Terombang-Ambing Budaya: Dampak Barat yang Mengubah Jiwa Indonesia

Posted on

Pernahkah Anda merasa budaya lokal terancam oleh pengaruh Barat? Cerpen Terombang-Ambing Budaya: Dampak Barat yang Mengubah Jiwa Indonesia membawa Anda ke perjalanan emosional Cahyandaru Wicaksana, seorang pemuda desa yang berjuang menjaga warisan Jawa di tengah gelombang modernitas. Dari tarian tradisional hingga harmoni dengan musik Barat, kisah ini penuh dengan perenungan mendalam dan harapan yang menyentuh hati. Siapkah Anda menyelami konflik budaya yang relevan hingga hari ini?

Terombang-Ambing Budaya

Panggilan dari Seberang

Pagi itu, di sebuah rumah kayu sederhana di pinggir desa Tegalrejo, Jawa Tengah, Cahyandaru Wicaksana duduk di beranda dengan secangkir teh pahit yang masih mengepul. Udara segar desa bercampur aroma tanah basah setelah hujan semalam menyelinap melalui celah-celah jendela bambu, membawa kenangan masa kecilnya yang sederhana. Cahyandaru, yang akrab dipanggil Candra oleh keluarganya, adalah seorang pemuda berusia 27 tahun dengan rambut hitam agak ikal yang selalu diikat rendah, mata cokelat yang penuh cerita, dan tangan kasar dari membantu ayahnya di ladang. Namun, di balik kesederhanaan itu, ada pergolakan batin yang tak pernah ia ungkapkan—konflik antara akar budayanya dan pengaruh asing yang perlahan merasuk ke dalam jiwanya.

Candra duduk dengan sebuah buku di tangan, bukan buku pelajaran atau novel lokal yang biasa ia baca, melainkan sebuah novel terjemahan berjudul The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger yang ia beli dari pedagang keliling di pasar minggu Tegalrejo. Buku itu ia temukan di antara tumpukan majalah bekas dan komik lokal, sampulnya lusuh tapi menarik perhatiannya dengan judul yang asing. Sejak membacanya seminggu lalu, ia terpesona oleh gaya bahasa yang bebas dan cerita tentang pemberontakan seorang pemuda bernama Holden Caulfield. Tapi di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang hilang—sebuah koneksi dengan nilai-nilai yang ia pelajari dari ibunya, Nyai Suminah, yang selalu mengajarkannya tentang gotong royong, sopan santun, dan tradisi Jawa.

Di kejauhan, suara adzan Subuh masih bergema samar dari masjid desa, bercampur dengan kokok ayam dan gemericik air sungai kecil yang mengalir di belakang rumah. Candra menatap cangkir tehnya, tangannya bergetar sedikit saat ia membayangkan reaksi ayahnya, Pak Wiryo, jika tahu ia lebih tertarik pada buku Barat daripada membaca serat Jawa yang dulu selalu dibacakan untuknya. Ayahnya, seorang petani teguh yang bangga dengan warisan leluhur, sering berkata, “Jangan lupa daratanmu, Candra. Budaya kita adalah kekayaan yang tak ternilai.” Tapi dunia modern—televisi, internet, dan teman-temannya yang sering berdiskusi tentang film Hollywood—perlahan menarik Candra ke arah lain.

Kini, di usianya yang menginjak 27 tahun, Candra bekerja sebagai asisten guru di sekolah dasar desa, sebuah pekerjaan yang ia ambil untuk membantu keluarga setelah ibunya sakit parah dua tahun lalu. Ibunya, yang dulu selalu menari di upacara slametan desa, kini hanya bisa duduk di kursi rotan, tubuhnya lemah akibat penyakit yang tak kunjung sembuh. Setiap kali Candra pulang dari sekolah, ia selalu menemukan ibunya menatap foto keluarga tua di dinding, matanya berkaca-kaca, seolah mengenang masa keemasan budaya yang perlahan memudar.

Pagi itu, Candra memutuskan untuk membaca The Catcher in the Rye lagi, meski hatinya berdebat. Ia duduk di beranda, membuka halaman yang ia tandai dengan daun kering, dan tenggelam dalam dunia Holden yang penuh kemarahan dan kebingungan. Tapi setiap beberapa baris, ia menoleh ke arah dapur, di mana ibunya sedang mengaduk nasi di kompor kayu dengan gerakan lambat. Suara sendok kayu yang beradu dengan wajan tua membawa Candra kembali ke kenyataan—ke dunia di mana tradisi masih hidup, meski terancam.

Saat matahari mulai naik, Candra mendengar suara motor tua yang mendekat. Ia menoleh dan melihat adiknya, Kirana Putri, yang baru pulang dari kota Semarang, tempat ia kuliah. Kirana, berusia 22 tahun, adalah kebalikan dari Candra—rambutnya dicat cokelat muda, ia mengenakan jaket jeans dan sepatu kets yang ia beli online, dan selalu membawa earphone yang memutar lagu-lagu pop Barat. Ia turun dari motor pinjaman temannya, melempar tas ransel ke beranda, dan menyapa Candra dengan nada santai. “Bang, aku bawa DVD film Titanic sama popcorn dari kota. Nonton bareng malam ini, yuk!” katanya, matanya berbinar.

Candra menggeleng pelan, menutup bukunya. “Kir, Ibu lagi lelet geraknya. Kita bantu dulu, baru mikir nonton,” jawabnya, suaranya penuh nada menasehati. Tapi Kirana hanya mengangkat bahu, memasang earphone lagi, dan berjalan ke dalam rumah tanpa menjawab. Candra menatap punggung adiknya, merasa ada jurang yang semakin lebar di antara mereka. Kirana, yang tumbuh dengan akses internet dan pengaruh budaya Barat dari media sosial, tampaknya sudah melupakan tarian tradisional yang dulu mereka pelajari bersama ibu mereka.

Malam itu, setelah membantu ibunya memasak sayur bayam dan ikan asin, Candra duduk di ruang tamu bersama Kirana dan Nyai Suminah. Televisi tua yang hanya bisa menangkap dua saluran lokal dipasang DVD player tua peninggalan tetangga, dan Titanic mulai diputar. Candra awalnya menolak, tapi melihat senyum lelet ibunya yang ingin ikut menonton, ia menyerah. Di layar, adegan kapal mewah dan musik dramatis mengisi ruangan, dan Kirana bersorak kecil saat Leonardo DiCaprio muncul. Candra mencoba menikmati, tapi hatinya terasa berat. Ia membayangkan jika ibunya tahu bahwa film ini, dengan gaya hidup Baratnya yang glamor, perlahan menggantikan cerita-cerita wayang yang dulu sering diceritakan.

Saat adegan romansa Jack dan Rose muncul, Nyai Suminah tiba-tiba menghela napas panjang. “Dulu, aku sama Bapakmu saling tunggu di tepi sawah, bukan di kapal besar gitu,” katanya pelan, matanya menerawang. Candra menoleh, melihat air mata ibunya yang tak tertahankan. Ia memeluk ibunya erat, merasa bersalah karena membiarkan budaya Barat masuk begitu mudah ke dalam rumah mereka. Kirana, yang awalnya asyik menonton, melepas earphone dan menatap ibunya dengan ekspresi bingung. “Ibu, kenapa nangis? Filmnya kan cuma hiburan,” katanya polos.

“Itu bukan cuma film, Ran. Itu cara hidup orang sana. Aku takut kalian lupa jati diri kita,” jawab Nyai Suminah, suaranya serak. Candra diam, merasakan beban yang sama di dadanya. Ia tahu ibunya tak hanya menangisi film, tapi juga perubahan yang ia lihat di desanya—anak-anak lebih tertarik pada game online daripada permainan tradisional, dan upacara adat mulai ditinggalkan demi festival modern yang didatangkan dari luar.

Setelah film selesai, Candra membantu ibunya ke kamar, sementara Kirana membersihkan popcorn yang berserakan. Di kamar ibunya, Nyai Suminah memegang tangan Candra, matanya penuh harap. “Candra, jaga budaya kita, ya. Aku tahu dunia berubah, tapi jangan sampai kita hilang,” bisiknya sebelum tertidur. Candra mengangguk, meski hatinya bimbang. Ia kembali ke beranda, menatap bintang-bintang di langit Tegalrejo, dan membuka The Catcher in the Rye lagi. Tapi kali ini, ia tak lagi merasa sepenuhnya terhubung dengan Holden. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri: apakah pengaruh Barat ini akan memperkaya jiwanya, atau justru mencabut akar yang selama ini menahannya?

Hujan kembali turun, mengetuk atap genteng dengan lembut, seolah menyanyikan lagu duka untuk budaya yang terancam. Candra menutup bukunya, memutuskan untuk menulis di buku catatan tuanya—tentang perasaan bercampur aduknya, tentang ibunya yang rapuh, dan tentang desa yang perlahan berubah. Ia tahu perjalanan ini akan penuh konflik, tapi ia juga merasa ada tanggung jawab untuk menjaga warisan yang ditinggalkan leluhurnya. Di tengah malam yang hening, Candra berjanji pada dirinya sendiri: ia akan mencari keseimbangan antara budaya Barat yang memikat dan jiwa Indonesia yang ia cintai, meski itu berarti ia harus menghadapi luka di hatinya sendiri.

Pertemuan di Ambang Perubahan

Pagi itu, pukul 10:15 WIB, Kamis, 12 Juni 2025, Cahyandaru Wicaksana berdiri di beranda rumahnya di Tegalrejo, menatap hamparan sawah yang masih basah oleh embun pagi. Hujan semalam meninggalkan jejak di tanah merah, menciptakan genangan kecil yang memantulkan langit biru yang mulai terbuka. Di tangannya, ia memegang buku catatan tua berwarna cokelat yang penuh coretan tinta, tempat ia menulis perenungannya tentang budaya dan pengaruh Barat yang kini mengisi pikirannya. Suara ayam berkokok dan dentingan bel sepeda tetangga yang lelet mengayuh menembus keheningan desa, tapi hati Candra terasa bergejolak, seperti ombak yang tak kunjung reda.

Malam sebelumnya, setelah percakapan emosional dengan Nyai Suminah, ibunya, Candra tak bisa tidur. Kata-kata ibunya tentang menjaga jati diri terus berputar di kepalanya, bercampur dengan gambar-gambar dari Titanic yang ia tonton bersama Kirana Putri, adiknya. Ia merasa ada jurang yang semakin dalam antara dirinya dan Kirana, yang tampaknya lebih nyaman dengan gaya hidup Barat yang ia bawa dari Semarang. Candra menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya terus melayang ke masa kecilnya—saat ia dan Kirana belajar menari joged bersama ibu mereka di halaman rumah, dengan irama gamelan yang menggema di udara.

Pukul 11:00 WIB, Candra memutuskan untuk pergi ke sekolah dasar tempat ia bekerja. Ia mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut dan celana kain cokelat, lalu mengambil sepeda tua milik ayahnya, Pak Wiryo, yang sudah berkarat di beberapa bagian. Perjalanan ke sekolah melewati jalan tanah yang berdebu, dikelilingi oleh sawah hijau dan pohon kelapa yang menjulang. Di sepanjang jalan, ia melihat anak-anak desa bermain dengan ponsel mereka, tertawa melihat video TikTok, bukan seperti dulu yang bermain congklak atau layang-layang. Pemandangan itu membuat Candra merasa sedih, seolah budaya lokalnya perlahan digantikan oleh tren asing.

Di sekolah, Candra mengajar kelas empat, sebuah kelompok anak-anak berusia sepuluh tahun yang penuh energi. Hari itu, ia merencanakan pelajaran tentang cerita rakyat lokal, khususnya legenda “Jaka Tarub dan Nawangwulan”. Ia berdiri di depan kelas dengan papan tulis tua yang penuh coretan kapur, memulai cerita dengan semangat, tapi respon anak-anak membuatnya terkejut. “Pak, ceritanya lama banget. Bisa cerita tentang Spider-Man nggak?” tanya seorang anak bernama Budi, sambil memainkan ponselnya di bawah meja. Teman-temannya mengangguk setuju, dan Candra terdiam, merasa seperti ditampar.

Ia mencoba menjelaskan pentingnya cerita lokal, bagaimana legenda itu mengajarkan nilai kesederhanaan dan cinta alam. Tapi anak-anak tampak bosan, mata mereka kosong, dan beberapa bahkan berbisik tentang film superhero yang mereka tonton di televisi. Candra mengakhiri pelajaran lebih cepat, duduk di meja guru dengan hati berat. Ia menatap buku pelajaran yang ia siapkan dengan susah payah, dan tiba-tiba merasa seperti gagal menjaga warisan budaya yang ia cintai. Di sudut kelas, ia melihat poster film Avengers yang digambar anak-anak di papan buletin, dan perasaan sedihnya semakin dalam.

Pukul 13:30 WIB, saat jam istirahat, Candra duduk di bawah pohon beringin di halaman sekolah, mengeluarkan buku catatannya. Ia menulis tentang apa yang ia rasakan: “Anak-anak lebih mengenal Iron Man daripada Jaka Tarub. Apakah ini artinya budaya kita kalah? Atau aku yang terlalu kaku?” Tulisan itu penuh coretan, mencerminkan kekacauan dalam pikirannya. Ia menutup buku itu saat mendengar langkah kaki, dan melihat kepala sekolah, Pak Dwi, mendekat dengan senyum ramah. “Candra, aku dengar anak-anak tadi kurang antusias. Mungkin kita perlu masukkan pelajaran tentang film Barat biar mereka tertarik,” saran Pak Dwi, suaranya penuh pertimbangan.

Candra mengangguk pelan, tapi hatinya menolak. Ia ingin membantah, ingin berkata bahwa budaya lokal harus dipertahankan, tapi ia tahu dunia berubah, dan ia tak bisa memaksa anak-anak untuk mencintai apa yang ia cintai. Ia kembali ke kelas, mencoba mengintegrasikan cerita Jaka Tarub dengan elemen modern, tapi hasilnya terasa dipaksakan. Anak-anak tertawa kecil, dan meski itu tanda mereka mulai tertarik, Candra merasa seperti mengkhianati nilai-nilai yang ia pelajari dari ibunya.

Malam tiba, dan Candra pulang ke rumah dengan hati berat. Ia menemukan Kirana di ruang tamu, menonton video dance challenge di laptopnya, mengikuti gerakan yang ia lihat dari YouTube. Nyai Suminah duduk di kursi rotan, menatap adiknya dengan ekspresi campur aduk—sedih, tapi juga pasrah. Candra mendekat, duduk di samping ibunya, dan memegang tangannya yang dingin. “Ibu, aku bingung. Aku mau jaga budaya kita, tapi dunia udah berubah,” katanya pelan, suaranya penuh keraguan.

Nyai Suminah mengangguk, matanya menerawang. “Candra, budaya kita kuat karena bisa beradaptasi. Tapi jangan sampai kita lupa akarnya. Coba ajak Kirana belajar tari lagi, atau ceritain legenda sambil nonton filmnya. Gabungkan, Nak,” jawab ibunya, suaranya lemah tapi penuh hikmah. Candra menatap ibunya, merasa ada cahaya baru dalam saran itu. Ia berjalan ke Kirana, mematikan laptopnya dengan lembut. “Ran, besok kita latihan joged bareng, ya. Aku ceritain legenda Jaka Tarub sambil kita nonton Titanic lagi. Gimana?” ajaknya, suaranya penuh harap.

Kirana mengerutkan kening, tapi akhirnya mengangguk pelan. “Oke, Bang, asal aku boleh pilih lagu Barat buat latar tariannya,” balasnya dengan senyum kecil. Candra tertawa, merasa ada jembatan yang mulai terbentuk. Malam itu, ia menulis di buku catatannya lagi: “Mungkin budaya Barat bukan musuh, tapi tantangan. Aku harus menemukan cara menyatukannya dengan jiwaku.”

Keesokan harinya, Candra memulai rencananya. Ia mengajak Kirana ke halaman rumah, membawa kain tradisional yang ia temukan di peti ibunya, dan memutar lagu pop Barat yang dipilih Kirana—“Shape of You” oleh Ed Sheeran. Mereka mencoba menggabungkan gerakan joged dengan irama modern, tertawa saat langkah mereka kacau, tapi juga merasa ada kehangatan baru. Nyai Suminah menonton dari beranda, tersenyum lelet, meski matanya berkaca-kaca. Candra merasa ada harapan—bahwa budaya Indonesia bisa bertahan, bahkan di tengah badai pengaruh Barat, jika ia mau beradaptasi.

Tapi di lubuk hatinya, Candra tahu perjuangan ini belum selesai. Ia menatap langit senja yang mulai memerah, mendengar suara gamelan dari upacara tetangga yang bercampur dengan dentingan musik dari ponsel Kirana. Ia merasa seperti berdiri di ambang perubahan, di mana ia harus memilih—melayani tradisi atau menerima modernitas. Di tangannya, buku catatan itu menjadi saksi bisu perenungannya, menanti kata-kata berikutnya yang akan menentukan arah jiwanya.

Tarian di Tengah Badai

Pagi itu, pukul 10:06 WIB, Kamis, 12 Juni 2025, Cahyandaru Wicaksana terbangun dengan suara ayam berkokok yang bercampur dengan derit pintu kayu yang digerakkan angin pagi di Tegalrejo. Cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah jendela bambu, menerangi ruangan sederhana yang dipenuhi aroma kayu jati dan bunga melati dari pekarangan. Candra duduk di ranjangnya, masih mengenakan kaus tua peninggalan ayahnya, Pak Wiryo, dan memandang buku catatan cokelat yang tergeletak di samping bantal. Catatan terakhirnya tentang percobaan menggabungkan tarian joged dengan lagu Barat bersama Kirana Putri masih terbuka, penuh coretan tinta yang mencerminkan harap dan keraguan dalam hatinya.

Malam sebelumnya, setelah latihan tarian yang penuh tawa bersama Kirana, Candra merasa ada benih harapan baru. Nyai Suminah, ibunya, tampak tersenyum lelet dari beranda, meski tubuhnya semakin lemah akibat penyakit yang tak kunjung sembuh. Saran ibunya untuk menggabungkan budaya lokal dengan pengaruh Barat terus berputar di pikiran Candra, seperti mantra yang memberinya kekuatan. Tapi di sisi lain, ia tahu perubahan ini tak akan mudah—desanya sedang menghadapi gelombang modernitas yang semakin kuat, dan ia merasa seperti penjaga terakhir dari warisan leluhur.

Candra bangkit, menyapu wajahnya dengan air dari ember tua di dapur, dan memutuskan untuk memulai hari dengan mengunjungi ibunya. Nyai Suminah duduk di kursi rotan, tangannya gemetar saat mengaduk bubur kacang hijau yang selalu ia buat untuk keluarga. Candra mendekat, mengambil sendok dari tangan ibunya dengan lembut. “Ibu istirahat aja, biar aku yang aduk,” katanya, suaranya penuh kasih sayang. Nyai Suminah mengangguk, matanya menerawang ke arah foto keluarga di dinding—foto di mana ia masih berdiri tegak, mengenakan kain tradisional, bersama suaminya dan anak-anaknya yang masih kecil.

“Teruskan tariannya, Candra. Aku mau lihat desa ini hidup lagi dengan budaya kita,” bisik Nyai Suminah, suaranya lemah tapi penuh harap. Candra mengangguk, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat di pundaknya. Setelah ibunya tertidur, ia mengambil buku catatan dan menulis rencana: mengadakan pentas budaya di desa, menggabungkan tarian joged dengan elemen modern seperti musik Barat, untuk menarik perhatian anak-anak dan pemuda.

Pukul 11:30 WIB, Candra bersepeda ke sekolah dasar tempat ia mengajar, membawa ide itu dalam pikirannya. Di kelas, ia mencoba pendekatan baru—menceritakan legenda Jaka Tarub sambil memutar lagu akustik Barat yang lembut sebagai latar. Anak-anak, termasuk Budi yang kemarin meminta Spider-Man, tampak lebih tertarik. Mereka bahkan ikut bernyanyi, meski liriknya tak mereka pahami sepenuhnya. Candra tersenyum, merasa ada kemajuan, tapi ia tahu ini baru langkah kecil. Setelah pelajaran, ia mengumpulkan beberapa anak untuk membantu merencanakan pentas, menjanjikan mereka bisa memilih lagu favorit mereka sebagai bagian dari pertunjukan.

Sore itu, Candra pulang dan menemukan Kirana di halaman rumah, berlatih gerakan tarian dengan irama Shape of You yang ia putar dari ponselnya. Candra bergabung, membawa kain tradisional dan menunjukkan langkah joged yang ia pelajari dari ibunya. Mereka tertawa saat langkah mereka tak sinkron, tapi perlahan menemukan ritme baru—gabungan antara gerakan anggun Jawa dan gaya bebas Barat. Nyai Suminah menonton dari beranda, tangannya memegang rosario kayu, dan air matanya jatuh perlahan. “Indah… ini yang aku mau lihat,” gumamnya pada dirinya sendiri.

Keesokan harinya, Candra mulai menyebarkan kabar tentang pentas budaya ke warga desa. Ia mengunjungi tetangga-tetangga, seperti Pak Slamet yang masih memainkan gamelan, dan Bu Sari yang ahli menjahit kostum tradisional. Tapi responsnya bercampur aduk. Pak Slamet setuju membantu, tapi khawatir musik Barat akan mengaburkan suara gamelan. Bu Sari bersedia menjahit, tapi meminta Candra memastikan kostumnya tetap mencerminkan budaya lokal. Di sisi lain, beberapa pemuda desa, yang lebih sering nongkrong di warnet memainkan game online, menganggap ide itu kuno. “Bang Candra, mending bikin konser K-pop aja, biar rame,” kata seorang pemuda bernama Dedi, sambil tertawa bersama teman-temannya.

Candra tersenyum pahit, mencoba menjelaskan bahwa pentas ini tentang menyatukan budaya, bukan memilih salah satu. Ia pulang dengan hati berat, duduk di beranda, dan menulis di buku catatannya: “Aku ingin desa ini bangga lagi dengan warisannya, tapi bagaimana jika mereka lebih memilih dunia luar?” Hujan kembali turun di sore itu, mengetuk atap genteng dengan lembut, seolah menyamakan ritme dengan ketukan gamelan yang ia bayangkan untuk pentas.

Malam harinya, Candra mengumpulkan Kirana, Pak Slamet, dan Bu Sari di rumah untuk merencanakan lebih lanjut. Mereka duduk di ruang tamu yang diterangi lampu minyak—listrik padam lagi—dan mendiskusikan detail pentas. Kirana mengusulkan memadukan tarian dengan proyeksi video bertema legenda lokal, sedangkan Pak Slamet menyarankan memasukkan irama gamelan sebagai intro sebelum beralih ke musik Barat. Bu Sari setuju menjahit kostum yang menggabungkan motif batik dengan aksen modern. Candra menulis semua ide itu, merasa ada harapan baru, meski ia tahu tantangan masih menanti.

Saat rapat selesai, Nyai Suminah bangun dari tidurnya, mendekat dengan tongkat kayu. “Aku mau ikut lihat latihan besok,” katanya, suaranya lemah tapi teguh. Candra ingin melarang, takut ibunya kelelahan, tapi melihat kilau di matanya, ia mengangguk. Malam itu, ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana pentas ini bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia menatap foto ayahnya di dinding, merasa seperti ayahnya sedang mengawasi, memberinya kekuatan.

Keesokan paginya, latihan dimulai di halaman rumah. Anak-anak sekolah, termasuk Budi, datang dengan semangat, membawa ponsel untuk merekam. Kirana memandu tarian, sementara Pak Slamet memainkan gamelan sederhana. Candra mengatur irama, mencoba menyatukan langkah tarian dengan musik Barat yang diputar dari speaker tua. Nyai Suminah duduk di kursi rotan, menonton dengan mata berbinar, meski batuknya sesekali terdengar. Saat latihan selesai, anak-anak bertepuk tangan, dan bahkan Dedi yang tadinya skeptis tampak terkesan.

Tapi di tengah euforia, Candra melihat ibunya terkulai lelet di kursi. Ia berlari, memeluk Nyai Suminah yang napasnya mulai tersengal. “Ibu, sabar ya, aku panggil dokter!” serunya panik. Kirana menangis, sementara warga yang hadir membantu membawa ibunya ke dalam rumah. Hujan turun lagi, lebih deras, seolah menambah beban di hati Candra. Ia menatap langit, merasa seperti tarian budaya yang ia bangun hancur oleh badai—baik dari alam maupun dari dalam dirinya sendiri. Di buku catatannya, ia menulis dengan tangan gemetar: “Ibu, aku janji akan melanjutkan ini, meski kau tak ada di sampingku.”

Perjuangan Candra untuk menyatukan budaya kini diuji oleh kenyataan pahit. Ia tahu pentas harus terus berlanjut, tapi ia juga tahu luka ini akan menjadi bagian dari ceritanya—cerita tentang jiwa Indonesia yang terombang-ambing, namun tetap berusaha bertahan.

Harmoni di Ujung Luka

Pagi itu, pukul 10:06 WIB, Kamis, 12 Juni 2025, Cahyandaru Wicaksana berdiri di beranda rumahnya di Tegalrejo, menatap langit yang masih kelabu setelah hujan deras semalam. Udara dingin menyelinap melalui celah-celah jendela bambu, membawa aroma tanah basah dan bunga melati yang layu. Di tangannya, ia memegang buku catatan cokelat tua yang penuh coretan tinta, halaman terakhirnya masih basah oleh air mata yang ia teteskan malam tadi. Nyai Suminah, ibunya, telah pergi untuk selamanya setelah serangan penyakitnya memburuk pasca latihan tarian kemarin. Rumah terasa sunyi, hanya diisi oleh derit kursi rotan yang kosong dan aroma bubur kacang hijau yang kini tak lagi dimasak.

Candra tak bisa tidur sepanjang malam. Setelah dokter desa mengumumkan kematian ibunya, ia dan Kirana Putri hanya bisa menangis di samping ranjang sederhana Nyai Suminah. Warga desa berdatangan, membawa bunga dan doa, tapi Candra merasa seperti kehilangan separuh jiwanya. Ia menatap foto keluarga di dinding—gambar di mana ibunya tersenyum lebar, mengenakan kain tradisional, bersama ayahnya dan adiknya yang masih kecil—dan air matanya jatuh lagi. Di buku catatannya, ia menulis dengan tangan gemetar: “Ibu, aku janji akan melanjutkan mimpimu, meski hatiku hancur.”

Pukul 11:00 WIB, jenazah Nyai Suminah dibawa ke masjid desa untuk disalatkan. Candra mengenakan baju koko tua milik ayahnya, sementara Kirana mengenakan kebaya sederhana yang ia pinjam dari Bu Sari, tetangga mereka. Upacara pemakaman diadakan di pekuburan desa, di bawah pohon jati tua yang berdiri gagah, dikelilingi oleh sawah hijau yang terlihat suram di bawah langit mendung. Suara azan dan tangisan warga bercampur, menciptakan melodi duka yang menusuk hati Candra. Ia melempar segenggam tanah ke makam ibunya, merasa seperti melepaskan bagian dari dirinya sendiri, tapi juga berjanji untuk menjaga warisan yang ibunya tinggalkan.

Setelah pemakaman, Candra dan Kirana kembali ke rumah, duduk di beranda dalam keheningan yang berat. Kirana, yang biasanya ceria, kini menunduk dengan mata merah, memainkan ujung kain kebayanya. “Bang, aku nyesel. Kalau aku nggak minta latihan tarian, Ibu mungkin masih ada,” katanya pelan, suaranya penuh penyesalan. Candra menggeleng, memeluk adiknya erat. “Ini bukan salahmu, Ran. Ibu senang lihat kita berusaha. Dia pergi dengan damai,” jawabnya, meski hatinya sendiri tak yakin dengan kata-kata itu.

Pukul 14:00 WIB, warga desa berkumpul di rumah untuk tahlilan pertama. Pak Slamet membawa gamelan sederhana, memainkan irama pelan sebagai penghormatan, sementara Bu Sari membawa makanan tradisional seperti gudeg dan klepon. Anak-anak sekolah, termasuk Budi, datang dengan bunga liar yang mereka petik dari sawah, menunjukkan dukungan sederhana mereka. Candra menatap warga, merasa ada kekuatan baru dalam komunitasnya, dan ia memutuskan untuk melanjutkan pentas budaya yang direncanakan—sebagai penghormatan terakhir untuk ibunya.

Malam itu, Candra mengumpulkan Kirana, Pak Slamet, Bu Sari, dan anak-anak sekolah di halaman rumah. Hujan telah reda, meninggalkan udara segar dan bumi yang basah. Ia mengusulkan untuk mengadakan pentas dalam dua hari, menggabungkan tarian joged dengan musik Barat dan proyeksi video legenda Jaka Tarub, seperti yang direncanakan. “Ini untuk Ibu. Aku mau desa ini bangga lagi dengan budayanya,” katanya, suaranya teguh meski matanya berkaca-kaca. Kirana mengangguk, menawarkan untuk mengedit video dengan ponselnya, sementara Pak Slamet setuju memainkan gamelan sebagai intro.

Keesokan harinya, persiapan pentas dimulai dengan semangat. Bu Sari menjahit kostum baru, menggabungkan motif batik dengan aksen modern seperti renda, sementara anak-anak membantu membuat panggung sederhana dari bambu dan kain bekas. Candra mengajar tarian, menggabungkan langkah joged dengan gerakan bebas yang diusulkan Kirana, didukung oleh irama Shape of You yang diputar dari speaker tua. Meski langkah mereka masih kacau, ada kehangatan dalam proses itu—seperti keluarga besar yang bersatu dalam duka dan harapan.

Pukul 19:00 WIB, malam pentas tiba. Warga desa berkumpul di halaman rumah Candra, membawa kursi lipat dan tikar. Lampu minyak ditempatkan di sekitar panggung, menciptakan suasana hangat di bawah langit yang mulai bertabur bintang. Candra berdiri di depan, mengenakan kostum buatan Bu Sari, dan membuka acara dengan pidato singkat. “Ini untuk Nyai Suminah, ibuku, yang mengajarkan aku cinta budaya kita. Mari kita jaga warisan ini bersama,” katanya, suaranya gemetar tapi penuh tekad.

Pentas dimulai dengan irama gamelan yang dimainkan Pak Slamet, diikuti oleh tarian joged yang anggun dari Candra dan Kirana. Saat musik beralih ke Shape of You, anak-anak masuk dengan gerakan bebas, diiringi proyeksi video legenda Jaka Tarub yang diedit Kirana. Warga terpana, beberapa menangis mengenang Nyai Suminah, yang dulu sering menari di acara serupa. Bahkan Dedi, pemuda skeptis, ikut bertepuk tangan, tersenyum kagum. Suasana penuh emosi, mencampur duka dengan kebanggaan.

Saat pentas selesai, warga berdiri memberi aplaus panjang. Candra menangis, memeluk Kirana yang juga menangis, merasa ibunya sedang tersenyum dari atas. Ia mengambil buku catatannya, menulis di halaman baru: “Ibu, aku temukan harmoni. Budaya kita hidup lagi, bercampur dengan dunia baru.” Pak Slamet mendekat, memeluknya, dan berkata, “Ini keajaiban, Candra. Ibumu bangga.”

Keesokan paginya, Candra berdiri di makam Nyai Suminah, membawa bunga melati yang ia petik dari pekarangan. Ia meletakkan bunga itu di atas nisan sederhana, berbisik, “Terima kasih, Ibu. Aku akan terus jaga ini.” Di kejauhan, suara gamelan dari latihan anak-anak terdengar samar, bercampur dengan lagu pop dari ponsel Kirana. Candra tersenyum, merasa seperti menemukan keseimbangan—jiwa Indonesia yang kuat tetap berdiri, meski terombang-ambing oleh badai budaya Barat. Ia tahu perjuangan ini tak akan berhenti, tapi kini ia memiliki kekuatan untuk melangkah maju, dengan tinta dan tarian sebagai saksinya.

Cerpen Terombang-Ambing Budaya mengajarkan kita bahwa budaya Indonesia bisa bertahan dan berkembang dengan beradaptasi, sebagaimana ditunjukkan oleh perjuangan Cahyandaru. Kisah ini menginspirasi kita untuk menghargai akar tradisi sambil menerima perubahan global, menciptakan harmoni yang memperkaya jiwa bangsa. Jangan lewatkan kesempatan untuk merenung dan mengambil pelajaran dari cerita ini dalam menjaga identitas budaya Anda!

Terima kasih telah menjelajahi Terombang-Ambing Budaya bersama kami. Semoga kisah ini membangkitkan semangat Anda untuk melestarikan budaya lokal di era modern. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan terus jaga warisan kita dengan cinta!

Leave a Reply