Terjebak Reruntuhan: Kisah Nyata Bertahan Hidup dari Gempa Dahsyat

Posted on

Bencana alam nggak pernah pilih-pilih korban. Satu detik semuanya baik-baik aja, detik berikutnya, dunia bisa runtuh seketika. Gempa bumi bukan cuma mengguncang tanah, tapi juga menghancurkan harapan. Ini kisah tentang bertahan hidup di tengah reruntuhan, di saat segalanya terasa mustahil, tapi keajaiban tetap ada.

 

Terjebak Reruntuhan

Ketika Bumi Mengamuk

Pagi itu, udara terasa lebih panas dari biasanya. Langit cerah, matahari bersinar terik tanpa ada awan yang melintas. Di sebuah rumah sederhana di sudut kota, Aluna sedang menyapu ruang tamu dengan santai. Ia mengenakan kaus longgar dan celana pendek selutut, rambutnya dikuncir asal. Pikirannya sibuk dengan hal lain—mungkin menu makan siang atau acara televisi yang akan ia tonton setelah pekerjaan beres.

“Aku pergi dulu, ya!” suara Ibunya terdengar dari luar, diikuti dengan bunyi pintu pagar yang ditutup.

Aluna hanya menggumam pelan sebagai jawaban. Rumah terasa tenang, hanya ada suara sapu yang menyapu lantai.

Lalu, semuanya berubah.

Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh aneh—seperti deru guntur yang datang dari perut bumi. Lantai tiba-tiba bergetar, begitu halus pada awalnya hingga nyaris tak terasa. Namun, dalam hitungan detik, guncangan itu berubah menjadi kekuatan yang brutal.

Braak! Rak buku di pojok ruangan ambruk, isinya berhamburan. Lampu gantung di langit-langit berayun liar, hampir copot. Aluna membelalakkan mata, jantungnya berdegup kencang.

Gempa!

“Astaga!” Ia refleks melempar sapu, berlari ke arah pintu. Namun, guncangan semakin kuat. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, lututnya tertekuk, dan ia terjatuh dengan keras.

Braak! Suara kaca jendela pecah terdengar nyaring. Dinding mulai retak. Dari dapur, terdengar suara piring-piring jatuh dan pecah.

“Tidak, tidak, tidak!” Napasnya memburu, tangannya gemetar saat mencoba bangkit. Ia harus keluar.

Dengan susah payah, ia merangkak menuju pintu. Tapi belum sempat ia meraihnya, guncangan kedua datang—lebih besar, lebih dahsyat. Seluruh rumah bergetar hebat. Atap mulai berderak.

Krekkkk!

Dan dalam sekejap, langit-langit runtuh.

Aluna sempat menjerit sebelum tubuhnya tertimpa puing-puing.

Gelap.

Sesak.

Debu memenuhi udara, menusuk paru-paru, membuat napas terasa berat. Tidak ada suara apa pun kecuali dengungan samar di telinga. Dunia terasa seperti berhenti bergerak.

Lalu, ada sesuatu yang menekan kakinya. Rasa sakit menusuk langsung ke tulang. Aluna tersentak, terbatuk, mencoba bergerak, tapi tubuhnya terjepit.

“Aku di mana…” gumamnya pelan, suaranya serak.

Semua terasa asing. Dingin. Ia tidak bisa melihat apa pun, hanya ada kegelapan pekat di sekelilingnya.

Tangannya meraba-raba. Ada sesuatu yang kasar dan keras di atasnya—mungkin pecahan kayu atau tembok yang ambruk. Kakinya terperangkap, tidak bisa digerakkan. Ia mencoba menariknya, tapi nyeri yang luar biasa membuatnya mengerang.

“Aduh… sial…”

Debu masih beterbangan, menusuk tenggorokan, membuatnya batuk lagi. Ia mencoba menenangkan diri, meskipun dada terasa sesak.

Lalu, dari kejauhan, terdengar suara lain. Suara seseorang.

“Aluna?! Kamu di dalam?!”

Itu suara Ayu, sahabatnya.

Aluna berusaha membuka mulut untuk menjawab, tapi hanya suara serak yang keluar.

“Ayu…” Ia mencoba lagi, sedikit lebih keras. “Aku di sini!”

“Tunggu! Aku akan cari bantuan!” Ayu berteriak, suaranya terdengar panik.

Aluna ingin mencegahnya, tapi ia tahu tidak ada yang bisa dilakukan sekarang selain menunggu. Napasnya masih berat, kakinya masih nyeri.

Di luar, sirene mulai meraung-raung, bercampur dengan suara orang-orang yang berteriak. Kota yang tadinya tenang kini berubah menjadi kekacauan.

Dan di bawah reruntuhan, Aluna hanya bisa berharap seseorang akan menemukannya sebelum semuanya terlambat.

 

Terjebak dalam Kegelapan

Aluna mulai kehilangan rasa pada kakinya. Rasa sakit yang menusuk tadi kini berganti menjadi kebas yang mengkhawatirkan. Ia tidak tahu apakah itu pertanda baik atau buruk, tapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa terus diam.

Ia menggerakkan tangannya perlahan, meraba-raba di sekelilingnya. Kayu, pecahan tembok, dan sesuatu yang terasa seperti serpihan kaca. Ia menarik tangannya dengan cepat ketika ujung jari menyentuh sesuatu yang tajam.

“Harus tetap tenang,” bisiknya.

Tapi itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri di telinga. Debu yang memenuhi udara semakin menyesakkan, membuat setiap tarikan napas terasa seperti menyedot pasir. Sekuat tenaga, ia menutup matanya, mencoba mengatur ritme pernapasan.

Hirup… buang… hirup… buang…

Dari luar, suara semakin samar. Hanya ada bunyi reruntuhan yang bergeser dan kadang-kadang, jeritan seseorang. Suara Ayu sudah tidak terdengar lagi.

Apa Ayu benar-benar pergi mencari bantuan? Berapa lama waktu yang sudah berlalu? Lima belas menit? Setengah jam?

Aluna tidak tahu.

Yang ia tahu hanyalah kegelapan ini mulai terasa menelan akalnya.

Sebuah ingatan melintas begitu saja. Dulu, waktu kecil, ia pernah terjebak di lemari pakaian selama hampir dua jam. Itu terjadi karena kakaknya, Erlangga, menguncinya untuk iseng. Awalnya ia mengira itu permainan, tapi saat kakaknya lupa membukanya, panik mulai menyerang. Ia berteriak, menangis, meronta-ronta di dalam ruang sempit itu.

Begitu lemari dibuka, ibunya langsung memeluknya erat. Ia menangis sejadi-jadinya, berjanji tidak akan pernah masuk ke tempat sempit lagi.

Sekarang, ia merasakan ketakutan yang sama.

Tapi kali ini, tidak ada pintu lemari yang bisa dibuka begitu saja. Tidak ada ibu yang bisa menariknya keluar dan menenangkannya. Tidak ada kakaknya yang bisa ia maki setelah semuanya selesai.

Yang ada hanya ia sendiri.

Tiba-tiba, suara keras terdengar dari atas.

Brakk!

Ada sesuatu yang bergeser. Mungkin reruntuhan yang jatuh. Mungkin seseorang yang mencoba masuk.

Aluna menahan napas. Lalu, ia mendengar suara langkah kaki.

“ADA ORANG DI SINI?”

Suaranya teredam, tapi cukup jelas. Seseorang di luar sedang mencari korban.

Jantung Aluna mencelos.

“Aku di sini!” Ia berusaha berteriak, tapi suaranya serak, nyaris tidak terdengar. Ia menelan ludah, lalu mencoba lagi. “TOLONG! AKU DI SINI!”

Tidak ada jawaban.

Aluna panik. Ia meraba-raba sekitar, tangannya menemukan sesuatu yang keras—pecahan kayu atau besi. Dengan sekuat tenaga, ia mengangkatnya dan mengetukkan ke lantai yang ada di dekat kepalanya.

Tok. Tok. Tok.

Ia menunggu.

Tok. Tok. Tok.

Balasan! Seseorang mendengarnya!

“AKU DI SINI!” Kali ini, suaranya lebih kuat.

“JANGAN KHAWATIR! KAMI AKAN MENOLONGMU!” Suara itu lebih dekat sekarang.

Air mata menggenang di mata Aluna. Untuk pertama kalinya sejak gempa terjadi, ia merasa benar-benar punya harapan.

Ia belum mati. Tidak sekarang. Tidak di sini.

 

Ketukan Harapan

Aluna mencengkeram pecahan kayu di tangannya erat-erat, seolah itu satu-satunya yang bisa ia andalkan. Suara dari luar semakin jelas, langkah kaki terdengar menggeser puing-puing.

“Aku di sini!” Ia berteriak lagi, suaranya serak, tapi kali ini lebih tegas.

“Jangan panik! Kami akan buka jalan buat kamu!” balas suara itu.

Aluna memejamkan mata, menarik napas pelan. Setidaknya ada seseorang di luar. Setidaknya ia tidak sendirian lagi dalam gelap ini.

Kemudian, suara gesekan keras terdengar—reruntuhan mulai dipindahkan.

“Kamu bisa gerakin tanganmu?” tanya suara itu, lebih dekat sekarang.

“Bisa!”

“Kaki?”

Aluna ragu sejenak. “Yang kiri… kayaknya ketindih sesuatu!”

“Tahan, ya! Aku akan coba lihat dari atas!”

Aluna menunggu, mendengar setiap gesekan dan benturan yang mereka buat. Debu kembali jatuh dari sela-sela puing, membuatnya terbatuk. Dadanya terasa semakin sesak, tapi ia tidak berani mengeluh.

Selama beberapa menit, hanya suara kerja keras yang terdengar. Lalu, tiba-tiba, setitik cahaya muncul dari atasnya.

“AKU LIHAT DIA!” seseorang berseru.

Cahaya itu berasal dari senter. Aluna menyipitkan mata, matanya belum terbiasa dengan terang setelah terlalu lama dalam kegelapan. Tapi setidaknya, ia bisa melihat siluet seseorang di atasnya.

“Namamu siapa?”

“Aluna,” suaranya nyaris bergetar.

“Oke, Aluna, aku Reza. Aku sama tim evakuasi. Aku butuh kamu buat tetap tenang, ya?”

“Iya.”

“Tunggu sebentar lagi, kami hampir bisa ngebuka jalan.”

Aluna mengangguk, meskipun ia tahu Reza tidak bisa melihatnya. Jari-jarinya menggenggam pecahan kayu di tangannya lebih erat. Ia tidak ingin melepaskan harapan yang sudah mulai nyata di depan matanya.

Suara gesekan dan pukulan semakin banyak. Batu dan kayu yang menutupi tubuhnya sedikit demi sedikit terangkat. Cahaya semakin lebar. Udara segar mulai masuk ke dalam ruang sempit tempatnya terjebak.

Lalu, sesuatu yang menekan kakinya bergeser sedikit.

“AARRGH!” Aluna menjerit spontan.

“Maaf! Maaf!” Reza terdengar panik. “Kakimu terjepit parah, tapi kami hampir bisa ngangkat beban di atasnya!”

Aluna merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Ia menggigit bibir, berusaha menahan sakit.

“Habis ini bakal lebih sakit lagi, tapi kita harus ngelakuin ini biar kamu bisa keluar. Bisa tahan?”

Ia menelan ludah, lalu mengangguk lagi. “Bisa.”

“Bagus. Aku bakal hitung sampai tiga, lalu mereka bakal angkat puingnya, oke?”

Aluna mengencangkan genggamannya pada pecahan kayu. “Oke.”

“Satu…”

Ia menarik napas panjang.

“Dua…”

Tolong, Tuhan.

“TIGA!”

Braak! Puing besar di atas kakinya terangkat, dan rasa sakit yang luar biasa langsung menghantam tubuhnya. Aluna berteriak, napasnya tersengal, tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, dua tangan kuat menarik tubuhnya ke atas.

Udara segar menerpa wajahnya. Cahaya matahari menusuk mata. Suara jeritan, sirene, dan langkah kaki berlarian memenuhi udara.

Ia telah keluar.

Aluna terbatuk keras, tubuhnya gemetar. Seseorang menyodorkan botol air ke bibirnya. Ia meneguknya dengan rakus, meskipun airnya terasa terlalu dingin di tenggorokannya yang kering.

Reza berjongkok di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi penuh kelegaan. “Kamu luar biasa. Kamu berhasil bertahan.”

Aluna tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menatap langit—biru, cerah, tak ada awan. Seakan dunia masih baik-baik saja.

Padahal, di sekelilingnya, semuanya telah runtuh.

 

Cahaya Setelah Bencana

Aluna masih terduduk di atas tanah, jari-jarinya mencengkeram rumput yang tercampur debu dan pecahan kecil puing. Napasnya masih tersengal, tubuhnya masih gemetar. Tapi ia di luar. Ia hidup.

Di sekelilingnya, pemandangan yang ia lihat terasa seperti mimpi buruk yang nyata. Bangunan yang dulu berdiri kokoh kini rata dengan tanah, menyisakan tumpukan beton yang hancur dan tiang-tiang yang patah. Asap tipis membubung dari beberapa sudut, bercampur dengan debu yang masih beterbangan.

Jeritan kesakitan, suara orang memanggil nama anggota keluarga mereka, isak tangis, dan deru sirene bergema di udara.

Aluna memalingkan wajahnya ke samping. Beberapa orang tergeletak di tanah dengan perban di kepala atau kaki mereka. Tim medis berlalu-lalang, memberikan pertolongan pertama pada mereka yang terluka.

Reza masih berjongkok di sampingnya, menepuk pundaknya pelan. “Kakimu masih sakit?”

Aluna mengangguk lemah. Kakinya terasa nyeri luar biasa, tapi setidaknya sekarang ia bisa merasakan sesuatu.

“Ambulans sebentar lagi ke sini. Kamu bakal dibawa ke tempat aman.”

Tapi Aluna tidak menjawab. Ada sesuatu yang lebih mengusik pikirannya.

“Ibuku…” suaranya pelan, hampir tak terdengar. “Ibuku tadi pergi ke pasar…”

Reza terdiam. Matanya menatap Aluna dengan ragu, seolah-olah ingin memastikan apakah ia cukup kuat mendengar kenyataan yang mungkin buruk.

“Aku nggak tahu kondisi di sana kayak gimana,” katanya akhirnya. “Tapi pasar ada di pusat kota, dan—”

Ia tidak perlu melanjutkan kalimatnya.

Aluna sudah tahu.

Jantungnya berdegup lebih cepat. Tangannya mencengkeram tanah lebih erat. Ia ingin berdiri, ingin lari ke arah pasar, tapi kakinya tidak memungkinkan.

“Aku harus cari ibuku,” bisiknya.

Reza menghela napas. “Aluna, kamu baru aja keluar dari reruntuhan. Kakimu masih luka, kamu harus—”

“Aku harus cari ibuku!” Kali ini, suaranya lebih keras, hampir seperti teriakan putus asa.

Reza menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menyerah. “Oke, kita cari dia. Tapi kamu nggak bisa jalan sendiri, aku bakal bantu.”

Ia meraih lengan Aluna, melingkarkan satu tangan di bahunya, lalu membantu gadis itu berdiri. Rasa sakit langsung menusuk ke kakinya, tapi Aluna tidak peduli. Ia hanya ingin pergi ke pasar.

Langkah mereka terseok-seok melewati jalanan yang kini berubah menjadi puing-puing. Sepanjang perjalanan, Aluna melihat wajah-wajah orang yang penuh dengan kesedihan, kebingungan, dan ketakutan. Ada yang menangis di samping jasad yang tertutup kain, ada yang memeluk satu sama lain seakan tidak ingin berpisah lagi.

Ketika mereka sampai di dekat pasar, napas Aluna tercekat.

Tidak ada yang tersisa.

Bangunan-bangunan yang dulu berjajar rapi kini hanya tumpukan reruntuhan. Jalanan yang dulu ramai kini dipenuhi debu dan pecahan kaca. Beberapa orang masih berusaha menggali puing dengan tangan kosong, berteriak memanggil nama orang-orang yang mereka cari.

Air mata mulai menggenang di mata Aluna.

Lalu, di tengah kekacauan itu, terdengar suara yang begitu dikenalnya.

“Aluna!”

Ia menoleh dengan cepat.

Di seberang sana, di antara kerumunan orang yang selamat, berdiri seorang wanita dengan rambut berantakan dan pakaian penuh debu. Wajahnya penuh goresan, tapi matanya masih memancarkan ketegaran yang sama.

“Ibu!”

Aluna hampir jatuh saat mencoba berlari, tapi Reza dengan sigap menahannya. Tanpa pikir panjang, ibunya langsung berlari ke arahnya dan memeluknya erat.

Tangis pecah.

“Aku pikir kamu…” Suara ibunya tercekat, tangannya gemetar saat mengusap wajah Aluna. “Aku pikir kamu tertimpa reruntuhan…”

“Aku sempat terjebak…” suara Aluna bergetar. “Tapi ada yang nolongin aku…”

Ibunya menoleh ke arah Reza yang masih berdiri di samping Aluna, dan tanpa ragu ia menangkup tangan pemuda itu dengan penuh rasa terima kasih.

“Terima kasih sudah menyelamatkan anakku,” katanya, suaranya penuh ketulusan.

Reza hanya tersenyum kecil. “Dia yang kuat, Bu. Dia yang bertahan.”

Aluna menatap wajah ibunya, memastikan bahwa ini bukan mimpi. Bahwa ibunya benar-benar ada di sini, hidup.

Dan di tengah kehancuran ini, di antara debu dan reruntuhan, Aluna menyadari satu hal:

Ia masih bernapas. Ia masih punya seseorang yang ia cintai.

Bencana itu telah menghancurkan banyak hal, tetapi tidak bisa menghancurkan harapan.

Dan selama harapan itu masih ada, hidup akan selalu menemukan cara untuk bertahan.

 

Hidup itu nggak selalu adil, tapi selama harapan masih ada, manusia bakal selalu menemukan cara buat bangkit lagi. Dari puing-puing kehancuran, selalu ada cerita tentang keberanian, keteguhan, dan cinta yang nggak bisa dihancurkan bahkan oleh bencana sekalipun. Karena pada akhirnya, kita semua cuma berusaha buat bertahan.

Leave a Reply