Daftar Isi
Biar hidup nggak gitu-gitu aja, ada kalanya kita butuh sesuatu yang bisa bikin ngakak, kan? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia yang penuh kejutan, ketawa, dan… ya, sandal belang! Pokoknya, kalau kamu lagi butuh hiburan dan pengen liat kekacauan yang bisa terjadi gara-gara tren aneh, cerpen ini pas banget buat kamu baca. Siap-siap ketawa ngakak!
Cerpen Lucu Kehidupan Sehari-hari
Sarapan atau Ujian Hidup?
Minggu pagi, matahari bersinar santai, angin sepoi-sepoi masuk dari jendela kamar Otong. Harusnya ini jadi pagi yang indah, penuh kedamaian dan kenyamanan. Tapi kenyataan berkata lain.
Perutnya mulai konser dangdut.
Otong bangkit dari kasur, rambutnya masih berantakan kayak singa bangun tidur. Dengan langkah gontai, ia keluar kamar dan langsung menuju dapur. Di pikirannya cuma satu: makan.
Dengan penuh harapan, ia membuka tudung saji.
Kosong.
Seketika dunia terasa gelap. Napasnya tercekat, dadanya sesak. Ini lebih sakit daripada ditinggal gebetan pas lagi sayang-sayangnya.
Matanya melirik ke meja dapur. Ada satu piring nasi sisa semalam. Lalu, dengan harapan terakhir, ia membuka kulkas. Hasilnya? Hanya ada sebutir telur.
“Hidup tuh kadang terlalu kejam,” gumamnya sambil menatap telur itu dengan tatapan kosong.
Tapi ya mau gimana lagi? Daripada kelaparan, Otong akhirnya memutuskan untuk masak. Dengan keahlian memasak yang setara anak kos semester satu, ia menyalakan kompor dan mulai menyiapkan wajan.
Saat hendak memecahkan telur, tangannya agak gemetar. Mungkin karena lapar, mungkin juga karena firasat buruk.
Dan benar saja.
Begitu telur dipecahkan, bukannya mulus masuk ke wajan, justru cangkangnya ikut berhamburan.
“Astaga naga…”
Otong panik. Ia coba mengambil cangkangnya pakai sendok, tapi malah kesenggol spatula yang akhirnya jatuh ke lantai dengan bunyi nyaring.
TONG!
Demi apa pun, itu bunyi kayak orang ketawa habis ngetawain kesialan orang lain.
Belum cukup sampai di situ, saat ia mencoba menggoreng telur setengah matang, minyak tiba-tiba muncrat.
“Aduh! Anj— aduh, aduh!”
Otong loncat-loncat sambil meniup tangannya yang kena percikan minyak. Ini kenapa hidupnya makin lama makin mirip acara slapstick komedi?
Setelah perjuangan panjang, akhirnya telur berhasil matang. Dengan sisa tenaga, ia taruh telur di piring dan siap makan.
Sampai akhirnya ia sadar satu hal.
“Nggak ada kecap…”
Otong menatap piringnya dengan pasrah. Telur goreng tanpa kecap itu ibarat hidup tanpa harapan—hambar, garing, dan bikin sedih.
Tapi ya udahlah. Dia harus bertahan hidup. Dengan hati remuk, ia mulai makan.
Baru setengah piring, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu dapur. Muncul seseorang yang selama ini selalu menjadi bagian dari ujian hidupnya: adiknya, Mamat.
Mamat, bocah kelas 6 SD, muncul dengan wajah masih ngantuk. Begitu melihat Otong makan, matanya langsung menyipit penuh curiga.
“Kamu makan apa?” tanyanya, mendekat dengan tatapan detektif.
Otong buru-buru menutupi piringnya. “Nggak usah kepo.”
Mamat melongok ke arah piring dan langsung cengar-cengir. “Wah, kasihan banget, cuma makan telur. Mana telurnya gosong lagi.”
Otong mendelik. “Bukan gosong, namanya golden brown.”
“Bohong banget. Ini mah gosong, abangnya!”
“Udah pergi sana! Ngapain bangun pagi-pagi?”
Mamat nyengir. “Mau sarapan lah.”
Otong menunjuk tudung saji yang kosong. “Sarapan di mimpi aja, nggak ada makanan.”
Mamat langsung meratapi nasib. “Mama ke pasar kan?”
“Iya,” jawab Otong malas.
“Terus, nggak ada mie instan?”
“Nggak ada.”
“Kecap?”
“Nggak ada.”
Mamat menghela napas panjang. “Duh, ini hidup kok rasanya kayak neraka ya?”
Otong mendelik. “Bilang aja kamu males masak.”
Mamat mengangguk mantap. “Iya.”
Otong menggeleng pasrah. Dasar bocah.
Mamat akhirnya duduk di sebelah Otong, melipat tangan di atas meja, lalu memandang piring abangnya dengan ekspresi penuh penderitaan.
“Kamu mau aku kasih setengah?” tanya Otong, sedikit iba.
Mamat langsung mengangguk penuh harapan.
Otong lalu memotong setengah telur dan menaruhnya di piring Mamat.
Mamat memandangi telur setengah gosong itu, lalu mendongak dengan ekspresi penuh pertimbangan.
“Tunggu… telur ini aman dimakan kan?”
Otong menahan napas. “Maksud kamu apa?”
Mamat menghela napas panjang. “Tadi aku denger ada bunyi TONG! kayak barang jatuh. Jangan-jangan telur ini kena lantai?”
Otong terdiam. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya.
Dengan penuh kharisma, ia menatap Mamat dan berkata, “Udah diem, makan aja. Kamu terlalu banyak mikir.”
Mamat pun menghela napas pasrah. “Oke deh, mending makan daripada kelaparan.”
Dan akhirnya, dua bersaudara itu pun makan dengan damai—atau lebih tepatnya, dengan perasaan yang setengah pasrah setengah sedih.
Tapi yang Otong nggak tahu, ini baru permulaan. Karena setelah sarapan, hidupnya bakal makin sial…
Sandal Fashion Korea Edisi Belang
Setelah perjuangan epik menyantap sarapan tanpa kecap dan dengan telur yang meragukan, Otong akhirnya merasa cukup bertenaga untuk menghadapi hari. Walaupun hari ini seharusnya santai, ada satu misi yang harus diselesaikan: beli kecap di warung.
Sebagai anak pertama yang bertanggung jawab (meskipun sering merasa hidupnya mirip drama tragis), Otong harus turun tangan.
“Mat, kamu ikut nggak?” tanya Otong sambil memakai kaos.
Mamat yang masih terduduk lemas di meja hanya menggeleng. “Nggak. Aku masih trauma sama telur tadi.”
Otong mendelik. “Udah dibilang itu aman dimakan!”
“Ya aman sih, cuma kayak ada aftertaste abu-abu…”
“UDAH DIEM!”
Tanpa banyak drama lagi, Otong meraih sandal di depan pintu dan melesat keluar.
Tapi ada yang aneh.
Langkahnya terasa nggak seimbang. Kayak satu kaki lebih tinggi dari yang lain. Ia melirik ke bawah dan…
Satu sandal warnanya hitam, satu lagi biru.
Bukan cuma beda warna. Yang satu model jepit, yang satu model slop.
Otong mematung. Otaknya mendadak nge-lag.
“Astaga… ini sandal siapa yang nyasar di kaki gue?”
Sambil mendecak kesal, Otong buru-buru balik ke teras buat ganti. Tapi baru dua langkah, suara dari dalam rumah terdengar.
“KAK OTONGGG!!”
Mamat.
Otong membalikkan badan dengan tatapan frustasi. “APA LAGI?”
“BELI KERUPUK DUA YA!”
“BELI SENDIRI!”
Mamat menampilkan wajah menderita. “Tapi aku masih trauma telur!”
Otong hampir melempar sandal ke kepalanya. Tapi, karena harga diri seorang kakak harus tetap dijaga, ia hanya mendengus dan jalan ke warung dengan langkah berat.
Yang nggak ia sadari, ada tetangga yang sedang duduk di teras rumahnya, memperhatikan langkahnya dengan penuh minat.
“Otong…,” panggil Bu Rini, ibu-ibu tetangga sebelah yang terkenal suka gosip.
Otong berhenti dan menoleh. “Iya, Bu?”
Bu Rini menyipitkan mata, menatap ke bawah. “Itu sandal kamu… kenapa?”
Otong yang baru ingat tragedi sandal belangnya langsung tersenyum kaku.
“Oh ini, Bu… fashion Korea. Lagi tren di TikTok.”
Bu Rini mengangguk-angguk penuh pemikiran. “Ooooh, gitu… Bunda nggak ngerti deh sama tren anak muda sekarang.”
Otong mengangguk mantap. “Iya, Bu, soalnya ini edisi limited. Susah carinya.”
Tanpa menunggu respons lebih lama, Otong buru-buru kabur.
Sampai di warung, ia langsung masuk dan mengambil kecap serta dua bungkus kerupuk buat Mamat. Saat hendak membayar, ia baru sadar ada yang aneh.
Semua orang di warung ngeliatin dia.
Bahkan Pak Jaja, pemilik warung, yang biasanya santai, sekarang menatap kakinya dengan ekspresi penuh pertanyaan.
Otong menelan ludah.
“Eh… Otong,” kata Pak Jaja, menunjuk sandalnya, “itu… sengaja ya?”
Otong mengangguk mantap. “Iya, Pak. Ini tren baru.”
Orang-orang di warung langsung berbisik-bisik.
“Ih, masa sih?”
“Waduh, ketinggalan zaman gue.”
“Berarti harus mulai coba nih?”
Pak Jaja masih menatap Otong penuh curiga, tapi akhirnya hanya mengangguk. “Yaudah, totalnya sepuluh ribu.”
Otong buru-buru bayar, ambil belanjaan, dan langsung ngacir dari warung sebelum makin banyak pertanyaan.
Saat pulang, ia merasa lega karena nggak ada yang sadar kalau itu sebenarnya insiden salah pakai sandal. Tapi begitu sampai rumah, Mamat sudah menunggunya di depan pintu dengan ekspresi aneh.
“Kamu kenapa?” tanya Otong curiga.
Mamat menunjuk ke jalan depan rumah. “Bu Rini lagi ngobrol sama ibu-ibu lain. Dia cerita soal sandal fashion Korea limited edition yang tadi kamu bilang…”
Otong langsung pucat.
Mamat menepuk bahunya sambil menyeringai. “Kak, kayaknya kamu baru aja menciptakan tren baru di komplek ini…”
Dan di saat itu juga, Otong sadar…
Hidupnya akan semakin kacau.
Tren Sandal Belang Limited Edition
Keesokan harinya, Otong bangun dengan perasaan tenang. Matahari bersinar cerah, burung-burung berkicau, dan nggak ada tanda-tanda Mamat bikin kekacauan.
Tapi ketenangan itu nggak bertahan lama.
Begitu Otong keluar rumah buat beli sarapan, dia langsung terkejut.
Ibu-ibu komplek lagi nongkrong di depan rumah Bu Rini. Dan…
MEREKA SEMUA PAKAI SANDAL BELANG.
Bukan cuma beda warna, tapi ada yang kiri sandal jepit, kanan sandal gunung. Ada yang kiri sandal anaknya, kanan sandal suaminya. Bahkan ada yang sebelah pakai heels, sebelah lagi sendal jepit Swallow.
Otong langsung merasa jiwanya terlepas dari raganya.
Mamat yang baru keluar dari rumah ikut terdiam. “Ya ampun, Kak. Kamu menciptakan sekte.”
Otong masih nggak percaya dengan apa yang dia lihat.
Bu Rini, yang melihat Otong, langsung tersenyum cerah. “Otong! Terima kasih, ya! Berkat kamu, ibu-ibu di sini jadi lebih fashionable!”
Otong masih shock. “Eh… iya, Bu.”
Bu Yati, salah satu ibu-ibu yang paling vokal, ikut menimpali. “Anak saya sampe ngasih tahu, katanya ini tren TikTok yang lagi hits. Dia juga udah nyoba!”
Bu Yati lalu menunjuk ke arah anaknya yang duduk di motor. Dan benar saja, anaknya pakai sandal belang, sebelah Adidas, sebelah Crocs.
Otong merasa ingin pingsan.
Mamat berbisik, “Kak, ini udah nggak bisa dihentikan. Kayaknya dalam beberapa hari lagi bakal ada ‘Komunitas Sandal Belang Nasional’.”
Otong menatap adiknya tajam. “Jangan ngomong yang aneh-aneh, Mat. Ini harus dihentikan sebelum makin parah.”
Tapi sebelum Otong bisa melakukan sesuatu, dari ujung gang, Pak RT muncul.
Dan dia…
PAKAI SANDAL BELANG JUGA.
Otong hampir menangis di tempat.
Pak RT mendekat dengan langkah penuh wibawa, lalu menepuk bahu Otong. “Otong, kamu keren. Ini baru namanya anak muda kreatif!”
Otong tersenyum kaku. “Eh, iya, Pak… hehe.”
Pak RT mengangguk penuh keyakinan. “Saya sampe kepikiran, gimana kalau kita bikin acara Sandal Belang Day di komplek? Biar semua orang ikut tren ini!”
Otong langsung panik. “Jangan, Pak! Nggak perlu sampe segitunya!”
Tapi terlambat. Bu Rini dan geng ibu-ibu langsung bersorak setuju.
“Sandal Belang Day! Seru tuh!”
“Kita bisa bikin lomba gaya sandal paling unik!”
“Harus ada doorprize buat yang sandalnya paling aneh!”
Otong merasa kepalanya berputar. Ini semua cuma gara-gara dia salah pakai sandal sehari sebelumnya!
Mamat menatapnya dengan ekspresi sok prihatin. “Kak, aku nggak nyangka kamu sekeren ini. Aku nggak pernah melihat tren secepat ini berkembang sejak BTS populer.”
Otong menoleh dengan tatapan datar. “Mat, jangan bercanda. Kita harus cari cara buat ngehentikan ini semua sebelum makin gila.”
Mamat menghela napas panjang. “Ya udah. Gimana kalau kita bikin tren baru? Biar yang ini ditinggalin.”
Otong mengangguk. “Oke. Kita cari sesuatu yang lebih keren dari sandal belang.”
Mereka berpikir keras.
Lalu tiba-tiba, Mamat berseru, “Gimana kalau… kita bikin tren kaos kaki belang?!”
Otong langsung menampar jidatnya sendiri.
“MAT, ITU BUKAN NGHENTIKAN! ITU NGE-LEVEL UP MASALAHNYA!!”
Revolusi Mode yang Tak Terduga
Otong duduk di warung depan gang, melamun sambil menyeruput es teh manis. Hidupnya yang tadinya damai, kini berubah total.
Semua orang di komplek… PAKAI SANDAL BELANG.
Anak-anak kecil, ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan Mas Ujang tukang sayur. Tadi pagi, dia bahkan melihat Pak Ustaz berangkat ke masjid pakai sandal belang dengan penuh percaya diri.
Tren ini sudah terlalu jauh.
Mamat duduk di sampingnya, mengunyah gorengan sambil senyum-senyum. “Kak, kita udah coba bikin tren baru dengan kaos kaki belang, tapi gagal total. Malah ada yang nyoba pakai kaos kaki belang plus sandal belang. Sekarang tren ini makin kuat.”
Otong menatap adiknya dengan tatapan kosong. “Mat, aku udah pasrah.”
Tapi Mamat malah cengar-cengir. “Tenang, Kak. Aku punya cara terakhir buat menghancurkan tren ini.”
Otong langsung meraih bahu adiknya. “Mat, kalau ini gagal juga, aku bakal pindah ke desa terpencil dan hidup sebagai petani. Cepetan kasih tahu.”
Mamat terkekeh. “Gampang, Kak. Kita bikin sesuatu jadi norak, maka orang-orang bakal otomatis males ikut-ikutan.”
Otong mengernyit. “Maksudnya?”
Mamat mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu.
“Ini, Kak. Aku udah edit foto Pak RT pakai sandal belang, tapi aku tambahin efek-efek norak. Ada glitter, ada love-love melayang, ada tulisan ‘Pak RT Style – Fashion No. 1’.”
Otong melongo. “Mat, ini… ini lebih serem dari yang aku bayangkan.”
Mamat ngakak. “Tunggu sampe kita upload ini ke grup WA komplek.”
Dengan penuh keberanian, Mamat langsung mengunggah foto itu ke grup.
Lima menit kemudian, HP Otong mulai berbunyi nonstop.
TING! TING! TING!
Notifikasi Grup WA “Warga Sejahtera”
- Bu Yati: “Waduh, kok jadi kayak fashion bapak-bapak!”
- Bu Rini: “Iya, ya… kayaknya kita keterlaluan deh.”
- Pak RT: “Lho, siapa yang edit foto saya?!”
- Bu Rina: “Saya sih, kalau Pak RT udah pakai, rasanya kurang keren… 😅”
- Mas Ujang Tukang Sayur: “Iya, ya… kalau udah tren di kalangan bapak-bapak, biasanya anak muda bakal pindah ke tren lain.”
- Pak Udin: “Besok saya balik ke sandal biasa aja ah.”
- Bu Rini: “Iya, saya juga deh…”
Otong dan Mamat saling berpandangan.
Mamat berbisik, “Kak… kita berhasil.”
Otong menghela napas lega. “Alhamdulillah, Mat… Aku nggak jadi pindah ke desa.”
Esoknya, saat Otong keluar rumah, dia akhirnya bisa bernapas lega. Warga komplek kembali pakai sandal normal. Tren sandal belang telah musnah.
Tapi…
Saat Otong melangkah ke warung, tiba-tiba dia melihat sesuatu yang membuatnya merinding.
Bu Rini dan Bu Yati…
PAKAI BANDO KUPING KELINCI.
Otong langsung menoleh ke Mamat dengan panik. “Mat… ini apa lagi?!”
Mamat hanya mengangkat bahu. “Mungkin mereka lagi nyari tren baru?”
Otong menatap langit. “Tuhan… aku harus pindah ke mana sekarang?”
Tamat.
Dan akhirnya, itulah kisah sandal belang yang sempat bikin kampung heboh. Meski tren itu udah berlalu, siapa tahu besok ada tren baru yang nggak kalah kocak.
Gimana kalau sekarang tren bando kelinci? Udah deh, pokoknya yang penting selalu ketawa, jangan terlalu serius, dan tetap inget—hidup itu lebih asik kalau kita bisa nemuin sisi lucunya!