Terjebak di Antara Dua Hati: Cinta, Persahabatan, dan Keputusan yang Terlambat

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa kayak kamu berdiri di tengah dua jalan, dan kamu nggak bisa mutusin mau ke mana? Kamu nggak mau kehilangan satu, tapi kamu juga nggak bisa lepas dari yang lain.

Akhirnya? Kamu malah kehilangan dua-duanya. Ini bukan sekadar cerita cinta segitiga biasa. Ini cerita tentang pilihan, rasa takut, dan konsekuensi dari terlalu lama menggenggam sesuatu yang mungkin nggak pernah benar-benar jadi milik kamu.

 

Terjebak di Antara Dua Hati

Di Antara Dua Nama

Langit sore di kota itu memantulkan warna jingga yang membias di kaca-kaca gedung. Jalanan mulai padat, suara klakson bersahut-sahutan, dan orang-orang berlalu lalang dengan ekspresi lelah setelah seharian bekerja. Di sebuah kafe kecil di sudut jalan, Arven duduk di dekat jendela, menunggu seseorang.

Secangkir kopi hitam di hadapannya mengepul pelan, menebarkan aroma yang menenangkan. Namun, pikirannya tak setenang itu. Matanya menatap ke luar jendela, melihat orang-orang yang berjalan cepat, seolah tak punya waktu untuk ragu. Andai saja ia bisa seperti itu—berjalan dengan kepastian, tanpa harus memilih antara dua jalan yang sama-sama penting baginya.

Tak lama, suara langkah ringan mendekat, dan seorang gadis dengan rambut bergelombang panjang menarik kursi di hadapannya tanpa banyak bicara. Elora.

“Maaf, macet,” katanya sambil melepas mantel cokelatnya.

Arven mengangkat bahu kecil. “Aku juga baru sampai.”

Elora menghembuskan napas pelan sebelum menatap Arven dengan ekspresi setengah jengkel. “Kalau bohong, setidaknya buat lebih meyakinkan.”

Arven tersenyum tipis, tapi tidak menjawab. Ia tahu Elora pasti bisa membaca pikirannya. Gadis itu selalu bisa.

Elora menyesap kopinya sebelum berkata lagi, “Kamu tadi ketemu Alindra, kan?”

Arven terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Iya.”

Elora meletakkan cangkirnya dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. “Dan kamu nggak bilang ke aku?”

“Baru ketemu sebentar,” jawab Arven santai. “Nggak ada yang perlu dibahas.”

“Tapi kamu tetap memilih ketemu dia dulu sebelum datang ke sini.”

Nada Elora terdengar ringan, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Arven merasa tidak nyaman.

“Aku nggak memilih siapa-siapa,” kata Arven akhirnya.

Elora tertawa kecil, tapi tanpa kebahagiaan. “Nggak memilih? Kamu sadar nggak, setiap kali aku butuh kamu, kamu selalu sibuk sama dia?”

Arven mengusap wajahnya, mencoba menahan desakan emosi yang perlahan tumbuh di dadanya. “Aku nggak bisa ninggalin dia gitu aja, El. Dia udah ada di hidupku jauh sebelum kamu datang.”

Elora bersedekap, menatapnya dengan sorot mata tajam. “Dan aku? Aku cuma orang yang datang belakangan dan harus ngerti, gitu?”

Arven tak langsung menjawab. Ia tahu jika berbicara sekarang, ia mungkin akan mengatakan hal-hal yang hanya akan memperburuk keadaan.

Elora menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. “Aku nggak pernah maksa kamu buat ninggalin dia, Arven. Aku cuma pengen tau… kalau aku ada di posisi dia, kamu bakal ngelakuin hal yang sama nggak?”

Arven tak punya jawaban untuk itu.

Beberapa hari setelahnya, ia duduk di balkon apartemen Alindra. Di tangannya, ada sekaleng soda dingin yang belum sempat dibuka. Sementara di sebelahnya, Alindra sedang sibuk dengan sketsa di buku gambarnya.

“Kamu kelihatan nggak fokus,” kata Alindra tanpa menoleh.

Arven mendengus kecil. “Gimana bisa fokus kalau kamu terus bilang aku nggak fokus?”

Alindra melempar penghapus ke arahnya, yang dengan mudah ditangkap Arven. “Jadi, ini tentang Elora lagi?”

Arven tidak menjawab.

“Aku nggak ngerti,” lanjut Alindra, masih sibuk menggambar. “Kalian kelihatan cocok, tapi kenapa tiap kali aku lihat kamu habis ketemu dia, ekspresi kamu kayak orang abis dihajar kenyataan?”

Arven menatap kosong ke arah jalanan di bawah mereka. “Karena dia pengen aku milih.”

Alindra akhirnya berhenti menggambar dan menatapnya. “Dan kamu nggak mau?”

“Bukan nggak mau,” Arven meremas kaleng soda di tangannya. “Aku cuma nggak bisa.”

Alindra diam. Ia menutup bukunya pelan, lalu menatap lurus ke arah Arven. “Kamu tau nggak, Ven? Aku selalu ngerasa… mungkin aku nggak seharusnya ada di tengah kalian. Karena selama ini, aku nggak ngelakuin apa-apa, tapi tetap ada di situasi yang bikin hubungan kalian ribet.”

Arven menoleh cepat. “Ini bukan salah kamu.”

“Tapi aku tetep jadi alasannya, kan?”

Arven membuka mulutnya untuk membantah, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Karena, sejujurnya, Alindra ada benarnya.

Malam itu, Arven menatap layar ponselnya. Di sana, ada dua nama yang ingin ia hubungi, tapi ia tidak tahu harus memilih yang mana lebih dulu.

Elora atau Alindra.

Sahabatnya atau cintanya.

Dan untuk kesekian kalinya, ia membiarkan layar itu tetap menyala tanpa melakukan apa-apa.

 

Janji yang Selalu Terganggu

Pameran seni itu seharusnya menjadi momen spesial. Sejak berminggu-minggu lalu, Elora sudah menantikannya. Ia bahkan bercerita panjang lebar tentang bagaimana pameran ini menghadirkan salah satu seniman favoritnya.

Arven tahu, Elora bukan tipe orang yang sering menunjukkan antusiasme sebesar ini. Dan itu membuatnya merasa lebih bersalah saat ponselnya bergetar sore itu, satu jam sebelum ia harus menjemput Elora.

Nama yang muncul di layar bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.

Alindra.

Tanpa pikir panjang, Arven menjawab. “Halo?”

Suaranya terdengar berbeda dari biasanya. Tergesa, panik, dan sedikit gemetar. “Aku butuh kamu sekarang.”

Arven langsung berdiri dari sofa. “Kenapa? Kamu di mana?”

“Di rumah sakit. Ibuku…” Suara Alindra tercekat. “Kamu bisa datang?”

Tidak ada keraguan dalam jawabannya. “Aku segera ke sana.”

Ia baru sadar akan masalahnya saat dalam perjalanan.

Elora.

Pikirannya berperang dengan dirinya sendiri. Haruskah ia mengabari Elora sekarang? Atau nanti, setelah memastikan keadaan Alindra?

Pada akhirnya, ia hanya mengirim pesan singkat.

“Maaf, El. Aku nggak bisa datang.”

Tak ada penjelasan. Tak ada janji untuk mengganti waktu. Hanya kata-kata sederhana yang terasa lebih berat daripada seharusnya.

Dan seperti yang sudah ia duga, ponselnya segera bergetar dengan panggilan dari Elora. Namun, ia tidak bisa mengangkatnya sekarang.

Di ruang tunggu rumah sakit, Alindra duduk di sampingnya, diam menatap kosong ke lantai. Ia tidak menangis, tapi Arven tahu betapa kacaunya pikirannya saat ini.

“Aku nggak tahu harus ngapain kalau sesuatu terjadi ke Ibu,” gumamnya.

Arven menghela napas dan meremas pelan jemari Alindra yang dingin. “Aku di sini.”

Mata Alindra sedikit menghangat, tapi masih penuh kecemasan. “Aku tahu.”

Namun, saat itu, ia tidak tahu bahwa dengan berada di sini, ia telah kehilangan sesuatu di tempat lain.

Beberapa hari kemudian, Arven akhirnya bertemu Elora.

Bukan di pameran seni, bukan di kafe favorit mereka. Tapi di depan apartemennya, dengan Elora yang berdiri di sana sambil melipat tangan di dada.

“Jadi, aku cuma dapat pesan teks?” katanya dengan nada yang jauh lebih dingin dari biasanya.

Arven mengusap tengkuknya, mencoba merangkai kalimat yang bisa memperbaiki segalanya. “Aku harus ke rumah sakit. Ibunya Alindra masuk UGD.”

Elora menatapnya lama, sebelum akhirnya tertawa pendek—tapi tanpa sedikit pun humor di dalamnya. “Tentu aja. Kenapa aku nggak kaget?”

“Aku nggak bisa ninggalin dia, El,” kata Arven.

Elora menatapnya lurus-lurus. “Dan aku?”

Arven terdiam.

“Kamu bisa ninggalin aku?” lanjut Elora.

“Bukan gitu maksudku…”

Elora mendekat selangkah, ekspresinya campuran antara marah dan kecewa. “Aku ngerti, Arven. Alindra penting buat kamu. Aku juga nggak pernah maksa kamu buat milih. Tapi aku mulai merasa… kamu nggak pernah benar-benar ada buat aku.”

Arven ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa itu tidak benar. Tapi dalam hatinya, ia tahu Elora tidak sepenuhnya salah.

“Setiap kali aku berharap lebih dari kamu, setiap kali aku pikir kita bisa melewati sesuatu sebagai pasangan… aku selalu kalah sama dia.”

“Kamu nggak kalah, El,” ucap Arven cepat.

“Tapi aku nggak menang juga, kan?” Elora tersenyum miris.

Lalu, ia menghela napas panjang, seolah sedang membuat keputusan besar.

“Aku cuma mau kamu tahu satu hal,” kata Elora, suaranya lebih lembut sekarang. “Aku nggak bisa terus ada di posisi ini. Kalau kamu terus kayak gini, aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan.”

Kemudian, ia pergi, meninggalkan Arven berdiri di depan pintu apartemennya dengan pikiran yang berantakan.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar takut kehilangan Elora.

 

Genggaman yang Terlalu Erat

Arven terbangun dengan perasaan kosong. Ponselnya tergeletak di meja samping tempat tidur, sunyi tanpa pesan dari Elora. Sudah tiga hari sejak percakapan terakhir mereka, dan tidak ada tanda-tanda bahwa Elora akan menghubunginya lebih dulu.

Ia menatap layar ponselnya, menimbang apakah harus mengirim pesan lebih dulu. Tapi apa yang bisa ia katakan? Maaf? Aku nggak bermaksud ngecewain kamu? Aku akan berubah?

Semua terdengar seperti omong kosong yang bahkan ia sendiri tidak yakin bisa ditepati.

Sebelum pikirannya makin kacau, ponselnya bergetar.

Alindra.

Arven menghela napas dan akhirnya menjawab. “Halo?”

“Kamu sibuk?” suara Alindra terdengar lebih tenang sekarang, tidak seperti beberapa hari lalu.

“Nggak juga,” jawab Arven.

“Temenin aku sebentar?”

Arven tahu ia seharusnya menelepon Elora dulu. Tapi seperti biasanya, setiap kali Alindra butuh dia, ia tidak bisa mengatakan tidak.

Mereka bertemu di taman kota, tempat yang sering mereka datangi sejak kecil. Alindra duduk di ayunan, kakinya menggoyang-goyangkan tanah dengan pelan. Wajahnya terlihat lelah, tapi ada secercah ketenangan di matanya.

“Ibuku udah lebih baik,” katanya tanpa diminta. “Dokter bilang dia bisa pulang minggu depan.”

Arven mengangguk, merasa sedikit lega. “Syukurlah.”

Alindra menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Tapi kayaknya ada yang nggak beres sama kamu.”

Arven mengalihkan pandangan. “Elora marah.”

Alindra terdiam.

“Aku janji buat nemenin dia ke pameran seni, tapi aku ke rumah sakit waktu itu,” lanjut Arven.

“Karena aku.”

“Bukan salah kamu,” ucap Arven cepat.

“Tapi kamu sadar nggak, setiap kali kamu ada di antara aku dan dia, akhirnya kamu selalu ke aku dulu?”

Arven menghela napas, merasa tersudut oleh kata-kata Alindra sendiri.

“Aku nggak nyuruh kamu buat milih, Arven,” kata Alindra pelan. “Tapi aku juga nggak mau jadi alasan hubungan kalian berantakan.”

Arven menatap Alindra, dan untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang berbeda di mata sahabatnya itu.

Rasa lelah. Rasa bersalah.

Dan sesuatu yang selama ini mungkin tidak pernah ia sadari.

“Aku nggak ngerti kenapa kamu selalu ada buat aku, Ven,” lanjut Alindra dengan suara lebih lirih. “Tapi kalau karena aku, kamu malah kehilangan sesuatu yang lebih penting… Aku nggak mau jadi orang yang menghancurkan hidup kamu.”

Arven merasa ada sesuatu yang mencengkeram dadanya. Ia ingin bilang kalau Alindra salah. Kalau dia bukan beban. Kalau dia penting.

Tapi bukankah itu juga yang ia katakan ke Elora?

Malamnya, Arven duduk di balkon apartemennya, menatap kota yang penuh lampu. Ia akhirnya menghubungi Elora.

Butuh beberapa detik sebelum panggilannya diangkat.

“Arven?” suara Elora terdengar lelah.

“Hai,” ucapnya pelan.

Beberapa detik keheningan berlalu sebelum Elora berkata, “Kenapa kamu baru nelpon sekarang?”

Arven menutup mata sejenak. “Aku nggak tahu harus bilang apa.”

“Apa kamu sadar, aku nungguin kamu?” suara Elora terdengar rapuh. “Aku nunggu, Ven. Aku harap kamu bakal ngejelasin sesuatu. Aku harap kamu bakal mastiin kalau aku masih berarti buat kamu.”

Arven meremas rambutnya, frustrasi dengan dirinya sendiri. “Aku nggak pernah mau nyakitin kamu, El.”

“Tapi kamu tetap ngelakuin itu.”

Arven tidak bisa membantah.

“Aku capek, Arven,” lanjut Elora. “Aku capek jadi seseorang yang selalu harus ngerti kamu. Aku capek jadi orang yang selalu nungguin kamu.”

Napas Arven terasa berat. “Aku nggak mau kehilangan kamu, El.”

“Kalau gitu, kenapa rasanya kayak aku yang selalu harus bertahan?”

Arven terdiam.

“Kamu tahu nggak,” suara Elora terdengar lebih pelan, lebih getir, “aku sering ngerasa kalau kamu nggak benar-benar milih aku, Ven. Aku cuma seseorang yang kamu coba pertahankan karena kamu takut kehilangan, bukan karena kamu benar-benar ingin aku ada di hidup kamu.”

Kata-kata itu menusuk Arven lebih dalam dari yang ia kira.

“Aku masih sayang kamu, El.”

“Tapi sayang aja nggak cukup.”

Lalu, panggilan itu berakhir.

Arven menatap layar ponselnya, menyadari sesuatu yang selama ini selalu ia abaikan.

Mungkin, untuk pertama kalinya, genggamannya yang terlalu erat justru membuatnya kehilangan segalanya.

 

Melepaskan yang Tak Pernah Digenggam

Arven duduk di dalam mobilnya, tangan masih menggenggam setir meskipun mesin sudah dimatikan sejak lima belas menit yang lalu. Pikirannya penuh dengan kata-kata Elora dari telepon semalam.

“Kamu nggak benar-benar milih aku, Ven.”

Ia menghela napas berat, lalu menatap ke luar jendela. Dari sini, ia bisa melihat kafe kecil tempat ia dan Elora sering menghabiskan waktu. Mereka seharusnya ada di dalam sekarang, berbicara tentang buku yang sedang dibaca Elora atau tentang proyek desain yang sedang ia kerjakan.

Tapi sekarang, Elora tidak ada di sana.

Dan mungkin, tidak akan pernah lagi.

Malam itu, Arven akhirnya memutuskan untuk menemui Elora. Ia mengetuk pintu apartemennya beberapa kali sebelum akhirnya Elora membukanya.

Melihatnya lagi setelah beberapa hari ini terasa aneh. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berubah. Lelah? Kecewa? Atau sudah menyerah?

“Aku bisa masuk?” tanya Arven pelan.

Elora diam sebentar sebelum akhirnya melangkah mundur, membiarkan Arven masuk.

Apartemen itu masih sama seperti terakhir kali ia ke sini, tapi terasa lebih sepi. Seperti ada sesuatu yang hilang. Atau mungkin, sesuatu yang telah lama pudar.

Elora bersedekap, bersandar di dinding. “Jadi?”

Arven menelan ludah. Ia sudah memikirkan banyak hal yang ingin ia katakan, tapi sekarang, kata-kata itu terasa berantakan.

“Aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu,” akhirnya ia berkata.

Elora tersenyum kecil, tapi tidak ada kehangatan di sana. “Aku tahu.”

“Tapi aku sadar… aku juga nggak pernah benar-benar berusaha buat nggak nyakitin kamu.”

Tatapan Elora melembut, seolah ia sudah tahu arah pembicaraan ini.

“Aku selama ini terus bertahan sama kamu karena aku takut kehilangan. Tapi aku nggak pernah benar-benar memastikan kalau aku layak buat kamu pertahankan juga,” lanjut Arven.

Elora tidak menjawab.

“Aku sayang kamu, El.” Arven menarik napas. “Tapi kalau sayang itu malah bikin kamu terus ngerasa nggak cukup, aku nggak mau jadi orang yang terus bikin kamu sakit.”

Elora menatapnya lama. Lalu, ia tersenyum kecil. Kali ini, ada kehangatan di sana.

“Terima kasih,” katanya pelan.

Dan saat itu, Arven tahu.

Elora sudah memilih untuk pergi.

Arven menghabiskan malam itu di mobilnya, menatap langit tanpa benar-benar melihat. Ada yang terasa kosong di dadanya, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak mencoba menyangkalnya.

Ia sudah kehilangan Elora. Dan mungkin, itu adalah konsekuensi dari semua kebimbangannya selama ini.

Ponselnya bergetar.

Alindra.

Arven menatap nama itu di layar cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan meletakkan ponselnya kembali tanpa menjawab.

Mungkin, selama ini ia tidak benar-benar kehilangan sesuatu.

Mungkin, ia hanya melepaskan sesuatu yang tak pernah ia genggam dengan benar sejak awal.

Dan mungkin… untuk pertama kalinya, itu bukan hal yang salah.

 

Kadang, kita baru sadar sesuatu itu berharga setelah kehilangannya. Tapi lebih sering lagi, kita nggak benar-benar kehilangan—kita cuma akhirnya melepaskan sesuatu yang selama ini nggak pernah kita genggam dengan benar. Dan itu? Itu mungkin cara semesta ngasih tahu kalau udah waktunya berhenti berlari dalam lingkaran yang sama.

Leave a Reply