Teman Sebangku Paling Bikin Kangen: Seragam Putih dan Tanda yang Tertinggal’ Bikin Ingat Masa Sekolah

Posted on

Pernah nggak sih, punya satu orang di bangku sekolah yang bikin hari-hari kamu jadi lebih berwarna, lebih seru, dan bahkan bikin kamu semangat datang ke kelas cuma karena dia? Nah, cerpen ‘Seragam Putih dan Tanda yang Tertinggal ini ngangkat kisah pertemanan dua anak SMA yang awalnya beda dunia—si kutu buku dan si spontan—tapi lama-lama jadi duo paling kompak di kelas.

Dari belajar bareng, tukar cerita absurd, sampai momen perpisahan yang bikin dada sesek… semua dikemas manis, unik, dan penuh feel! Kalau kamu lagi kangen masa-masa sekolah, cerpen ini bukan cuma nostalgia—tapi juga pengingat kalau kadang, teman terbaik datang dari bangku yang nggak pernah kita pilih, tapi ternyata pas di hati.

Teman Sebangku Paling Bikin Kangen

Dua Dunia, Satu Bangku

Hari itu, cahaya pagi menembus sela-sela jendela kelas 10 IPA 3, menimpa papan tulis yang masih kosong dan meja-meja yang sudah tersusun rapi sejak pagi buta. Suasana sekolah sedang ramai—bukan karena kegiatan belajar, tapi karena hari pertama masuk setelah pembagian kelas. Semua sibuk mencari nama masing-masing di kertas tempel di depan ruang kelas.

Di antara kerumunan, ada satu nama yang membuat kepala beberapa siswa menoleh dan berbisik pelan. “Seriusan Nerva duduk bareng Taisa?” gumam seorang siswa, berusaha menyembunyikan nada kagetnya. Tak sedikit yang mengernyit, seperti melihat dua warna yang mustahil dicampur.

Nerva Salvadore dikenal sebagai sosok yang tenang, terlalu pendiam untuk ukuran anak SMA, dan punya kebiasaan aneh membawa buku catatan laboratorium ke mana-mana. Sedangkan Taisa Elarine? Dia seperti percikan api yang menyambar di antara dinding sekolah yang penuh debu. Ceria, cerewet, penuh ide gila, dan selalu jadi yang pertama angkat tangan meski belum tahu jawabannya.

Pagi itu, Taisa lebih dulu masuk kelas. Dengan rambut dikuncir setengah acak dan totebag penuh stiker random, ia melangkah ringan menuju meja barunya. Posisi strategis: dekat jendela, angin leluasa, dan pemandangan taman kecil sekolah yang masih hijau karena hujan semalam.

“Aku duluan, ya. Bangkunya udah aku tempatin!” serunya sembari duduk santai dan meletakkan bekal kecil berisi roti selai stroberi.

Tak lama, Nerva datang. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara. Satu-satunya hal yang membuatnya terlihat mencolok adalah tas ransel hitam polos yang terlalu penuh, dan buku berjudul Struktur Kimia Organik Tingkat Lanjut yang ia peluk erat. Ia memandangi bangku itu sejenak, lalu duduk tanpa berkata apa-apa.

Taisa memiringkan kepala, lalu menyapa dengan suara ringan. “Eh, kamu Nerva, kan?”

Nerva mengangguk tanpa menoleh. “Iya.”

“Aku Taisa. Kayaknya kita bakal sebangku sampai kelas ini bubar ya,” lanjutnya sambil menggigit rotinya.

“Hmm,” sahut Nerva, masih menatap bukunya.

Kebanyakan orang mungkin akan merasa canggung. Tapi tidak dengan Taisa. Dia tertawa kecil, lalu mulai bicara soal cuaca, soal kenapa nama kelas mereka punya angka tiga padahal belum tentu yang ketiga terbaik, bahkan soal seekor kucing oranye yang biasa nongkrong di belakang lab kimia.

“Eh, kamu suka langit sore nggak?” tanyanya tiba-tiba.

Nerva terdiam sejenak. “Suka. Tapi aku lebih suka malam.”

“Kenapa?”

“Karena langit malam punya pola. Sore terlalu… acak.”

Taisa menyeringai. “Kita cocok. Aku suka sore justru karena dia nggak bisa ditebak.”

Begitulah, hari pertama berjalan tanpa drama berlebihan. Meski mayoritas waktu Taisa bicara sendiri, sesekali Nerva membalas dengan satu dua kalimat pendek. Tapi ada satu momen yang bikin Taisa berhenti bicara: saat bel pulang berbunyi dan Nerva berkata pelan, “Besok aku bawain buku tentang langit. Kayaknya kamu bakal suka.”

Taisa tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, sambil menyembunyikan senyum di balik rambut yang jatuh menutupi sebagian wajahnya.

Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan, Nerva benar-benar membawa buku berjudul Sains di Balik Langit Senja. Bukunya tak baru, ada lipatan halus di sudutnya, dan ada coretan kecil di halaman pembuka: “Langit itu bukan cuma buat dilihat, tapi dipahami.”

Taisa langsung meraihnya, membolak-balik halaman dengan penuh antusias. “Aku suka banget bau buku yang udah agak lama kayak gini.”

Nerva mengangguk. “Itu buku kesukaanku waktu SMP.”

Hari-hari berikutnya, bangku keempat dari depan itu jadi semacam markas kecil. Nerva membawa diagram molekul, Taisa bawa camilan. Nerva baca jurnal, Taisa gambar di belakangnya. Kadang mereka diam cukup lama, tapi tidak pernah merasa janggal.

Guru-guru mulai terbiasa melihat mereka berdiskusi dengan cara yang aneh—Taisa menjelaskan konsep fotosintesis dengan gerakan tangan seperti sedang berdansa, sementara Nerva mengoreksi rumus sambil mencoret pelan dengan pensil 2B miliknya.

Suatu siang, saat istirahat kedua, Taisa bertanya, “Kamu sadar nggak sih, semua orang mikir kita aneh karena duduk bareng?”

Nerva hanya mengangguk pelan.

“Lagian emang aneh sih. Kamu kayak buku teks jalan, aku kayak… koran gosip.”

“Aku nggak mikir gitu.”

“Terus kamu mikir kita apa?”

Nerva menatap keluar jendela sebentar sebelum menjawab, “Kayak kutub magnet. Nggak sama, tapi bisa saling tarik.”

Taisa tertawa keras. “Kamu romantis juga ya, ternyata!”

Nerva memutar bola matanya sambil kembali ke bukunya. Tapi bibirnya terangkat sedikit. Nyaris seperti senyum.

Tak ada yang menyangka, dua anak yang begitu berbeda bisa saling menemukan ritme. Tapi begitulah mereka. Seperti dua lagu dengan genre beda, tapi entah bagaimana, harmoni itu tercipta juga—di antara dua meja kayu yang sederhana.

Dan cerita mereka, baru saja dimulai.

Langit Senja dan Soal Matematika

Hujan turun seminggu penuh sejak hari itu. Bukan hujan deras yang mengguyur sampai genteng sekolah bocor, tapi hujan tipis yang seolah cuma mampir sebentar untuk membasahi daun, meninggalkan aroma tanah, lalu pergi tanpa pamit. Cuaca mendung membuat sebagian besar anak malas bergerak. Tapi tidak Taisa.

Setiap pagi, ia datang dengan payung lipat warna ungu dan sepatu sedikit becek. Di tangannya selalu ada sesuatu—kadang roti pisang, kadang stiker baru, kadang tumpukan kertas latihan soal yang dia cetak asal dari internet. Meja mereka makin penuh dari hari ke hari, seperti perpustakaan kecil yang tumbuh diam-diam di antara barisan bangku.

Sementara itu, Nerva tetap jadi dirinya. Datang tepat waktu, duduk rapi, dan membuka buku seperti ritual suci yang tak boleh diganggu. Tapi anehnya, sejak duduk dengan Taisa, ia mulai menuliskan hal-hal yang tidak biasa di pinggiran catatannya. Kalimat seperti “Senja hari ini lembut, kayak suara Taisa waktu nyebut nama bintang.” muncul di sela rumus dan angka.

Hari Rabu, guru matematika masuk dengan ekspresi yang bikin satu kelas mengerut. “Ulangan mendadak,” katanya tanpa basa-basi. Beberapa siswa berdecak. Beberapa lainnya langsung pasrah. Taisa? Dia menengok ke arah Nerva dengan ekspresi panik setengah hidup.

“Aku bahkan belum ngerti logaritma itu buat apa,” bisiknya.

“Untuk bikin kamu duduk tenang selama satu jam, mungkin,” balas Nerva tanpa mengangkat wajah.

Taisa mendesah. Sepanjang ulangan, ia lebih banyak menatap langit lewat jendela daripada ke kertas soal. Sementara Nerva menulis cepat, tenang, presisi. Begitu selesai, ia menyelipkan kertas ke tepi meja dengan pelan dan menatap ke luar jendela seperti mengikuti arah pandang Taisa.

“Kamu gagal lagi, ya?” tanya Nerva saat mereka keluar kelas.

“Kayaknya nilai aku cukup buat bikin guru matematika resign.”

Nerva tidak tertawa, tapi ia mengangguk pelan. “Besok sore, habis pulang sekolah. Belajar bareng di taman belakang, mau?”

Taisa melongo. “Kamu ngajakin aku belajar?”

“Iya.”

“Berdua?”

“Iya.”

Taisa pura-pura berpikir keras, lalu mengangguk dengan ekspresi dramatis. “Oke. Tapi kamu harus bawa camilan. Aku nggak bisa berpikir kalau lapar.”

Sore keesokan harinya, taman belakang sekolah sepi. Hanya ada dua bangku kayu menghadap kolam kecil berisi air keruh dan beberapa ikan emas. Di sana, di bawah langit yang mulai jingga, Nerva membuka map berisi soal-soal, sementara Taisa duduk bersila, mencoba mengingat semua yang pernah ia pelajari—yang ternyata hampir tidak ada.

Taisa tidak langsung paham. Beberapa kali ia menghentikan Nerva hanya untuk bertanya ulang, atau sekadar meyakinkan bahwa ‘akar pangkat dua’ bukan berarti pohon matematika. Tapi Nerva tidak marah. Ia hanya mengulang dengan cara yang berbeda—kadang pakai cerita, kadang pakai analogi, bahkan pernah sekali menggambar angka-angka sebagai monster lucu yang sedang bertarung.

“Kenapa kamu sabar banget ngajarin aku?” tanya Taisa di tengah sesi yang nyaris berubah jadi stand-up comedy.

Nerva mengangkat bahu. “Karena kamu nggak pernah ngeledek aku walaupun aku aneh.”

Taisa terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kamu nggak aneh, Nerva. Kamu cuma belum nemu orang yang ngerti bahasa kamu.”

Mereka terus belajar sampai langit berubah ungu. Cahaya sore jatuh lembut di wajah Taisa, dan untuk pertama kalinya, Nerva benar-benar memperhatikan. Ada bintik kecil di bawah mata kirinya. Ada rambut yang lepas dari ikatan dan menari pelan tertiup angin. Suara tawanya lebih pelan saat sore tiba, seolah ikut menghormati matahari yang hendak pulang.

Dan di tengah catatan penuh angka itu, Nerva menuliskan satu hal: “Langit sore itu seperti Taisa—acak, penuh warna, dan selalu bikin aku pengin ngerti lebih jauh.”

Malamnya, Taisa mengirim pesan singkat lewat chat kelas.

Taisa:
Eh, makasih ya hari ini. Kamu bikin angka-angka itu nggak seseram biasanya.

Nerva:
Besok kita belajar lagi. Aku punya cara baru buat jelasin integral.

Taisa:
Asal jangan pakai analogi monster makan donat lagi. Aku malah jadi lapar waktu itu.

Nerva:
🙂

Dan begitu saja, kebiasaan baru itu dimulai. Setiap sore, dua anak dengan dunia berbeda bertemu di taman sekolah. Bukan karena mereka harus, tapi karena mereka ingin. Karena ada sesuatu yang tumbuh di antara kertas soal dan langit yang perlahan menggelap—sesuatu yang belum mereka beri nama, tapi cukup kuat untuk membuat keduanya bertahan.

Pohon Ketapang dan Spidol Warna-Warni

Bulan Mei datang dengan suhu udara yang mulai lengket di kulit dan lembaran pengumuman ujian akhir yang menempel di papan mading seperti ancaman tak kasat mata. Siswa-siswa mulai jarang terlihat bercanda. Buku catatan jadi sahabat, dan kantin jadi pelarian bagi yang pura-pura belajar padahal sudah menyerah sejak hari pertama.

Di antara suasana penuh tekanan itu, bangku keempat dari depan masih dihuni oleh dua dunia yang tetap bertahan—Taisa yang tetap membawa totebag penuh isi random, dan Nerva yang makin sering mencoret-coret pinggiran bukunya dengan catatan kecil yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.

Namun di balik semua canda dan kebiasaan kecil itu, Taisa menyimpan kecemasan yang tak bisa dia sampaikan dengan mudah. Nilai matematikanya masih belum stabil, dan kini ditambah dengan nilai fisika yang ikut-ikutan menurun. Beberapa kali ia termenung lebih lama dari biasanya, memandangi papan tulis seperti menunggu jawaban dari dinding kosong.

Suatu hari, selepas bel kelas terakhir, Taisa duduk di bangkunya lebih lama dari biasanya. Ia tidak langsung beranjak ke kantin, tidak juga membuka camilannya. Tangannya menempel di permukaan meja, dan pandangannya kosong.

Nerva yang baru selesai menyusun bukunya melirik sekilas. “Kamu kenapa?”

“Aku ngerasa bodoh banget hari ini,” gumam Taisa pelan.

Nerva tidak langsung menjawab. Ia menatap papan tulis yang masih ada bekas tulisan rumus gaya gesek yang belum dihapus. Lalu dengan pelan, ia menarik buku catatannya dan menulis sesuatu.

“Kamu tahu nggak,” katanya akhirnya, “batu itu bisa ngalahin arus air cuma kalau dia sabar. Dia diem, tapi bentuknya bisa berubah karena ketekunan.”

Taisa mendengus kecil. “Kamu ngomong kayak buku motivasi.”

“Tapi kamu suka baca buku, kan?”

Taisa menatapnya sejenak, lalu tersenyum lelah. “Iya sih.”

Besoknya, Taisa datang ke sekolah dan menemukan sesuatu yang tidak biasa. Di dinding kamar tidurnya yang kosong, kini penuh dengan kertas warna-warni yang ditempel acak, tapi membentuk pola. Ada rumus, penjelasan konsep, ilustrasi kecil, dan bahkan gambar lucu. Semuanya ditulis tangan, dengan spidol warna-warni yang khas milik Nerva.

“Ini kamu yang tempel semua?” tanya Taisa saat bertemu di sekolah.

“Semalam aku di rumah kamu sampai jam sebelas. Kamu tidur kayak batu.”

Taisa tertawa. “Terus… kamu punya berapa spidol sih? Ini seriusan banyak banget.”

Nerva mengangkat alis. “Satu kotak. Kamu tinggal belajar. Aku tempelin karena kamu bilang kamu visual learner. Sekarang tinggal buktiin.”

Mulai saat itu, kamar Taisa berubah jadi ruang belajar paling nyentrik di dunia. Setiap malam, ia memandangi catatan-catatan itu. Nerva bahkan menambahkan post-it kecil yang berisi semacam ‘motivasi level absurd’.

“Kalau kamu bisa inget gaya gesek, kamu juga bisa inget mantan, kan? Nah, mantan aja bisa kamu lupakan, apalagi rumus.”

“Nggak apa-apa bingung sekarang, yang penting besok ngerti. Jangan kayak aku waktu belajar ikatan kovalen pas lagi ngantuk.”

Hari-hari menjelang ujian akhir menjadi semakin intens. Di bawah pohon ketapang belakang sekolah, mereka masih belajar seperti biasa. Tapi kini dengan semangat yang berbeda. Ada tawa di sela rasa panik, ada permen mint di sela hitungan integral, dan ada semacam ikatan tak terlihat yang membuat mereka tak perlu berkata terlalu banyak untuk saling paham.

Sore itu, angin bertiup pelan. Pohon ketapang menjatuhkan beberapa daunnya ke pangkuan Taisa. Ia menatap langit, lalu bertanya pelan, “Kamu pernah mikir nggak, kalau nanti kita udah lulus, kita masih kayak gini nggak?”

Nerva berhenti menulis. Ia menatap Taisa dalam-dalam, lalu menjawab, “Aku nggak tahu. Tapi aku pengin.”

Taisa tersenyum. “Aku juga.”

Dan saat matahari mulai tenggelam, cahaya senja menerpa kertas-kertas catatan mereka yang berhamburan di tanah, tertahan batu-batu kecil agar tak terbang ditiup angin. Nerva mengambil salah satu kertas itu dan menatapnya lama.

Di kertas itu, tertulis satu kalimat dari Taisa: “Kalau dunia ini penuh angka dan kamu adalah rumus, aku mau jadi catatan kaki yang selalu ada di setiap halaman kamu.”

Ia menyelipkan kertas itu ke bukunya, diam-diam, tanpa berkata apa-apa.

Tak ada janji di antara mereka. Hanya harapan yang tertulis di antara spidol warna-warni, daun ketapang yang jatuh pelan, dan hari-hari yang masih tersisa sebelum perpisahan datang mengetuk.

Tanda di Seragam Putih

Hari itu, langit tidak mendung, tapi juga tidak cerah. Seperti tahu bahwa sesuatu sedang berpindah, langit cuma diam—tak biru, tak kelabu. Hanya kosong.

Kelas 10 IPA 3 untuk pertama kalinya sepi lebih awal. Bangku-bangku sudah ditinggalkan, sebagian meja ditulisi kenangan kecil pakai tipe-x atau spidol, dan pintu kelas terbuka lebar seolah mengucapkan perpisahan terakhir. Ujian akhir sudah selesai dua hari lalu, dan pagi itu, semua murid datang dengan seragam putih penuh coretan, tawa, dan kamera.

Taisa berdiri di tengah lapangan sekolah, seragamnya sudah dicoret warna-warni. Di bagian punggung tertulis “Jangan lupakan aku, ya! – Vira” dan di bagian lengan ada gambar kucing dari teman sebangkunya di kelas 8. Tapi ada satu bagian yang masih kosong—bagian dada sebelah kiri.

Ia berdiri sendiri cukup lama, sampai suara yang sudah sangat ia kenal terdengar dari arah belakang.

“Kamu belum minta tanda tangan aku?”

Taisa menoleh. Nerva berdiri dengan spidol hitam di tangan dan wajah yang sama datarnya seperti biasa, tapi matanya… hari itu ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam gugup yang terselip, seperti orang yang tahu dia nggak bisa ngulang hari ini.

“Aku nunggu kamu duluan,” jawab Taisa, pura-pura santai.

Nerva mendekat, lalu duduk di bangku taman dekat koridor, seperti ratusan sore yang pernah mereka habiskan di tempat itu. Ia membuka tutup spidol pelan-pelan, lalu menulis di dada kiri seragam Taisa, tepat di atas saku.

Tulisan tangannya rapi, tapi tidak biasa. Tulisan itu bukan sekadar nama.

“Kalau nanti kamu lupa rumus, atau lupa pelajaran, atau lupa semua…
Jangan lupa bahwa kita pernah jadi dua kutub yang saling tarik. – Nerva”

Taisa menatap tulisan itu lama, lalu tersenyum. “Ini tandanya terlalu dalam buat dihapus.”

“Itu niatnya.”

Mereka duduk diam beberapa saat. Teman-teman di sekitar sibuk tertawa, berfoto, berpelukan. Tapi mereka berdua hanya duduk, seperti biasa, seperti sore-sore itu, seolah waktu bisa diberi jeda.

“Aku bakal kangen kamu, Nerv,” ujar Taisa akhirnya. “Kita beda kampus, beda kota. Aku takut nanti aku bangun dan kamu cuma jadi nama di grup alumni.”

Nerva mengangguk pelan. “Tapi aku nggak akan lupa. Kamu bikin hari-hari sekolah jadi hidup. Aku bahkan mulai suka matematika, padahal dulu cuma anggap itu angka kosong.”

Taisa tertawa kecil, walau matanya sudah berair. “Aku juga. Aku nggak pernah mikir bakal suka orang yang bacanya jurnal.”

Mata mereka bertemu, dan di antara semua kata yang ingin diucapkan, hanya hening yang jatuh pertama kali.

Lalu Taisa berdiri, mengulurkan tangan. “Ayo foto.”

Nerva mengangguk dan mengambil ponsel dari saku celananya. Kamera beralih ke mode selfie, dan di tengah keramaian warna-warni, mereka berdua berdiri di tengah, dengan seragam putih penuh tanda, senyum sederhana, dan cahaya lembut dari langit yang menolak jadi terang.

Setelah foto diambil, Nerva menatap layar ponsel sejenak, lalu berkata, “Kalau suatu hari kita hilang arah, liat foto ini. Kita pernah ada.”

Hari itu tak ditutup dengan pelukan. Tak ada tangisan berlebihan, atau janji klise soal bertemu kembali. Tapi mereka tahu. Apa pun yang akan datang, tidak akan bisa menghapus satu hal—bahwa di bangku keempat dari depan itu, pernah duduk dua dunia yang saling menemukan satu sama lain.

Dan tanda itu, di seragam putih, akan jadi saksi.

Bukan hanya tentang pertemanan, atau soal belajar bersama.

Tapi tentang dua manusia, yang bertemu, saling tarik, lalu mengubah satu sama lain.

Selamanya.

TAMAT.

‘Seragam Putih dan Tanda yang Tertinggal’ bukan cuma cerita soal belajar atau sebangku doang, tapi tentang gimana satu orang bisa mengubah hari-hari kita jadi lebih berarti. Jadi, kalau kamu punya seseorang di masa sekolah yang pernah nemenin kamu belajar, ketawa, atau sekadar duduk bareng tanpa banyak kata—yuk, kirim link cerpen ini ke dia.

Siapa tahu, rasa yang dulu cuma ketunda, bukan hilang. Dan jangan lupa, kadang hal paling indah di sekolah itu bukan nilai ulangan, tapi orang yang kamu temuin di perjalanan.

Leave a Reply