang di luar rumah. Semua orang sedang sibuk dengan rutinitas masing-masing, kecuali Ibu. Dia selalu ada, tidak peduli apa yang terjadi di dunia luar. Kalau aku ingin tahu apa yang sedang dikerjakannya, aku tinggal menatap dapur atau sawah di luar sana, tempat di mana dia menghabiskan sebagian besar waktunya.

“Ibu…” gumamku pelan, memanggil dalam hati. Meski tak ada yang mendengar, aku tahu dia akan selalu mendengarkan.

Aku bangkit dari dudukku dan melangkah menuju dapur. Bau masakan yang mulai tercium membuat perutku keroncongan, tapi itu bukan hal yang terpenting. Hal yang lebih penting adalah melihatnya. Ibu yang selalu ada, yang tidak pernah meminta apa pun dariku selain kebahagiaan.

Ketika aku masuk, Ibu tengah sibuk mengaduk panci besar. Wajahnya yang lelah tak bisa disembunyikan, tapi senyum di bibirnya selalu membuatnya tampak lebih muda. Sebuah senyum yang begitu tulus, seakan tak ada beban di dunia ini.

“Ibu, kenapa gak istirahat saja?” tanyaku, menyandarkan tubuh di pintu dapur.

Ibu mengangkat wajahnya dan tertawa kecil. “Ibu masih bisa mengerjakan ini, Nak. Ini sudah jadi rutinitas Ibu.”

Aku menatapnya, bingung. Ibu memang seorang pekerja keras, selalu saja ada hal yang dikerjakannya. Bahkan ketika aku merasa dia layak untuk istirahat, dia malah tampak semakin sibuk.

“Aluna, bagaimana sekolahmu kemarin?” tanya Ibu, mengalihkan perhatian.

Aku tersenyum, berusaha terlihat ceria. “Baik, Bu. Aku dapat nilai bagus di ujian matematika.”

Ibu berhenti sejenak dan menatapku dengan mata penuh kebanggaan. “Ibu senang mendengarnya. Kamu pasti sudah belajar dengan keras.”

Aku merasakan hangatnya pelukan Ibu dalam tatapannya. Rasanya, tak ada kata yang bisa menggambarkan betapa aku berterima kasih atas segala pengorbanan yang telah dia lakukan. Mungkin, jika aku bisa, aku ingin memberi segalanya untuk Ibu. Tapi, apa yang bisa kuberikan selain cinta dan doa yang tak henti-hentinya?

Tiba-tiba, Ibu kembali melanjutkan pekerjaannya, mengaduk masakan dalam panci dengan gerakan yang lihai. “Bantu Ibu potong sayur, ya?” katanya tanpa berpaling.

Aku mengangguk dan mulai mengambil pisau. Tapi, saat aku memotong sayuran, pikiranku melayang. Hari ini adalah Hari Ibu, dan aku ingin memberikan sesuatu yang spesial. Sesuatu yang bisa menunjukkan betapa berharganya dia bagiku. Tapi apa yang bisa kulakukan? Kami bukan keluarga kaya yang bisa membeli hadiah mewah, kami hanya punya apa yang ada di sekitar kami.

Namun, di tengah kebingunganku, sebuah ide tiba-tiba muncul. Aku tahu apa yang harus kulakukan.

“Ibu,” kataku dengan suara pelan. “Aku mau buatkan sesuatu untukmu.”

Ibu menoleh dan tersenyum. “Apa itu, Nak?”

Aku tersenyum, meskipun ada sedikit keraguan. “Bubur kacang hijau, makanan kesukaan Ibu.”

“Iya? Wah, Ibu sangat suka itu, tapi kamu yakin bisa membuatnya?” Ibu tertawa ringan.

Aku mengangguk percaya diri meskipun aku tahu itu bukan hal yang mudah. “Aku bisa kok, Bu. Lagipula, untukmu aku akan berusaha.”

Ibu tersenyum lebih lebar, seolah senyum itu bisa menenangkan seluruh dunia. “Kalau begitu, ayo kita buat bersama-sama. Ibu akan bantu.”

Kami pun mulai bekerja sama di dapur. Ibu menunjukkan langkah-langkah membuat bubur kacang hijau dengan sabar, meskipun matanya mulai menunjukkan tanda-tanda lelah. Aku tahu dia sudah bekerja seharian, tetapi dia tidak pernah menuntut apa pun.

Waktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa, bubur kacang hijau pun selesai. Dengan hati-hati, aku menyajikannya di mangkuk dan membawanya ke ruang tamu. Ibu mengikuti di belakangku, senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.

Saat Ibu duduk di kursi, aku menyerahkan mangkuk itu padanya. “Ini untuk Ibu, sebagai hadiah di Hari Ibu.”

Ibu menatapku dengan mata yang berbinar, dan aku bisa melihat air mata yang hampir menetes. “Terima kasih, Nak. Ini sudah lebih dari cukup.”

Aku duduk di sampingnya, tak bisa menahan perasaan haru. Terkadang, apa yang kita berikan tidak sebanding dengan apa yang telah kita terima. Ibu selalu memberi tanpa berharap kembali, dan aku hanya bisa berdoa agar bisa membahagiakannya.

Hari ini bukan hanya tentang bubur kacang hijau atau hadiah apapun. Hari ini adalah tentang rasa cinta yang tidak terucapkan, yang mengalir begitu dalam di antara kami. Hari ini, aku ingin Ibu tahu bahwa dia adalah malaikat tanpa sayap yang selalu ada di hidupku.

“Ibu…” bisikku pelan. “Aku cinta sekali sama Ibu.”

Ibu mengusap kepalaku dengan lembut, wajahnya dipenuhi kebahagiaan. “Ibu pun cinta kamu, Aluna. Lebih dari yang kamu tahu.”

Dan dalam hening itu, kami berbagi ketenangan yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang penuh kasih.

 

Bubur Kacang Hijau dan Senyum Ibu

Pagi berikutnya, matahari datang lebih cepat dari biasanya. Aku terbangun dengan sinar lembut yang menyusup melalui celah tirai. Rasanya, ada sesuatu yang berbeda hari ini, seperti udara yang lebih segar, atau mungkin hanya perasaan di dalam dada yang menghangat. Ibu masih belum bangun, meski suara ayam jantan sudah lama terdengar. Aku menatap langit yang biru sempurna dan memutuskan untuk memulai hari ini dengan cara yang berbeda.

Setelah beberapa waktu mengatur langkah, aku kembali ke dapur, tempat yang selalu penuh dengan aroma hangat dan kehangatan. Bubur kacang hijau yang aku buat kemarin masih terasa dalam ingatanku, setiap langkah yang kami ambil bersama di dapur mengukir kenangan indah, kenangan yang ingin aku jaga selamanya.

“Ibu…” panggilku pelan saat memasuki dapur.

Ibu sedang duduk di meja kayu, memandangi cangkir teh yang sudah hampir habis. Matanya terlihat lelah, namun tetap tenang, seperti selalu. Ketika aku mendekat, ia menatapku dengan senyuman hangat yang seakan mampu melenyapkan segala kekhawatiran. Senyuman yang hanya bisa kuberikan padanya, karena hanya dia yang tahu bagaimana rasanya hidup tanpa lelah, bahkan jika dunia terasa berat.

“Ibu, aku ingin membuatkanmu sesuatu lagi,” kataku dengan suara lebih penuh keyakinan.

Ibu memandangku dengan tatapan penuh rasa penasaran. “Ada apa lagi, Nak? Bukankah semalam kamu sudah membuatkan bubur kacang hijau?”

Aku tersenyum, sedikit malu. “Iya, tapi kali ini aku ingin memberikan sesuatu yang lebih… spesial, sesuatu yang mungkin bisa membuatmu merasa seperti ratu.”

Ibu tertawa pelan, gemerincing suara tawanya begitu lembut di telinga. “Ratu? Kalau kamu mau, Ibu tak keberatan.”

Aku mengambil bahan-bahan dari lemari dan mulai menata meja. Untuk kali ini, aku tidak hanya ingin memberikan makanan, tetapi juga sebuah rasa terima kasih yang mendalam. Aku tahu, tidak ada hal yang lebih bisa membahagiakan Ibu selain kebahagiaan itu sendiri.

Sambil menyiapkan sarapan, aku merasakan ada semacam kedamaian yang datang dari dalam diriku. Hari ini, aku ingin memberikan lebih dari sekadar makanan. Aku ingin Ibu tahu bahwa aku menghargainya, bahwa aku bisa membanggakan dirinya dengan cara kecil seperti ini. Tidak ada hadiah mahal, tidak ada barang berharga. Yang ada hanya sebuah kebersamaan yang tak bisa diukur dengan apa pun.

Aku mulai memasak dengan hati-hati, memastikan setiap bahan yang aku pilih terasa sempurna, hanya untuk Ibu. Suasana pagi itu terasa lebih hidup, meski suara-suara ayam dan angin pagi yang berhembus di luar hanya menjadi latar belakang dari cerita kami. Setiap gerakan tanganku mengingatkan aku akan bagaimana Ibu selalu mengajarkanku untuk melakukan segala sesuatu dengan penuh perhatian.

Tidak lama setelah itu, aku selesai menyiapkan hidangan yang aku rasa cukup istimewa. Dua piring kecil berisi nasi goreng dengan tambahan telur mata sapi, dihiasi dengan sedikit daun selada dan taburan bawang goreng. Mungkin sederhana, tapi aku ingin ini menjadi sesuatu yang bisa kami nikmati bersama, sesuatu yang mengingatkan kami pada kebahagiaan yang sederhana.

Aku menata piring itu di meja kayu, di sebelah Ibu yang masih terdiam dengan mata yang penuh kehangatan.

“Ibu, ayo makan. Aku ingin kamu mencoba sesuatu yang baru dari aku,” kataku dengan semangat, meski sedikit gugup.

Ibu melihat hidangan itu dengan tatapan lembut. “Nak, kamu membuat ini semua? Ini… ini lebih dari cukup.”

Aku merasa dadaku berdebar, sedikit cemas. Tapi Ibu mengangkat sendok dan mencicipi nasi goreng yang aku buat. Senyumnya tak pernah surut.

“Ini enak sekali, Nak. Sungguh, Ibu tidak menyangka kamu bisa membuat sesuatu yang sebagus ini,” puji Ibu sambil menikmati setiap suapnya.

Aku merasa bangga, meskipun di dalam hatiku, ada perasaan yang lebih dalam dari sekadar kebanggaan. Rasanya seperti memberi sesuatu yang lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata.

Setelah kami selesai makan, Ibu menatapku lagi. “Nak, Ibu merasa sangat bahagia punya anak seperti kamu.”

Aku menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan rasa haru yang tiba-tiba muncul begitu saja. “Ibu, aku tidak bisa memberikan banyak hal. Aku hanya bisa memberikan cinta, doa, dan usaha untuk membuatmu bahagia.”

Ibu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. “Itu sudah lebih dari cukup, Aluna. Kamu sudah memberiku lebih dari yang Ibu butuhkan. Kamu adalah segala-galanya bagi Ibu.”

Saat itu, aku merasa bahwa dunia di luar sana tidaklah penting. Semua yang aku butuhkan ada di sini, di hadapan Ibu. Rasanya, tak ada yang lebih indah daripada melihat Ibu tersenyum bahagia, merasa dihargai dengan cara yang paling sederhana namun paling tulus.

Ibu mengangkat wajahnya dan menatap langit di luar jendela yang semakin cerah. “Hari ini adalah Hari Ibu, Nak. Tapi, bagi Ibu, setiap hari adalah Hari Ibu, karena kamu selalu ada di hidup Ibu.”

Aku tak bisa menahan air mata yang mulai mengalir. “Aku cinta Ibu, lebih dari kata-kata yang bisa aku ucapkan.”

Dan dalam hening itu, kami hanya duduk berdua, saling memahami, dengan cinta yang begitu mendalam tanpa perlu kata-kata lebih. Hari itu, seperti hari lainnya, menjadi momen yang penuh dengan kehangatan. Tidak ada hadiah mahal yang bisa menggantikan kebahagiaan yang kami rasakan. Hanya ada kebersamaan, yang lebih berharga dari apa pun yang ada di dunia ini.

 

Waktu yang Terhenti

Pagi itu, hujan turun dengan lembut. Suara tetesan air yang jatuh di atas atap rumah memberikan irama yang menenangkan, seperti lagu yang diputar untuk menyambut kebersamaan kami. Ibu sedang duduk di kursi goyangnya, tangan terlipat di pangkuan, matanya menatap jauh ke luar jendela. Mungkin dia sedang berpikir tentang masa lalu, atau mungkin hanya menikmati keheningan pagi yang sudah mulai terasa nyaman. Aku duduk di dekatnya, sibuk dengan buku yang belum selesai kubaca, namun pikiranku tidak bisa sepenuhnya terfokus pada halaman-halaman itu.

“Aku tidak bisa membayangkan hari tanpa kamu, Nak,” kata Ibu pelan, tanpa menoleh ke arahku.

Aku mengangkat wajah, tersenyum kecil, meski hatiku terasa penuh. “Ibu, aku juga tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu.”

Ibu tertawa ringan, lalu meletakkan tangannya di atas punggung tanganku yang terletak di meja. “Kamu sudah besar sekarang, Aluna. Terlalu besar untuk seorang ibu yang merasa seperti tidak pernah cukup memberikan segalanya untukmu.”

Tiba-tiba, hatiku seperti tersentak. Kata-kata Ibu itu menyentuh bagian terdalam dari diriku yang selama ini aku coba sembunyikan. Setiap kali aku merasa belum cukup, aku tahu Ibu selalu merasa hal yang sama. Dia selalu ingin melakukan lebih, memberi lebih, meskipun aku tahu dia sudah melakukan lebih dari sekadar cukup. Tapi di matanya, dia selalu merasa ada kekurangan. Aku ingin sekali memberitahunya bahwa dia adalah sosok ibu yang sempurna, yang tidak pernah gagal memberikan yang terbaik, meski aku tidak selalu bisa membalas itu dengan sempurna.

“Ibu,” kataku dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya, “Tidak ada yang lebih cukup dari cinta yang Ibu berikan padaku. Tidak ada yang lebih sempurna.”

Ibu menatapku, matanya penuh makna, seolah mencari kebenaran dalam kata-kataku. “Aku ingin kamu tahu, Nak, bahwa apa pun yang terjadi, kamu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku.”

Air mata mulai menggenang di mataku, walaupun aku berusaha keras untuk menahannya. Cinta seorang ibu tidak pernah bisa digambarkan dengan kata-kata. Ia mengalir, mengisi setiap ruang hati yang kadang sulit untuk dipahami. Ibu tidak pernah meminta lebih. Dia hanya ingin aku bahagia, meski sering kali aku merasa belum bisa memberikan kebahagiaan yang sesuai dengan apa yang dia berikan.

Ibu bangkit dari kursi goyangnya dan berjalan ke arahku, duduk di sampingku, dan meraih tangan kanan ku. Tangan yang selalu Ibu pegang dengan penuh kasih sayang, bahkan di saat-saat aku merasa tidak berdaya. “Aluna, kamu sudah dewasa. Kamu sudah siap untuk menghadapi dunia luar, meski Ibu tahu, dunia itu tidak selalu baik.”

Aku mengangguk pelan. “Aku tahu, Ibu. Tapi aku tidak akan pernah sendirian. Selama ada Ibu, aku tidak akan pernah takut.”

Ibu tersenyum, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan, sesuatu yang tidak ingin dia ungkapkan. “Suatu hari nanti, kamu akan menemukan jalanmu sendiri. Kamu akan menjadi seseorang yang membuat Ibu sangat bangga, lebih dari yang aku bisa bayangkan.”

Kata-kata itu terasa seperti sebuah janji yang Ibu berikan pada diriku. Sebuah harapan yang meski sederhana, terasa begitu besar. Aku tahu, Ibu hanya ingin yang terbaik untukku. Tapi ada sesuatu di balik kata-kata itu yang membuat dadaku terasa lebih berat. Aku ingin sekali meyakinkan Ibu bahwa aku akan selalu ada untuknya, seperti dia selalu ada untukku.

Suasana di luar semakin mendung, tetapi ada kehangatan yang tak terlihat di antara kami. Kami duduk bersama dalam hening, hanya ditemani suara hujan yang menenangkan. Di balik setiap tetesan air yang jatuh, aku bisa merasakan betapa kuatnya cinta Ibu, sekuat hujan yang terus mengalir meski tak terlihat.

Tidak ada yang lebih berarti bagiku selain kebersamaan ini, kebersamaan yang telah terjalin sejak pertama kali aku membuka mata, kebersamaan yang membentuk siapa diriku sekarang. Aku tahu, seiring berjalannya waktu, aku akan menghadapi banyak hal di luar sana, tantangan yang lebih besar dari yang pernah Ibu bayangkan. Tapi ada satu hal yang pasti, bahwa selama aku punya Ibu, aku akan selalu merasa kuat.

Di tengah hening itu, Ibu meraih wajahku dengan lembut, membelai pipiku, dan berkata dengan suara yang hampir tak terdengar, “Jaga dirimu, Nak. Dunia di luar sana bisa sangat keras.”

Aku menatap mata Ibu, mencoba menyampaikan ketenanganku, meskipun aku tahu, ada begitu banyak hal yang akan datang yang membuatku harus lebih kuat dari sebelumnya. “Aku akan baik-baik saja, Ibu. Asalkan aku selalu ingat, ada Ibu di sampingku.”

Ibu menatapku, seakan mencari ketulusan di dalam mataku. Lalu, dengan senyum yang penuh kasih, dia menarik tubuhku dalam pelukannya. Pelukan yang hangat, yang penuh dengan cinta yang tidak terhingga. Saat itu, aku merasa seperti dunia ini tidak lagi begitu besar. Aku merasa aman, nyaman, seperti semua masalah akan hilang begitu saja, hanya dengan berada di dekatnya.

Dan aku tahu, di setiap langkahku ke depan, Ibu akan selalu ada, tidak hanya sebagai ibu, tetapi sebagai malaikat tanpa sayap yang membimbingku, menjaga dan melindungiku dari segala hal yang buruk.

 

Tangan yang Tak Terlihat

Waktu berlalu begitu cepat, seperti angin yang berhembus tanpa terdengar. Aku sudah lebih dewasa sekarang. Hari-hari berlalu dengan banyaknya perubahan yang datang tanpa pemberitahuan, dan aku merasa semakin jauh dari rumah, dari tempat di mana segala kenyamanan berasal. Namun, meskipun jarak memisahkan kami, ada ikatan yang tidak akan pernah terputus. Sebuah ikatan yang terbentuk dari cinta yang tak terlihat, yang selalu mengalir meskipun tidak selalu tampak.

Aku sudah menjalani kehidupan di luar rumah dengan lebih mandiri, tetapi dalam setiap langkahku, aku selalu merasa Ibu di sana, seperti malaikat tanpa sayap yang mengawasiku dari jauh. Setiap keputusan yang kubuat, setiap perasaan yang kuhadapi, selalu ada bisikan lembut Ibu di dalam hatiku, mengingatkanku tentang apa yang benar, dan yang lebih penting, mengingatkanku untuk tidak pernah kehilangan diri sendiri.

Suatu hari, saat aku sedang duduk di teras rumah, menatap matahari terbenam yang perlahan menyelimuti langit dengan warna keemasan, Ibu datang duduk di sampingku. Wajahnya sudah sedikit lebih tua, lebih banyak garis halus yang terbentuk, tapi matanya masih sama. Masih penuh dengan kasih sayang yang tidak pernah luntur. Dia tersenyum padaku, senyum yang penuh arti.

“Aku selalu berdoa untukmu, Nak,” katanya, suaranya lembut namun penuh makna.

Aku hanya mengangguk, dan sejenak, kami terdiam, hanya menikmati senja yang indah. Ada banyak hal yang ingin aku katakan, banyak hal yang tak terungkapkan, tapi aku tahu, Ibu sudah merasakannya. Ibu selalu tahu apa yang aku butuhkan tanpa harus mengatakannya.

“Apakah kamu bahagia?” tanya Ibu tiba-tiba, menatapku dengan penuh perhatian.

Aku memandangnya, mencoba mencerna pertanyaan itu. Bahagia. Itu bukan sebuah kata yang mudah dijawab, karena dalam hidup, kebahagiaan selalu datang dan pergi, tergantung pada bagaimana kita melihat dunia di sekitar kita. Namun, satu hal yang pasti, aku merasa ada kedamaian yang lebih dalam di hatiku sekarang. Kedamaian yang datang karena aku tahu, meski dunia bisa terasa begitu berat, aku tidak pernah sendirian.

“Aku bahagia, Ibu,” jawabku akhirnya, “Karena aku tahu, kamu selalu ada di sini, meskipun jarak memisahkan kita.”

Ibu memelukku dengan erat, seperti selalu. Pelukan yang penuh dengan cinta, yang tidak akan pernah berubah meskipun waktu terus berjalan. “Jangan pernah lupa, Nak. Di mana pun kamu berada, kamu selalu punya rumah di sini, di hatiku.”

Air mata menetes di pipiku, meskipun aku tidak tahu mengapa. Mungkin itu adalah air mata kebahagiaan, atau bisa jadi air mata kesedihan karena aku tahu, waktu tidak akan berhenti. Tidak akan ada lagi masa-masa di mana aku bisa sepenuhnya berada di sisinya. Namun, meskipun demikian, aku merasa tenang. Karena cinta seorang ibu tidak mengenal waktu, dan meskipun tak terlihat, itu akan selalu ada, menyelimuti hidupku seperti angin yang tidak pernah henti berhembus.

“Aku selalu mencintaimu, Ibu,” kataku, berusaha menahan tangis.

“Ibu tahu, Nak. Ibu tahu.”

Saat itu, aku merasa segala keraguan yang pernah ada menghilang begitu saja. Aku tahu, aku bisa menghadapi apa pun yang datang, karena di balik segala hal yang mungkin terasa berat, ada kekuatan tak terhingga yang diberikan Ibu. Dia adalah malaikat tanpa sayap yang tak pernah lelah memberiku sayap, meskipun dia tidak pernah memintanya kembali. Setiap langkahku adalah bukti dari segala pengorbanannya.

Dan ketika aku menatap Ibu, yang tersenyum penuh kebanggaan, aku tahu satu hal pasti: cinta seorang ibu adalah kekuatan yang tak terbatas, lebih kuat dari segala yang bisa aku bayangkan. Ibu adalah malaikat yang tidak perlu terbang untuk mengajari dunia apa itu cinta yang sejati. Dia sudah memberikannya padaku, dengan cara yang paling indah, paling murni, dan paling sempurna.

Di dunia yang penuh dengan ketidakpastian, aku tahu bahwa cinta seorang ibu adalah hal yang pasti. Dan itu sudah cukup untuk membuatku merasa bahwa aku tidak pernah benar-benar sendirian, karena aku selalu memiliki Ibu di dalam hatiku, menguatkan dan melindungiku dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh malaikat tanpa sayap.

 

Dan akhirnya, kita sadar, cinta seorang ibu itu nggak perlu sayap untuk terbang tinggi. Dia tetap bisa melindungi, memberi semangat, dan mencintai tanpa syarat. Meski kadang kita lupa atau terlalu sibuk dengan hidup, kasih ibu itu selalu ada, nggak pernah hilang.

Jadi, kalau ada satu hal yang nggak boleh terlupakan, itu adalah bahwa di balik segala yang kita jalani, ada malaikat tanpa sayap yang selalu ada di sisi kita. Cintanya nggak pernah berhenti, bahkan saat kita jauh sekalipun.

Leave a Reply