Daftar Isi
Kalau kamu suka cerita misteri yang bikin otak kamu berputar-putar, cerpen ini bisa jadi pilihan yang nggak boleh dilewatkan. Di sini, kita bakal diajak ikut dalam perjalanan detektif yang nggak cuma ngungkap pembunuhan, tapi juga dikejar-kejar teka-teki yang nggak ada habisnya.
Ketika sang detektif sendiri jadi bagian dari permainan yang nggak bisa dimengerti, kamu akan dibuat terjebak dalam kegelapan yang semakin dalam. Penasaran? Yuk, simak terus!
Teka-Teki Pembunuhan Detektif
Petunjuk yang Terlupakan
Hujan turun deras malam itu, menyirami kota kecil Ravenhurst yang biasanya sepi. Lampu jalanan yang temaram hanya memancarkan cahaya kuning pudar di balik kabut yang mulai merayap masuk ke gang-gang sempit. Di dalam Kantor Investigasi Lamont, hanya ada satu sosok yang duduk di balik meja kayu besar, menatap peta yang dipenuhi benang merah yang terjalin satu sama lain.
Detektif Cyrille Lamont mengusap wajahnya dengan tangan, lelah. Kasus pembunuhan ini semakin aneh. Setiap korban ditemukan dengan simbol yang sama—sebuah gambar lingkaran dengan tiga garis diagonal yang menembusnya, seperti sebuah tanda yang memiliki makna lebih dalam. Makin lama, teka-teki itu semakin rumit.
Dia menggigit ujung pensilnya, merenung. Rasanya ada sesuatu yang terlewat, sesuatu yang tak bisa ia lihat dengan jelas.
Tiba-tiba, pintu kantor terbuka pelan, dan suara derap kaki seseorang terdengar. Cyrille mengangkat pandangannya.
“Bos, ada ini buat kamu,” ujar Asher, rekan kerjanya yang lebih muda, sambil meletakkan sebuah amplop berwarna coklat di atas meja.
“Petunjuk baru?” tanya Cyrille tanpa banyak bicara, matanya kembali berfokus pada peta yang membentang.
Asher mengangkat bahu. “Entahlah, aku hanya disuruh untuk mengantarnya. Dari seseorang… yang nggak disebut namanya.”
Cyrille meraih amplop itu, merobeknya dengan cepat. Di dalamnya ada selembar kertas putih dengan tulisan tangan yang agak berantakan. Sebaris kalimat pendek tertulis di atasnya:
“Jika kau ingin mengetahui kebenaran, datanglah ke Rumah Tua di jalan Hollow, pukul 01.00 dini hari.”
Sekilas, Cyrille membacanya dua kali. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang terasa aneh, tidak biasa. Rumah Tua di jalan Hollow? Itu bukan tempat yang sering didatangi orang, bahkan hampir terlupakan. Rumah yang selalu diceritakan sebagai rumah berhantu, tak pernah dihuni lebih dari satu atau dua minggu.
“Rumah Tua? Kenapa harus ke sana?” gumam Cyrille, matanya menyipit.
Asher berdiri di depan meja, memperhatikannya. “Jadi, kamu mau pergi?”
Cyrille menatap amplop itu lagi, sejenak berpikir. Tak ada waktu untuk ragu. Mungkin ini petunjuk terakhir yang ia butuhkan untuk memecahkan kasus ini.
“Tunggu di sini, Asher. Aku akan pergi,” kata Cyrille akhirnya, tanpa banyak kata. Ia meraih mantel panjangnya yang tergantung di kursi, memasukkan revolver kecil ke dalam saku, dan menutup pintu kantor dengan suara pelan.
Di luar, hujan semakin deras. Angin berhembus kencang, menggoyangkan ranting pohon dan membuatnya berderak. Cyrille berjalan dengan langkah pasti, melewati jalan yang basah dan licin, menuju jalan Hollow.
Ketika ia tiba di depan Rumah Tua, ia berhenti sejenak, menatap bangunan itu dengan waspada. Rumah itu tampak begitu sunyi, begitu tertutup, dengan dinding-dinding yang dipenuhi jamur dan cat yang mulai mengelupas. Seperti ada sesuatu yang mengintip dari balik jendela yang terkelupas itu, tetapi tidak ada siapa pun.
Cyrille menarik napas dalam-dalam dan melangkah maju. Setiap langkahnya mengirimkan gema pelan di sepanjang jalan sepi itu, mengingatkannya pada betapa kecilnya dunia ini, seolah dia adalah satu-satunya orang yang ada di sana.
Begitu ia sampai di depan pintu utama, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Rumah ini… terasa hidup.
Ia mendorong pintu dengan hati-hati. Pintu kayu itu berderit keras saat terbuka, mengeluarkan suara yang bisa membuat siapa pun merinding. Di dalam, rumah itu lebih gelap dari yang ia bayangkan. Satu-satunya cahaya datang dari cahaya bulan yang tembus melalui celah-celah jendela.
Cyrille melangkah masuk, menyalakan lentera kecil yang ia bawa. Sinar kecil itu membuat bayangan-bayangan aneh bergerak di dinding-dinding yang penuh dengan noda usia.
Sebuah meja kayu tua tergeletak di tengah ruangan, dengan selembar kertas terlipat rapi di atasnya. Tanpa ragu, Cyrille mendekat, membuka kertas itu. Tulisan yang tercetak di atasnya membuat tubuhnya membeku:
“Dia sudah ada di sini.”
Suaranya serak, hampir tak terdengar. Cyrille menoleh cepat ke sekelilingnya. Kegelapan semakin dalam, seolah mencengkeram ruangan itu dengan cakar tak terlihat. Namun, tidak ada siapa-siapa. Hanya dirinya, dan pesan yang semakin membuatnya bingung.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Mungkin ia terlalu terburu-buru, atau mungkin ia telah melangkah terlalu dalam ke dalam perangkap yang sengaja dibuat untuknya. Ia memutuskan untuk mencari lebih lanjut, tapi saat itu juga, suara langkah kaki yang berat terdengar dari lantai atas.
Cyrille menahan napas. Langkah-langkah itu semakin mendekat, semakin dekat.
Tiba-tiba, di balik kegelapan yang mengelilinginya, seseorang muncul—seorang sosok tinggi, mengenakan jubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya. Wajahnya tidak terlihat jelas, hanya bayangan hitam yang bergerak.
“Siapa kamu?” tanya Cyrille, suaranya sedikit bergetar meski ia berusaha tetap tenang.
Sosok itu tidak menjawab. Hanya berdiri diam, menatapnya dari kejauhan.
“Kenapa kamu membawa aku ke sini?” suara Cyrille terdengar lebih tegas. Ia meraih revolver di saku, mengarahkannya ke sosok itu, meskipun ia tahu persis bahwa ini bisa menjadi sebuah jebakan.
Tapi sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, sebuah suara melengking mengalun dari sudut ruangan yang gelap.
“Detektif Lamont, kau terlalu terburu-buru.”
Lalu, kegelapan menyelimuti segalanya, dan suara langkah kaki itu pun menghilang.
Langkah di Tengah Kegelapan
Cyrille merasakan getaran dingin merayap di sepanjang punggungnya. Suara langkah itu, meski kini menghilang, tetap bergema di telinga. Ia menatap ruangan yang semakin gelap, mencoba mengendalikan napasnya. Lampu lentera yang ia bawa hanya memberi sedikit cahaya, memantulkan bayangan-bayangan panjang yang bergerak liar di dinding.
Ada sesuatu yang tidak beres. Rumah ini, meskipun sunyi, terasa seperti penuh dengan mata-mata yang tak terlihat, sesuatu yang menunggu untuk menerkamnya. Tapi ia tidak bisa mundur. Kasus ini, teka-teki yang telah membelenggunya, membawa Cyrille sampai ke titik ini. Setiap langkahnya membawanya lebih dalam ke dalam labirin misteri yang aneh ini.
Kaki Cyrille mulai melangkah pelan, hampir seperti berjinjit. Ia berusaha mendengarkan setiap suara, setiap detik yang terasa seperti berlarut. Hatinya berdetak lebih cepat, namun ia tidak mengizinkan dirinya panik. Satu-satunya cara untuk keluar adalah dengan terus maju.
Langkahnya mengarah ke tangga kayu yang curam. Sementara di atas, suara berderak terdengar lebih jelas—seperti ada sesuatu yang bergerak, sesuatu yang tidak ingin ia hadapi.
“Siapa di atas?” tanyanya, suaranya tegas meski ia tahu tak akan ada jawaban.
Di atas sana, hanya ada keheningan. Ia merasakan ada sebuah keberadaan, sesuatu yang tersembunyi, menunggu. Cyrille menelan ludah, lalu memutuskan untuk menaiki tangga itu. Setiap langkahnya semakin berat, kayu-kayu yang berderak di bawah kakinya membuatnya merasa semakin terperangkap.
Saat ia sampai di puncak, ia berhenti. Koridor panjang dan gelap membentang di hadapannya. Lampu lentera yang dipegangnya mulai berkedip, seolah memberi peringatan. Ia tidak bisa melihat jauh ke depan, namun ada beberapa pintu yang terbuka sedikit di kiri dan kanan.
Cyrille menatap dengan cermat setiap detail. Suasana itu sepi, terlalu sepi. Terlalu sunyi.
Tiba-tiba, dari salah satu pintu yang sedikit terbuka, muncul suara berbisik, seperti seseorang yang mencoba berbicara, namun kata-katanya tidak jelas. Cyrille merasa bulu kuduknya meremang.
“Tidak ada orang,” ia bergumam, meskipun ia tidak sepenuhnya yakin. Pintu itu—seolah memanggilnya, menariknya untuk mendekat.
Ia melangkah pelan menuju pintu itu, meletakkan telapak tangan pada gagang pintu yang dingin. Tanpa berpikir panjang, ia mendorong pintu itu terbuka.
Di dalamnya, sebuah meja kayu besar terletak di tengah ruangan, di atasnya ada sebuah buku besar terbuka, halaman-halamannya penuh dengan tulisan tangan yang hampir tidak terbaca. Tidak ada suara selain napas Cyrille sendiri yang terengah-engah.
Namun, apa yang paling menarik perhatian adalah gambar yang ada di halaman buku tersebut. Sebuah simbol yang sangat mirip dengan simbol yang ditemukan di setiap tempat kejadian pembunuhan.
Simbol lingkaran dengan tiga garis diagonal.
Cyrille mendekatkan matanya, berusaha mengidentifikasi tulisan itu. Namun, di saat yang sama, ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Buku itu, meskipun tampaknya tua, tidak berdebu sedikit pun. Seolah-olah baru saja dibuka, baru saja digunakan.
Ia meraih buku itu, membalik halaman demi halaman. Semua tulisan yang tercetak di dalamnya tampaknya memiliki satu tema yang sama—sebuah pola. Sebuah rangkaian teka-teki yang, jika dipecahkan, akan membawa ke jawaban yang lebih besar, sesuatu yang lebih mengerikan.
“Apa ini?” Cyrille bergumam.
Tiba-tiba, sebuah suara pelan terdengar di belakangnya.
“Masih belum bisa mengerti, Detektif?”
Cyrille terlonjak, cepat berbalik. Sosok itu—sosok yang tadi hanya tampak dalam bayangan—akhirnya muncul di depannya. Wajahnya tidak terlihat jelas, tertutup bayangan, namun suaranya—dingin dan tenang—mengirimkan rasa takut yang begitu dalam.
“Siapa kamu?” suara Cyrille keluar tegas, meskipun ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk menunjukkan ketakutannya.
“Seorang yang telah mengawasi langkah-langkahmu,” jawab sosok itu, suaranya penuh dengan kebingungannya. “Kau mengikuti petunjuk-petunjuk itu, namun tidak pernah sampai pada kebenaran sejati. Kau pikir ini hanya sebuah permainan? Sebuah misteri yang bisa dipecahkan?”
Cyrille menggenggam revolver di saku, siap. Namun, ia tahu betul bahwa ini bukan sekadar pertanyaan biasa.
“Kenapa?” tanya Cyrille. “Kenapa semua ini? Kenapa aku?”
Sosok itu akhirnya melangkah lebih dekat, membuat Cyrille mundur sedikit, namun ia tidak membiarkan dirinya lari.
“Karena hanya kau yang bisa menyelesaikan teka-teki ini,” kata sosok itu. “Dan karena kau adalah bagian dari permainan yang lebih besar.”
Cyrille merasa ada sesuatu yang salah, sangat salah. Ada sebuah kejanggalan yang mengerikan, sesuatu yang membuatnya merasa seolah-olah seluruh dunia ini adalah bagian dari teka-teki itu.
“Permainan? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanyanya dengan suara yang lebih keras.
Namun, sosok itu hanya tersenyum samar. “Kau akan tahu jawabannya, Detektif. Tapi tidak dalam cara yang kau inginkan.”
Dengan satu gerakan cepat, sosok itu menghilang, meninggalkan Cyrille di tengah ruang yang gelap dan sunyi.
Cyrille berdiri diam, jantungnya berdebar. Ada sesuatu yang ia rasakan—sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pembunuhan. Dan seiring dengan perasaan itu, sebuah pertanyaan bergema di benaknya: Apakah ia juga bagian dari teka-teki ini?
Di Balik Tirai Bayangan
Udara terasa semakin berat saat Cyrille berdiri membeku dalam kegelapan. Sosok yang aneh itu, dengan kata-katanya yang penuh teka-teki dan senyum yang mencekam, telah menghilang begitu cepat. Ruangan itu kembali sunyi, hanya ada suara napas Cyrille yang terdengar menggema. Jantungnya berdebar kencang, tetapi pikirannya terjebak dalam kekosongan yang membingungkan.
Apa yang baru saja ia hadapi? Dan apa maksudnya dengan “menjadi bagian dari permainan”? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya, namun semakin dipikirkan, semakin sulit ia mendapatkan jawaban yang jelas. Kasus ini semakin berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap, dan Cyrille merasakan beban yang menekan di dadanya, jauh lebih mengerikan daripada sekadar rangkaian pembunuhan.
Ia memaksakan diri untuk bernapas, tangannya masih memegang revolver di saku. Cahaya lentera yang ia pegang mulai bergetar, menciptakan bayangan panjang yang bergerak liar di dinding. Semua terasa salah. Simbol-simbol, buku itu, sosok yang cryptic—semuanya terhubung, tapi bagaimana? Dan untuk apa?
Mata Cyrille kembali meneliti ruangan itu. Buku yang tergeletak di meja masih terbuka, halamannya penuh dengan simbol-simbol aneh dan catatan yang tidak bisa dipahami. Seolah-olah seseorang sedang mencatat dengan terburu-buru, mencoba menyusun bagian-bagian teka-teki yang terlalu terpecah untuk dipahami.
Cyrille melangkah maju, hati-hati membalik halaman buku itu. Jari-jarinya menyentuh lembaran-lembaran yang rapuh, dan tiba-tiba ia berhenti. Sebuah kalimat menarik perhatian matanya.
“Langkah terakhir adalah yang tergelap.”
Jantung Cyrille berdebar lebih cepat. Langkah terakhir? Apa artinya itu? Sebuah peringatan atau tantangan? Ia memindai halaman-halaman berikutnya, namun tak ada lagi yang menarik perhatian. Kalimat itu menggantung di udara seperti sebuah kebenaran yang pahit, menunggu untuk dipecahkan.
Lalu, sesuatu menarik perhatiannya dari sudut matanya. Cahaya samar, yang datang dari luar ruangan, melalui pintu yang sedikit terbuka. Ia berbalik, napasnya tercekat. Koridor yang mengarah keluar kini terangi oleh cahaya redup yang bergetar, menciptakan bayangan-bayangan yang aneh. Itu bukan cahaya lentera. Ada orang lain di sini.
Dengan revolver yang masih tergenggam erat di tangannya, Cyrille melangkah dengan hati-hati, seolah setiap langkahnya lebih berat dari sebelumnya. Sensing-nya semakin tajam, merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Langkah demi langkah ia mendekati pintu yang terbuka lebar, hati-hati, siaga.
Saat ia tiba di ambang pintu, cahaya itu semakin terang. Dari balik pintu yang terbuka, ia bisa melihat sebuah ruangan yang berbeda dari yang lainnya. Dinding-dindingnya dipenuhi cermin—puluhan cermin, dari lantai hingga langit-langit, permukaannya mengkilap dan halus. Refleksi yang ada di sana tampak terdistorsi, membengkokkan cahaya dengan cara yang aneh. Cyrille hampir tak bisa melihat wajahnya sendiri di cermin terdekat, wajahnya terdistorsi oleh sudut cermin yang aneh.
Namun, bukan itu yang membuat jantung Cyrille berdegup lebih cepat.
Di sudut ruangan, duduk seorang sosok, menghadap ke arah berlawanan. Sosok itu tak bergerak, hanya bayangan yang gelap, wajahnya tersembunyi. Keheningan yang mencekam itu tiba-tiba pecah saat kursi itu berputar perlahan, menghadap Cyrille.
“Cyrille Lamont,” suara itu rendah dan tak bisa dijelaskan, namun begitu familiar. Ia merasa suara itu menggema di seluruh ruangan. “Aku tahu kau akan datang.”
Tubuh Cyrille menegang, setiap nalurinya langsung siap menghadapi apa pun. Ia melangkah maju, matanya tertuju pada sosok itu. “Siapa kamu?” Suaranya tajam, meskipun ketidakpastian masih tergambar jelas dalam nada yang keluar.
Sosok itu berdiri perlahan, gerakannya sangat halus. Perlahan, bayangan yang menyembunyikan wajahnya mulai menghilang, membuka sosok itu sedikit demi sedikit. Dan saat wajah itu terlihat sepenuhnya, Cyrille tertegun.
Wajah sosok itu… tidak ada. Ia tak memiliki wajah yang jelas, hanya semacam kekaburan yang terus berubah, seolah-olah wajah itu terdistorsi oleh angin yang keras. Mata, hidung, mulut—semuanya hanya bentuk yang kabur dan bergetar, seolah sosok itu tidak sepenuhnya nyata.
“Kau tidak mengenaliku?” suara itu kini terdengar seperti ejekan, seolah dia merasa senang melihat kebingungan Cyrille. “Kau seharusnya mengenaliku, detektif. Kau telah mengejar bayangan begitu lama, sampai akhirnya melupakan kebenaran dari permainan ini.”
Cyrille merasakan perutnya mual. Bayangan. Permainan. Kata-kata ini—percakapan yang penuh teka-teki ini—mulai mengungkapkan sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang tak siap ia hadapi. Pikirannya berpacu, namun jawaban-jawaban itu tetap menjauh.
Ia mundur sedikit, masih memegang revolver, meskipun tidak bisa membawanya untuk menarik pelatuknya. “Kau bagian dari ini?” tanyanya dengan suara yang sedikit gemetar.
“Semuanya, Cyrille,” jawab sosok itu, “Pembunuhan-pembunuhan yang kau selidiki, petunjuk-petunjuk yang kau ikuti, semuanya dirancang untukmu. Kau adalah bagian yang hilang.”
Ruangan itu semakin terasa sesak, cermin-cermin itu memantulkan ribuan versi dirinya yang terdistorsi. Napas Cyrille semakin terengah-engah, rasa takut semakin merayapi dirinya.
“Kau adalah langkah terakhir, Cyrille,” suara itu kini berbisik, “Bagian terakhir dari permainan.”
Tiba-tiba, ruangan itu diselimuti kegelapan. Cermin-cermin itu pecah, serpihan kaca beterbangan, dan Cyrille merasakan rasa sakit di lengannya. Ia terhuyung mundur, penglihatannya kabur saat dunia di sekitarnya berputar.
Namun sebelum ia bisa bereaksi, semuanya hening.
Keheningan yang menyedihkan itu terasa memekakkan telinga. Dan dari tengah kegelapan itu, suara itu terdengar kembali, lebih dalam dari sebelumnya:
“Permainan baru saja dimulai.”
Puncak Dari Kegelapan
Kegelapan menyelimuti seisi ruangan, dan untuk beberapa detik, Cyrille merasa seolah-olah ia kehilangan kesadarannya. Suasana yang menekan, suara yang hilang, semuanya begitu sunyi, begitu menakutkan. Seluruh inderanya terhambat, dan ia hanya bisa merasakan getaran kecil yang membangunkan kesadarannya kembali. Ia mendengar langkah kakinya sendiri yang berat, kemudian tersentak saat ia menyadari bahwa ia telah jatuh. Tidak ada lagi cermin, tidak ada lagi bayangan sosok itu, yang ada hanya keheningan yang mencekam.
Dengan tubuh yang terasa kaku dan sakit, Cyrille merangkak perlahan. Langkah-langkahnya tidak lagi sigap, namun ia berusaha keras untuk tetap bergerak. Suara dengungan samar masih terdengar di telinganya, tidak jelas apakah itu suara dunia di luar dirinya atau hanya ilusi kegelapan yang mengelilinginya. Ia menegakkan tubuhnya dan mengedipkan matanya beberapa kali, berusaha menyesuaikan penglihatannya dengan kegelapan. Namun, secepat itu pula, bayang-bayang mulai menyatu, membentuk gambaran yang lebih besar.
Di depannya, sedikit demi sedikit, siluet sebuah meja muncul, diterangi oleh cahaya yang remang. Lampu-lampu yang tersebar di sekitar ruangan mulai hidup kembali, dan di atas meja itu, buku yang sama yang telah dia baca tadi tergeletak. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada darah di halaman-halamannya, noda merah yang menodai setiap lembaran, mengisi ruang kosong antara simbol-simbol dan catatan yang pernah ia baca.
Cyrille menghampiri meja itu dengan penuh ketegangan. Ia mengangkat buku itu, mengusap-usap kertas yang basah dan menjijikkan. Ada sesuatu yang terasa mengerikan saat ia menyadari bahwa darah yang menodai halaman itu bukanlah miliknya. Dengan hati-hati, ia membaca kalimat yang tertera di halaman itu, kalimat yang mengerikan dan menggetarkan:
“Langkah terakhir… tidak bisa dihindari.”
Sebuah suara gemuruh terdengar dari belakangnya. Tidak lagi suara yang familiar, namun sesuatu yang jauh lebih berat, seolah ruangan itu sendiri bergetar. Cyrille memutar tubuhnya, memfokuskan perhatian pada suara yang semakin mendekat. Sesosok bayangan muncul dari kegelapan, berwarna hitam pekat seperti malam yang tak berujung. Sosok itu datang mendekat, membentuk sebuah wajah yang tidak tampak, sebuah bentuk yang kabur.
Namun ada yang berbeda kali ini.
Cyrille merasakan sesuatu yang sangat tidak biasa. Sosok itu mulai berbicara, suaranya serak, penuh dengan kengerian yang sulit digambarkan. “Kau tahu apa yang harus dilakukan, Cyrille. Kau tahu bahwa permainan ini adalah milikmu.”
Matanya terbuka lebar, dan untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu yang sangat mengerikan—ia telah menjadi bagian dari teka-teki ini sejak awal. Setiap petunjuk yang ia ikuti, setiap pembunuhan yang ia selidiki, semuanya bukan kebetulan. Mereka semua terhubung padanya, dan ia adalah titik pusat dari semuanya. Ia adalah bagian dari permainan yang tidak pernah ia pilih, namun akhirnya harus dijalani.
“Permainan ini tidak ada yang menang, Cyrille,” suara itu kembali menggema. “Hanya yang kalah yang akan tahu kebenarannya.”
Cyrille terdiam. Perasaan terperangkap semakin mendalam, dan rasa takut itu menggigit lebih dalam. Namun ada sesuatu yang lebih kuat, sesuatu yang membara di dalam dirinya—rasa ingin tahu yang tak terbendung. Ia tidak bisa mundur, tidak bisa hanya menyerah pada takdir yang telah disusun untuknya.
Sosok itu semakin mendekat, dan dalam sekejap, bayangan itu berubah menjadi sebuah bentuk nyata. Wajah yang sebelumnya tidak tampak kini muncul, memantulkan cahaya dengan wajah yang kosong, sebuah wajah tanpa ekspresi, namun penuh dengan kebingungan dan ketakutan.
“Jika kau ingin keluar dari permainan ini,” suara itu berbisik, “kau harus membayar harga yang lebih tinggi.”
Cyrille menggenggam buku itu lebih erat. Ketegangan mendorongnya untuk berdiri lebih tegak, meskipun tubuhnya terasa lemas. Ia tahu, tidak ada jalan kembali. Permainan ini sudah mengikatnya, dan harga yang harus dibayar mungkin lebih besar dari yang bisa ia bayangkan. Namun satu hal yang ia yakini—keputusan apapun yang ia ambil, kebenaran akan tetap mengintai. Tidak ada lagi cara untuk mundur. Semua yang ia miliki adalah teka-teki yang harus diselesaikan, meskipun jawabannya tidak akan pernah ia sukai.
Dengan langkah yang mantap, Cyrille menuju ke pintu yang terbuka lebar, meninggalkan ruang itu. Suara ketukan langkah kakinya terdengar pelan di ruang yang hening. Setiap langkah adalah bagian dari perjalanan tanpa akhir, perjalanan yang hanya bisa ia lalui dengan tekad dan keberanian yang semakin menguat dalam dirinya.
Namun di dalam hatinya, ia tahu—sebenarnya permainan ini tidak pernah benar-benar berakhir. Karena di luar sana, di balik tirai kegelapan, masih ada lebih banyak teka-teki yang menunggunya.
Dan ia akan terus mengejarnya, apapun yang terjadi.
Wow, pasti kamu ngerasain sensasi deg-deg-an yang gak kelar-kelar kan? Cerpen ini bener-bener bisa bikin kita mikir, apa yang kita anggap sebagai pembunuhan biasa ternyata punya cerita yang jauh lebih gelap dari itu. Jadi, kalau kamu suka cerita yang bikin penasaran dan penuh kejutan, ini adalah pengalaman yang nggak bakal bikin kamu bosan! Keep following and see you in the next mystery!