Daftar Isi
Rasakan kehangatan dan refleksi mendalam dalam Terang di Malam Sahur: Kisah Perjalanan Hati di Bulan Ramadhan, sebuah cerpen yang mengisahkan perjalanan emosional Zharifah, seorang wanita yang menemukan kedamaian dan kekuatan di tengah kesedihan kehilangan adiknya selama bulan suci. Berlatar di kampung kecil Zahrina, kisah ini memadukan doa, pengorbanan, dan ikatan keluarga, cocok untuk Anda yang mencari inspirasi spiritual di bulan Ramadhan.
Terang di Malam Sahur
Panggilan di Tengah Sunyi
Pukul 03:30 WIB, Selasa, 27 Mei 2025, udara dingin menyelimuti kampung kecil di pinggiran kota Zahrina, tempat Zharifah, seorang wanita berusia 28 tahun, tinggal bersama neneknya, Ummi Salima. Malam itu terasa lebih sepi dari biasanya, hanya diselingi oleh suara jangkrik dan derit halus dari ayunan tua di halaman depan rumah. Bulan Ramadhan telah tiba, dan Zharifah duduk di ambang jendela kamarnya, menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang kecil, seolah mencari jawaban atas kekosongan yang ia rasakan di dadanya. Rambut hitam panjangnya yang tergerai menutupi bahunya, dan matanya yang cokelat tua terlihat redup, mencerminkan beban yang ia pikul sejak kehilangan adiknya, Farizaan, dua tahun lalu.
Zharifah menggenggam sebuah kalung sederhana yang selalu ia kenakan, sebuah liontin perak kecil yang berisi foto Farizaan tersenyum di sampingnya saat mereka masih kecil. Farizaan, dengan rambut keritingnya dan tawa yang menular, adalah cahaya dalam hidupnya—sampai kecelakaan itu merenggutnya di tengah hujan lebat. Sejak saat itu, Ramadhan tak lagi terasa sama. Dulu, mereka selalu bangun bersama untuk sahur, saling menggoda sambil menyiapkan bubur kacang hijau favorit ibu mereka, yang kini hanya menjadi kenangan. Zharifah menghela napas panjang, mencoba mengusir bayang-bayang itu, tapi hati kecilnya tetap terasa hampa.
Di sudut rumah, suara Ummi Salima terdengar pelan, memanggilnya untuk sahur. “Zharifah, nak, bangun. Jangan sampai telat makan sebelum imsak,” katanya dengan suara serak khas usia tua, namun penuh kehangatan. Zharifah bangkit dari ambang jendela, mengenakan jilbab hijaunya yang sederhana, dan berjalan menuju dapur kecil yang diterangi lampu minyak. Ummi Salima, dengan rambut putihnya yang tersimpan rapi di bawah kerudung, sedang mengaduk sup ayam dalam panci tua, aroma rempah-rempah seperti kayu manis dan kunyit memenuhi udara. Di meja kayu yang sudah usang, terhidang beberapa potong kurma, telur rebus, dan segelas teh manis hangat.
“Ummi, biar aku yang aduk,” kata Zharifah, mengambil sendok kayu dari tangan neneknya. Ummi Salima tersenyum, matanya yang keriput penuh kasih sayang. “Kamu baik hati, Nak. Tapi jangan lupa doa, ya. Ramadhan ini, semoga hati kamu terang lagi,” ujarnya, suaranya lembut namun penuh makna. Zharifah hanya mengangguk, tak yakin bisa menjawab. Terang? Bagaimana ia bisa merasakan terang ketika setiap sahur mengingatkannya pada Farizaan, yang selalu menjadi yang pertama bangun dan membangunkannya dengan candaan?
Mereka duduk bersama, makan sahur dalam keheningan yang hanya dipecah oleh suara sendok yang menyentuh piring. Zharifah memandang Ummi Salima, yang kini tampak lebih tua dari yang ia ingat. Neneknya itu adalah satu-satunya keluarga yang tersisa baginya, dan meski ia bersyukur, ada rasa bersalah yang terus menggerogoti—ia merasa tak cukup memberikan perhatian pada Ummi Salima karena sibuk dengan pekerjaannya sebagai penjahit di rumah. Setiap hari, ia menerima pesanan jilbab dan baju koko dari tetangga, bekerja hingga larut malam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, tapi jarang punya waktu untuk sekadar mengobrol.
Setelah sahur, Zharifah membantu Ummi Salima membersihkan meja, lalu kembali ke kamarnya untuk shalat Subuh. Ia berjongkok di atas sajadah tua berwarna hijau, menunduk dalam doa, tapi pikirannya berlomba. Ia memohon kekuatan untuk menghadapi hari puasa ini, untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Farizaan, dan untuk menjadi lebih baik bagi Ummi Salima. Tapi saat ia mengucapkan “Amin”, air mata jatuh tanpa sepengetahuannya, membasahi sajadah. Ia tak tahu apakah itu tanda kelemahan atau permohonan yang tulus.
Pagi itu, setelah shalat, Zharifah duduk di beranda rumah, menatap jalanan kampung yang mulai ramai dengan suara azan dari masjid terdekat. Ia membuka buku harian tua yang selalu ia simpan di laci, tempat ia menulis kenangan tentang Farizaan. Di halaman pertama, ada tulisan tangannya sendiri: Hari ini, Farizaan bilang Ramadhan adalah waktu untuk bersyukur. Aku cuma ketawa, tapi sekarang aku mengerti. Zharifah menutup buku itu, menahan isakan. Ia ingin bersyukur, tapi bagaimana caranya ketika hatinya masih terasa hancur?
Tiba-tiba, Ummi Salima muncul di sisinya, membawa segelas air putih. “Nak, coba baca Al-Qur’an sebentar. Kadang, ketenangan datang dari kata-kata yang kita baca,” sarannya, menyerahkan segelas air dengan tangan yang sedikit gemetar. Zharifah mengangguk, mengambil Al-Qur’an kecil dari rak kayu di dekatnya. Ia membukanya secara acak, dan matanya tertuju pada Surah Ar-Rahman, ayat tentang keajaiban ciptaan Allah. Suara Ummi Salima yang pelan membacakan ayat-ayat itu di sisinya membuatnya merasa hangat, seolah ada cahaya kecil yang mulai menyelinap ke dalam hatinya.
Hari itu, Zharifah memulai puasa dengan perasaan bercampur aduk—sedih karena kenangan Farizaan, tapi juga harap karena kata-kata Ummi Salima. Ia tahu Ramadhan ini akan berbeda, bukan karena ia ingin melupakannya, tapi karena ia ingin menemukan cara untuk hidup dengan kenangan itu. Di kejauhan, suara azan Dzuhur mulai bergema, menandakan hari pertama puasa telah dimulai, dan Zharifah berdoa dalam hati—mohon agar bulan suci ini membawanya lebih dekat pada kedamaian yang selama ini ia cari.
Bayang-Bayang di Siang Puasa
Pukul 08:55 WIB, Selasa, 27 Mei 2025, sinar matahari mulai menembus celah-celah daun pohon jati di halaman rumah Zharifah di kampung kecil pinggiran kota Zahrina. Udara pagi terasa hangat, membawa aroma tanah dan bunga kamboja yang mekar di dekat pagar bambu. Zharifah duduk di meja kerjanya yang sederhana di sudut ruang tamu, dikelilingi oleh tumpukan kain katun dan jilbab pesanan yang harus ia selesaikan sebelum akhir pekan. Mesin jahit tua di depannya berderit setiap kali ia menginjak pedal, sebuah irama monoton yang biasanya menenangkan, tapi hari itu hanya membuatnya merasa semakin gelisah. Puasa hari pertama Ramadhan terasa lebih berat dari yang ia bayangkan, bukan karena lapar atau haus, tetapi karena pikirannya terus kembali pada Farizaan.
Zharifah menjahit dengan tangan yang sedikit gemetar, matanya sesekali melirik kalung liontin perak yang tergantung di lehernya. Gambar Farizaan di dalam liontin itu seolah menatapnya, tersenyum dengan tawa yang kini hanya ada dalam kenangan. Ia teringat betul bagaimana adiknya itu selalu membantu selama Ramadhan—membantu menyiapkan iftar, membaca Al-Qur’an bersama, bahkan sekadar mengobrol tentang hal-hal kecil seperti resep baru yang mereka temukan di buku masak ibu mereka. “Kak Zhar, kapan-kapan kita bikin kolak bareng ya, tapi aku yang masukin gula, biar manisnya pas!” kata Farizaan dulu, suaranya penuh semangat. Zharifah tersenyum kecil pada kenangan itu, tapi senyumnya cepat memudar, digantikan oleh rasa sesak yang familiar di dadanya.
Di ruang sebelah, Ummi Salima sedang duduk di kursi goyang tua, memegang tasbih kayu dengan jari-jari yang sudah keriput. Ia berdzikir pelan, suaranya seperti bisikan yang menenangkan, namun Zharifah tahu neneknya juga sedang melawan rasa lelah. Ummi Salima sudah tak sekuat dulu, sering mengeluh sakit di punggungnya, tapi ia selalu berusaha terlihat tegar di depan cucunya. Zharifah merasa bersalah—ia tahu ia harus lebih sering menemani Ummi Salima, tapi pekerjaan menjahit ini adalah satu-satunya cara mereka bisa bertahan hidup. Setiap jahitan yang ia buat terasa seperti simbol perjuangannya, tapi juga seperti pengingat bahwa ia tak punya banyak waktu untuk hal lain.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu depan memecah konsentrasi Zharifah. Ia meletakkan kain yang sedang ia jahit, bangkit dari kursi, dan membuka pintu. Di depan pintu berdiri Ibu Qirana, tetangga mereka yang dikenal sebagai pedagang sayur di pasar Zahrina. Ibu Qirana tersenyum lebar, membawa sebungkus plastik berisi sayuran segar dan beberapa butir kelapa muda. “Assalamu’alaikum, Zharifah! Ini buat iftar nanti. Aku tahu kamu sibuk, jadi aku bawain sedikit sayur sama kelapa buat buka puasa,” katanya, suaranya riang namun penuh perhatian.
Zharifah membalas salam, tersenyum meski matanya masih redup. “Wa’alaikumsalam, Bu. Makasih banyak, ya. Nggak usah repot-repot, kok,” jawabnya, menerima bungkusan itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ibu Qirana menggeleng, tangannya menepuk bahu Zharifah dengan lembut. “Zharifah, Ramadhan itu waktu buat saling berbagi. Aku tahu kamu sama Ummi Salima suka kolak, jadi aku bawain bahan-bahannya. Nanti masak bareng, ya,” katanya, lalu pamit dengan senyum yang tulus.
Zharifah menutup pintu, membawa bungkusan itu ke dapur kecil mereka. Ia membuka plastik itu, melihat koloni, ubi, dan kelapa muda yang terlihat segar. Tiba-tiba, air matanya jatuh tanpa ia sadari, menetes ke meja kayu. Kolak—makanan yang selalu ia dan Farizaan buat bersama setiap Ramadhan. Ia teringat bagaimana Farizaan selalu bersikeras memasukkan gula lebih banyak, membuat kolak mereka terlalu manis, tapi mereka selalu tertawa bersama saat mencicipinya. “Kak Zhar, ini kolak ter-manis sedunia!” kata Farizaan dulu, sambil tertawa hingga wajahnya memerah.
Zharifah menyeka air matanya, berusaha menenangkan diri. Ia tak ingin Ummi Salima melihatnya menangis—neneknya sudah cukup khawatir tentangnya. Ia mulai memotong ubi dengan tangan yang masih gemetar, setiap potongan terasa seperti perjalanan kembali ke masa lalu. Ia teringat bagaimana Farizaan selalu duduk di meja yang sama, mengupas kelapa muda dengan pisau kecil, sering kali memotong terlalu dalam hingga air kelapanya tumpah. “Farizaan, hati-hati dong!” tegur Zharifah dulu, tapi adiknya hanya tertawa, “Kak, tenang aja, kan ada kamu yang beresin!”
Sore itu, saat matahari mulai condong ke barat, Zharifah dan Ummi Salima menyiapkan iftar bersama. Mereka membuat kolak dengan bahan dari Ibu Qirana, ditambah beberapa potong kurma dan teh hangat. Aroma manis kolak memenuhi dapur, dan untuk pertama kalinya hari itu, Zharifah merasa sedikit lega. Ia melihat Ummi Salima mencicipi kolak dengan hati-hati, lalu tersenyum kecil. “Enak, Nak. Farizaan pasti suka kalau dia masih di sini,” katanya, suaranya penuh kerinduan.
Kata-kata itu terasa seperti pisau yang menusuk hati Zharifah, tapi ia hanya mengangguk, berusaha tersenyum. “Iya, Ummi. Farizaan pasti bilang ini terlalu manis,” jawabnya, suaranya serak. Mereka duduk bersama di meja kecil, menunggu azan Maghrib yang akan segera berkumandang. Zharifah menatap mangkuk kolak di depannya, dan untuk sesaat, ia merasa seperti Farizaan ada di sana, tersenyum di sampingnya, menggodanya seperti dulu.
Saat azan Maghrib akhirnya terdengar, Zharifah mengambil sebutir kurma, membaca doa, dan memakannya perlahan. Rasa manis kurma bercampur dengan air mata yang tak terbendung, tapi kali ini, air mata itu bukan hanya tentang kesedihan. Ada rasa syukur kecil yang mulai tumbuh di hatinya—syukur karena ia masih punya Ummi Salima, karena kebaikan Ibu Qirana, dan karena Ramadhan ini memberinya kesempatan untuk merenung. Ia tahu perjalanan ini masih panjang, tapi malam itu, di tengah aroma kolak dan suara doa Ummi Salima, Zharifah merasa sedikit lebih dekat dengan kedamaian yang ia cari.
Doa di Tengah Hujan
Pukul 18:30 WIB, Selasa, 27 Mei 2025, langit di atas kampung kecil Zahrina mulai mendung, menyelimuti sore yang hangat dengan bayang-bayang kelabu. Zharifah berdiri di beranda rumah, menatap tetesan hujan pertama yang mulai jatuh ke tanah, menciptakan pola kecil di genangan air di halaman depan. Aroma tanah basah bercampur dengan bau kayu tua dari rumah mereka, membawa kenangan yang tak bisa ia hindari. Setelah iftar tadi, yang diisi dengan kolak manis dan doa bersama Ummi Salima, Zharifah merasa sedikit lebih ringan, tapi hati kecilnya masih diliputi kegelisahan. Bayang-bayang Farizaan terus menghantuinya, terutama saat hujan—seperti malam kecelakaan itu dua tahun lalu.
Di dalam rumah, Ummi Salima sedang membersihkan meja makan, tangannya yang gemetar karena usia menyapu remah-remah kurma ke dalam sebuah mangkuk kecil. Zharifah melangkah masuk, mengambil lap dari rak dapur, dan membantu neneknya. “Ummi, biar aku saja. Kamu istirahat dulu, ya,” katanya lembut, suaranya penuh perhatian. Ummi Salima mengangguk, tersenyum tipis, lalu duduk di kursi goyangnya, memegang tasbih kayu yang selalu ia bawa. “Zharifah, hujan ini membawa berkah. Jangan lupa shalat Maghrib, Nak,” ujarnya, suaranya pelan namun penuh makna.
Zharifah mengangguk, tapi pikirannya melayang ke malam hujan dua tahun lalu. Ia ingat betul bagaimana Farizaan memaksa keluar rumah untuk membeli mi instan saat hujan turun deras, mengabaikan larangan ibunya. Zharifah, yang saat itu sedang menjahit pesanan, tak sempat menghentikannya. Beberapa jam kemudian, kabar datang—Farizaan tertabrak mobil saat menyeberang jalan yang licin. Hujan itu tak hanya merenggut adiknya, tetapi juga membawa rasa bersalah yang terus menggerogoti Zharifah. “Kalau saja aku lebih tegas, Farizaan masih ada,” gumamnya dalam hati, air matanya hampir jatuh lagi.
Saat azan Maghrib berkumandang dari masjid terdekat, Zharifah mengambil wudhu di kamar mandi kecil di belakang rumah. Air dingin dari ember tua terasa menusuk kulitnya, tapi ia menyambutnya sebagai penyegar jiwa. Ia kembali ke ruang tamu, menggelar sajadah hijau tua yang sudah lusuh, dan memulai shalat bersama Ummi Salima. Suara neneknya membaca doa terdengar rapat, penuh kekhusyukan, dan untuk sesaat, Zharifah merasa seperti ada kehangatan yang menyelinap ke dalam hatinya. Tapi saat ia mengangkat tangan untuk berdoa, pikirannya kembali kacau—ia memohon ampun atas kesalahannya, memohon kedamaian untuk Farizaan, dan memohon kekuatan untuk Ummi Salima.
Setelah shalat, hujan semakin deras, mengetuk atap rumah dengan ritme yang tak henti. Zharifah duduk di ambang jendela, menatap curahan air yang membasahi jalanan kampung. Ia teringat bagaimana Farizaan selalu suka bermain hujan, meski ibunya selalu marah karena ia pulang dengan baju basah kuyup. “Kak Zhar, hujan ini kayak pelukan dari langit!” kata Farizaan dulu, sambil tertawa dan menari di bawah guyuran air. Zharifah tersenyum kecil pada kenangan itu, tapi senyumnya cepat hilang saat ia membayangkan wajah adiknya yang pucat di rumah sakit malam itu.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan di pintu memecah lamunannya. Zharifah bangkit, membuka pintu, dan menemukan Ibu Qirana berdiri di bawah payung sederhana, membawa sebuah panci kecil yang masih hangat. “Zharifah, aku bikin soto ayam buat takjil. Aku tahu hujan begini bikin dingin, jadi aku bawa buat kamu sama Ummi Salima,” katanya, suaranya hangat meski wajahnya sedikit basah oleh tetesan hujan. Zharifah tersenyum, menerima panci itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Bu. Ummi pasti senang,” jawabnya, hatinya terasa sedikit terangkat oleh kebaikan tetangganya.
Mereka duduk bersama di meja makan, menikmati soto ayam hangat yang disajikan dengan potongan daun bawang dan irisan telur. Ummi Salima tampak lebih bersemangat, menceritakan kenangan masa kecilnya tentang hujan di kampung ini. “Dulu, aku sama kakekmu sering bikin perahu kertas, biar terapung di genangan hujan,” katanya, tertawa kecil. Zharifah mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi pikirannya masih terbagi—antara cerita Ummi Salima dan kenangan Farizaan yang terus muncul seperti bayangan.
Malam itu, setelah Ummi Salima tertidur di kursi goyangnya, Zharifah memutuskan untuk keluar ke halaman belakang. Hujan sudah reda, meninggalkan udara yang dingin dan segar. Ia membawa Al-Qur’an kecil miliknya, duduk di bawah pohon sawo tua yang selalu memberikan keteduhan, dan mulai membaca. Cahaya lampu minyak dari jendela rumah menerangi halaman, menciptakan bayang-bayang lembut di sekitarnya. Ia membuka Surah Al-Inshirah, ayat yang pernah dibacakan Farizaan untuknya saat ia merasa tertekan: “Tidakkah Kami lapangkan untukmu dadamu?” Ayat itu terasa seperti bisikan lembut, seolah Farizaan sedang berbicara padanya dari kejauhan.
Air mata Zharifah jatuh lagi, tapi kali ini ia tak menyekanya. Ia membiarkannya mengalir, membasahi halaman tanah, seolah melepaskan beban yang selama ini ia simpan. Ia berdoa dalam hati, meminta ampunan untuk kesalahannya, meminta kekuatan untuk menerima kepergian Farizaan, dan memohon keberkahan untuk Ummi Salima. Di tengah malam yang sunyi, dengan suara jangkrik sebagai teman, Zharifah merasa ada perubahan kecil di dalam dirinya—seperti cahaya redup yang mulai menyala, meski masih samar.
Saat ia kembali ke dalam rumah, jam menunjukkan pukul 21:00 WIB. Zharifah menatap Ummi Salima yang tertidur pulas, tasbihnya masih tergenggam erat di tangan. Ia mengambil selimut tipis, menutupi neneknya dengan penuh kasih, lalu duduk di sampingnya, menatap wajah tua yang penuh kedamaian. Malam itu, Zharifah merasa sedikit lebih dekat dengan dirinya sendiri—dan mungkin, dengan Farizaan yang ia rindukan. Hujan mungkin membawa luka, tapi ia juga membawa harapan, dan Zharifah tahu perjalanan ini belum selesai.
Cahaya di Ujung Doa
Pukul 23:00 WIB, Selasa, 27 Mei 2025, malam di kampung kecil Zahrina terasa lebih sunyi setelah hujan reda. Zharifah duduk di sudut ruang tamu, dikelilingi oleh cahaya lembut dari lampu minyak yang diletakkan di atas meja kayu tua. Ummi Salima sudah tertidur pulas di kamarnya, selimut tipis menutupi tubuhnya yang rapuh, sementara tasbih kayu masih tergenggam di tangannya. Zharifah memandang neneknya dengan penuh kasih, lalu menoleh ke Al-Qur’an kecil yang terbuka di pangkuannya, halaman Surah Al-Inshirah masih tersingkap. Ayat-ayat itu terasa seperti bisikan lembut yang terus menggema di hatinya: “Tidakkah Kami lapangkan untukmu dadamu?”
Malam itu, Zharifah memutuskan untuk melakukan qiyamul lail, shalat malam yang biasanya ia abaikan karena lelah setelah bekerja. Ia menggelar sajadah hijau tua itu lagi, menempatkannya menghadap kiblat, dan mulai berdoa. Suara napasnya yang pelan bercampur dengan derit halus lantai kayu tua, menciptakan irama yang tenang. Ia memohon ampunan untuk dirinya sendiri, untuk kesalahan yang ia rasa telah membuat Farizaan pergi, dan untuk kekuatan menjalani sisa Ramadhan ini dengan hati yang lebih terbuka. Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini ia membiarkannya mengalir, seolah setiap tetes adalah pelepas beban yang selama ini ia simpan.
Di tengah doanya, Zharifah teringat momen kecil yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Ia mengingat bagaimana Farizaan selalu bangun lebih awal untuk menyiapkan sahur, meski hanya membuat teh hangat dan memanggang roti sederhana. “Kak Zhar, aku mau bantu Ummi biar kamu bisa tidur lebih lama,” kata adiknya dulu, suaranya penuh semangat meski matanya masih mengantuk. Zharifah tersenyum kecil pada kenangan itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa rasa bersalahnya sedikit mereda. Mungkin, Farizaan tak akan menyalahkannya—mungkin, adiknya hanya ingin ia hidup dengan bahagia.
Jam menunjukkan pukul 02:30 WIB ketika Zharifah selesai dari qiyamul lail. Ia merasa tubuhnya lelah, tapi jiwanya terasa lebih ringan. Ia berjalan ke dapur kecil, menyalakan kompor tua untuk menyiapkan sahur, mengikuti kebiasaan Farizaan. Ia mengambil beras dan kacang hijau dari laci, memasak bubur sederhana seperti yang dulu mereka buat bersama. Aroma harum dari kayu manis yang ia tambahkan memenuhi udara, membawa kenangan yang kini terasa lebih hangat daripada menyakitkan. Zharifah mengaduk bubur dengan sendok kayu, dan untuk sesaat, ia merasa seperti Farizaan ada di sisinya, tersenyum dan berkata, “Kak, ini cukup manis belum?”
Saat bubur selesai, Zharifah membangunkan Ummi Salima dengan lembut. “Ummi, sahur sudah siap,” bisiknya, membantu neneknya bangun dari tempat tidur. Ummi Salima tersenyum, matanya yang keriput bersinar di bawah cahaya lampu minyak. “Zharifah, kamu masak? Enak baunya,” katanya, suaranya penuh kehangatan. Mereka duduk bersama di meja makan, menikmati bubur hangat yang disajikan dengan potongan kurma dan segelas teh manis. Zharifah menatap Ummi Salima, merasa ada ikatan yang semakin erat di antara mereka malam itu.
Di tengah sahur, Ummi Salima mengambil tangan Zharifah, memegangnya erat. “Nak, aku tahu kamu masih rindu Farizaan. Tapi percayalah, dia sekarang dalam lindungan Allah. Ramadhan ini, coba lepaskan bebanmu. Doa kamu sampai ke dia,” katanya, suaranya penuh kebijaksanaan. Zharifah menelan ludah, air matanya menggenang lagi, tapi kali ini ia mengangguk. “Iya, Ummi. Aku akan coba,” jawabnya, suaranya serak namun penuh tekad.
Saat azan Subuh berkumandang, Zharifah dan Ummi Salima bergegas mengambil wudhu dan shalat bersama. Cahaya fajar mulai menyelinap melalui celah jendela, menerangi ruang tamu dengan warna lembut. Setelah shalat, Zharifah duduk di ambang jendela, menatap langit yang perlahan berubah menjadi biru muda. Ia menggenggam kalung liontinnya, memandang foto Farizaan, dan berbisik, “Farizaan, kakak rindu kamu. Tapi kakak janji, kakak akan kuat buat Ummi, buat diri kakak sendiri.”
Di luar, suara burung berkicau mulai terdengar, menandakan hari baru telah tiba. Zharifah merasa ada perubahan dalam dirinya—bukan karena rasa bersalahnya hilang sepenuhnya, tapi karena ia mulai menerima bahwa kepergian Farizaan adalah bagian dari rencana yang lebih besar. Ia ingat ayat Al-Inshirah lagi, dan kali ini, ia merasa dadanya benar-benar terlapang, seolah beban yang ia pikul selama ini mulai ringan.
Malam itu, Zharifah memutuskan untuk melanjutkan tradisi Farizaan—menyiapkan sahur untuk Ummi Salima setiap hari. Ia juga berencana mengundang Ibu Qirana dan tetangga lain untuk berbuka bersama, ingin berbagi kebaikan seperti yang telah diberikan padanya. Saat ia menutup mata untuk beristirahat, ia merasa ada cahaya kecil yang menyala di dalam hatinya—cahaya yang mungkin berasal dari doa, dari cinta Ummi Salima, dan dari kenangan Farizaan yang kini menjadi kekuatan baginya.
Pagi menjelang, dan Zharifah tahu bahwa Ramadhan ini akan menjadi titik balik baginya. Di bawah langit Zahrina yang cerah, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk hidup dengan penuh syukur, mengenang Farizaan bukan dengan kesedihan, tetapi dengan harapan—harapan bahwa cinta mereka akan terus bersinar, bahkan di ujung doa.
Terang di Malam Sahur: Kisah Perjalanan Hati di Bulan Ramadhan adalah kisah yang memikat hati, mengajarkan kekuatan doa dan pengampunan di tengah luka. Melalui perjalanan Zharifah, cerpen ini menginspirasi kita untuk menemukan terang dalam kesedihan dan mempererat ikatan keluarga di bulan suci ini. Jangan lewatkan kisah ini untuk merenung dan merasakan makna Ramadhan yang lebih dalam.
Terima kasih telah menelusuri perjalanan Zharifah dalam Terang di Malam Sahur. Semoga kisah ini membawa inspirasi dan kedamaian di bulan Ramadhan Anda. Sampai jumpa di cerita berikutnya, dan silakan bagikan refleksi Anda di kolom komentar!