The Book of Shadows: A Fantasy Adventure of Magic and Fate with Indonesian Translation

Posted on

Ever wondered what it’s like to hold a book that could change everything? Well, you’re about to find out. Dive into a world where magic is real, fate is at play, and the choices you make could shape everything around you. Grab your seat, it’s about to get wild!
(Pernah nggak sih kepikiran gimana rasanya memegang sebuah buku yang bisa mengubah segalanya? Nah, sekarang kamu bakal tahu. Masuklah ke dunia di mana sihir itu nyata, takdir berperan, dan pilihan yang kamu buat bisa menentukan segalanya di sekitarmu. Pegang kursimu, karena ini bakal seru banget!)

 

The Book of Shadows

(Buku Bayangan)

The Forbidden Library
(Perpustakaan Terlarang)

Lavinia stood at the edge of the forest, the moonlight barely touching her face, yet not enough to chase away the darkness that gripped the trees. The forest seemed alive, whispering in a language only understood by those who dared approach. I stood next to her, listening to the wind rustle through the tall branches. There was something stirring in my chest—something heavy.
(Lavinia berdiri di ujung hutan, cahaya bulan yang tipis menyinari wajahnya, namun tidak cukup untuk menghalau kegelapan yang mencengkeram pohon-pohon. Hutan itu tampak hidup, berbisik dalam bahasa yang hanya dipahami oleh mereka yang berani mendekat. Aku berdiri di sampingnya, mendengarkan angin yang berdesir di antara ranting-ranting pohon tinggi. Ada sesuatu yang menggelitik di dadaku—sesuatu yang berat.)

“Aren’t you afraid?” Lavinia asked, her voice trembling slightly despite her attempts to stay calm. She looked at me, her eyes reflecting a mixture of curiosity and unease.
(“Kamu nggak takut?” tanya Lavinia, suaranya sedikit bergetar meski dia berusaha tetap tenang. Dia menatapku, matanya mencerminkan campuran rasa ingin tahu dan ketidaknyamanan.)

I shook my head, trying to hide the unease I felt creeping up my own spine. “No need to be afraid. We just need to find out a little more. There’s no harm in looking.”
(Aku menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan rasa tidak nyaman yang mulai merayap di tulang punggungku. “Nggak usah takut. Kita cuma perlu cari tahu sedikit lebih banyak. Nggak ada salahnya melihat-lihat.”)

The breeze picked up, sending a shiver down my back. The forest seemed to be warning us, but Lavinia was determined. She stepped forward, her eyes locked on the large door in front of us.
(Angin bertiup lebih kencang, membuat bulu kudukku merinding. Hutan itu seolah memperingatkan kami, namun Lavinia tetap bersikeras. Dia melangkah maju, matanya terkunci pada pintu besar di depan kami.)

The door was old, its surface covered in moss and strange symbols carved into the wood, swirling like they were alive. I felt a chill in the air as we stood there, just inches away from it.
(Pintu itu sudah tua, permukaannya dipenuhi lumut dan simbol-simbol aneh yang terukir di kayu, berputar seolah-olah mereka hidup. Aku merasakan hawa dingin saat kami berdiri di sana, hanya beberapa inci dari pintu itu.)

Lavinia glanced at me one last time before reaching out for the handle. “This is it,” she whispered, her hand trembling slightly as she touched the cold metal.
(Lavinia melirik padaku untuk terakhir kali sebelum meraih pegangan pintu. “Ini dia,” bisiknya, tangannya sedikit gemetar saat menyentuh logam dingin itu.)

I reached out to steady her hand, giving her a reassuring smile. “We’ll be fine.”
(Aku meraih tangannya untuk menenangkannya, memberikan senyuman meyakinkan. “Kita akan baik-baik saja.”)

With a deep breath, she turned the handle, and the door creaked open slowly, revealing the darkness beyond.
(Dengan napas dalam, dia memutar pegangan pintu, dan pintu itu berderit perlahan, membuka, mengungkapkan kegelapan di baliknya.)

We stepped inside, the air thick with the scent of old books and dust. The room was vast, filled with towering shelves that stretched endlessly. The silence was overwhelming.
(Kami melangkah masuk, udara tebal dengan aroma buku tua dan debu. Ruangan itu luas, dipenuhi rak-rak tinggi yang menjulang tak terhingga. Keheningan itu sangat menakutkan.)

“This place feels… alive,” Lavinia said softly, her voice echoing in the vast space.
(“Tempat ini terasa… hidup,” kata Lavinia pelan, suaranya bergema di ruang yang luas.)

I nodded, but my eyes were already scanning the shelves, looking for something—anything—that would explain why this library was hidden from the world.
(Aku mengangguk, tapi mataku sudah memindai rak-rak buku, mencari sesuatu—apapun yang bisa menjelaskan mengapa perpustakaan ini disembunyikan dari dunia.)

We walked deeper into the room, the floor creaking under our feet. Every step seemed to take us further into a world unknown, yet strangely familiar.
(Kami berjalan lebih dalam ke dalam ruangan, lantai berderit di bawah kaki kami. Setiap langkah seolah membawa kami lebih jauh ke dunia yang tidak dikenal, namun anehnya terasa familiar.)

Then, at the far end of the room, we saw it—a book lying on a pedestal, glowing faintly in the dim light.
(Kemudian, di ujung ruangan, kami melihatnya—sebuah buku tergeletak di atas kaki meja, bersinar samar di cahaya remang.)

Lavinia’s breath caught in her throat. “Is that…?”
(Napasku tertahan di tenggorokannya. “Itu…?”)

I nodded. “Yes. Let’s go see it.”
(Aku mengangguk. “Ya. Ayo kita lihat.”)

 

Secrets Unveiled
(Misteri Terungkap)

As we approached the pedestal, the glow from the book grew stronger, casting an eerie light around the room. The air was heavier now, thick with a presence I couldn’t explain. Lavinia stepped forward, her eyes fixed on the book, as though it was calling to her.
(Saat kami mendekati kaki meja, cahaya dari buku itu semakin kuat, memancarkan cahaya yang menyeramkan ke sekeliling ruangan. Udara terasa lebih berat sekarang, tebal dengan kehadiran yang tidak bisa aku jelaskan. Lavinia melangkah maju, matanya terkunci pada buku itu, seolah-olah buku itu memanggilnya.)

“Do you feel that?” I whispered, my voice barely audible.
(“Kamu merasakannya?” bisikku, suaraku hampir tak terdengar.)

Lavinia didn’t answer immediately. She reached out and touched the edge of the book, her fingers trembling. The moment her skin made contact, the light from the book flared brightly, and the room seemed to pulse with energy.
(Lavinia tidak langsung menjawab. Dia meraih dan menyentuh pinggiran buku itu, jarinya gemetar. Begitu kulitnya bersentuhan, cahaya dari buku itu menyala terang, dan ruangan seolah berdenyut dengan energi.)

I took a step back, instinctively sensing danger. “Lavinia, stop—”
(Aku melangkah mundur, naluriku merasa bahaya. “Lavinia, berhenti—”)

But it was too late. With a sudden force, the book flew open by itself, its pages flipping rapidly as if it were alive. The air around us grew cold, and the walls of the library seemed to shift. I could hear whispers, faint but growing louder.
(Tapi sudah terlambat. Dengan kekuatan yang tiba-tiba, buku itu terbuka dengan sendirinya, halaman-halamannya berputar cepat seolah-olah buku itu hidup. Udara di sekitar kami menjadi dingin, dan dinding-dinding perpustakaan itu seolah bergeser. Aku bisa mendengar bisikan, samar-samar namun semakin keras.)

Lavinia stepped back, her face pale. “What is happening?” she gasped.
(Lavinia mundur, wajahnya pucat. “Apa yang terjadi?” dia terengah.)

“I don’t know… but I think we’ve triggered something,” I said, my voice strained. I could feel the weight of the room pressing down on us. It wasn’t just the book anymore; it was everything around us, as if the entire library had come alive.
(“Aku nggak tahu… tapi aku rasa kita telah memicu sesuatu,” kataku, suaraku terasa berat. Aku bisa merasakan beratnya ruangan itu menekan kami. Bukan hanya buku itu lagi; tapi semuanya di sekitar kami, seolah seluruh perpustakaan itu hidup.)

The whispers grew louder, and then, without warning, a figure materialized before us. It was a man, tall and draped in tattered robes, his face obscured by a hood. He stood silently, as if waiting for us to make the next move.
(Bisikan itu semakin keras, dan kemudian, tanpa peringatan, sosok seorang pria muncul di hadapan kami. Dia tinggi, mengenakan jubah compang-camping, wajahnya tertutup oleh tudung. Dia berdiri diam, seolah menunggu kami untuk melakukan langkah berikutnya.)

Lavinia gasped again, taking a step back, but I stood still, my eyes locked on the figure. I could feel the energy emanating from him, dark and ancient.
(Lavinia kembali terengah, melangkah mundur, tapi aku tetap berdiri diam, mataku terkunci pada sosok itu. Aku bisa merasakan energi yang memancar darinya, gelap dan kuno.)

“You are not supposed to be here,” the figure said, his voice low and gravelly, like the rumble of distant thunder.
(“Kalian tidak seharusnya berada di sini,” kata sosok itu, suaranya rendah dan serak, seperti gemuruh petir yang jauh.)

I swallowed hard, my heart racing. “Who are you?”
(Aku menelan ludah dengan keras, jantungku berdebar kencang. “Siapa kamu?”)

The figure did not move, but his voice seemed to echo in the room. “I am the guardian of the Forbidden Library. No one is meant to uncover its secrets.”
(Sosok itu tidak bergerak, tapi suaranya seolah bergema di ruangan itu. “Aku adalah penjaga Perpustakaan Terlarang. Tak ada seorang pun yang seharusnya mengungkapkan rahasianya.”)

I looked at Lavinia, her eyes wide with both fear and fascination. “We didn’t mean to—”
(Aku menatap Lavinia, matanya lebar karena ketakutan dan rasa ingin tahu. “Kami nggak bermaksud—”)

“Enough,” the figure interrupted, raising a hand to silence us. “You have awakened the knowledge of the old world. Now, you must decide if you are worthy to understand it.”
(“Cukup,” sosok itu memotong, mengangkat tangan untuk membungkam kami. “Kalian telah membangkitkan pengetahuan dari dunia lama. Sekarang, kalian harus memutuskan apakah kalian layak untuk memahaminya.”)

I felt a chill run down my spine, but I didn’t look away. “What do you mean? What knowledge?”
(Aku merasakan hawa dingin menyusup di tulang punggungku, namun aku tidak mengalihkan pandangan. “Maksudmu apa? Pengetahuan apa?”)

The guardian took a step closer, his eyes glowing faintly beneath his hood. “The knowledge of the ancients, the truth about this world and the forces that govern it. You have disturbed the balance by opening the book. Now, you must choose your path.”
(Penjaga itu melangkah lebih dekat, matanya menyala samar di bawah tudungnya. “Pengetahuan dari para leluhur, kebenaran tentang dunia ini dan kekuatan yang mengaturnya. Kalian telah mengganggu keseimbangan dengan membuka buku itu. Sekarang, kalian harus memilih jalan kalian.”)

Lavinia and I exchanged a glance, both of us unsure of what to do next.
(Lavinia dan aku saling bertukar pandang, kami berdua tak yakin harus berbuat apa selanjutnya.)

“Choose wisely,” the figure warned before vanishing into the air, leaving behind only a faint trace of his presence.
(“Pilihlah dengan bijak,” sosok itu memperingatkan sebelum menghilang ke udara, meninggalkan jejak samar kehadirannya.)

The room fell silent again, the book still glowing on the pedestal.
(Ruangan itu kembali hening, buku itu masih bersinar di atas kaki meja.)

Lavinia and I stood there for a long time, unsure of what we had just experienced. But one thing was certain—the path we had chosen was not one we could walk back from.
(Lavinia dan aku berdiri di sana cukup lama, tak yakin apa yang baru saja kami alami. Tapi satu hal yang pasti—jalan yang telah kami pilih bukanlah jalan yang bisa kami mundurkan.)

 

The Path of the Chosen
(Jalan Sang Terpilih)

The library was eerily quiet after the guardian disappeared, the soft glow of the book the only source of light in the room. I could feel the weight of what had just happened sinking in. We weren’t just in a library anymore; we were in a place of power, a place that held secrets we weren’t supposed to uncover.
(Perpustakaan itu sunyi sekali setelah penjaga itu menghilang, hanya cahaya lembut dari buku yang menjadi satu-satunya sumber cahaya di ruangan. Aku bisa merasakan beratnya apa yang baru saja terjadi mulai menghimpit. Kami bukan hanya berada di perpustakaan lagi; kami berada di tempat yang penuh kekuatan, tempat yang menyimpan rahasia yang tidak seharusnya kami ungkapkan.)

I glanced at Lavinia, who was still staring at the book, her eyes filled with wonder and fear. She seemed lost in thought, her fingers still twitching as though they longed to touch the pages again.
(Aku melirik Lavinia, yang masih menatap buku itu, matanya penuh keajaiban dan ketakutan. Dia tampak tenggelam dalam pikirannya, jarinya masih bergerak-gerak seolah ingin menyentuh halaman-halaman itu lagi.)

“You okay?” I asked, my voice quieter than usual.
(“Kamu baik-baik saja?” tanyaku, suaraku lebih pelan dari biasanya.)

Lavinia blinked, shaking her head as if to clear the thoughts swirling in her mind. “I don’t know… this place… it’s like it’s alive. I can feel it in my bones.”
(Lavinia berkedip, menggelengkan kepalanya seolah ingin menghilangkan pikiran yang berputar di benaknya. “Aku nggak tahu… tempat ini… rasanya seperti hidup. Aku bisa merasakannya di tulang-tulangku.”)

I nodded slowly, understanding what she meant. It wasn’t just the book—it was everything. The air, the walls, the very ground beneath our feet. It was as if the library itself was alive, aware of our presence.
(Aku mengangguk perlahan, mengerti maksudnya. Bukan hanya bukunya—tapi semuanya. Udara, dinding-dinding, bahkan tanah di bawah kaki kami. Seolah-olah perpustakaan itu sendiri hidup, menyadari kehadiran kami.)

We stood there for a moment, trying to process everything, when a faint sound reached our ears. A distant thrum, like the beating of a heart, echoing through the library.
(Kami berdiri di sana sejenak, berusaha memproses semuanya, ketika suara samar terdengar di telinga kami. Denyut yang jauh, seperti detak jantung, bergema melalui perpustakaan.)

“What is that?” Lavinia whispered, her voice trembling.
(“Apa itu?” bisik Lavinia, suaranya bergetar.)

“I don’t know, but we need to find out,” I replied, my tone firm despite the unease crawling up my spine.
(“Aku nggak tahu, tapi kita harus cari tahu,” jawabku, nada suaraku tegas meski rasa tidak nyaman merayap di tulang punggungku.)

We exchanged a look, both of us silently agreeing that there was no turning back now. We had crossed a line, and we were about to walk deeper into something we didn’t fully understand.
(Kami saling bertukar pandang, kami berdua diam-diam sepakat bahwa tidak ada jalan mundur sekarang. Kami telah melewati batas, dan kami akan melangkah lebih dalam ke dalam sesuatu yang tidak sepenuhnya kami pahami.)

Following the sound, we moved through the aisles of the ancient library, the shelves towering over us like silent giants. The farther we went, the more oppressive the air became, thick with energy that seemed to press in from all sides.
(Mengikuti suara itu, kami berjalan melalui lorong-lorong perpustakaan kuno, rak-rak buku menjulang tinggi di atas kami seperti raksasa yang diam. Semakin jauh kami berjalan, semakin berat udara itu, tebal dengan energi yang seolah menekan dari segala arah.)

The thrum led us to a hidden door at the back of the library, one we hadn’t noticed before. It was small, almost insignificant, tucked away behind a stack of old tomes.
(Denyut itu membawa kami ke sebuah pintu tersembunyi di bagian belakang perpustakaan, yang sebelumnya tidak kami perhatikan. Pintu itu kecil, hampir tidak terlihat, tersembunyi di balik tumpukan buku-buku tua.)

Lavinia stopped in front of it, her hand hovering over the handle. “Do we really want to go in there?”
(Lavinia berhenti di depan pintu itu, tangannya melayang di atas gagangnya. “Apakah kita benar-benar ingin masuk ke sana?”)

I didn’t hesitate. “We don’t have a choice. We’ve already come this far.”
(Aku tidak ragu. “Kita nggak punya pilihan. Kita sudah sejauh ini.”)

With a deep breath, Lavinia turned the handle, and the door creaked open. Beyond it was a narrow staircase leading down into darkness.
(Dengan menarik napas dalam, Lavinia memutar gagang pintu, dan pintu itu berderit terbuka. Di baliknya, terdapat tangga sempit yang menuju ke kegelapan.)

I took the first step, the sound of my boots echoing in the silence. Lavinia followed close behind, her presence a steady comfort as we descended deeper into the unknown.
(Aku melangkah pertama, suara sepatu botku bergema di keheningan. Lavinia mengikuti di belakang, kehadirannya memberi kenyamanan yang stabil saat kami turun semakin dalam ke dalam yang tak diketahui.)

At the bottom of the stairs, we found ourselves in a chamber unlike anything we had seen before. The walls were lined with strange symbols, glowing faintly in the dark. In the center of the room was a pedestal, and atop it, another book—this one different from the others, its pages bound in a material that seemed to shimmer with an ethereal glow.
(Di dasar tangga, kami menemukan diri kami di dalam sebuah ruangan yang berbeda dari apapun yang pernah kami lihat. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan simbol-simbol aneh, yang menyala samar dalam kegelapan. Di tengah ruangan terdapat sebuah kaki meja, dan di atasnya, sebuah buku lain—buku yang berbeda dari yang lainnya, halamannya terikat dengan bahan yang tampak bersinar dengan cahaya ethereal.)

Lavinia gasped, her eyes wide. “This is it. The source of all the power.”
(Lavinia terengah, matanya melebar. “Ini dia. Sumber dari semua kekuatan.”)

I could feel it too—the weight of the power in the room, the palpable force that seemed to pulse in the air. We had found the heart of the library, the source of its ancient magic.
(Aku merasakannya juga—beratnya kekuatan di ruangan itu, kekuatan yang bisa dirasakan di udara. Kami telah menemukan jantung dari perpustakaan ini, sumber dari sihir kunonya.)

But as we approached the pedestal, I heard a voice, soft and haunting, whisper in my ear.
(Tapi saat kami mendekati kaki meja, aku mendengar suara, lembut dan menghantui, berbisik di telingaku.)

“Are you sure you want to know what lies within?”
(“Apakah kamu yakin ingin tahu apa yang ada di dalamnya?”)

 

The Final Choice
(Pilihan Terakhir)

The voice, soft and insistent, seemed to echo in the chamber. “You’ve come this far, but you don’t understand the consequences. Are you prepared for what lies ahead?”
(Suara itu, lembut dan mendesak, seolah bergema di dalam ruangan. “Kalian sudah sejauh ini, tapi kalian tidak mengerti akibatnya. Apakah kalian siap dengan apa yang ada di depan?”)

I stood frozen for a moment, the weight of the words sinking in. The magic in the air, the power that pulsed through the room, it was all a test. A test we had to face, whether we were ready or not.
(Aku berdiri terdiam sejenak, beratnya kata-kata itu mulai merasuk. Sihir di udara, kekuatan yang berdenyut melalui ruangan itu, semuanya adalah ujian. Ujian yang harus kami hadapi, apakah kami siap atau tidak.)

Lavinia turned to me, her eyes wide, filled with uncertainty. “What do we do now?” she whispered, her voice barely a breath.
(Lavinia menoleh padaku, matanya melebar, penuh dengan keraguan. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.)

I took a deep breath, my gaze shifting from the pedestal to the book that lay upon it. The material shimmered, almost as if it were alive, calling to us. It was undeniable—the power within it could change everything.
(Aku menarik napas dalam-dalam, pandanganku beralih dari kaki meja ke buku yang terletak di atasnya. Bahan buku itu berkilau, hampir seolah-olah hidup, memanggil kami. Tidak bisa disangkal—kekuatan di dalamnya bisa mengubah segalanya.)

“We take the book,” I said, my voice firm, despite the uncertainty I felt inside. “We’re already in too deep to back out now.”
(“Kita ambil bukunya,” kataku, nada suaraku tegas, meskipun ketidakpastian menggelayuti hatiku. “Kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.”)

Lavinia hesitated, her fingers brushing the edge of the book as though testing its weight, its pull. “But… if we take it, what happens then? Can we control it?”
(Lavinia ragu, jarinya menyentuh tepi buku itu seolah-olah menguji beratnya, tarikan kekuatannya. “Tapi… kalau kita ambil, apa yang akan terjadi setelahnya? Bisakah kita mengendalikannya?”)

I didn’t answer right away. The truth was, I didn’t know. I couldn’t see the future, couldn’t predict the consequences of our actions. But there was no turning back now.
(Aku tidak langsung menjawab. Sejujurnya, aku tidak tahu. Aku tidak bisa melihat masa depan, tidak bisa memprediksi akibat dari tindakan kami. Tapi sekarang sudah tidak ada jalan mundur.)

I stepped forward, reaching for the book, my hand trembling as I lifted it from the pedestal. The moment my fingers brushed its cover, the room seemed to shudder, as if the library itself was holding its breath.
(Aku melangkah maju, meraih buku itu, tanganku bergetar saat aku mengangkatnya dari kaki meja. Begitu jariku menyentuh sampulnya, ruangan itu seolah bergoncang, seolah perpustakaan itu sendiri menahan napas.)

As the book settled in my hands, a sudden rush of energy surged through me, overwhelming, almost suffocating. The power inside the book was alive, and now it was a part of me.
(Begitu buku itu berada di tanganku, energi yang mendalam langsung mengalir melalui diriku, luar biasa, hampir membuat sesak. Kekuatan di dalam buku itu hidup, dan sekarang ia menjadi bagian dari diriku.)

Lavinia gasped, her face pale as she watched me. “Are you okay?” she asked, her voice strained.
(Lavinia terengah, wajahnya pucat saat dia melihatku. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya tegang.)

I nodded, though the power inside me was almost too much to bear. I could feel it—the knowledge, the magic, the weight of everything it could do. It was all there, in the pages of the book.
(Aku mengangguk, meskipun kekuatan di dalam diriku hampir tidak tertahankan. Aku bisa merasakannya—pengetahuan, sihir, beratnya semua yang bisa dilakukan. Semua itu ada di sana, di halaman-halaman buku.)

But then, a voice echoed in my mind, louder than before. “You have chosen,” it said. “But there is a price. One that you may not be ready to pay.”
(Namun kemudian, suara itu bergema di pikiranku, lebih keras dari sebelumnya. “Kalian telah memilih,” katanya. “Tapi ada harga yang harus dibayar. Harga yang mungkin tidak kalian siap untuk bayar.”)

I could feel the weight of the choice, the cost of what we had just done. But it was too late. We had made our decision.
(Aku bisa merasakan beratnya pilihan itu, harga dari apa yang baru saja kami lakukan. Tapi sudah terlambat. Kami sudah membuat keputusan kami.)

Lavinia stepped closer, her hand brushing against mine, grounding me. “We have to be ready for whatever comes next,” she said softly. “Together.”
(Lavinia melangkah lebih dekat, tangannya menyentuh tanganku, menenangkan aku. “Kita harus siap untuk apapun yang akan datang setelah ini,” katanya pelan. “Bersama-sama.”)

I looked at her, her resolve mirroring my own. Together, we had crossed a line. And together, we would face whatever came next.
(Aku menatapnya, keteguhannya mencerminkan milikku. Bersama-sama, kami telah melewati batas. Dan bersama-sama, kami akan menghadapi apapun yang datang setelah ini.)

With the book in my hands and the path ahead uncertain, I stepped forward into the darkness.
(Dengan buku di tanganku dan jalan di depan yang tak pasti, aku melangkah maju ke dalam kegelapan.)

 

And just like that, the journey continues. The book is open, but the pages are yet to be written. What happens next? Well, you’ll have to keep reading to find out. But trust me, this adventure is far from over.
(Dan seperti itu, perjalanan ini berlanjut. Bukunya sudah terbuka, tapi halaman-halamannya masih harus ditulis. Apa yang terjadi selanjutnya? Nah, kamu harus terus membaca untuk mengetahuinya. Tapi percayalah, petualangan ini jauh dari kata selesai.)

Leave a Reply