Daftar Isi
Imagine yourself suddenly in the heart of Papua’s jungle, a place full of secrets and untold power. It’s not just any adventure, it’s a journey that’ll make you question, ‘What am I really searching for here?’
(Bayangkan dirimu tiba-tiba berada di tengah hutan Papua, tempat yang penuh rahasia dan kekuatan yang belum terungkap. Ini bukan sekadar petualangan biasa, ini adalah perjalanan yang akan membuatmu bertanya, ‘Apa sebenarnya yang aku cari di sini?’)
The Spirit of Papua
The Vanishing Totem
(Totem yang Hilang)
The morning in Wano was unlike any other. The sky stretched wide and blue, unbroken by a single cloud. Birds sang, their melodies echoing off the tall trees, as the air was thick with the scent of wet earth and the promise of rain. The village, nestled between the green hills, stirred with quiet activity. It was a place where time moved slowly, and each moment was savored.
(Pagi di Wano berbeda dari biasanya. Langit terbentang luas dan biru, tanpa ada awan yang menghalangi. Burung-burung bernyanyi, melodi mereka bergema dari pohon-pohon tinggi, sementara udara dipenuhi dengan aroma tanah basah dan janji hujan. Desa yang terletak di antara bukit-bukit hijau itu mulai terjaga dengan aktivitas yang tenang. Ini adalah tempat di mana waktu berjalan pelan, dan setiap detik dihargai.)
Akara sat under the shade of an ancient banyan tree, her hands moving skillfully over the fibers of the sago leaves. The soft rustling of the leaves was the only sound that reached her ears, aside from the occasional laugh or shout of a child running through the village. The designs on the mat she wove were intricate, telling stories of spirits and ancestors. She had been weaving since dawn, as she always did, weaving her connection to the hills, the land, and her people.
(Akara duduk di bawah naungan pohon beringin tua, tangannya bergerak terampil di atas serat daun sagu. Suara gemerisik daun adalah satu-satunya yang terdengar, selain tawa atau teriakan anak-anak yang berlari melalui desa. Pola pada tikar yang dia tenun begitu rumit, menceritakan kisah roh-roh dan leluhur. Dia telah menenun sejak fajar, seperti biasanya, menenun hubungan dia dengan bukit-bukit, tanah, dan orang-orangnya.)
Then, a sudden cry pierced the morning calm. It was not a cry of joy, but one of fear and confusion. Akara froze, her fingers stilling on the woven mat.
(Kemudian, sebuah teriakan tiba-tiba memecah ketenangan pagi. Itu bukan teriakan kegembiraan, melainkan teriakan ketakutan dan kebingungan. Akara membeku, jarinya terhenti di tikar yang sedang dia tenun.)
“Akara!” A voice called from behind her, breathless and frantic. It was Kimo, the village elder’s son. He had always been a little wild, but today his eyes were wide with alarm.
(“Akara!” Suara memanggil dari belakangnya, nafasnya terengah-engah dan cemas. Itu Kimo, anak lelaki tetua desa. Dia selalu sedikit liar, tetapi hari ini matanya terbuka lebar dengan kecemasan.)
“What is it, Kimo?” Akara asked, standing up. She could feel the shift in the air, the tension growing as more villagers gathered near the center of the village.
(“Ada apa, Kimo?” tanya Akara, berdiri. Dia bisa merasakan perubahan di udara, ketegangan yang tumbuh saat lebih banyak penduduk desa berkumpul di dekat pusat desa.)
“It’s gone… the totem is gone!” Kimo’s voice trembled.
(“Totem itu hilang… totemnya hilang!” Suara Kimo bergetar.)
The totem. It had stood in the village for generations, carved from ancient wood, its surface worn smooth by the passage of time. The totem was not just a piece of art; it was the spiritual heart of Wano, representing their connection to the ancestors and the spirits that watched over them. Without it, the balance of their world seemed to tilt, like a tree losing its roots.
(Totem itu. Sudah berdiri di desa selama beberapa generasi, diukir dari kayu kuno, permukaannya halus dipoles oleh perjalanan waktu. Totem itu bukan hanya sebuah karya seni; itu adalah jantung spiritual Wano, mewakili hubungan mereka dengan leluhur dan roh-roh yang menjaga mereka. Tanpanya, keseimbangan dunia mereka seolah goyah, seperti pohon yang kehilangan akarnya.)
Akara’s heart sank. She had always felt the totem’s presence, the way it seemed to hum with an energy that connected them all to something greater than themselves.
(Hati Akara jatuh. Dia selalu merasakan kehadiran totem itu, cara totem itu seolah berdengung dengan energi yang menghubungkan mereka semua dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.)
“Where did you last see it?” Akara asked, her voice steady despite the growing unease inside her.
(“Di mana terakhir kali kamu melihatnya?” tanya Akara, suaranya tenang meskipun rasa cemas mulai tumbuh di dalam dirinya.)
Kimo wiped his brow, eyes scanning the growing crowd. “It was here, at the village center. Everyone was here last night, celebrating the harvest. But when we woke up… it was gone.”
(Kimo mengusap keningnya, matanya memindai kerumunan yang semakin banyak. “Itu ada di sini, di pusat desa. Semua orang ada di sini tadi malam, merayakan panen. Tapi ketika kami bangun… itu hilang.”)
Akara nodded. “We need to find it,” she said. The urgency in her voice was clear now, and the weight of the situation pressed down on her shoulders.
(Akara mengangguk. “Kita harus menemukannya,” katanya. Urgensi dalam suaranya kini jelas terdengar, dan beban situasi ini terasa sangat berat di pundaknya.)
Kimo nodded back, his expression filled with a mix of worry and resolve. “We will search the jungle, the hills, everywhere. But Akara…” He hesitated, lowering his voice. “It’s not just the totem. It’s something more. The spirits are angry.”
(Kimo mengangguk kembali, ekspresinya dipenuhi campuran kekhawatiran dan tekad. “Kita akan mencari di hutan, bukit-bukit, di mana saja. Tapi Akara…” Dia ragu, menurunkan suaranya. “Bukan hanya totem itu. Ada sesuatu yang lebih. Roh-roh marah.”)
Akara looked at him, confusion flickering in her eyes. “What do you mean?”
(Akara memandangnya, kebingungan muncul di matanya. “Apa maksudmu?”)
“The elders say the totem is the spirit’s protection. Without it, we are vulnerable. The balance of the land is broken. I fear what might happen if it is not returned soon.”
(“Para tetua bilang totem itu adalah pelindung roh. Tanpa itu, kita rentan. Keseimbangan tanah ini rusak. Aku takut apa yang bisa terjadi jika tidak segera dikembalikan.”)
Akara took a deep breath. The responsibility of this task weighed heavily on her. She had to find the totem, not just for the village, but for the spirits that had always watched over them.
(Akara menarik napas dalam-dalam. Tanggung jawab tugas ini terasa sangat berat baginya. Dia harus menemukan totem itu, bukan hanya untuk desa, tetapi untuk roh-roh yang selalu menjaga mereka.)
“I will go,” she said, her voice firm. “I’ll find the totem, Kimo. And I’ll bring it back.”
(“Aku akan pergi,” katanya, suaranya tegas. “Aku akan menemukan totem itu, Kimo. Dan aku akan membawanya kembali.”)
Kimo’s eyes softened. “Be careful, Akara. The jungle is not always kind, and the spirits are watching.”
(Mata Kimo melunak. “Hati-hati, Akara. Hutan tidak selalu ramah, dan roh-roh sedang mengawasi.”)
Akara nodded, and without another word, she turned toward the jungle, the weight of the task ahead heavy on her heart.
(Akara mengangguk, dan tanpa kata lain, dia berbalik menuju hutan, beban tugas yang menantinya terasa sangat berat di hatinya.)
The Path of the River
(Bab 2: Jalur Sungai)
The jungle greeted Akara with its usual, humid embrace. The air was thick with the smell of wet leaves, and the sounds of the forest wrapped around her like a living thing—chirping birds, rustling branches, and the distant roar of the river. Her heart beat in sync with the rhythm of the jungle, but there was a sense of unease that lingered just beneath the surface. Something was not right.
(Hutan menyambut Akara dengan pelukan lembabnya yang biasa. Udara tebal dengan bau daun basah, dan suara hutan melingkupinya seperti makhluk hidup—burung-burung yang berkicau, cabang-cabang yang bergemerisik, dan raungan sungai yang terdengar jauh. Jantungnya berdetak seirama dengan irama hutan, namun ada rasa cemas yang terus mengendap di bawah permukaan. Ada sesuatu yang tidak beres.)
Akara moved quickly, her bare feet silent on the forest floor, guided by instinct more than reason. The totem was somewhere out there, hidden among the vast expanse of green. She thought of the elders’ warnings, the tale of the spirits’ wrath if the totem were ever lost or taken. But more than that, she could not shake the feeling that someone, or something, had deliberately removed it from the village.
(Akara bergerak cepat, kakinya telanjang diam di lantai hutan, dipandu oleh insting lebih dari pada akal sehat. Totem itu ada di luar sana, tersembunyi di antara hamparan hijau yang luas. Dia teringat peringatan dari para tetua, cerita tentang murka roh jika totem itu hilang atau diambil. Tapi lebih dari itu, dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa seseorang, atau sesuatu, dengan sengaja telah mengambilnya dari desa.)
As she reached the edge of the river, the familiar sound of water rushing over rocks calmed her slightly. The river was their lifeline, its waters flowing from the mountain peaks down to the village below. Akara paused to drink, letting the coolness of the water settle her nerves. She felt the current pulling her thoughts, like the river itself was guiding her deeper into the jungle.
(Saat dia mencapai tepi sungai, suara air yang mengalir deras di atas batu sedikit menenangkannya. Sungai itu adalah mata air kehidupan mereka, airnya mengalir dari puncak gunung ke desa di bawah. Akara berhenti untuk minum, membiarkan kesegaran air meredakan sarafnya. Dia merasa arusnya menarik pikirannya, seperti sungai itu sendiri yang membimbingnya lebih dalam ke dalam hutan.)
“Akara!” a voice called, interrupting her moment of calm. It was Kimo, his voice cutting through the sounds of the jungle.
(“Akara!” sebuah suara memanggil, memecah ketenangannya. Itu Kimo, suaranya memotong suara-suara hutan.)
Turning, she saw him running toward her, his face flushed from the run. “You shouldn’t go alone,” he said, panting. “It’s too dangerous.”
(Berbalik, dia melihat Kimo berlari menuju arahnya, wajahnya memerah karena berlari. “Kamu nggak boleh pergi sendirian,” katanya, terengah-engah. “Ini terlalu berbahaya.”)
“I must,” Akara replied firmly, standing up straighter as if to affirm her decision. “The totem won’t return on its own, Kimo. I need to find it before… before it’s too late.”
(“Aku harus,” jawab Akara tegas, berdiri lebih tegak seolah untuk menegaskan keputusannya. “Totem itu nggak akan kembali dengan sendirinya, Kimo. Aku harus menemukannya sebelum… sebelum semuanya terlambat.”)
Kimo hesitated but nodded. “I understand,” he said softly. “But take this,” he handed her a small bundle wrapped in leaves. “It’s food and a little water. You’ll need it on the journey.”
(Kimo ragu sejenak, namun mengangguk. “Aku mengerti,” katanya pelan. “Tapi terimalah ini,” ia memberinya sekumpulan kecil yang dibungkus daun. “Ini makanan dan sedikit air. Kamu akan membutuhkannya dalam perjalanan.”)
“Thank you,” Akara said, accepting the bundle. She gave him a smile, one that was more for her own reassurance than for his. “I’ll be fine.”
(“Terima kasih,” kata Akara, menerima sekumpulan itu. Dia memberinya senyum, yang lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada untuknya. “Aku akan baik-baik saja.”)
Kimo didn’t seem convinced. “The jungle hides many things. Keep your wits about you.”
(Kimo tampaknya tak yakin. “Hutan menyembunyikan banyak hal. Jaga kewaspadaanmu.”)
With one last glance at Kimo, Akara turned back to the river and continued her journey upstream. The jungle, once a familiar friend, now seemed more like a maze, its towering trees and thick undergrowth pressing in around her. Each step felt heavier, but Akara pushed forward, her determination a quiet force within her.
(Dengan sekali pandang terakhir ke Kimo, Akara berbalik menuju sungai dan melanjutkan perjalanannya ke hulu. Hutan, yang dulu menjadi teman yang familiar, sekarang terasa lebih seperti labirin, pohon-pohon yang menjulang tinggi dan semak belukar yang tebal menekan di sekelilingnya. Setiap langkah terasa lebih berat, namun Akara terus maju, tekadnya menjadi kekuatan yang tenang di dalam dirinya.)
The river was her guide, its currents pulling her closer to the mountains where the totem might be hidden. As she followed the path of the water, she couldn’t help but think of the elders’ stories—the spirits that lived in the hills, the ancient ones that had once walked among them. Could it be that they had come down to take the totem?
(Sungai menjadi pemandunya, arusnya menariknya lebih dekat ke gunung tempat totem itu mungkin tersembunyi. Saat dia mengikuti jalur air, dia tak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan cerita para tetua—roh-roh yang tinggal di bukit-bukit, yang kuno yang pernah berjalan di antara mereka. Apakah mungkin mereka yang datang untuk mengambil totem itu?)
Her footsteps were silent on the riverbank, but the forest around her was alive with movement. The sound of twigs snapping underfoot echoed in her mind. Akara felt the gaze of unseen eyes on her, and for a moment, she wasn’t sure if they were the eyes of the jungle or something… else.
(Langkahnya hening di tepi sungai, namun hutan di sekitarnya hidup dengan gerakan. Suara ranting yang patah di bawah kaki bergema di pikirannya. Akara merasa ada pandangan mata yang tak terlihat mengawasinya, dan sesaat, dia tak yakin apakah itu mata hutan atau sesuatu… yang lain.)
With a quick glance over her shoulder, she tightened her grip on the bundle of supplies and quickened her pace, knowing the jungle could be as treacherous as it was beautiful.
(Dengan pandangan cepat ke belakang, dia mempererat genggaman pada sekumpulan bekal dan mempercepat langkahnya, mengetahui bahwa hutan bisa sama berbahayanya seperti indahnya.)
As the path grew steeper and the trees denser, Akara’s resolve only grew stronger. She had no choice but to continue. The totem must be found.
(Saat jalannya semakin menanjak dan pohon-pohon semakin lebat, tekad Akara semakin menguat. Dia tak punya pilihan selain terus maju. Totem itu harus ditemukan.)
Echoes of the Ancients
(Bab 3: Gema dari Para Leluhur)
Akara’s journey through the thick jungle was a test of patience and willpower. The dense trees loomed over her, their twisted branches intertwining like ancient hands trying to hold her back. Every step she took seemed to be met with a new obstacle—an unexpected thorn bush, a branch that stretched low enough to catch her hair, or the ever-growing dampness of the forest floor. Yet, with each challenge, she pressed on, feeling the urgency of her mission rise within her.
(Perjalanan Akara melalui hutan yang lebat adalah ujian kesabaran dan kekuatan kehendak. Pohon-pohon yang padat menjulang di atasnya, cabang-cabangnya yang terpelintir saling berjalin seperti tangan-tangan kuno yang mencoba menahannya. Setiap langkah yang diambilnya seolah bertemu dengan rintangan baru—semak duri yang tak terduga, cabang yang menjulur cukup rendah untuk menangkap rambutnya, atau kelembapan tanah hutan yang semakin bertambah. Namun, dengan setiap tantangan, dia terus maju, merasakan urgensi misinya semakin membesar dalam dirinya.)
Her thoughts often wandered back to the village, to Kimo, who had warned her about the dangers of the jungle. She could almost hear his voice in her mind, urging her to turn back. But the image of the missing totem haunted her, as if the very spirit of the jungle had whispered it into her soul. She could not return empty-handed.
(Pikirannya sering kembali ke desa, ke Kimo, yang telah memperingatkannya tentang bahaya hutan. Dia hampir bisa mendengar suaranya di dalam pikirannya, mendesaknya untuk kembali. Namun, bayangan totem yang hilang menghantui dirinya, seolah-olah roh hutan itu sendiri telah membisikkannya ke dalam jiwanya. Dia tidak bisa kembali dengan tangan kosong.)
After hours of walking, the jungle seemed to shift around her. The once familiar path had disappeared, and the dense thicket now seemed to lead her deeper into unknown territory. The sun was high in the sky, casting dappled light through the canopy, but the shadows seemed to grow longer as she advanced. Akara felt an unfamiliar chill crawl down her spine, as if the temperature itself had dropped despite the midday heat.
(Setelah berjam-jam berjalan, hutan seolah berubah di sekitarnya. Jalur yang sebelumnya familiar kini hilang, dan belukar yang padat kini tampak mengarahkannya lebih dalam ke wilayah yang tidak dikenal. Matahari berada tinggi di langit, memancarkan cahaya yang berbintik-bintik melalui kanopi, namun bayangan seolah semakin memanjang saat dia maju. Akara merasakan hawa dingin yang tidak biasa merayap di tulangnya, seolah-olah suhu itu sendiri turun meskipun panas tengah hari.)
Suddenly, a rustling sound broke through the silence, sharp and quick. Akara froze, her heart skipping a beat as her senses heightened. The rustling grew louder, then stopped. She crouched down behind a large fern, her breath shallow and quick. For a moment, there was only silence again, a tense, waiting silence.
(Tiba-tiba, suara gemerisik memecah keheningan, tajam dan cepat. Akara membeku, jantungnya berhenti sesaat saat indranya menjadi tajam. Suara gemerisik itu semakin keras, lalu berhenti. Dia berjongkok di belakang pakis besar, napasnya terengah-engah dan cepat. Sebentar, hanya ada keheningan lagi, keheningan yang tegang dan menunggu.)
Then, from the corner of her eye, she saw movement. A figure, swift and silent, moving between the trees. Akara’s heart pounded in her chest as she carefully peered out from behind the fern. The figure was tall, dressed in the traditional garb of their people, but there was something strange about the way they moved. Too smooth, too practiced.
(Kemudian, dari sudut matanya, dia melihat pergerakan. Sebuah sosok, cepat dan diam, bergerak di antara pohon-pohon. Jantung Akara berdegup kencang di dadanya saat dia dengan hati-hati mengintip keluar dari balik pakis. Sosok itu tinggi, mengenakan pakaian tradisional mereka, tapi ada yang aneh tentang cara mereka bergerak. Terlalu halus, terlalu terlatih.)
“Who are you?” Akara called out, her voice steady despite the tension coiling in her stomach.
(“Siapa kamu?” Akara memanggil, suaranya tetap tenang meskipun ketegangan menggelitik perutnya.)
The figure stopped and turned, their face hidden in shadow. For a moment, there was no response, and Akara’s grip tightened around the bundle of supplies. Then, the figure stepped forward, revealing a woman with sharp features and eyes that gleamed with an unsettling light.
(Sosok itu berhenti dan berbalik, wajah mereka tersembunyi dalam bayangan. Sebentar, tidak ada respon, dan genggaman Akara semakin erat pada sekumpulan bekalnya. Lalu, sosok itu melangkah maju, memperlihatkan seorang wanita dengan fitur wajah yang tajam dan mata yang bersinar dengan cahaya yang mengganggu.)
“You seek the totem,” the woman said, her voice low and smooth, almost a whisper.
(“Kamu mencari totem itu,” kata wanita itu, suaranya rendah dan halus, hampir seperti bisikan.)
Akara’s heart skipped. “How do you know that?”
(Jantung Akara berdebar. “Bagaimana kamu tahu itu?”)
The woman smiled, but it was not a comforting smile. It was the kind of smile that came from knowing something far deeper than what was visible. “The jungle knows all who enter. And it knows what you seek.”
(Wanita itu tersenyum, namun itu bukan senyum yang menenangkan. Itu adalah senyum yang datang dari mengetahui sesuatu yang jauh lebih dalam daripada yang terlihat. “Hutan mengetahui semua yang memasuki. Dan hutan tahu apa yang kamu cari.”)
Akara took a step back, unease rising in her chest. “Who are you?”
(Akara mundur selangkah, rasa cemas semakin membesar di dadanya. “Siapa kamu?”)
The woman tilted her head slightly, as if considering the question. “I am of the forest. A guardian, a watcher. But you,” she paused, her gaze sharp, “you are the one who disturbs the balance.”
(Wanita itu sedikit menundukkan kepalanya, seolah mempertimbangkan pertanyaan itu. “Aku dari hutan. Seorang penjaga, pengamat. Tapi kamu,” ia berhenti, tatapannya tajam, “kamu adalah yang mengganggu keseimbangan.”)
Akara’s mind raced, trying to make sense of the cryptic words. “The balance? I don’t understand.”
(Pikiran Akara berlari, berusaha memahami kata-kata yang penuh teka-teki itu. “Keseimbangan? Aku tidak mengerti.”)
The woman stepped closer, her presence overwhelming. “The totem is not just an object. It is a key. A key to the forces that govern the jungle. Without it, the jungle will lose its way.”
(Wanita itu melangkah lebih dekat, kehadirannya terasa luar biasa. “Totem itu bukan hanya sebuah benda. Itu adalah kunci. Kunci untuk kekuatan yang mengatur hutan. Tanpanya, hutan akan kehilangan jalannya.”)
Akara’s breath caught in her throat. The weight of the woman’s words settled over her, and she realized that her journey was no longer just about retrieving a missing artifact. It was about saving the very land that she called home.
(Napak Akara tertahan di tenggorokannya. Beratnya kata-kata wanita itu menyelimuti dirinya, dan dia menyadari bahwa perjalanannya tidak hanya tentang mengambil kembali sebuah artefak yang hilang. Ini tentang menyelamatkan tanah yang sangat dia sebut rumah.)
The Spirit of the Jungle
(Bab 4: Roh Hutan)
The woman’s presence grew more intense with every passing second, as if the very air around her had thickened. Akara could feel the weight of her gaze, sharp as a blade, cutting through the fog of uncertainty that had settled in her mind. The jungle was alive, not just in the sense of trees and animals, but with an energy that hummed through the earth, wrapping itself around her, making her feel small and insignificant in the vastness of its power.
(Kehadiran wanita itu semakin intens dengan setiap detik yang berlalu, seolah udara di sekitarnya menjadi lebih tebal. Akara bisa merasakan berat tatapannya, tajam seperti pisau, menembus kabut ketidakpastian yang telah menyelimuti pikirannya. Hutan ini hidup, bukan hanya dalam pengertian pohon dan binatang, tetapi dengan energi yang berdengung melalui tanah, membelit dirinya, membuatnya merasa kecil dan tidak berarti dalam luasnya kekuatan itu.)
“You cannot leave,” the woman said, her voice now carrying a deep, unshakable authority. “The jungle will not let you go until you understand what you are truly here for.”
(“Kamu tidak bisa pergi,” kata wanita itu, suaranya kini membawa otoritas yang dalam dan tak tergoyahkan. “Hutan tidak akan membiarkanmu pergi sampai kamu mengerti apa yang sebenarnya kamu cari di sini.”)
Akara’s heart raced again, a mix of fear and determination rising in her chest. “I only came to find the totem… but now… I understand there’s more to it.”
(Jantung Akara kembali berdegup kencang, campuran antara ketakutan dan tekad menyusup ke dalam dadanya. “Aku hanya datang untuk menemukan totem… tapi sekarang… aku mengerti ada lebih dari itu.”)
The woman nodded slowly, her eyes reflecting the ancient wisdom of the forest. “Yes, child. You seek the totem, but what you truly seek is understanding. The balance of the jungle, the spirits, the earth—they are all connected. And so are you.”
(Wanita itu mengangguk perlahan, matanya memantulkan kebijaksanaan kuno dari hutan. “Ya, anak muda. Kamu mencari totem, tetapi yang sebenarnya kamu cari adalah pemahaman. Keseimbangan hutan, roh-roh, bumi—semuanya terhubung. Begitu juga dirimu.”)
Akara felt her legs tremble slightly, but she stood firm. The realization washed over her like a rush of cold water, awakening her senses. The jungle was not just a place she grew up in, but a living entity with its own soul, its own heartbeat. She was a part of it, as much as it was a part of her.
(Akara merasakan kakinya sedikit gemetar, namun dia tetap tegak. Pencerahan itu membasahi dirinya seperti semburan air dingin, membangkitkan inderanya. Hutan ini bukan hanya tempat tempat dia dibesarkan, tapi entitas hidup dengan jiwanya sendiri, detak jantungnya sendiri. Dia adalah bagian darinya, seperti halnya hutan itu adalah bagian darinya.)
“But how can I restore the balance?” she asked, her voice softer now, filled with an unspoken understanding of the weight of her journey.
(“Tapi bagaimana aku bisa mengembalikan keseimbangan itu?” tanyanya, suaranya kini lebih lembut, dipenuhi dengan pemahaman yang tak terucapkan tentang beratnya perjalanannya.)
The woman’s lips curled into a serene smile. “You have already begun, Akara. The first step is to accept the connection. The second is to believe in it. The jungle is old, older than you or I, and it knows when its children return to it.”
(Bibir wanita itu melengkung menjadi senyum yang tenang. “Kamu sudah mulai, Akara. Langkah pertama adalah menerima koneksi itu. Langkah kedua adalah mempercayainya. Hutan ini tua, lebih tua dari kamu atau aku, dan ia tahu ketika anak-anaknya kembali padanya.”)
Before Akara could respond, the air around them seemed to shift, and the rustling of leaves grew louder. The trees themselves seemed to bow, their branches creaking and groaning under the weight of time. A low rumble echoed through the ground, as if the earth itself was speaking.
(Sebelum Akara bisa merespons, udara di sekitar mereka seolah berubah, dan gemerisik daun menjadi lebih keras. Pohon-pohon itu sendiri tampak tunduk, cabang-cabangnya berderit dan mengerang di bawah berat waktu. Suara gemuruh rendah menggema melalui tanah, seolah bumi itu sendiri sedang berbicara.)
The woman stepped back, her form blending into the shadows. “You must go now. The totem is not far, but it is hidden for a reason. Only those who truly understand its power can uncover it.”
(Wanita itu mundur, wujudnya menyatu dengan bayangan. “Kamu harus pergi sekarang. Totem itu tidak jauh, tapi ia tersembunyi dengan alasan. Hanya mereka yang benar-benar memahami kekuatannya yang bisa menemukannya.”)
Akara nodded, the path ahead of her now clearer, though it still carried the weight of uncertainty. She knew the journey was far from over. The jungle still held its secrets, its mysteries, and Akara could feel that she was only scratching the surface of something much deeper.
(Akara mengangguk, jalan yang ada di depannya kini terasa lebih jelas, meskipun masih membawa berat ketidakpastian. Dia tahu perjalanan ini masih jauh dari selesai. Hutan itu masih menyimpan rahasia-rahasianya, misteri-misterinya, dan Akara merasa dia baru saja menggores permukaan dari sesuatu yang jauh lebih dalam.)
With a final glance at the woman, who now seemed to vanish into the mist, Akara turned and pressed forward, knowing that her fate was now intertwined with the jungle’s, and there was no turning back.
(Dengan pandangan terakhir pada wanita itu, yang kini tampaknya menghilang ke dalam kabut, Akara berbalik dan melangkah maju, mengetahui bahwa takdirnya kini terjalin dengan hutan, dan tidak ada jalan kembali.)
In the end, Akara’s journey proves that sometimes, the answers we seek are hidden deep within ourselves and the world around us.
(Pada akhirnya, perjalanan Akara membuktikan bahwa kadang-kadang, jawaban yang kita cari tersembunyi jauh di dalam diri kita dan dunia di sekitar kita.)