The Dreaming Grove: A Journey of Truth and Desire with Indonesian Translation

Posted on

Ever had to choose between your deepest desires and the cold, hard truth? Well, this story’s all about that. A magical, mysterious journey through a misty forest, with choices that could change everything. Oh, and it’s in both English and Indonesian—let’s go!
(Pernah harus memilih antara keinginan terdalammu dan kebenaran yang pahit? Nah, cerita ini tentang itu. Perjalanan magis penuh misteri di hutan berkabut, dengan pilihan yang bisa mengubah segalanya. Oh, dan ini ada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia—yuk, kita mulai!)

 

The Dreaming Grove

(Hutan Mimpi)

The Enchanted Path

(Jalan yang Memikat)

The morning air felt cool, but there was something else about it. A quiet energy, almost like the forest was holding its breath. From where I stood at the edge of the trees, I could see the path winding through the dense woods, half-hidden beneath the thick cover of moss and fallen leaves. It wasn’t just any path; it was the one I had heard stories about—the path that led to a place where time didn’t exist.
(Udara pagi terasa sejuk, tapi ada sesuatu yang lain tentangnya. Sebuah energi yang tenang, seolah-olah hutan menahan napasnya. Dari tempat aku berdiri di ujung pepohonan, aku bisa melihat jalan berliku melalui hutan lebat, setengah tersembunyi di bawah lapisan tebal lumut dan daun-daun yang jatuh. Itu bukan sembarang jalan; itu adalah jalan yang selalu kudengar dalam cerita—jalan yang mengarah ke tempat di mana waktu tak ada.)

I had grown up listening to my grandmother’s tales of this enchanted grove, but I never thought I would be standing here, staring at the beginning of it. The stories she told weren’t just fairytales; they were warnings. Warnings about the dangers of stepping off the beaten path, but also about the strange and wondrous things that awaited those brave enough to venture deeper.
(Aku dibesarkan dengan mendengarkan cerita-cerita nenekku tentang hutan yang memikat ini, tapi aku tak pernah mengira aku akan berdiri di sini, menatap awal dari semuanya. Cerita-cerita yang dia ceritakan bukan hanya dongeng; itu adalah peringatan. Peringatan tentang bahaya yang mengintai jika menyimpang dari jalan biasa, namun juga tentang hal-hal aneh dan menakjubkan yang menanti bagi mereka yang cukup berani untuk menjelajah lebih dalam.)

I took a deep breath, trying to steady myself. There was no turning back now. As I stepped onto the path, the soft crunch of leaves under my boots was the only sound that broke the silence. It felt like the forest was watching me, waiting for me to make the first move.
(Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tidak ada jalan mundur sekarang. Saat aku melangkah ke jalan itu, suara lembut daun yang remuk di bawah sepatu botku adalah satu-satunya suara yang memecah kesunyian. Rasanya seperti hutan sedang mengamatiku, menunggu aku untuk melangkah lebih dulu.)

Suddenly, a breeze stirred the trees above me. The leaves rustled, but the sound was unlike anything I had ever heard. It wasn’t just the wind—there was something more to it. A low, almost musical hum, like a thousand whispers at once.
(Tiba-tiba, angin bertiup menerpa pepohonan di atas kepalaku. Daun-daun itu bergemerisik, tapi suaranya berbeda dari yang pernah kudengar. Itu bukan hanya angin—ada sesuatu yang lebih dari itu. Sebuah desahan rendah, hampir seperti melodi, seperti seribu bisikan yang terdengar bersamaan.)

“Who dares walk upon the path?” a voice echoed, not from any single direction, but from everywhere at once. It was soft, but carried an undeniable weight.
(“Siapa yang berani berjalan di jalan ini?” suara itu bergema, bukan dari satu arah, melainkan dari segala arah sekaligus. Suaranya lembut, namun mengandung beban yang tak bisa diabaikan.)

I stopped in my tracks, heart pounding in my chest. This wasn’t some old fairy tale; this was real. The voice had a presence, something that felt ancient, like the forest itself was speaking to me.
(Aku berhenti sejenak, jantung berdebar kencang di dadaku. Ini bukan sekadar dongeng lama; ini nyata. Suara itu memiliki kehadiran, sesuatu yang terasa purba, seolah-olah hutan itu sendiri sedang berbicara padaku.)

“I—I’m Lia,” I said, my voice sounding smaller than I intended. “I’ve come to find the grove where time stops.”
(“A—aku Lia,” jawabku, suaraku terdengar lebih kecil dari yang kuinginkan. “Aku datang untuk mencari hutan di mana waktu berhenti.”)

There was a long pause. The forest seemed to hold its breath again, as if weighing my words. Then, slowly, the branches above me shifted, almost like the trees were nodding in approval.
(Ada jeda panjang. Hutan seakan menahan napas lagi, seolah-olah menimbang kata-kataku. Kemudian, perlahan, cabang-cabang di atas kepalaku bergerak, hampir seperti pepohonan itu mengangguk setuju.)

“You seek the Grove of Eternal Dreams,” the voice said, its tone shifting now, softer, almost amused. “But do you understand the cost of what you seek?”
(“Kau mencari Hutan Mimpi Abadi,” suara itu berkata, nada suaranya berubah sekarang, lebih lembut, hampir terdengar seperti tertawa. “Tapi, apakah kau mengerti harga dari apa yang kau cari?”)

I hesitated. The stories always warned about the price. The price of entering the grove, the price of making wishes in a place where dreams and reality blended.
(Aku ragu sejenak. Cerita-cerita selalu memperingatkan tentang harga yang harus dibayar. Harga untuk memasuki hutan itu, harga untuk membuat keinginan di tempat di mana mimpi dan kenyataan bercampur.)

“I don’t know,” I admitted, my voice barely a whisper. “But I have to try.”
(“Aku tidak tahu,” aku mengaku, suaraku hampir seperti bisikan. “Tapi aku harus mencoba.”)

The trees seemed to shudder, and the wind carried a coldness that wasn’t there before. It felt like something ancient was watching me, weighing my very soul.
(Pepohonan itu seakan bergetar, dan angin membawa kesejukan yang tak ada sebelumnya. Rasanya seperti ada sesuatu yang sangat tua yang mengamatiku, menimbang jiwaku.)

“Very well, Lia,” the voice said, now clear and firm. “Step forward. But remember—every wish comes at a price, and not all dreams are meant to come true.”
(“Baiklah, Lia,” suara itu berkata, sekarang jelas dan tegas. “Langkahkan kakimu. Tapi ingat—setiap keinginan datang dengan harga, dan tidak semua mimpi dimaksudkan untuk menjadi kenyataan.”)

Without another word, I took a step forward, deeper into the forest. The moment I did, the air seemed to shift, growing heavier, and the path ahead grew darker.
(Tanpa sepatah kata lagi, aku melangkah maju, lebih dalam ke dalam hutan. Begitu aku melakukannya, udara seakan berubah, menjadi lebih berat, dan jalan di depanku menjadi lebih gelap.)

I didn’t know what I was walking into, but I knew one thing for certain—there was no turning back now.
(Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi, tapi satu hal yang pasti—tidak ada jalan kembali sekarang.)

 

The Shadows of Dreams

(Bayangan Mimpi)

The deeper I walked into the forest, the more the air seemed to change. It was like I had stepped into another world, where the usual sounds of nature were replaced by an eerie silence. The trees loomed taller, their branches twisting and curling like ancient hands reaching out to touch the sky.
(Semakin dalam aku berjalan ke dalam hutan, semakin terasa udara seolah berubah. Rasanya seperti aku telah melangkah ke dunia lain, di mana suara alam yang biasa digantikan oleh kesunyian yang mencekam. Pepohonan menjulang lebih tinggi, cabangnya berkelok dan melengkung seperti tangan purba yang meraih untuk menyentuh langit.)

I kept walking, though, unable to stop myself. It was as if the path itself was pulling me forward, urging me to continue despite the strange heaviness in the air. My heart pounded in my chest, each step echoing in the silence.
(Namun, aku terus berjalan, tak bisa menahan diri. Rasanya seperti jalan itu sendiri yang menarikku maju, mendorongku untuk melanjutkan meski ada rasa berat aneh di udara. Jantungku berdetak kencang di dadaku, setiap langkah menggema dalam kesunyian.)

Suddenly, the ground beneath me began to shift. The dirt and leaves parted, revealing a small stone staircase that seemed to lead downward. The steps were covered in moss, but there was something about them that called to me.
(Tiba-tiba, tanah di bawah kakiku mulai bergerak. Tanah dan daun-daun itu terpisah, mengungkapkan tangga batu kecil yang tampaknya menuju ke bawah. Langkah-langkahnya tertutup lumut, tapi ada sesuatu yang memanggilku untuk mendekat.)

I hesitated for a moment, but then, as if compelled by some unseen force, I started descending. The air grew colder, and I could hear the distant sound of water running—like a stream, but deeper, more resonant, almost like a lullaby.
(Aku ragu sejenak, namun kemudian, seolah dipaksa oleh kekuatan tak tampak, aku mulai turun. Udara menjadi lebih dingin, dan aku bisa mendengar suara air yang mengalir dari kejauhan—seperti aliran sungai, tapi lebih dalam, lebih bergema, hampir seperti sebuah lagu pengantar tidur.)

At the bottom of the stairs, I found myself standing at the edge of a large underground chamber. The walls glowed with an eerie, pale light, reflecting off the surface of a still, dark pool in the center. It was unlike anything I had ever seen—an ethereal beauty, but also deeply unsettling.
(Di bawah tangga, aku mendapati diriku berdiri di ujung sebuah ruangan bawah tanah besar. Dinding-dindingnya bersinar dengan cahaya pucat yang aneh, memantulkan permukaan kolam gelap yang tenang di tengah ruangan. Itu berbeda dari apapun yang pernah kulihat—keindahan yang tak nyata, tapi juga sangat mengganggu.)

I stepped forward, drawn to the pool. As I approached, I saw that the water wasn’t still at all. It was swirling, slowly, almost hypnotically, as if something was moving just beneath the surface.
(Aku melangkah maju, tertarik pada kolam itu. Saat aku mendekat, aku melihat bahwa airnya tidak tenang sama sekali. Air itu berputar, perlahan, hampir seperti hipnotis, seolah ada sesuatu yang bergerak tepat di bawah permukaannya.)

Without thinking, I reached out to touch it. The moment my fingers brushed the surface, the water rippled, and suddenly, I was falling—not into the pool, but through the air, as if gravity had forgotten me.
(Tanpa berpikir, aku mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Begitu jariku menyentuh permukaan, air itu beriak, dan tiba-tiba, aku jatuh—bukan ke dalam kolam, tapi melalui udara, seolah-olah gravitasi telah melupakan aku.)

I landed softly on the ground, though it wasn’t the ground I had expected. The world around me was darker, more mysterious, and there were no signs of the forest anymore. The air smelled different—cleaner, almost like something ancient and forgotten.
(Aku jatuh dengan lembut di tanah, meskipun itu bukan tanah yang kuduga. Dunia di sekitarku lebih gelap, lebih misterius, dan tidak ada tanda-tanda hutan lagi. Udara terasa berbeda—lebih bersih, hampir seperti sesuatu yang purba dan terlupakan.)

I stood up slowly, trying to understand where I was. The landscape stretched out before me, wild and untamed, with strange plants that seemed to hum with life. The sky overhead was swirling with colors I couldn’t describe, like the twilight between two worlds.
(Aku bangkit perlahan, mencoba memahami di mana aku berada. Pemandangan terbentang di depanku, liar dan tak terkendali, dengan tanaman-tanaman aneh yang seolah berdengung dengan kehidupan. Langit di atas kepalaku berputar dengan warna yang tak bisa kujelaskan, seperti senja antara dua dunia.)

Then I heard it—voices. Faint whispers, too soft to understand, but they were there, all around me. It wasn’t clear whether they were calling to me or warning me.
(Kemudian aku mendengarnya—suara-suara. Bisikan lembut, terlalu pelan untuk dipahami, tapi mereka ada, di sekelilingku. Tidak jelas apakah mereka memanggilku atau memperingatkanku.)

“Who… who’s there?” I asked, my voice trembling slightly.
(“Si…siapa di sana?” tanyaku, suaraku sedikit gemetar.)

The whispers stopped, and for a moment, everything was silent again. But then, I saw them—figures emerging from the mist, not human, but something else. Their forms were shifting, fluid, like smoke in the wind, their eyes glowing softly in the dim light.
(Bisikan itu berhenti, dan sejenak, semuanya kembali sunyi. Namun kemudian, aku melihat mereka—figur-figur yang muncul dari kabut, bukan manusia, tapi sesuatu yang lain. Bentuk mereka berubah, cair, seperti asap di angin, mata mereka bersinar lembut di cahaya redup.)

“Welcome, Lia,” one of them said, its voice soft and melodic. “You’ve come to the Dreaming Grove.”
(“Selamat datang, Lia,” salah satu dari mereka berkata, suaranya lembut dan melodius. “Kau telah datang ke Hutan Mimpi.”)

I froze. The Dreaming Grove? The place I had only heard of in stories?
(Aku terdiam. Hutan Mimpi? Tempat yang hanya kudengar dalam cerita?)

“You are here to seek what you desire,” the figure continued. “But understand this: Once you enter the Grove of Eternal Dreams, your desires are no longer yours alone. They become a part of the world.”
(“Kau di sini untuk mencari apa yang kau inginkan,” lanjut sosok itu. “Tapi pahami ini: Begitu kau memasuki Hutan Mimpi Abadi, keinginanmu tidak lagi milikmu seorang. Mereka menjadi bagian dari dunia.”)

 

The Final Choice

(Pilihan Terakhir)

The mist swirled around me, thick and oppressive, as I stood there, uncertain of what to do next. The figure’s words echoed in my mind, their weight hanging over me like a storm cloud. “Trust yourself. Trust your heart.”
(*Kabut berputar di sekitarku, tebal dan menekan, sementara aku berdiri di sana, tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Kata-kata sosok itu bergema di pikiranku, bebannya menggantung seperti awan badai. “Percayalah pada dirimu. Percayalah pada hatimu.”)

I looked ahead into the mist, but there was nothing. Just the void. I felt like I was standing at the edge of something enormous, a precipice leading to unknown depths. The path, whichever it was, remained hidden from my eyes.
(Aku menatap ke depan ke dalam kabut, tapi tak ada apa-apa. Hanya kehampaan. Aku merasa seperti berdiri di tepi sesuatu yang sangat besar, jurang yang mengarah ke kedalaman yang tak diketahui. Jalan, apapun itu, tetap tersembunyi dari mataku.)

There was no one left to ask for guidance. No more figures, no more voices. Just me. Alone.
(Tak ada lagi yang bisa kutanya untuk petunjuk. Tak ada lagi figur, tak ada lagi suara. Hanya aku. Sendirian.)

“What am I supposed to do?” I whispered to myself, the question lingering in the air, unanswered.
(“Apa yang harus aku lakukan?” aku berbisik pada diriku sendiri, pertanyaan itu tergantung di udara, tanpa jawaban.)

As the mist began to shift, a faint outline appeared in the distance. It was faint at first, like a mirage, but then it solidified, taking shape. A figure. It wasn’t one of the ones I had seen before, but there was something familiar about it.
(Saat kabut mulai bergeser, sebuah garis samar muncul di kejauhan. Itu samar di awal, seperti fatamorgana, tapi kemudian ia mengkristal, membentuk wujud. Sebuah sosok. Itu bukan salah satu yang pernah kulihat sebelumnya, tapi ada sesuatu yang akrab tentangnya.)

I stepped forward, my heart pounding in my chest. With each step, the figure became clearer, its form more defined. I could feel my breath quicken, the anticipation making my palms sweat.
(Aku melangkah maju, jantungku berdegup kencang. Dengan setiap langkah, sosok itu semakin jelas, wujudnya semakin terbentuk. Aku bisa merasakan napasku semakin cepat, antisipasi membuat telapak tanganku berkeringat.)

When I was close enough, the figure spoke. Its voice was soft, yet it resonated deeply within me.
(Saat aku cukup dekat, sosok itu berbicara. Suaranya lembut, namun menggema dalam diriku.)

“You’ve come to the moment of your choice, Lia. The path of desire, or the path of truth.”
(“Kau telah datang ke saat pilihanmu, Lia. Jalan keinginan, atau jalan kebenaran.”)

I could feel the weight of those words, heavy like a boulder. This was it. The moment of truth.
(Aku bisa merasakan beratnya kata-kata itu, berat seperti batu besar. Ini dia. Saat kebenaran.)

“Which one will you choose?” the figure asked, its tone almost teasing, yet kind.
(“Yang mana yang akan kau pilih?” tanya sosok itu, nadanya hampir seperti menggoda, tapi tetap baik hati.)

I closed my eyes for a moment, allowing the silence to wash over me. I could feel the two paths pulling at me, both of them beckoning with promises of something I longed for. The path of desire called to the part of me that ached for something, anything, to fill the emptiness inside. But the path of truth… it was a challenge, an invitation to look deeper, to face parts of myself that I had long buried.
(Aku menutup mataku sejenak, membiarkan keheningan menyelimuti diriku. Aku bisa merasakan kedua jalan itu menarik diriku, keduanya memanggil dengan janji sesuatu yang kuinginkan. Jalan keinginan memanggil bagian dari diriku yang merindukan sesuatu, apapun itu, untuk mengisi kekosongan di dalam. Tapi jalan kebenaran… itu adalah tantangan, ajakan untuk melihat lebih dalam, untuk menghadapi bagian-bagian dari diriku yang sudah lama terkubur.)

I didn’t know if I was ready for the truth. But deep down, I knew that this was my moment. The moment to choose who I would be.
(Aku tidak tahu apakah aku siap untuk kebenaran. Tapi jauh di dalam, aku tahu ini adalah saatku. Saat untuk memilih siapa aku nantinya.)

With a deep breath, I opened my eyes and took a step forward, my heart beating louder with each movement. “I choose the truth.”
(Dengan napas dalam, aku membuka mataku dan melangkah maju, jantungku berdetak lebih keras dengan setiap langkah.)

The figure smiled, a knowing smile. “Then, the Dreaming Grove has answered you.”
(Sosok itu tersenyum, senyuman yang penuh pengertian. “Maka, Hutan Mimpi telah menjawabmu.”)

The mist parted before me, revealing a new path, a narrow one, leading through the trees. There was no light at the end, only the dark unknown. But somehow, I wasn’t afraid. I had chosen the truth, and whatever it held, I would face it.
(Kabut terbelah di hadapanku, mengungkapkan jalan baru, jalan sempit, yang mengarah ke pepohonan. Tak ada cahaya di ujungnya, hanya kegelapan yang tak diketahui. Tapi entah kenapa, aku tak merasa takut. Aku telah memilih kebenaran, dan apapun yang ada di dalamnya, aku akan menghadapinya.)

I took my first step down the new path, and with it, I felt the weight of the world lift off my shoulders. The journey ahead would be long, but I was no longer afraid.
(Aku melangkah pertama kali di jalan baru itu, dan bersama langkah itu, aku merasakan beban dunia terangkat dari pundakku. Perjalanan ke depan akan panjang, tapi aku tak lagi takut.)

As I walked into the unknown, the mist whispered around me, as if the Dreaming Grove was bidding me farewell. I was ready.
(Saat aku berjalan ke dalam ketidakpastian, kabut berbisik di sekelilingku, seolah-olah Hutan Mimpi mengucapkan selamat tinggal. Aku sudah siap.)

 

So, what would you choose? Desire or truth? The path is yours to decide. But remember, sometimes the greatest magic lies in the hardest decisions. Thanks for reading, and I hope this journey stayed with you long after the last page.
(Jadi, kamu bakal pilih apa? Keinginan atau kebenaran? Jalannya terserah kamu. Tapi ingat, kadang sih, sihir terbesar ada di keputusan yang paling sulit. Terima kasih sudah membaca, semoga perjalanan ini tetap ada dalam ingatanmu setelah halaman terakhir.)

Leave a Reply