Tawa dan Air Mata di Pondok Pesantren: Persahabatan Unik yang Menggugah

Posted on

Apakah Anda pernah merasakan campuran tawa dan air mata dalam sebuah persahabatan yang tak terduga? “Tawa dan Air Mata di Pondok Pesantren: Persahabatan Unik yang Menggugah” membawa Anda ke dunia Zulfikar Jaya dan Qomaruddin Zainal, dua santri muda di Pondok Al-Mawaddah yang menemukan ikatan mendalam melalui ulah lucu, kesedihan pribadi, dan perjuangan bersama. Dari ritual penyiraman hingga tantangan hukuman, kisah ini penuh emosi dan pelajaran hidup yang akan membuat Anda tersenyum sekaligus terharu. Siapkah Anda menjelajahi petualangan mereka yang menggugah hati?

Tawa dan Air Mata di Pondok Pesantren

Pertemuan di Bawah Pohon Beringin

Di sebuah wilayah pedalaman Jawa Timur yang tersembunyi di balik hamparan bukit hijau yang subur, berdirilah Pondok Pesantren Al-Mawaddah, sebuah lembaga pendidikan agama yang sederhana namun penuh sejarah. Kompleks ini terletak di lereng bukit yang dikelilingi sawah terasering yang membentang luas seperti tangga raksasa menuju langit, dengan air irigasi yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Pohon-pohon jati dan mahoni menjulang tinggi, daun-daunnya yang lebar bergoyang ditiup angin sepoi-sepoi yang membawa aroma tanah basah, bunga kamboja liar, dan rumput hijau yang baru dipotong. Di tengah kompleks, sebuah masjid kayu tua berdiri megah dengan atap genteng merah yang sudah usang di beberapa bagian, jendelanya berdekorasi ukiran sederhana, dan lantainya terbuat dari semen yang dingin di malam hari, dipenuhi jejak kaki santri yang berlalu-lalang. Suara adzan berkumandang lima kali sehari dari pengeras suara yang kadang retak, bercampur dengan kicau burung pipit, derit sepeda tua yang dikayuh santri untuk mengangkut air dari sumur, dan riuh tawa anak-anak yang bermain di halaman. Pondok ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga saksi bisu perjalanan hidup ribuan santri yang datang dengan harapan dan pulang dengan pengalaman.

Di antara santri baru yang tiba pada musim kemarau tahun itu adalah Zulfikar Jaya, seorang pemuda berusia 16 tahun yang akrab dipanggil Zul oleh teman-temannya. Zul memiliki rambut ikal hitam yang sering berantakan karena ia lupa menyisir setelah tidur, mata cokelat besar yang penuh rasa ingin tahu namun sering melamun, dan tubuh agak kurus yang menunjukkan ia masih beradaptasi dengan pola makan sederhana pondok—nasi jagung yang agak keras, sayur bayam yang dimasak dengan bumbu minimal, dan sesekali ikan asin yang baunya menusuk. Wajahnya dihiasi senyum lelet yang lucu, sebuah kebiasaan yang ia warisi dari ibunya, tapi di balik senyum itu tersimpan kesedihan mendalam. Dua tahun lalu, ibunya, Sari Lestari, meninggal dunia akibat penyakit misterius yang melanda desanya—demam tinggi yang tak kunjung reda meski telah diobati dengan jamu tradisional dan doa. Zul masih ingat malam terakhir, saat ia memegang tangan ibunya yang dingin di ranjang bambu, mendengar bisikannya yang lemah, “Zul, jadilah anak yang sholeh, ya,” sebelum napasnya terhenti. Sejak itu, Zul hidup bersama ayahnya, Pak Harun, seorang pedagang keliling yang wajahnya penuh kerutan akibat terik matahari dan tangannya kasar dari mengangkut barang.

Zul tiba di Pondok Al-Mawaddah dengan hati berat, duduk di samping ayahnya dalam mobil tua yang berderit di jalan setapak berbatu. Pak Harun, dengan suara parau, berkata, “Zul, ini tempatmu belajar jadi orang baik. Ayah tak mampu bayar sekolah lain, tapi Kyai di sini baik hati.” Zul hanya mengangguk, memeluk koper tua berisi pakaian lusuh, sebuah mushaf kecil peninggalan ibunya yang kulitnya sudah mengelupas di sudut-sudut, dan sepasang sandal jepit yang solnya tipis hingga terasa menyengat kaki saat berjalan di tanah panas. Di hari pertama, ia ditempatkan di asrama putra, sebuah bangunan panjang dengan dinding kayu yang lembap dan bau khas minyak kayu putih yang digunakan santri untuk mengusir gigitan nyamuk. Kasurnya terbuat dari tikar pandan yang kasar, dipadu bantal tipis berisi kapas yang sering bergeser saat ia tidur, dan ia sering terbangun oleh suara dengkuran teman sekamarnya, Santoso, yang keras seperti mesin traktor tua. Zul merasa asing, jauh dari rumah kecilnya yang hanya diisi kenangan ibunya menyanyi lagu daerah sambil memasak di dapur tanah, aroma bawang goreng dan kayu bakar masih terngiang di ingatannya.

Pagi pertama di pondok dimulai dengan suara kentongan yang dipukul ustaz untuk memanggil sholat subuh, sebuah bunyi berirama yang mengguncang tidur Zul yang baru saja nyenyak. Ia bangun dengan mata sembab, mengenakan seragam putih-cokelat yang masih kaku dan terasa asing di kulitnya, lalu berjalan tertatih ke masjid bersama barisan santri lain yang mengantuk sambil menguap lebar. Di masjid, ia duduk di barisan belakang, memperhatikan ustaz yang memimpin sholat dengan suara merdu, tapi pikirannya melayang ke ibunya yang sering membangunkannya untuk sholat dulu. Setelah sholat, ia disuruh membersihkan halaman bersama santri lain, menyapu daun kering yang berguguran dari pohon beringin tua di tengah kompleks. Pohon itu besar, dengan akar-akar yang menonjol dari tanah seperti tangan raksasa, dan daunnya yang lebar menciptakan bayangan sejuk di bawah terik matahari pagi.

Di bawah pohon beringin itulah ia bertemu Qomaruddin Zainal, atau yang lebih dikenal sebagai Qom, seorang santri yang sudah dua tahun tinggal di pondok. Qom adalah sosok tinggi kurus dengan gigi depan agak maju yang membuatnya terlihat lucu saat tersenyum lebar, rambut hitamnya selalu dicat dengan kapur tulis oleh teman-temannya sebagai lelucon yang tak pernah ia hapus, dan matanya sipit yang sering berbinar saat ia bercerita tentang petualangannya. Qom dikenal sebagai “ringleader” kelompok nakal di pondok, sering mengajak teman-temannya menyelinap ke dapur atau membuat ulah seperti meletakkan kodok hidup di meja ustaz. Tapi di balik tingkah lucunya, ia menyimpan luka mendalam—ayahnya meninggalkannya untuk menikah lagi dengan wanita lain, meninggalkan Qom dan ibunya, Siti Aminah, dalam kemiskinan di sebuah gubuk reyot di desa seberang sungai. Ibunya kini bekerja sebagai buruh cuci, tangannya penuh luka akibat sabun keras, dan Qom masuk pondok dengan harapan bisa meringankan beban keluarganya.

Pertemuan mereka dimulai dengan kejadian yang tak terduga dan lucu. Saat Zul menyapu daun dengan sapu ijuk yang sudah lusuh, Qom tiba-tiba muncul dari balik pohon beringin, mengenakan topi jerami yang miring di kepalanya, dan menyiram Zul dengan air sumur dari ember tua yang bocor di beberapa sisi. “Selamat datang di Al-Mawaddah, adik baru! Ini ritual penyiraman buat yang takut kotor!” teriak Qom sambil tertawa ngakak, menunjukkan gigi depannya yang menonjol seperti kelinci. Zul terkejut, air dingin membasahi seragamnya hingga menempel di kulit, membuatnya berteriak kesal, “Eh, apa-apaan ini! Basah kuyup aku!” Ia mencoba mengejar Qom, tapi sandal jepitnya tergelincir di tanah basah, membuatnya hampir jatuh dan menambah tawa Qom yang kini berguling-guling di rumput. Qom mendekat, menepuk pundak Zul dengan tangan basah, dan berkata, “Jangan cemberut, bro! Nanti aku ajak ikut seru-seruan. Namaku Qom, panggil aja gitu. Kamu siapa?” Zul, yang awalnya kesal, tak bisa menahan tawa melihat ekspresi polos namun nakal Qom, dan akhirnya memperkenalkan diri dengan nada setengah malu, “Zulfikar Jaya, tapi panggil Zul aja.”

Sejak hari itu, Zul dan Qom mulai akrab, meski sering berbenturan karena perbedaan sifat. Qom suka mengajak Zul ikut ulahnya, seperti menyelinap ke dapur malam hari untuk mencuri jajan santri yang disimpan di toples besar berlabel “Hanya untuk Ustaz,” atau membuat lelucon dengan meletakkan kodok hidup di tas ustaz pengajar, Pak Hadi, yang takut hewan. Zul, yang awalnya takut melanggar aturan karena nasihat ibunya tentang pentingnya disiplin, akhirnya ikut tertawa dan terbawa suasana, meski hatinya sering gelisah memikirkan ibunya yang selalu mengingatkannya untuk menjadi anak sholeh. Suatu malam, saat mereka bersembunyi di balik gudang kayu setelah tertangkap mencuri kue nastar oleh Ibu Mariam, Qom bercerita tentang ibunya yang sering pulang larut dengan tangan penuh luka. “Aku di sini biar ibu nggak capek, Zul. Tapi kadang aku kangen banget sama dia, apalagi pas hujan gini,” kata Qom dengan suara pelan, matanya berkaca-kaca di bawah cahaya bulan yang menyelinap melalui celah atap gudang. Zul terdiam, teringat ibunya yang juga pergi saat hujan deras mengguyur desanya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada yang memahami kesedihannya yang terpendam.

Kehidupan di pondok pun mulai diwarnai tawa dan ulah mereka berdua. Qom sering mengajak Zul bermain “petak umpet” di antara barisan pepohonan jati, dengan aturan unik bahwa yang kalah harus nyanyi lagu daerah dengan suara falsetto di depan santri lain di halaman masjid. Zul, yang tak pandai bernyanyi dan suaranya serak, pernah kalah dan terpaksa menyanyikan “Cik Cik Periuk” dengan nada melengking yang membuat semua santri tertawa hingga perut sakit, termasuk ustaz yang kebetulan lelet dan ikut tersenyum. Tawa itu menjadi obat bagi Zul, yang sering terbangun malam hari dengan mimpi buruk tentang ibunya yang memanggilnya dari kejauhan. Di sisi lain, Qom juga merasa lega memiliki teman yang tak menghakimi masa lalunya, dan mereka sering duduk di bawah pohon beringin, membaca mushaf ibunya sambil Qom bercerita tentang mimpinya menjadi ustaz terkenal yang bisa membangun rumah besar untuk ibunya, meski sering diselingi lelucon tentang “ustaz yang takut kodok” atau “ustaz yang lupa sholat.”

Namun, kebahagiaan sederhana itu mulai diwarnai bayang-bayang masalah. Suatu sore, saat mereka sedang membersihkan masjid setelah sholat Ashar—mengelap jendela kayu yang berdebu dan menyapu lantai semen yang penuh jejak kaki—ustaz kepala, Kyai Abdul Malik, seorang pria berusia lanjut dengan jubah putih yang selalu rapi dan jenggot putih yang terawat, mengumumkan bahwa besok akan ada inspeksi dari dinas pendidikan provinsi. Kyai menekankan bahwa semua santri harus menunjukkan prestasi akademik, terutama hafalan Al-Qur’an, dan pondok akan dinilai berdasarkan disiplin serta kebersihan. Zul panik, karena ia masih kesulitan menghafal bahkan satu halaman, sering lupa ayat di tengah jalan, dan tangannya gemetar saat membaca mushaf. Qom, sebaliknya, malah santai, berkata, “Tenang, Zul, kita pura-pura sakit aja besok. Aku punya ide cerdas!” Zul ragu, tapi Qom menariknya ke gudang kayu untuk merencanakan ulah baru, mengeluarkan bawang merah dari saku seragamnya sebagai “alat sulap.”

Malam itu, saat mereka mengobrol di bawah pohon beringin dengan lampu minyak yang berkedip-kedip—cahaya kuningnya menciptakan bayangan aneh di wajah mereka—Zul merasa campur aduk. Ia ingin menyenangkan ayahnya yang mengorbankan banyak untuk mengirimnya ke pondok, tapi di sisi lain, ia tak ingin kehilangan tawa bersama Qom. Angin malam membawa aroma bunga kamboja yang harum, tapi juga suara langkah kaki ustaz yang mendekat, disertai bisikan serius tentang “santri nakal yang harus diawasi.” Hatinya bergetar, takut ulah mereka terungkap dan ayahnya malu, tapi Qom hanya tersenyum lelet, berkata, “Jangan takut, bro, kita tim yang tak terkalahkan!” Di kejauhan, bayangan ustaz melintas di antara pepohonan, membawa lentera yang menyala redup, dan suara daun yang bergesekan menambah ketegangan, menandakan bahwa petualangan mereka akan menghadapi ujian pertama yang tak terduga, mengancam ikatan baru yang rapuh ini dengan konsekuensi yang belum bisa mereka prediksi.

Ulah di Bawah Bayang-Bayang

Setelah malam penuh rencana di bawah pohon beringin, Zulfikar Jaya dan Qomaruddin Zainal memasuki hari baru dengan hati yang bercampur antara semangat nakal dan cemas yang tak terucap. Pagi itu, udara di Pondok Al-Mawaddah terasa segar dengan aroma tanah basah setelah hujan semalam, ditambah wangi bunga kamboja yang tumbuh liar di sekitar masjid kayu tua dan aroma asap dapur yang mulai memasak nasi jagung untuk sarapan. Kabut tipis menyelimuti bukit di kejauhan, menciptakan pemandangan seperti lukisan yang hidup, sementara suara burung gereja berkicau di antara pepohonan jati yang daunnya masih basah. Zul bangun dengan mata sembab, masih memikirkan ide Qom untuk “pura-pura sakit” demi menghindari inspeksi dinas pendidikan yang dijadwalkan hari itu. Ia mengenakan seragam putih-cokelat yang masih agak lembap karena dikeringkan di dekat perapian semalam, kainnya terasa dingin di kulitnya, dan berjalan tertatih ke kamar mandi umum yang bau sabun colek bercampur dengan aroma air sumur yang dingin menyengat.

Qom, seperti biasa, sudah menunggunya di depan asrama dengan senyum lelet yang menunjukkan gigi depannya yang maju, mengenakan topi jerami yang kini dihias dengan daun pisang sebagai “aksesori mode” dan seutas tali dari kantong goni sebagai ikat pinggang. “Bro, kita mulai rencana sekarang. Aku udah siapin bawang merah buat matanya, dan kita bilang kena demam berdarah. Tambahin batuk-batuk biar dramatis!” kata Qom sambil mengeluarkan dua siung bawang merah dari saku seragamnya yang lusuh, baunya langsung menyengat hidung Zul. Zul menggelengkan kepala, tapi tawa kecil tak bisa ia tahan melihat ekspresi serius Qom yang lucu, seolah ia sedang merencanakan misi rahasia. Mereka berdua berjalan ke ruang makan, di mana santri lain sudah mengantre untuk mengambil nasi jagung yang disajikan dalam piring enamel tua dan sayur bayam yang dimasak dengan bumbu sederhana oleh Ibu Mariam, seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah tapi tangguh yang selalu mengenakan daster motif bunga.

Rencana mereka dimulai saat sarapan. Qom duduk di sebelah Zul, lalu dengan sengaja menggosok bawang merah di matanya hingga air mata mengalir deras, wajahnya memerah seolah benar-benar sakit, sementara Zul mengikuti dengan ragu-ragu, merasa hidungnya perih dan matanya pedih seperti terkena cabai. Mereka berjalan pincang menuju ruang kelas, pura-pura batuk-batuk dengan suara bergetar, dan mendekati ustaz pengawas, Pak Hadi, seorang pria kurus dengan jenggot tipis yang selalu membawa buku catatan kecil untuk mencatat pelanggaran. “Ustaz, kami kena demam berdarah, rasanya pusing dan panas,” kata Qom dengan nada dramatis, menempelkan tangan di dahi Zul yang masih dingin. Zul hanya mengangguk sambil menahan tawa, air matanya yang asli bercampur dengan efek bawang. Pak Hadi mengerutkan kening, memeriksa dahi mereka dengan tangan kasar yang terasa seperti kulit jeruk, dan akhirnya mengizinkan mereka istirahat di asrama, tapi dengan peringatan, “Kalau bohong, kalian tambah tugas hafalan sampai 50 halaman!”

Di asrama, Zul dan Qom tertawa ngakak setelah ustaz pergi, berguling-guling di tikar pandan yang berderit hingga debu beterbangan dan membuat mereka batuk-batuk lagi. Qom mengeluarkan kue nastar yang ia curi semalam dari dapur—bungkusnya agak lusuh tapi baunya masih harum—membaginya dengan Zul sambil berkata, “Ini hadiah buat tim sukses! Jangan bilang siapa-siapa, ya!” Mereka menghabiskan pagi dengan bercerita tentang masa kecil mereka, mencoba mengisi kekosongan hati. Zul menceritakan ibunya yang suka membuat kue nastar untuknya saat Lebaran, aroma vanila dan mentega masih terngiang di ingatannya, sementara Qom bercerita tentang ibunya yang pernah menjahit seragamnya dengan tangan meski jarinya penuh luka akibat jarum, sering menangis diam-diam di sudut rumah. Di balik tawa, ada kesedihan yang tersirat, dan untuk pertama kalinya, Zul merasa ada teman yang benar-benar memahami beban hatinya yang terpendam sejak kepergian ibunya.

Namun, ulah mereka tak berlangsung lama tanpa konsekuensi. Saat inspeksi dimulai, ustaz kepala, Kyai Abdul Malik, datang ke asrama untuk memeriksa santri yang “sakit,” diiringi dua pejabat dinas dengan jas rapi yang tampak asing di lingkungan sederhana pondok. Kyai, seorang pria berusia lanjut dengan jubah putih yang selalu rapi dan jenggot putih yang terawat, membawa wangi kemenyan dari ruang studinya. Zul dan Qom buru-buru berbaring, pura-pura tertidur dengan mulut terbuka dan selimut tipis ditarik hingga dagu, tapi Kyai yang cerdik langsung mencium bau bawang merah yang masih menempel di udara. “Bangun, kalian berdua! Ini ulah apa lagi?” bentaknya dengan suara tegas yang membuat lantai semen bergetar dan burung di luar jendela beterbangan. Qom mencoba berdalih, “Ustaz, ini efek demam, bau bawang dari obat tradisional yang ibu kasih!” tapi Kyai hanya menggelengkan kepala, memerintahkan mereka membersihkan seluruh halaman pondok sebagai hukuman, ditambah hafalan 10 halaman Al-Qur’an dalam seminggu, dan melaporkan kejadian ini ke ayah masing-masing.

Hukuman itu menjadi petualangan baru yang penuh tawa dan tantangan. Zul dan Qom bekerja bersama di bawah terik matahari yang membakar kulit, menyapu daun kering yang menumpuk di sudut-sudut halaman dan mengangkut sampah dengan gerobak tua yang rodanya berderit seperti nyanyian tua. Qom sering membuat lelucon untuk menghibur Zul, seperti pura-pura jatuh ke tumpukan daun hingga Zul tertawa terbahak-bahak, atau menyanyi lagu dangdut “Samsul dan Jamilah” dengan nada fals yang membuat santri lain ikut tergelak sambil mengintip dari jendela asrama. Zul balas dengan melempar daun kering ke wajah Qom, dan mereka berakhir berguling-guling di rumput, pakaian mereka penuh noda hijau. Tapi di sela-sela tawa, Zul mulai merasa bersalah, takut ayahnya kecewa jika tahu ulahnya, dan bayangan ibunya yang selalu mengingatkan tentang kejujuran terus menghantuinya.

Malam itu, saat mereka duduk di bawah pohon beringin untuk menghafal, Zul membuka mushaf ibunya yang sudah lusuh, baunya masih membawa aroma lem ibu yang dulu menempel di halaman-halaman itu. “Qom, aku takut salah jalan. Ibu selalu bilang belajar itu kunci hidup, tapi aku malah ulah sama kamu,” kata Zul, suaranya parau dengan mata berkaca-kaca. Qom terdiam, lalu menatap Zul dengan serius, matanya juga berkaca-kaca di bawah cahaya lampu minyak. “Aku juga takut, bro. Tapi kita belajar bareng, ya? Biar ibu kita bangga dari sana. Lagian, aku kan adikmu di sini,” jawabnya, mengulurkan tangan untuk menepuk pundak Zul. Mereka saling tersenyum, dan untuk pertama kalinya, Zul merasa ada harapan di tengah kesedihan.

Keesokan harinya, ulah mereka kembali terulang saat mereka mencoba “membantu” Ibu Mariam dengan menambahkan gula berlebih ke sayur bayam, mengira itu akan membuat rasanya lebih enak seperti masakan ibunya. Hasilnya, santri lain mengeluh saat makan malam, beberapa bahkan muntah karena rasa manis yang aneh, dan Ibu Mariam marah besar, mengejar Qom dengan sendok kayu hingga ia bersembunyi di balik Zul yang ketakutan. Kejadian itu menjadi bahan tertawaan di antara santri, dengan julukan “Koki Gula” melekat pada Qom, tapi juga membuat Zul semakin dekat dengan Qom, merasa ada saudara baru di pondok yang dingin ini. Namun, bayang-bayang masalah muncul saat Kyai mengumumkan bahwa ada santri yang dilaporkan mencuri kue nastar dari dapur, dan hukuman berat seperti pengusiran menanti pelakunya. Zul dan Qom saling pandang, tahu bahwa ulah mencuri kue nastar bisa jadi terungkap, dan ketegangan mulai menyelimuti persahabatan mereka yang baru terbentuk, di tengah aroma malam yang dingin dan desir angin yang membawa bisikan ketakutan.

Cobaan di Tengah Tawa

Setelah kejadian gula berlebih di sayur bayam yang menjadi legenda di kalangan santri, Zulfikar Jaya dan Qomaruddin Zainal memasuki fase baru dalam persahabatan mereka, di mana tawa mulai bercampur dengan ketegangan yang semakin membesar akibat ancaman hukuman. Pagi itu, udara di Pondok Al-Mawaddah terasa berat dengan aroma asap dapur yang bercampur dengan wangi tanah basah setelah hujan malam, sementara kabut tipis menyelimuti bukit di kejauhan, menciptakan suasana misterius. Suara burung gereja berkicau di antara pepohonan jati yang daunnya mulai kuning akibat musim kemarau, bercampur dengan lantunan ayat Al-Qur’an dari santri yang belajar di teras masjid. Zul bangun dengan perasaan cemas, masih memikirkan ancaman hukuman berat dari Kyai Abdul Malik terkait pencurian kue nastar yang mulai menjadi gosip di antara santri. Ia mengenakan seragam yang sudah agak sobek di lengan akibat tertarik semak saat bermain petak umpet, dan berjalan ke sumur untuk mengambil air wudhu, tangannya gemetar saat menuang air dingin ke wajahnya yang pucat.

Qom, seperti biasa, muncul dengan wajah ceria, mengenakan topi jerami yang kini dihias pita sisa seragam dan seutas tali dari kantong goni sebagai ikat pinggang, membawa sepotong roti yang ia klaim “ditemukan” di dapur. “Bro, kita harus cari bukti kita nggak nyuri kue. Aku punya rencana cerdas!” kata Qom sambil mengunyah roti dengan ekspresi serius yang lucu, matanya sipit berbinar dengan ide-ide gila. Zul menggelengkan kepala, tapi tak bisa menolak daya tarik persahabatan dengan Qom. Mereka sepakat untuk mencari saksi yang bisa membuktikan bahwa kue hilang karena kelalaian Ibu Mariam, meski Zul tahu rencana itu penuh risiko dan bisa memperburuk situasi. Mereka berjalan ke dapur, menyelinap di balik tumpukan kayu bakar yang berbau lembap, dan mengintip Ibu Mariam yang sedang mengaduk sup dengan wajah masam akibat keluhan santri tentang rasa manis sayur kemarin.

Rencana mereka berjalan kacau saat Qom tak sengaja menabrak tumpukan kayu, membuat suara keras yang menggema di dapur seperti letusan petasan, dan kayu-kayu itu runtuh berantakan. Ibu Mariam berbalik, melihat mereka dengan mata membelalak, dan berteriak, “Kalian lagi! Apa ulahmu sekarang, hai?” Qom cepat berdalih, “Bukan, Bu, kami cuma bantu ambil kayu buat api!” tapi Ibu Mariam tak percaya, menyeret mereka dengan tangan kuatnya ke depan Kyai dengan wajah penuh kemarahan, sendok kayu masih di tangannya seperti senjata. Kyai Abdul Malik, yang sedang duduk di teras masjid dengan buku kuning tua di tangan dan wangi kemenyan di sekelilingnya, memandang mereka dengan tatapan tajam yang membuat lantai kayu bergetar. “Kalian dicurigai mencuri. Buktikan kebenaranmu, atau hadapi hukuman,” katanya dengan suara dalam yang menggetarkan hati. Zul merasa jantungnya berdegup kencang, sementara Qom hanya tersenyum lelet, berbisik, “Tenang, bro, kita akali.”

Hukuman sementara diberikan: mereka harus membersihkan seluruh kamar mandi asrama yang bau urin, lumut hijau menempel di dinding, dan lantainya licin karena tergenang air kotor, sebuah tugas yang membuat Zul mual tapi Qom justru menganggapnya tantangan baru. Mereka bekerja dengan ember tua yang bocor dan sikat kayu yang bulu-bulunya sudah rontok, dengan Qom sering menyemprotkan air ke wajah Zul sambil tertawa, “Ini terapi wajah gratis, bro!” Zul balas menyiram balik dengan air keruh, dan mereka berakhir berguling-guling di lantai basah, pakaian mereka penuh noda hijau dan bau tak sedap, tertawa hingga perut sakit. Tapi di sela-sela tawa, Zul merasa beban di hatinya bertambah, takut ayahnya tahu dan malu padanya, bayangan ibunya yang selalu mengingatkan tentang kejujuran terus menghantuinya seperti bayangan di malam gelap.

Malam itu, saat mereka duduk di bawah pohon beringin untuk menghafal, Zul membuka mushaf ibunya yang sudah lusuh, baunya masih membawa aroma lem ibu yang dulu menempel di halaman-halaman itu, dan ia menatap Qom dengan mata berkaca-kaca. “Qom, kalau kita ketahuan, aku takut ayah kecewa. Ibu juga pasti sedih di sana, liat aku begini,” kata Zul, suaranya parau seperti angin yang berdesir di pepohonan. Qom terdiam, lalu menatap Zul dengan serius, matanya juga berkaca-kaca di bawah cahaya lampu minyak yang redup. “Aku juga takut, Zul. Tapi kita bareng, ya? Biar ibu kita tenang di sana. Aku janji, aku yang tanggung jawab kalau ketahuan,” jawabnya, mengulurkan tangan untuk menepuk pundak Zul dengan penuh kehangatan. Mereka saling tersenyum, dan untuk pertama kalinya, Zul merasa ada harapan di tengah kesedihan, meski ketegangan masih menggantung di udara.

Keesokan harinya, situasi memburuk saat Pak Hadi menemukan bungkus kue nastar di tas Qom saat pemeriksaan rutin, sebuah bukti yang tak bisa dibantah meski Qom mencoba bersembunyi di balik tumpukan buku. Kyai mengumpulkan semua santri di halaman yang dipenuhi debu dan daun kering, mengumumkan bahwa Qom dan Zul akan diadili sore nanti, dengan hukuman potensial berupa pengusiran dari pondok yang bisa merusak masa depan mereka. Zul menangis di sudut asrama, memeluk mushaf ibunya sambil air mata menetes ke halaman yang sudah lusuh, merasa gagal memenuhi harapan ayahnya yang mengorbankan segalanya untuk mengirimnya ke pondok. Qom mendekat, duduk di sampingnya dengan wajah pucat, dan berkata, “Maaf, Zul. Ini salahku. Aku yang nyuri, kamu cuma ikut. Aku yang akui sendiri.” Zul menatapnya, terkejut, dan berkata dengan suara tersendat, “Kita bareng, Qom. Kita hadapi bareng. Aku nggak mau kamu sendiri.”

Sore itu, di depan Kyai dan santri lain yang berdiri dalam diam, Qom mengaku sendirian, mencoba melindungi Zul dengan tangan gemetar, tapi Zul bangkit dan berkata dengan lantang, “Tidak, Kyai, kami bareng. Saya tak boleh bohong, ini kesalahan kami berdua.” Kyai tersenyum tipis, terkesan dengan keberanian dan kejujuran mereka, dan memutuskan hukuman ringan: tambah hafalan 20 halaman Al-Qur’an dalam seminggu, bersihkan masjid selama sebulan, dan menulis surat permintaan maaf kepada Ibu Mariam. Tapi di balik putusan itu, Kyai menambahkan, “Persahabatan kalian mulia, tapi jangan salah jalan lagi. Gunakan ini untuk belajar.” Zul dan Qom saling pandang, lega tapi juga sedih, menyadari bahwa ulah mereka hampir merusak ikatan yang baru terbentuk. Malam itu, di bawah pohon beringin, mereka berjanji untuk berubah, meski bayang-bayang hukuman, rasa bersalah, dan kenangan ibu mereka masih menyelimuti hati, ditemani desir angin yang membawa aroma malam yang dingin dan harapan yang samar.

Harapan di Ujung Tawa

Setelah cobaan berat akibat pengakuan pencurian yang mengguncang hati mereka, Zulfikar Jaya dan Qomaruddin Zainal memasuki fase baru dalam persahabatan mereka, di mana tawa mulai bercampur dengan tekad untuk menebus kesalahan dan membangun masa depan yang lebih baik. Pagi itu, udara di Pondok Al-Mawaddah terasa hangat dengan sinar matahari yang menyelinap melalui celah daun jati, sementara aroma bunga kamboja bercampur dengan wangi kayu bakar dari dapur yang mulai memasak bubur untuk santri. Kabut tipis masih menyelimuti bukit di kejauhan, menciptakan pemandangan yang damai, sementara suara burung pipit berkicau di antara pepohonan yang daunnya mulai hijau kembali akibat hujan musiman. Zul bangun dengan semangat baru, mengenakan seragam yang sudah dijahit ulang oleh Ibu Mariam sebagai tanda pengampunan dan kepercayaan kembali, kainnya terasa lembut di kulitnya, dan berjalan ke masjid dengan langkah lebih percaya diri. Qom, yang kini tak lagi memakai topi jerami untuk menghormati janji mereka, menemuinya dengan senyum sederhana, membawa mushaf kecil yang ia pinjam dari perpustakaan pondok dan sebuah buku catatan kosong untuk menulis cerita.

Mereka mulai serius menghafal, duduk di bawah pohon beringin setiap sore setelah tugas membersihkan masjid selesai—mengelap jendela kayu yang berdebu, menyapu lantai semen yang penuh jejak kaki, dan menyiram tanaman kamboja di halaman. Zul membaca dengan suara pelan, mengikuti irama ayat yang dulu sering dinyanyikan ibunya saat mengajarinya doa sebelum tidur, sementara Qom mencoba menirunya dengan nada fals yang membuat mereka tertawa kecil. “Bro, suaraku kayak katak, tapi aku mau coba buat ibu,” kata Qom, matanya berbinar dengan harapan yang tulus. Zul tersenyum, “Aku juga, Qom. Biar ibu kita bangga dari sana.” Mereka saling membantu, mengoreksi hafalan satu sama lain—Zul membantu Qom yang sering lupa tanda baca, sementara Qom mengajari Zul cara mengucapkan huruf-huruf sulit dengan nada yang merdu—dan perlahan, rasa bersalah mulai memudar, digantikan oleh ikatan yang lebih kuat dan penuh makna.

Namun, ujian baru datang saat ayah Zul, Pak Harun, tiba di pondok untuk menengoknya setelah mendengar kabar dari Kyai melalui surat. Zul panik, takut ayahnya tahu ulahnya yang hampir merusak nama baik keluarga, dan bersembunyi di balik gudang kayu bersama Qom, tangannya gemetar memegang mushaf ibunya. Pak Harun, dengan wajah penuh kerutan dan tas kain di pundak yang berisi buah-buahan dari desa, bertemu Kyai Abdul Malik di teras masjid, di mana Kyai menceritakan semuanya dengan jujur—dari ulah hingga pengakuan mereka. Zul mendengar percakapan itu dari celah dinding gudang, air matanya jatuh saat ayahnya berkata dengan suara bergetar, “Saya cuma mau anak saya jadi baik, Kyai. Istri saya di sana pasti sedih liat ini.” Qom mendorong Zul keluar, berkata, “Hadapi, bro. Aku dukung dari sini.” Dengan tangan gemetar dan hati berdebar, Zul mendekati ayahnya, memeluknya sambil menangis, “Maaf, Ayah. Aku salah, aku janji berubah.” Pak Harun memeluk balik, air mata mengalir di wajahnya yang keras, “Kamu baik, Zul. Ayah bangga kamu jujur. Ibu di sana pasti senang.”

Kejadian itu menjadi titik balik yang mengubah hidup mereka. Zul dan Qom mengabdikan diri membantu pondok, mengajar santri kecil menghafal di bawah pohon beringin, membersihkan lingkungan dengan hati—menyiram tanaman, mengumpulkan daun kering, dan bahkan memperbaiki gerobak tua bersama—dan menjadi contoh bagi yang lain. Qom mulai menulis cerita lucu tentang petualangan mereka di buku catatannya, menggambarkan Zul sebagai “Pahlawan Falsetto” dan dirinya sebagai “Raja Kodok,” yang dibacakan di malam kebersamaan setiap Jumat, membuat santri tertawa hingga perut sakit dan ustaz tersenyum tipis. Zul, di sisi lain, belajar memimpin doa di masjid, suaranya yang dulu serak kini mulai merdu, mengingatkan ibunya yang suka bernyanyi.

Suatu malam, di bawah pohon beringin yang diterangi bulan purnama, Zul membuka mushaf ibunya dan berkata, “Qom, kita berhasil, ya? Ibu pasti senang.” Qom mengangguk, “Iya, bro. Ini buat ibu kita. Dan buat kita, tim tak terkalahkan!” Cahaya bulan menerangi wajah mereka, tawa mereka bercampur dengan angin malam yang membawa aroma bunga kamboja, menciptakan harmoni yang menyentuh hati. Mereka berdua duduk bersandar pada akar pohon, membaca mushaf bersama, dan merencanakan masa depan—Zul ingin menjadi guru agama seperti Kyai, sementara Qom bercita-cita membangun rumah untuk ibunya. Persahabatan mereka, yang lahir dari tawa dan air mata, kini menjadi cahaya di ujung gelap, sebuah ikatan abadi yang menggugah jiwa di tengah kesederhanaan pondok.

“Tawa dan Air Mata di Pondok Pesantren: Persahabatan Unik yang Menggugah” menawarkan kisah inspiratif tentang kekuatan persahabatan yang lahir dari tawa, diuji oleh kesalahan, dan diselamatkan oleh kejujuran. Perjalanan Zulfikar dan Qomaruddin mengajarkan kita tentang harapan, penebusan, dan cinta keluarga, menjadikan cerita ini wajib dibaca bagi siapa saja yang mencari inspirasi emosional. Jangan lewatkan kesempatan untuk merenung dan tersentuh—baca ulang untuk menemukan keajaiban di setiap halamannya!

Terima kasih telah menyelami tawa dan air mata bersama Zulfikar dan Qomaruddin. Semoga kisah ini membawa kehangatan dan motivasi ke dalam hidup Anda. Sampai jumpa di artikel menarik berikutnya, dan jangan lupa hargai setiap momen persahabatan di sekitar Anda!

Leave a Reply