The Heart of the Forest: A Magical Fable Adventure for Kids With Indonesia Translate

Posted on

Ever wondered what it’s like to be a brave little bird, fighting dark forces to save the forest? Join Ivy on a magical adventure filled with mystery and excitement!

(Pernah penasaran rasanya jadi burung kecil pemberani, melawan kekuatan gelap untuk menyelamatkan hutan? Bergabunglah dengan Ivy dalam petualangan magis penuh misteri dan kegembiraan!)

 

The Heart of the Forest

The Call of the Wind

(Panggilan Angin)

The early morning air was cool, still wrapped in the gentle glow of dawn. The forest stood quiet, like a secret waiting to be shared. Ivy, a small robin, hopped out of her cozy nest high in a sturdy oak tree. She fluffed her feathers and looked around at the familiar landscape. But something felt different today. There was an energy in the air, an excitement that whispered through the leaves.

(Pagi yang dingin masih terbungkus cahaya lembut dari fajar. Hutan berdiri diam, seperti sebuah rahasia yang sedang menunggu untuk dibagikan. Ivy, seekor burung robin kecil, melompat keluar dari sarang nyaman di atas pohon ek yang kokoh. Dia merapikan bulunya dan memandang sekeliling ke lanskap yang sudah dikenalinya. Namun, ada yang berbeda hari ini. Ada energi di udara, kegembiraan yang berbisik melalui daun-daun.)

She stretched her wings wide, feeling the cool breeze ruffle her feathers. She had heard whispers of a place deep in the forest, a hidden glade where the trees shimmered like silver and the air was alive with magic. Ivy had always been curious, always wondering what lay beyond the familiar path. Today, her heart urged her to find that place.

(Dia mengembangkan sayapnya lebar-lebar, merasakan angin dingin yang menggerakkan bulunya. Dia pernah mendengar bisikan tentang sebuah tempat di dalam hutan, sebuah lapangan tersembunyi di mana pohon-pohon berkilau seperti perak dan udara hidup dengan sihir. Ivy selalu penasaran, selalu bertanya-tanya apa yang ada di luar jalan yang sudah dikenal. Hari ini, hatinya mendorongnya untuk menemukan tempat itu.)

As she hopped from branch to branch, the wind began to pick up. It wasn’t the usual breeze; this wind felt different—like it had a purpose. It swirled around her, lifting her into the air. Ivy chirped in surprise and flapped her wings harder, but the wind carried her higher, over the treetops, past the familiar paths.

(Saat dia melompat dari cabang ke cabang, angin mulai bertiup lebih kencang. Bukan angin biasa; angin ini terasa berbeda—seperti memiliki tujuan. Angin itu berputar mengelilinginya, mengangkatnya ke udara. Ivy berkicau terkejut dan mengibaskan sayapnya lebih keras, tetapi angin itu membawanya lebih tinggi, melewati puncak pohon, melewati jalan yang sudah dikenal.)

“Where is this taking me?” she thought, her little heart racing with a mix of excitement and curiosity. She didn’t know where the wind was leading, but something inside told her it was important. Something magical.

(“Kemana angin ini membawaku?” pikirnya, hatinya berdebar kencang dengan campuran kegembiraan dan rasa ingin tahu. Dia tidak tahu ke mana angin itu membawanya, tetapi sesuatu di dalam dirinya memberi tahu bahwa ini penting. Sesuatu yang magis.)

She flew on, wings cutting through the air like a blade. The trees below blurred into streaks of green as she zoomed past. After a while, Ivy noticed the forest starting to change. The trees were growing taller, their trunks thicker, and the leaves glistened with an otherworldly glow.

(Dia terbang terus, sayapnya memotong udara seperti pedang. Pohon-pohon di bawah kabur menjadi garis-garis hijau saat dia melesat melewati. Setelah beberapa saat, Ivy mulai melihat hutan yang berubah. Pohon-pohon tumbuh lebih tinggi, batangnya lebih tebal, dan daun-daunnya berkilau dengan cahaya yang tak berasal dari dunia ini.)

Ivy’s curiosity only grew stronger. “This must be it,” she whispered to herself, excitement bubbling in her chest. “The Enchanted Glade.”

(Rasa penasaran Ivy semakin kuat. “Ini pasti tempatnya,” bisiknya pada dirinya sendiri, kegembiraan memuncak di dadanya. “Hutan Ajaib.”)

The wind continued to guide her, and soon, Ivy saw it—a clearing unlike anything she had ever seen before. In the center of the glade stood an ancient tree, its trunk wide and sturdy, its branches reaching out like arms, glowing softly in the morning light. Ivy landed gently on one of the branches and sat still, her wide eyes taking in the sight before her.

(Angin terus membimbingnya, dan segera, Ivy melihatnya—sebuah lapangan terbuka yang tak seperti apapun yang pernah dia lihat sebelumnya. Di tengah lapangan itu berdiri sebuah pohon kuno, batangnya lebar dan kokoh, cabangnya menjulur seperti lengan, bersinar lembut di bawah cahaya pagi. Ivy mendarat dengan lembut di salah satu cabangnya dan duduk diam, matanya yang besar menyerap pemandangan di depannya.)

“This place… it’s even more beautiful than I imagined,” she whispered, her voice filled with awe. It was peaceful here, like the air itself held secrets that had yet to be uncovered.

(“Tempat ini… lebih indah dari yang aku bayangkan,” bisiknya, suaranya dipenuhi kekaguman. Tempat ini terasa damai, seolah-olah udara itu sendiri menyimpan rahasia yang belum terungkap.)

But just as she was about to fly deeper into the glade, she heard a rustling noise from below. Ivy looked down, her sharp eyes spotting a group of squirrels scrambling up the tree. The leader of the squirrels, a smart and quick one named Theo, called up to her.

(Namun, tepat saat dia hendak terbang lebih dalam ke lapangan itu, dia mendengar suara gemerisik dari bawah. Ivy menoleh ke bawah, matanya yang tajam melihat sekawanan tupai yang memanjat pohon dengan tergesa-gesa. Pemimpin tupai, yang cerdik dan cepat bernama Theo, memanggilnya.)

“Ivy! Get down here, quick!” Theo shouted, his eyes wide with worry.

(“Ivy! Turun sini, cepat!” teriak Theo, matanya lebar dengan kecemasan.)

Ivy flapped her wings and landed next to Theo, who was looking up at her with a serious expression. “What’s wrong, Theo? Why the hurry?” she asked, her voice filled with concern.

(Ivy mengibaskan sayapnya dan mendarat di samping Theo, yang memandangnya dengan ekspresi serius. “Ada apa, Theo? Kenapa terburu-buru?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.)

“The forest is in danger,” Theo said, his voice shaking slightly. “The magic that keeps this place alive is fading. Without the Silver Feather, everything will fall into darkness.”

(“Hutan ini dalam bahaya,” kata Theo, suaranya sedikit gemetar. “Sihir yang menjaga tempat ini hidup mulai memudar. Tanpa Bulu Perak, semuanya akan jatuh ke dalam kegelapan.”)

Ivy’s eyes widened. “The Silver Feather?” she repeated, confused. “What’s that?”

(Mata Ivy terbuka lebar. “Bulu Perak?” ulangnya, bingung. “Apa itu?”)

Theo sighed, his whiskers twitching nervously. “It’s a magical feather that protects the forest. It’s been here for centuries. But last night, someone took it.”

(Theo menghela napas, kumisnya bergerak gelisah. “Itu adalah bulu ajaib yang melindungi hutan. Sudah ada di sini selama berabad-abad. Tapi tadi malam, seseorang mencurinya.”)

Ivy’s heart raced. “Who would steal something so important?” she asked, her voice trembling.

(Hati Ivy berdebar kencang. “Siapa yang akan mencuri sesuatu yang begitu penting?” tanyanya, suaranya gemetar.)

“I don’t know,” Theo replied, shaking his head. “But we need to find it. Without it, the magic will disappear, and the forest will be lost forever.”

(“Aku tidak tahu,” jawab Theo, menggelengkan kepala. “Tapi kita harus menemukannya. Tanpa itu, sihir ini akan hilang, dan hutan akan hilang selamanya.”)

Ivy clenched her beak, her mind racing. “I’ll find it,” she said, determination in her voice. “I’ll bring back the Silver Feather.”

(Ivy menggertakkan paruhnya, pikirannya berputar cepat. “Aku yang akan menemukannya,” katanya, dengan tekad di suaranya. “Aku akan mengembalikan Bulu Perak.”)

And so, with a flutter of wings and a heart full of courage, Ivy set off to find the Silver Feather—and to save the forest she loved.

(Dan begitu, dengan kepakan sayap dan hati yang penuh keberanian, Ivy terbang untuk menemukan Bulu Perak—dan menyelamatkan hutan yang dia cintai.)

 

The Enchanted Glade

(Hutan Ajaib yang Terpesona)

Ivy fluttered through the air, her wings cutting through the breeze with purpose. The wind had slowed down a bit, but the urgency in her heart only grew stronger. As she flew deeper into the forest, the landscape around her changed. The once familiar trees were now twisted and gnarled, their trunks warped in strange, unsettling shapes. It was as if the forest itself was warning her—this was not a place for the faint-hearted.

(Ivy mengepakkan sayapnya, anginnya memotong angin dengan tujuan. Angin memang sedikit melambat, tetapi urgensi di hatinya semakin kuat. Saat dia terbang lebih dalam ke dalam hutan, pemandangan di sekitarnya mulai berubah. Pohon-pohon yang sebelumnya dikenalinya kini melengkung dan berputar, batangnya terdistorsi dalam bentuk-bentuk aneh yang tidak nyaman. Seolah-olah hutan itu sendiri memperingatkannya—ini bukan tempat untuk orang yang takut.)

“I should have known…” Ivy murmured under her breath, her beak set in a firm line. She had heard stories of the deep forest, the parts where even the bravest animals dared not go. Yet, she was here now, and there was no turning back.

(“Aku seharusnya tahu…” Ivy bergumam pelan, paruhnya menyatu dengan tegas. Dia pernah mendengar cerita tentang hutan yang dalam, bagian yang bahkan hewan-hewan paling pemberani pun tidak berani mendekat. Namun, dia ada di sini sekarang, dan tidak ada jalan untuk kembali.)

As Ivy ventured further, she caught sight of something glowing faintly between the trees. Her heart skipped a beat. There, in a small clearing, was a large stone pedestal, its surface covered in moss and vines. Atop the pedestal lay a single feather—shimmering, silver, and radiant. The Silver Feather.

(Saat Ivy melanjutkan perjalanan, dia melihat sesuatu yang bersinar samar di antara pepohonan. Jantungnya berdegup kencang. Di sana, di sebuah lapangan kecil, terdapat sebuah pedestal batu besar, permukaannya tertutup lumut dan akar tanaman merambat. Di atas pedestal itu tergeletak sebuah bulu—berkilau, perak, dan bersinar. Bulu Perak.)

Her eyes widened in awe as she slowly approached the pedestal. This was it. She had found it. But something felt wrong. The air around the feather was heavy, thick with magic, and Ivy could feel her feathers tingling as if the very air itself was alive.

(Matanya terbuka lebar karena kagum saat dia perlahan mendekati pedestal. Ini dia. Dia telah menemukannya. Tapi ada yang terasa salah. Udara di sekitar bulu itu berat, tebal dengan sihir, dan Ivy bisa merasakan bulunya meremang seolah-olah udara itu sendiri hidup.)

“I’ve got to take it quickly,” Ivy whispered, as if speaking too loudly would break the spell. But just as she extended her wing toward the feather, a loud crack echoed through the trees.

(“Aku harus mengambilnya dengan cepat,” bisik Ivy, seolah berbicara terlalu keras akan merusak sihirnya. Namun, tepat saat dia mengulurkan sayapnya menuju bulu itu, sebuah suara retakan keras menggema melalui pepohonan.)

Ivy froze, her heart pounding in her chest. The trees around her began to shake, their branches creaking and groaning like they were alive. The ground beneath her talons trembled, and a shadow swept over the clearing.

(Ivy terhenti, jantungnya berdegup kencang di dadanya. Pohon-pohon di sekitarnya mulai bergetar, cabangnya berdecit dan bergumam seolah-olah mereka hidup. Tanah di bawah cakarnya bergetar, dan sebuah bayangan melintasi lapangan terbuka.)

From the darkness between the trees emerged a creature—large, with dark, shimmering scales that reflected the faint light. It had the body of a serpent but the wings of a bat, its eyes glowing with an eerie green light. Ivy gasped.

(Dari kegelapan antara pepohonan muncul makhluk—besar, dengan sisik gelap yang bersinar yang memantulkan cahaya samar. Makhluk itu memiliki tubuh ular tetapi dengan sayap kelelawar, matanya bersinar dengan cahaya hijau yang menyeramkan. Ivy terkejut.)

“Who dares to disturb the Silver Feather?” the creature hissed, its voice cold as ice.

(“Siapa yang berani mengganggu Bulu Perak?” makhluk itu mendesis, suaranya sedingin es.)

Ivy straightened, her wings flaring as she tried to summon all the courage she had. “I-I need it,” she stammered. “The forest is in danger. Without the Silver Feather, everything will fall into darkness.”

(Ivy menegakkan tubuhnya, sayapnya mengembang saat dia mencoba mengumpulkan seluruh keberanian yang dimilikinya. “A-Aku membutuhkannya,” katanya terbata-bata. “Hutan ini dalam bahaya. Tanpa Bulu Perak, semuanya akan jatuh ke dalam kegelapan.”)

The creature’s eyes glinted with amusement. “You think you can take it?” it asked, a wicked smile curling on its lips. “You’re not the first to try, little bird. Many before you have failed.”

(Mata makhluk itu berkilau dengan hiburan. “Kamu pikir bisa mengambilnya?” tanyanya, senyum jahat melengkung di bibirnya. “Kamu bukan yang pertama mencoba, burung kecil. Banyak yang mencoba sebelumnya dan gagal.”)

“I’m not like them,” Ivy replied, her voice growing steadier. “I’ll succeed. I have to.”

(“Aku tidak seperti mereka,” jawab Ivy, suaranya semakin mantap. “Aku akan berhasil. Aku harus.”)

The creature’s smile faded, and it let out a low, rumbling laugh. “Very well,” it said, “but be warned—taking the Silver Feather will come at a price. Magic like this is not given lightly.”

(Senyuman makhluk itu memudar, dan ia tertawa rendah, bergemuruh. “Baiklah,” katanya, “tapi waspadalah—mengambil Bulu Perak akan ada harganya. Sihir seperti ini tidak diberikan dengan mudah.”)

Ivy’s eyes narrowed. “I’m ready. Whatever the cost, I will pay it.”

(Mata Ivy menyipit. “Aku siap. Apa pun harganya, aku akan membayarnya.”)

The creature paused, its glowing eyes studying Ivy carefully. Finally, it nodded. “Then go ahead,” it said, stepping aside. “But remember, not all things are as they seem in the enchanted forest.”

(Makhluk itu berhenti, matanya yang bersinar memeriksa Ivy dengan cermat. Akhirnya, ia mengangguk. “Jika begitu, silakan. Tapi ingat, tidak semua hal seperti yang tampak di hutan yang terpesona ini.”)

Ivy didn’t hesitate. With a quick flap of her wings, she grabbed the Silver Feather, the magic surrounding it crackling like fire. As soon as she touched it, the air seemed to vibrate with power, and she felt a surge of energy fill her. The Silver Feather had been awakened.

(Ivy tidak ragu. Dengan kepakan cepat sayapnya, dia mengambil Bulu Perak, sihir yang mengelilinginya memercik seperti api. Begitu dia menyentuhnya, udara sepertinya bergetar dengan kekuatan, dan dia merasakan lonjakan energi memenuhi dirinya. Bulu Perak telah terbangun.)

But as Ivy turned to leave, the creature’s voice echoed once more. “Remember, little bird, the forest does not forgive easily.”

(Namun, saat Ivy berbalik untuk pergi, suara makhluk itu bergema sekali lagi. “Ingat, burung kecil, hutan tidak mudah memaafkan.”)

Ivy didn’t look back. She had what she came for. Now, she just needed to get back to the Enchanted Glade and make sure the magic would stay alive.

(Ivy tidak menoleh lagi. Dia sudah mendapatkan apa yang dia cari. Sekarang, dia hanya perlu kembali ke Hutan Ajaib dan memastikan sihir itu tetap hidup.)

 

The Price of Magic

(Harga Magis)

As Ivy flew back through the forest, the weight of the Silver Feather in her talons felt both exhilarating and unsettling. The magic coursing through her was stronger than she had ever imagined, but it was also unpredictable, like a storm brewing just beyond the horizon. She couldn’t shake the feeling that the creature’s warning had been more than just a cautionary tale—it had been a promise of something she was yet to face.

(Saat Ivy terbang kembali melalui hutan, berat Bulu Perak di cakarnya terasa sekaligus mendebarkan dan tidak menyenangkan. Sihir yang mengalir di tubuhnya lebih kuat dari yang pernah dia bayangkan, tetapi juga tak terduga, seperti badai yang sedang berkembang di balik cakrawala. Dia tidak bisa menepis perasaan bahwa peringatan makhluk itu lebih dari sekadar cerita peringatan—itu adalah janji akan sesuatu yang belum dia hadapi.)

The deeper she flew into the forest, the darker it became. The trees seemed to close in around her, their branches casting eerie shadows that danced like ghostly figures. Ivy knew she had to hurry—time was running out. The magic that she carried was not just a gift; it was a beacon, and the forest was waking up.

(Semakin dalam dia terbang ke dalam hutan, semakin gelap tempat itu. Pohon-pohon seakan mendekat, cabangnya melemparkan bayangan menyeramkan yang menari seperti sosok hantu. Ivy tahu dia harus cepat—waktu semakin habis. Sihir yang dia bawa bukan hanya hadiah; itu adalah cahaya, dan hutan mulai terbangun.)

Suddenly, she heard a rustle in the underbrush, and a shadow moved swiftly across the ground. Ivy froze, her wings tensed, ready to take flight at a moment’s notice. The forest had come alive in ways she never thought possible. It wasn’t just the trees or the creatures; it was the very essence of the forest itself.

(Tiba-tiba, dia mendengar suara gemerisik di semak-semak, dan sebuah bayangan bergerak cepat melintasi tanah. Ivy terhenti, sayapnya tegang, siap terbang kapan saja. Hutan telah hidup dengan cara yang tidak pernah dia bayangkan. Bukan hanya pohon-pohon atau makhluk-makhluknya; itu adalah esensi hutan itu sendiri.)

A pair of glowing eyes appeared in front of her. Ivy’s heart skipped a beat as she stared at the creature that stepped out from the shadows. It was another one of the forest’s protectors, a massive lynx with fur as black as midnight, its eyes burning like twin orbs of fire.

(Sepasang mata bersinar muncul di depannya. Jantung Ivy berdegup kencang saat dia menatap makhluk yang keluar dari bayang-bayang. Itu adalah salah satu pelindung hutan, seekor lynx besar dengan bulu sehitam malam, matanya menyala seperti dua bola api.)

“You carry the Silver Feather,” the lynx said, its voice deep and resonant. “Do you understand what you’ve done?”

(“Kamu membawa Bulu Perak,” kata lynx itu, suaranya dalam dan bergema. “Apakah kamu mengerti apa yang telah kamu lakukan?”)

Ivy swallowed hard. “I… I need to protect the forest,” she replied, trying to sound confident. “The darkness is spreading. Without it, everything will be lost.”

(Ivy menelan ludah dengan susah payah. “Aku… aku perlu melindungi hutan,” jawabnya, mencoba terdengar percaya diri. “Kegelapan sedang menyebar. Tanpa itu, semuanya akan hilang.”)

The lynx narrowed its fiery gaze, studying her closely. “And what of the cost? Magic like this comes with a price, little bird. Are you ready to pay it?”

(Lynx itu menyipitkan pandangannya yang menyala, mengamatinya dengan teliti. “Dan bagaimana dengan harganya? Sihir seperti ini datang dengan harga, burung kecil. Apakah kamu siap membayarnya?”)

Ivy hesitated. She had already heard the warnings, but now they felt real. The weight of the Silver Feather in her talons seemed to grow heavier, and the magic inside her pulsed like a beating heart. “I don’t care about the price,” she said firmly, even though doubt gnawed at her resolve. “I’ll do whatever it takes to save this forest.”

(Ivy ragu sejenak. Dia sudah mendengar peringatan-peringatan itu, tetapi sekarang semuanya terasa nyata. Berat Bulu Perak di cakarnya seakan semakin berat, dan sihir di dalam dirinya berdenyut seperti jantung yang berdetak. “Aku tidak peduli dengan harganya,” katanya dengan tegas, meskipun keraguan menggigit keteguhannya. “Aku akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk menyelamatkan hutan ini.”)

The lynx’s eyes softened, but there was a shadow of something darker in them. “Then you must face the Heart of the Forest,” it said, stepping aside. “Only those who are pure of heart may pass. The path will not be easy, and many who have tried have never returned.”

(Mata lynx itu melunak, tetapi ada bayangan sesuatu yang lebih gelap di dalamnya. “Maka kamu harus menghadapi Hati Hutan,” katanya, menyampingkan tubuhnya. “Hanya mereka yang murni hatinya yang dapat melaluinya. Jalan ini tidak akan mudah, dan banyak yang telah mencoba tidak pernah kembali.”)

Ivy’s heart raced. “The Heart of the Forest?” she asked, her voice barely a whisper.

(Jantung Ivy berdebar kencang. “Hati Hutan?” tanyanya, suaranya hampir tidak terdengar.)

The lynx nodded. “It is the source of all the magic here. It lies deep in the heart of the forest, hidden from the eyes of those who do not understand. If you wish to save the forest, you must go there and awaken it. But beware—the forest will test you. It will show you your deepest fears, your darkest memories. It will try to break you.”

(Lynx itu mengangguk. “Itu adalah sumber dari semua sihir di sini. Itu terletak jauh di dalam hati hutan, tersembunyi dari mata mereka yang tidak mengerti. Jika kamu ingin menyelamatkan hutan, kamu harus pergi ke sana dan membangunkannya. Tapi hati-hati—hutan akan mengujimu. Itu akan menunjukkan ketakutan terdalammu, kenangan tergelapmu. Itu akan mencoba menghancurkanmu.”)

Ivy steeled herself. “I won’t let it break me,” she said, her wings fluttering with determination. “I’ll go to the Heart of the Forest.”

(Ivy menguatkan dirinya. “Aku tidak akan membiarkannya menghancurkanku,” katanya, sayapnya bergetar dengan tekad. “Aku akan pergi ke Hati Hutan.”)

The lynx’s gaze lingered on her for a moment longer, before it finally nodded. “Then go, little bird. But know this—nothing will be the same when you return. The forest will change, and so will you.”

(Pandangan lynx itu tertahan pada Ivy sedikit lebih lama, sebelum akhirnya mengangguk. “Jika begitu, pergilah, burung kecil. Tapi ketahuilah ini—tidak ada yang akan sama ketika kamu kembali. Hutan ini akan berubah, dan begitu juga dirimu.”)

With those words echoing in her mind, Ivy spread her wings and took off, flying deeper into the forest, her heart set on the Heart of the Forest.

(Dengan kata-kata itu bergema di pikirannya, Ivy membuka sayapnya dan terbang lebih dalam ke hutan, hatinya tertuju pada Hati Hutan.)

 

The Awakening of the Heart

(Kebangkitan Hati)

The deeper Ivy flew, the thicker the mist grew, swirling around her like an ocean of whispers. It was as though the forest itself was breathing, the air thick with magic and ancient secrets. Ivy’s wings felt heavier with every beat, as if the weight of the forest’s power was pushing down on her. Her heart pounded faster now, not just with fear, but with a growing sense of anticipation. She had crossed the threshold. The Heart of the Forest was close.

(Semakin dalam Ivy terbang, kabut semakin tebal, berputar di sekelilingnya seperti lautan bisikan. Seolah-olah hutan itu sendiri sedang bernapas, udara dipenuhi dengan sihir dan rahasia kuno. Sayap Ivy terasa semakin berat dengan setiap sayap yang mengepak, seakan-akan kekuatan hutan sedang menekan dirinya. Jantungnya berdetak lebih cepat sekarang, bukan hanya karena ketakutan, tetapi dengan perasaan semakin tak sabar. Dia telah melewati ambang batas. Hati Hutan sudah dekat.)

Suddenly, the mist parted, revealing a massive tree that towered above all others. Its bark shimmered with an otherworldly glow, and its branches reached out like arms, embracing the very sky. Ivy had never seen anything like it before. It was the Heart of the Forest, pulsing with energy, as if it were alive, waiting for her.

(Tiba-tiba, kabut itu terbelah, mengungkapkan sebuah pohon raksasa yang menjulang lebih tinggi dari pohon-pohon lainnya. Kulit kayunya bersinar dengan cahaya dari dunia lain, dan cabangnya terjulur seperti lengan, merangkul langit itu sendiri. Ivy belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. Itu adalah Hati Hutan, berdenyut dengan energi, seolah-olah hidup, menunggu kedatangannya.)

Ivy landed at the base of the tree, her talons sinking into the soft earth beneath her. She could feel the pulse of magic vibrating through the ground, up into her bones, like the heartbeat of the forest itself. The air around her was thick with power. She stepped forward, her wings fluttering with nervous energy.

(Ivy mendarat di pangkal pohon, cakarnya tenggelam di tanah lembut di bawahnya. Dia bisa merasakan denyut sihir bergetar melalui tanah, naik ke tulang-tulangnya, seperti detak jantung hutan itu sendiri. Udara di sekelilingnya dipenuhi dengan kekuatan. Dia melangkah maju, sayapnya bergetar dengan energi gugup.)

The moment she approached the tree, its bark began to shift. It parted like curtains, revealing a glowing core at its center. Ivy’s breath caught in her throat as she stepped closer, feeling the pull of the magic, stronger than anything she had ever known. It was as if the Heart of the Forest was calling to her, recognizing her as its chosen one.

(Begitu dia mendekati pohon, kulit kayunya mulai bergerak. Itu terbuka seperti tirai, mengungkapkan inti yang bersinar di tengahnya. Napas Ivy tercekat di tenggorokannya saat dia melangkah lebih dekat, merasakan tarikannya yang lebih kuat dari sihir yang pernah dia kenal. Seolah-olah Hati Hutan memanggilnya, mengenalinya sebagai yang terpilih.)

“You have come,” a voice echoed, deep and resonant, coming from the core of the tree itself. It was the voice of the forest, ancient and wise. “What do you seek, little bird?”

(“Kamu telah datang,” suara itu bergema, dalam dan bergema, datang dari inti pohon itu sendiri. Itu adalah suara hutan, kuno dan bijaksana. “Apa yang kamu cari, burung kecil?”)

Ivy’s heart raced, but she stood firm. “I seek to save the forest. The darkness is spreading, and I must awaken you to stop it.”

(Jantung Ivy berdebar kencang, tetapi dia berdiri tegak. “Aku mencari untuk menyelamatkan hutan. Kegelapan sedang menyebar, dan aku harus membangunkanmu untuk menghentikannya.”)

The Heart of the Forest pulsed once more, and the branches above her swayed as if the tree itself was thinking. The magic in the air thickened, wrapping around Ivy like a cocoon.

(Hati Hutan berdenyut sekali lagi, dan cabang-cabang di atasnya bergoyang seolah-olah pohon itu sendiri sedang berpikir. Sihir di udara semakin kental, membelit Ivy seperti kepompong.)

“You are brave,” the voice said, “but this is no simple task. The darkness you speak of is not a force that can be defeated easily. It is woven into the very fabric of the land, and to destroy it, you must understand its origins.”

(“Kamu berani,” suara itu berkata, “tetapi ini bukanlah tugas yang sederhana. Kegelapan yang kamu bicarakan bukanlah kekuatan yang bisa dikalahkan dengan mudah. Itu tertanam dalam setiap serat tanah ini, dan untuk menghancurkannya, kamu harus memahami asal-usulnya.”)

Ivy felt a chill run down her spine. “Tell me what I need to know,” she said, determination flashing in her eyes. “I’ll do whatever it takes.”

(Ivy merasakan dingin menjalar di tulang punggungnya. “Beritahu aku apa yang perlu aku ketahui,” katanya, tekad menyala di matanya. “Aku akan melakukan apa pun yang diperlukan.”)

The Heart of the Forest pulsed again, and a vision began to form before Ivy’s eyes. She saw the forest, vibrant and alive, but over time, she saw dark tendrils creeping into its edges. The once-glorious trees began to wither, the animals fled, and the very earth turned barren. Ivy watched as the source of this darkness emerged—a creature of pure malice, twisted and powerful.

(Hati Hutan berdenyut lagi, dan sebuah visi mulai terbentuk di depan mata Ivy. Dia melihat hutan, hidup dan bersemangat, tetapi seiring berjalannya waktu, dia melihat tentakel gelap merayap ke tepinya. Pohon-pohon yang dulu megah mulai layu, binatang-binatang melarikan diri, dan tanah itu sendiri menjadi tandus. Ivy melihat sumber dari kegelapan ini muncul—sebuah makhluk yang penuh kebencian, terpelintir dan kuat.)

“The darkness comes from a place beyond this forest,” the Heart of the Forest explained, its voice soft but urgent. “It was summoned by a being who seeks to corrupt all life. It is powerful, but it can be stopped. Only the one who carries the Silver Feather can undo its reach.”

(“Kegelapan itu datang dari tempat di luar hutan ini,” Hati Hutan menjelaskan, suaranya lembut tetapi mendesak. “Itu dipanggil oleh makhluk yang berusaha merusak semua kehidupan. Itu kuat, tetapi bisa dihentikan. Hanya mereka yang membawa Bulu Perak yang bisa membatalkan jangkauannya.”)

Ivy took a deep breath. She now understood the gravity of her mission. This was not just about saving the forest—it was about saving everything.

(Ivy menarik napas dalam-dalam. Sekarang dia mengerti beratnya misinya. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan hutan—ini adalah tentang menyelamatkan segalanya.)

The Heart of the Forest’s core glowed brighter. “Go now, Ivy. The path is open to you. But remember, the price of magic is steep, and the journey ahead will not be easy. You must be willing to face your greatest fears, but know this—you will never face them alone.”

(Inti Hati Hutan bersinar lebih terang. “Pergilah sekarang, Ivy. Jalan sudah terbuka untukmu. Tapi ingat, harga sihir itu tinggi, dan perjalanan ke depan tidak akan mudah. Kamu harus siap menghadapi ketakutan terbesarmu, tetapi ketahuilah—kamu tidak akan pernah menghadapinya sendirian.”)

Ivy nodded, her wings fluttering with newfound strength. “I’m ready,” she said.

(Ivy mengangguk, sayapnya bergetar dengan kekuatan baru. “Aku siap,” katanya.)

With a final pulse of magic, the tree released a burst of energy that enveloped her. Ivy closed her eyes as the force swept her away, knowing that whatever awaited her, she was prepared to face it—no matter the cost.

(Dengan denyut sihir terakhir, pohon itu melepaskan ledakan energi yang membelitnya. Ivy menutup matanya saat kekuatan itu menghempaskannya, tahu bahwa apapun yang menunggunya, dia siap menghadapinya—tidak peduli dengan harga yang harus dibayar.)

 

And so, Ivy’s journey teaches us that even the smallest among us can make the biggest difference. Keep your heart brave and your wings wide—adventure is always waiting!

(Dan begitu, perjalanan Ivy mengajarkan kita bahwa bahkan yang terkecil sekalipun bisa membuat perbedaan besar. Jaga hatimu tetap berani dan sayapmu lebar—petualangan selalu menunggu!)

Leave a Reply