Daftar Isi [hide]
Trail Run Bukit Arjuna
Langkah Pertama di Bukit Arjuna
Langit masih berwarna ungu keemasan saat matahari mulai muncul dari balik perbukitan. Embun menetes dari dedaunan, meninggalkan jejak basah di tanah yang mereka pijak. Angin pagi yang sejuk menyapu wajah Raka, Zahra, dan Damar saat mereka berdiri di garis start Trail Run Bukit Arjuna.
“Aku deg-degan,” Zahra mengaku sambil menarik napas dalam-dalam.
Damar menoleh, menyeringai. “Masa? Padahal semalam kamu sok-sokan bilang ini bakal gampang.”
“Ya, itu sebelum aku lihat tanjakan setinggi itu!” Zahra menunjuk ke jalur berbatu yang menjulang di depan mereka.
Raka, yang sejak tadi diam, mengetatkan tali sepatunya. “Santai aja. Kita udah latihan berbulan-bulan. Lari ini cuma soal ritme sama tekad.”
Zahra mengangkat alis. “Ritme sama tekad? Bukan soal betis pegal dan napas habis?”
Damar terkekeh. “Pokoknya, kalau aku pingsan di tengah jalan, kalian tinggalin aja, ya. Jangan sampai aku seret-seret kalian ke belakang.”
“Kamu pingsan, aku bakal foto dulu baru nolongin,” Zahra meledek, membuat mereka tertawa kecil.
Suara pembawa acara lomba menggema di udara, mengingatkan para peserta bahwa start akan dimulai dalam hitungan menit. Ratusan pelari lain bersiap di sekeliling mereka, beberapa melakukan peregangan, ada yang sibuk menyesuaikan perlengkapan, dan yang lain menyesap air terakhir sebelum memulai.
Damar memutar bahu, lalu menatap dua sahabatnya. “Nanti kalau terpisah di jalur, tetap jaga ritme masing-masing. Jangan maksain diri buat ngikutin kecepatan orang lain.”
Zahra mengangguk, tapi wajahnya masih terlihat cemas.
Raka menepuk pundaknya pelan. “Hei, kita bukan ke sini buat menang. Kita ke sini buat buktiin ke diri sendiri kalau kita bisa.”
Zahra menarik napas dalam. “Oke. Aku bisa. Kita bisa.”
Pistol start terdengar, dan dalam sekejap, puluhan kaki mulai berlari di atas tanah berbatu.
Lomba akhirnya dimulai.
Langkah pertama mereka di Bukit Arjuna dimulai dengan semangat dan tawa, tanpa ada yang tahu tantangan seperti apa yang menunggu di depan.
Menembus Rintangan Alam
Langkah demi langkah, para pelari mulai menyebar sesuai dengan kecepatan masing-masing. Raka, Zahra, dan Damar berlari beriringan di jalur tanah yang masih cukup landai, napas mereka teratur dan gerakan kaki masih ringan. Namun, mereka tahu bahwa ini hanyalah pemanasan.
Sekitar satu kilometer pertama, jalur mulai berubah. Tanah kering berganti dengan akar-akar pohon besar yang mencuat dari dalam tanah, memaksa mereka untuk lebih berhati-hati. Beberapa pelari di depan tersandung, bahkan ada yang hampir jatuh.
“Ini sih bukan lari, tapi parkour,” gumam Damar sambil melompati akar tebal di depannya.
Zahra terkekeh, tapi tetap fokus. “Daripada ngomel, mending hati-hati. Jangan sampai kamu beneran pingsan di sini.”
Raka melirik ke belakang. “Pelan aja. Masih jauh perjalanan kita.”
Mereka melanjutkan lari dengan kecepatan yang stabil, tapi tantangan baru segera muncul. Jalur mulai menanjak, bukan sekadar bukit kecil, tapi tanjakan panjang dengan kemiringan yang cukup curam.
Zahra mendesah. “Aku udah mulai ngerti kenapa trail run ini dibilang susah.”
Damar, yang biasanya paling ceria, mulai terengah-engah. “Oke, aku cabut omongan tadi. Ini lebih parah dari yang aku kira.”
Keringat mulai mengalir di pelipis mereka. Setiap langkah di tanjakan terasa lebih berat. Beberapa pelari yang terlalu memaksakan diri kini berjalan dengan tangan bertumpu di lutut.
Raka tetap tenang, meski otot kakinya mulai protes. “Atur napas. Jangan buru-buru.”
Mereka bertiga terus mendaki, dengan sesekali menyalip beberapa peserta lain. Di tengah perjalanan, mereka melewati seorang pria paruh baya yang tampak kelelahan dan duduk di sisi jalur.
Zahra menoleh. “Pak, nggak apa-apa?”
Pria itu tersenyum lemah. “Kram sedikit, tapi aku bisa lanjut nanti.”
Damar merogoh kantong kecil di pinggangnya, mengeluarkan sebotol kecil cairan elektrolit. “Ini, Pak. Biar lebih cepat pulih.”
Pria itu menerima dengan terima kasih. “Kalian anak-anak baik. Hati-hati di jalur turunan nanti. Licin.”
Mereka mengangguk, lalu kembali berlari.
Setelah sekitar dua kilometer menanjak, akhirnya mereka mencapai puncak bukit kecil. Dari sini, jalur sedikit melandai, tapi tidak sepenuhnya mudah. Turunan curam dan jalan setapak sempit menanti mereka di depan.
“Kita harus lebih hati-hati. Kalau salah injak, bisa nyungsep ke jurang,” ujar Raka sambil memperhatikan jalur berbatu di depan mereka.
Zahra menelan ludah. “Kenapa aku merasa lomba ini semakin lama makin mirip uji nyali?”
Damar mengambil napas panjang. “Nggak ada pilihan selain lanjut, kan?”
Dengan langkah hati-hati, mereka mulai menuruni jalur berbatu, menyiapkan diri untuk rintangan berikutnya yang mungkin lebih sulit.
Mereka tahu, perjalanan ini masih panjang, dan yang terberat belum datang.
Ujian di Kilometer Kesepuluh
Langkah kaki mereka menimbulkan suara gemerisik di atas tanah berpasir. Turunan yang mereka hadapi jauh lebih menantang daripada dugaan sebelumnya—licin, berbatu, dan cukup sempit. Jika terlalu cepat, bisa terpeleset. Jika terlalu lambat, justru kehilangan keseimbangan.
Damar turun lebih dulu, menjaga keseimbangan dengan menekuk lutut dan sedikit mencondongkan tubuh ke belakang. “Turun pelan aja, jangan buru-buru!” serunya.
Zahra mengikutinya dengan hati-hati, matanya fokus pada jalur. “Jangan lupa, kita harus hemat tenaga. Masih ada lima kilo lagi!”
Raka, yang berada di belakang mereka, tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak beres di betis kirinya. Ada rasa tegang yang tidak biasa. Ia mencoba mengabaikannya dan tetap melangkah, tapi saat kakinya menekan batu kecil, rasa sakit itu datang begitu saja.
“Aduh!” Raka kehilangan keseimbangan dan tersandung.
Zahra yang berjalan di depannya langsung menoleh. “Raka?!”
Damar buru-buru naik kembali dan menahan tubuh Raka sebelum jatuh lebih jauh. “Kamu kenapa?”
Raka mengatupkan rahangnya, tangannya meremas betisnya sendiri. “Kram…” Napasnya sedikit tersengal.
Zahra buru-buru membuka tas kecilnya, mengeluarkan botol air dan garam mineral. “Minum ini dulu.”
Damar ikut berjongkok, memijat betis Raka dengan hati-hati. “Tenang, jangan panik. Tarik napas pelan-pelan.”
Raka mencoba menarik napas dalam, sementara Zahra mengulurkan tangannya. “Coba berdiri pelan-pelan. Kalau sakitnya belum hilang, kita istirahat dulu.”
Raka mencoba berdiri, tapi begitu ia mencoba melangkah, rasa sakit itu kembali menusuk. “Sial… ini lebih parah dari yang kukira.”
Damar dan Zahra saling pandang, lalu menoleh ke jalur. Pelari lain mulai melewati mereka satu per satu.
“Kalau kamu butuh waktu lebih lama, kita bisa nunggu,” ujar Zahra.
Raka menggeleng. “Aku nggak mau kalian ketinggalan gara-gara aku.”
Damar menyeringai. “Dan kamu pikir kita bakal ninggalin kamu? Nggak ada cerita kayak gitu.”
Raka menatap dua sahabatnya. Ada rasa frustrasi di wajahnya, tapi juga kehangatan. Ia menghembuskan napas, mencoba rileks. “Oke… kasih aku lima menit.”
Mereka duduk di pinggir jalur, membiarkan otot Raka kembali rileks. Zahra mengusap keringat di dahinya, sementara Damar meregangkan kakinya sendiri.
Setelah beberapa menit, Raka mencoba berdiri lagi. Kakinya masih sedikit kaku, tapi sudah jauh lebih baik.
“Aku bisa lanjut,” katanya mantap.
Zahra tersenyum. “Bagus! Tapi jangan maksain diri, ya?”
Damar menepuk pundaknya. “Ayo, kita harus ke garis finis bareng-bareng!”
Dengan semangat yang kembali menyala, mereka melanjutkan perjalanan. Tantangan baru pasti masih menanti, tapi satu hal yang pasti: mereka tidak akan menyerah begitu saja.
Garis Finis dan Kemenangan Sejati
Langkah mereka semakin mantap. Meski napas mulai berat dan tubuh terasa lelah, semangat tidak pernah surut. Kilometer demi kilometer mereka lewati, mendekati titik akhir perjalanan yang sudah mereka mulai sejak pagi.
Kini, jalur terakhir membentang di depan mereka—tanah datar dengan sedikit bebatuan, diapit oleh pepohonan tinggi yang seolah memberi mereka lorong kemenangan. Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara riuh dari garis finis.
“Kita hampir sampai,” kata Zahra, senyumnya mengembang meski wajahnya penuh keringat.
Damar tertawa kecil. “Jujur, aku nggak percaya kita bisa sejauh ini.”
Raka melirik mereka berdua, lalu tersenyum tipis. “Karena kita nggak sendiri.”
Langkah mereka semakin cepat, meskipun tubuh mereka sudah memprotes sejak tadi. Detak jantung berdegup kencang, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena perasaan antusias. Mereka tidak peduli siapa yang lebih dulu menyentuh garis finis—satu hal yang mereka sepakati sejak awal adalah menyelesaikan perlombaan ini bersama-sama.
Saat mereka memasuki kilometer terakhir, beberapa pelari lain terlihat mempercepat langkahnya, berusaha mengerahkan sisa tenaga.
Zahra menarik napas panjang. “Oke, ayo kita kasih usaha terakhir!”
Damar mengangguk. “Satu… dua… tiga… gas!”
Mereka bertiga berlari sekuat tenaga, mengabaikan rasa lelah yang masih menempel di otot-otot mereka. Sepatu mereka menghantam tanah dengan ritme yang stabil, deru napas mereka berpadu dengan semangat yang tak terbendung.
Dan akhirnya, garis finis terlihat jelas.
Suara sorak-sorai menyambut mereka, dan dalam hitungan detik, mereka bertiga melintasi garis finis bersamaan. Tubuh mereka masih bergetar karena kelelahan, tapi perasaan bangga mengalahkan segalanya.
Seorang panitia memberikan medali finisher kepada mereka. “Selamat! Kalian menyelesaikan lomba dengan luar biasa.”
Zahra mengambil medali itu dan memegangnya dengan bangga. “Kita berhasil!”
Damar menjatuhkan diri ke atas rerumputan, tertawa lepas. “Aku kira aku bakal tumbang di kilometer delapan.”
Raka duduk di sampingnya, tersenyum puas. “Tapi kita tetap lanjut, kan?”
Zahra mengangguk. “Bukan cuma tentang lari, sih. Ini tentang gimana kita bisa saling dukung. Kalau aku sendiri, mungkin aku udah nyerah di tengah jalan.”
Damar mengangkat tangan, memberi tos ke Zahra dan Raka. “Setuju. Dan mulai sekarang, trail run resmi jadi olahraga wajib kita!”
Raka dan Zahra saling pandang, lalu tertawa bersamaan. Meski tubuh mereka masih lelah, ada satu hal yang mereka pelajari dari perjalanan ini—ketahanan bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal mental dan kebersamaan.
Mereka mungkin bukan pemenang utama lomba, tetapi mereka telah memenangkan sesuatu yang jauh lebih besar: kepercayaan diri, ketahanan, dan persahabatan yang semakin erat.
Hari itu, di bawah langit Bukit Arjuna yang biru cerah, mereka menyadari bahwa olahraga bukan sekadar tentang berlari atau berkompetisi. Olahraga adalah tentang melampaui batas, menikmati perjalanan, dan berbagi kebahagiaan bersama orang-orang terdekat.