Daftar Isi
Undangan Terakhir dari Samera
Hujan turun sejak pagi, rintiknya lambat dan enggan. Seperti menyadari hari itu bukan hari biasa. Di kota kecil Meradu yang dikepung hutan pinus dan rumah-rumah tua peninggalan zaman Belanda, suasana akhir tahun terasa tidak seperti biasanya. Langit kelabu. Angin membawa aroma kayu basah dan tanah yang baru tersentuh air. Tapi bukan itu yang bikin suasana jadi berat. Bukan cuaca, bukan mendung. Tapi satu pesan.
Satu pesan dari nama yang tak pernah lagi muncul di grup chat selama hampir dua tahun.
Samera Diandra Lazuardi.
Nama yang dulu selalu jadi yang paling cerewet di antara lima orang dalam grup Meradu Squad. Nama yang dulu selalu ngirim voice note isinya cuma ketawa. Yang selalu bikin list to-do untuk malam tahun baru—dari makanan sampai playlist.
Tapi sekarang, pesannya pendek.
“Kalian bisa ke Meradu tanggal 31 malam nggak? Kita rayain tahun baru bareng, mungkin… untuk terakhir kali.”
Azel ngebaca pesan itu sambil duduk di mobil, nunggu hujan reda di parkiran kampus tempat dia ngajar. Tangannya gemetar, bukan karena dingin. Tapi karena tiga kata di akhir kalimat itu. Untuk terakhir kali.
Teka, yang baca pesan itu sepulang ngajar musik di sanggar tua, langsung nelpon Azel tanpa basa-basi.
“Lo dapet pesannya juga, kan?”
“Ya.”
“Dia maksudnya apa? ‘Untuk terakhir kali’?”
Azel diam sebentar. Hanya suara hujan yang terdengar di sela napas mereka.
“Aku rasa… lo juga tahu jawabannya, Tek.”
Satu per satu, mereka mengiyakan. Termasuk Adra, cowok paling pendiam di antara mereka, yang bahkan jarang bales chat tapi kali ini cuma nulis:
“Aku datang.”
Dan Langit—yang kini kerja sebagai fotografer dokumenter keliling pulau—balas dengan satu gambar: tiket kereta menuju Meradu, tanggal 30 sore.
Samera tidak membalas satu pun pesan mereka setelah itu. Tapi semua tahu, malam itu bakal jadi malam yang harus mereka hadiri. Bukan soal kembang api. Bukan soal nostalgia. Tapi soal seseorang yang dulu jadi pusat lingkaran kecil mereka, dan kini sedang menunggu akhir dengan tenang.
Tanggal 31 pagi, Meradu diselimuti kabut tebal. Jalanan becek. Warung-warung belum buka. Tapi halaman rumah Samera penuh aktivitas. Azel dan Teka tiba lebih dulu, membawa kotak-kotak makanan, lampu LED, dan speaker bluetooth yang bunyinya suka ngaco kalau volume maksimal.
“Eh, kamu masih inget nggak waktu kita nyasar pas tahun baru SMA?” tanya Teka sambil ngelepas jaket.
“Inget banget, lah. Gara-gara kamu maksa pakai aplikasi peta yang jelas-jelas nggak pernah update. Kita malah nyampe ke lapangan sawah.”
Teka ketawa kecil. “Tapi malah jadi seru, kan?”
Azel mengangguk. Tapi wajahnya menyimpan sesuatu. Sesuatu yang sejak pagi dia tahan—perasaan nggak enak yang terus mendekam sejak baca pesan Samera.
“Sam udah tahu kita dateng?”
“Iya,” suara perempuan dari balik pintu terdengar pelan. “Dan dia seneng banget.”
Ibunya Samera berdiri di ambang pintu, senyum setengah. Mata yang bengkak. Rambut yang sebagian besar sudah beruban. Tapi senyumnya tetap ramah, seperti dulu saat mereka suka main ke rumah itu buat nonton film horor semalaman.
“Kamu bisa langsung masuk, dia lagi di kamar belakang. Tapi pelan ya, dia gampang capek sekarang.”
Kamar belakang itu dulu dipakai buat nyimpen barang-barang tua. Tapi sekarang disulap jadi kamar perawatan sederhana. Di sana, Samera duduk di kursi roda, selimut abu-abu menutupi kakinya. Kepalanya hampir botak, cuma ada sisa-sisa rambut halus yang nggak mau nyerah. Tapi senyumannya… masih sama. Hangat. Nakal. Seperti dulu.
“Dua bocah yang dulu rebutan remote akhirnya datang juga,” katanya begitu lihat Azel dan Teka masuk.
“Dan kamu masih suka ngatain kita bocah, ya?” balas Azel sambil senyum.
Teka mendekat, megang tangan Samera yang dingin. “Gila, kamu makin kurus tapi tetep songong.”
Samera ketawa. Nafasnya berat, tapi jelas dia seneng.
“Makasih, ya. Aku cuma… pengin tahun ini nggak ditutup sendirian.”
“Kamu nggak sendiri, Sam,” ucap Azel. “Kita semua dateng.”
Sore itu, rumah Samera berubah jadi tempat paling hangat di kota. Langit datang terakhir, bawa tripod dan kamera. Adra muncul beberapa jam kemudian, tanpa banyak bicara. Tapi dia berdiri lama di depan pintu kamar Samera sebelum akhirnya masuk.
Tak ada yang komentar. Mereka semua tahu, Samera dan Adra punya sesuatu yang lama menggantung di antara mereka. Sesuatu yang nggak pernah tuntas.
Dan malam pun turun. Lampu-lampu digantung di teras. Musik pelan terdengar dari speaker. Aroma sosis bakar dan jagung manis memenuhi udara. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang menggantung di hati mereka. Bahwa malam ini bukan cuma malam perayaan.
Malam ini adalah perpisahan yang menyamar jadi pesta kecil.
Menjelang tengah malam, mereka berdiri mengelilingi tungku api kecil di halaman. Teka ngeluarin marshmallow dari kantong plastik.
“Nih, tradisi wajib,” katanya sambil nyodorin ke semua orang.
Azel duduk di sebelah Samera, ngelepas jaketnya buat nutupin kaki gadis itu lebih rapat.
“Kamu masih kuat?”
“Lumayan. Tapi kayaknya aku nggak bisa begadang sampe jam dua kayak dulu.”
“Ya udah, kita bikin malam ini rame sebelum kamu tidur.”
Teka nyalain musik favorit mereka zaman SMA—lagu-lagu indie lokal yang sekarang mungkin udah hilang dari Spotify. Mereka mulai cerita-cerita, bercanda, melempar lelucon lama yang masih lucu walau udah diceritain berkali-kali.
Dan untuk sesaat… semuanya terasa seperti dulu.
Tidak ada sakit. Tidak ada kematian. Tidak ada air mata. Hanya lima orang yang dulu pernah tumbuh bersama, sekarang kembali untuk satu malam yang mereka tahu akan sulit diulang.
Malam terus merayap, dan waktu terasa lambat. Seolah memberi ruang bagi mereka untuk menyusun ulang kenangan, sebelum semuanya berubah selamanya.
Kilau di Langit, Luka di Dada
Detik-detik menuju tengah malam terasa semakin lambat. Waktu seperti berhenti di tengah keramaian, membiarkan setiap detik yang berlalu menjadi lebih berarti. Samera masih duduk di kursi roda, tangan di atas selimut, dengan senyum yang jarang terlihat di wajahnya, tapi tetap ada—meskipun tipis dan penuh kekuatan. Kalian tahu senyum seperti itu, kan? Yang enggak butuh kata-kata untuk menjelaskan segala perasaan yang ada di dalam.
Azel, Teka, Langit, dan Adra sibuk menata makanan, menata kembang api, dan bahkan menata senyum mereka, seakan malam ini bisa mengubah semuanya. Tapi jauh di dalam hati, mereka tahu, malam ini bukan tentang merayakan, tapi tentang merelakan.
“Kamu yakin mau pakai kembang api itu?” Teka bertanya sambil menatap kotak besar yang dibawa Langit.
Langit tertawa kecil. “Yakin. Ini kembang api yang paling berisik di toko. Kalau sampe ada yang tidur, artinya mereka enggak menghargai perayaan ini.”
Samera menatap ke langit yang mulai gelap, kabut tipis masih menyelimuti pohon-pohon pinus yang berjejer di halaman belakang. Hanya sedikit bintang yang bisa terlihat. “Jangan terlalu berisik, ya. Aku nggak mau malah bikin kepala pusing,” katanya, suaranya lembut tapi tegas.
Azel nyengir. “Tapi malam ini malam kamu, Sam. Kita harus bikin gimana caranya tahun baru kali ini paling seru.”
“Aku cuma pengin… sebisa mungkin menikmati semua ini.” Samera menghela napas pelan. “Entah berapa lama lagi aku bisa duduk di sini, sama kalian.”
Malam semakin larut, dan suara kembang api yang mulai meledak di langit meriah, menerangi semua wajah yang penuh tawa itu. Tapi semakin lama, semakin terasa ada kekosongan yang menggantung di udara. Seperti ada sesuatu yang tertahan, sesuatu yang tak bisa dilepaskan begitu saja.
Azel berdiri dekat api unggun, matanya fokus ke kobaran api yang terus membara. Teka menyodorkan marshmallow lagi, tapi dia menolak. Matanya kosong, seolah-olah mencari jawaban yang tak pernah ada.
“Gue tahu lo merasa berat, Az,” Langit mendekat dan menepuk pundaknya. “Tapi Sam pengin kita nikmatin malam ini. Jangan buat dia ngerasa kita sedih.”
Azel hanya mengangguk, tapi senyum di wajahnya rasanya seperti tumpukan batu. Tidak bisa dilepas.
Teka melangkah mendekat dan melemparkan marshmallow yang baru dipanggang ke dalam api. “Gue masih inget, lo pernah bilang tahun baru itu yang penting bukan tentang apa yang kita capai, tapi siapa yang kita punya di samping kita.”
Azel menatap api yang meluncurkan percikan kecil ke udara, dan menghela napas. “Gue masih inget itu. Dan mungkin gue masih berharap bisa punya lebih banyak waktu buat bareng sama Sam.”
Tengah malam tiba. Waktu seolah berhenti, tidak bergerak sama sekali. Semua orang berdiri di luar, menatap langit yang kini diselimuti kilauan kembang api yang mengingatkan pada bintang yang jatuh. Samera menatapnya dengan mata yang semakin berat, tapi senyumnya tetap tidak pudar.
“Hitung mundur bareng?” Adra bertanya, matanya berkilau meskipun dia mencoba menyembunyikan kecemasannya.
Samera mengangguk pelan. “Ya, ayo. Aku pengin ikut menghitung.”
Semua orang berdiri dengan jarak, memeluk diri mereka sendiri untuk menghangatkan tubuh yang sudah kedinginan. Teka yang paling banyak bergerak di antara mereka, mengeluarkan smartphone dan memulai hitungan mundur di layar.
“Lima… empat… tiga… dua… satu…”
Semua orang berteriak, “Selamat Tahun Baru!” sambil menyalakan kembang api di tangan mereka. Langit di atas Meradu meledak dengan warna yang begitu cerah, seolah-olah menandakan bahwa malam ini adalah malam penuh harapan. Namun di hati mereka, sebuah perasaan hampa menari-nari di sana, seiring kembang api yang meledak dan mewarnai langit.
Samera tertawa, namun tawa itu tidak pernah sampai di matanya. Hanya sesekali dia memejamkan mata, merasakan dentuman di dada yang semakin keras. Tidak ada lagi kekuatan untuk menahannya.
Azel berdiri di samping Samera, matanya menatap ke depan, menyaksikan teman-temannya menikmati pesta kecil di halaman. Langit, yang sudah kembali memotret dengan kamera DSLR-nya, Adra yang duduk sambil sesekali tersenyum, Teka yang selalu berusaha membuat suasana lebih ceria. Tapi hatinya terasa sangat berat.
Dia tidak bisa menahan perasaan itu. Perasaan ingin menghentikan waktu, ingin membuat semuanya tetap seperti ini—tetap bersama, tetap lengkap, tanpa rasa takut yang menggelayuti mereka. Tanpa kehilangan.
“Sam,” Azel memanggil lembut, “Kamu nggak nyesel kan kita kumpul malam ini? Semua orang ada di sini buat kamu.”
Samera menoleh ke Azel dengan senyum yang tipis. “Nggak. Aku nggak nyesel. Justru, aku seneng banget kalian datang. Aku… nggak pengin lagi ada orang yang pergi dari hidup aku, Az.”
Azel menunduk, dadanya sesak. Dia nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Apa yang bisa dia katakan? Apa yang bisa dia lakukan selain menemani Samera melewati malam itu?
Samera menarik napas panjang. “Tapi kalau aku pergi nanti, kalian jangan lupa, ya? Jangan lupa bahwa kita pernah punya malam ini. Malam tahun baru yang terakhir bareng. Jangan pernah lupa, Az.”
Matanya mulai berkaca-kaca, dan Azel pun mengangguk. “Aku nggak bakal lupa, Sam. Aku janji.”
Malam itu berakhir dengan sepi. Kembang api sudah habis, dan suara orang-orang mulai menghilang. Hanya ada suara desah nafas Samera dan hati yang merasa teriris oleh kenyataan. Tapi setidaknya, mereka tahu, meski malam ini penuh dengan keceriaan, semuanya akan berakhir esok.
Namun tidak ada yang benar-benar siap menghadapinya.
Dan di tengah kesunyian yang datang setelah kembang api padam, Azel dan teman-temannya duduk bersama, merasakan perpisahan yang mereka tahu tak bisa ditunda lagi. Mereka merasakan betapa waktu begitu kejam, betapa kadang-kadang, bahkan perayaan terbesar pun harus diwarnai oleh perpisahan.
Tapi untuk Samera, mereka tetap akan bertahan bersama.
Sampai akhir.
Detik-detik yang Membeku
Pagi pertama di tahun baru datang dengan sunyi yang berat. Langit masih gelap, meskipun sudah lewat pukul tujuh. Kabut yang menutup Meradu kini mengaburkan batas antara dunia nyata dan imajinasi. Semua orang masih terjaga, menunggu matahari untuk mengusir dingin yang terus mencekam. Namun, di dalam rumah Samera, ada lebih banyak yang terasa beku daripada udara pagi.
Azel duduk di samping tempat tidur Samera. Punggungnya menempel pada dinding kayu yang dingin. Teka dan Langit memilih untuk berada di luar, menghidupkan api unggun kecil. Hanya ada suara detak jam di ruang yang sepi dan sebuah napas yang pelan tapi berat.
Samera masih tertidur, namun wajahnya lebih pucat dari malam sebelumnya. Jantung Azel berdegup tak karuan, matanya tak lepas dari wajahnya yang terpejam. Ada sesuatu yang mengganggu di sana. Sesuatu yang terlalu berat untuk ditanggung sendirian.
“Sam,” Azel menyentuh pelan tangan Samera yang terkulai lemah di atas selimut. “Kamu bangun, yuk.”
Samera membuka matanya perlahan, sesekali mengerjap, mencoba menyesuaikan dengan cahaya yang mulai merayap masuk ke kamar. Senyum itu muncul lagi, tipis dan loyo. Tapi tetap ada, meski hampir tidak terlihat.
“Azel… kamu masih di sini?” suaranya serak, namun ada kehangatan di dalamnya.
“Iya, aku di sini. Semua orang ada. Kita gak kemana-mana,” jawab Azel, mencoba terdengar tenang meski hatinya terasa sesak.
“Sam, aku cuma… pengin tau kamu bener-bener siap dengan semuanya, kan?” Azel mengucapkan kata-kata itu dengan berat, seperti mengingatkan dirinya sendiri lebih dari Samera. “Gue pengin tau, apakah lo sudah… nggak takut lagi?”
Samera tertawa pelan, tetapi kali ini terdengar lebih pahit. “Aku nggak takut, Az. Cuma, kadang rasanya… semuanya tiba-tiba datang, dan aku cuma bisa ngeliat semuanya makin jauh dari aku. Terlalu cepat… terlalu cepat.”
Azel merasa seperti ada sesuatu yang patah di dadanya, seolah segala kebahagiaan yang ada pada malam sebelumnya kini meluruh begitu saja.
“Aku tahu,” jawab Azel singkat. “Tapi lo harus tahu, Sam… kita nggak bakal pernah ninggalin lo. Gimana pun, lo bagian dari kita. Lo bakal selalu jadi bagian dari Meradu Squad.”
Samera mengangguk perlahan. “Aku tahu itu… tapi gue… enggak mau lo semua ngerasa kehilangan.”
Azel menatap Samera dalam-dalam. Wajah itu lebih kurus, lebih pucat, tapi matanya… matanya tetap terang dengan semangat yang tak terbendung, meski semuanya terasa seperti mimpi yang perlahan menghilang.
Sore itu, rumah Samera terasa semakin sepi. Semua orang sudah berada di luar, tetapi Azel tetap memilih duduk di ruang tamu, menunggu kabar dari dokter yang diminta oleh ibu Samera untuk datang mengecek keadaan gadis itu.
Langit duduk di sampingnya, memandang keluar jendela. Hujan kecil mulai turun, membasahi tanah yang sudah kering. Semua seolah ikut mencemaskan Samera.
“Lo tahu gak, Az,” Langit akhirnya mulai berbicara, “kadang gue mikir, kenapa kita cuma bisa merayakan hal-hal besar di waktu-waktu yang paling nggak tepat?”
Azel menoleh, menatap sahabatnya yang sudah lama mengenalnya. “Maksud lo?”
“Ya, kayak waktu kita ngerayain malam tahun baru itu. Gue… gue ngerasa kita merayain sesuatu yang enggak seharusnya kita rayain. Gue mikir, kenapa kita nggak bisa nunggu sampe dia lebih baik? Sampe dia bener-bener sembuh…”
Azel diam, meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Langit. Sesuatu yang sebenarnya sudah dia rasakan jauh-jauh hari. Tetapi, dia merasa tidak ada yang benar-benar siap untuk menerima kenyataan bahwa mereka tidak bisa mengubah apapun. Bahwa waktu mereka bersama Samera memang sudah sangat terbatas.
“Gue tahu, gue ngerasain itu juga, Lang,” jawab Azel pelan. “Tapi… kadang kita cuma bisa mencoba untuk bikin dia merasa kalau kita ada buat dia. Bahkan kalau itu cuma satu malam.”
Langit mengangguk, tapi wajahnya tetap tegang. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan itu. Tidak ada yang bisa melawan waktu.
Saat malam kembali turun, Samera sudah tak bisa bangun dari tempat tidur. Nafasnya semakin berat, tubuhnya semakin lemah. Azel, Teka, Langit, dan Adra berkumpul di ruang tamu, menunggu dengan cemas. Setiap suara yang terdengar seolah memperburuk ketegangan di udara. Setiap detik seperti menit, dan setiap menit seperti jam.
Adra akhirnya berdiri dan mendekati Azel. “Gimana keadaan Sam?”
Azel mengusap wajahnya, merasa lelah. “Gue nggak tahu. Tapi gue rasa… dia semakin lemah, Adra.”
Adra menatapnya dengan mata yang lebih dalam, seolah membaca perasaan yang ingin Azel sembunyikan. “Lo nggak perlu nahan semuanya sendirian, Az. Kita semua ada di sini. Dan Sam… Sam pasti tahu itu.”
Azel hanya mengangguk, namun hatinya masih dipenuhi keraguan yang tak terucapkan. Apakah mereka sudah cukup untuk Samera? Apakah mereka sudah cukup mendampingi teman mereka, yang kini hanya tinggal kenangan yang semakin memudar?
Tengah malam datang dengan hening yang luar biasa. Teka, Langit, dan Adra memilih tidur di ruang tamu, sementara Azel tetap berada di kamar Samera. Gadis itu sudah tertidur dalam keheningan, wajahnya yang pucat semakin mempertegas bahwa waktu yang mereka miliki semakin habis.
Ketika akhirnya Samera membuka matanya, Azel segera menatapnya. Senyumnya hanya setengah. Tetapi ada sesuatu dalam tatapan itu, yang membuat Azel merasa berat.
“Az,” suara Samera begitu pelan, hampir bisu. “Lo tahu, kan? Gue sayang banget sama kalian. Semua dari kalian.”
Azel menatapnya tanpa kata-kata, hanya bisa menahan air mata yang sudah menggenang.
“Sam, lo nggak perlu ngomong gitu… kita tahu kok,” Azel berkata, suara seraknya hampir hilang.
Samera tersenyum sekali lagi, senyum yang tipis namun penuh arti, lalu matanya menutup perlahan, seolah melepaskan semuanya dalam damai.
Dan di saat itu, Azel merasa dunia berhenti berputar. Dia hanya bisa duduk di samping Samera, merasakan detik-detik yang membeku di udara, sebelum semuanya berakhir.
Ketika pagi datang, mereka tidak lagi mendengar suara tawa atau cerita-cerita yang dulu mengisi rumah ini. Semua terasa hampa. Semua terasa seperti kenangan.
Samera sudah tidak ada lagi.
Dan mereka… mereka harus belajar untuk melanjutkan hidup, meskipun semuanya kini terasa kosong.
Tahun Baru Tanpa Samera
Hari itu, angin pagi terasa begitu dingin. Semua di Meradu seperti berhenti bergerak, seolah mereka tengah menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Tidak ada lagi suara tawa di rumah Samera, hanya keheningan yang begitu dalam, menyelimuti setiap sudut, bahkan meresap ke dalam hati mereka.
Azel duduk di bangku taman belakang rumah Samera, menatap ke arah langit yang masih kelabu, tanpa kehidupan. Dia memeluk lututnya, mencoba merasakan sesuatu yang mengingatkan dia pada semangat Samera, sesuatu yang dulu selalu terasa ada di setiap perayaan, di setiap pertemuan mereka. Tapi kini semuanya kosong. Hampa.
Langit berjalan mendekatinya, membawa dua cangkir kopi panas. Dia duduk di samping Azel, tanpa berkata apa-apa, hanya duduk dan menikmati keheningan yang sulit diterima. Semua orang seolah terjebak dalam kesedihan yang tidak bisa diselesaikan dengan kata-kata. Bahkan tahun baru ini terasa berbeda. Tanpa Samera, semuanya terasa jauh lebih sunyi.
“Gimana rasanya, Lang?” Azel akhirnya membuka percakapan, meskipun dia tahu tidak ada jawaban yang bisa mengubah kenyataan ini. “Kehilangan Sam…”
Langit menghela napas panjang. “Kita kehilangan lebih dari sekadar teman, Az. Kita kehilangan bagian dari diri kita sendiri. Sam tuh udah jadi bagian dari hidup kita. Semua yang kita lakuin… Sam ada di sana. Dan sekarang, dia nggak ada lagi.”
Azel menatap ke arah jalan setapak yang mengarah ke hutan cemara. “Gue masih merasa dia ada, di sini,” katanya sambil menepuk dadanya. “Tapi di satu sisi, gue tahu… dia udah nggak ada lagi. Dan itu berat banget, Lang.”
Teka datang dari belakang, membawa beberapa kotak dan beberapa benda yang sudah disiapkan untuk mengenang Samera. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi gue pengin kita bikin sesuatu buat Sam. Sesuatu yang bisa bikin dia ngerasa kalau kita nggak bakal lupa.”
Azel dan Langit saling berpandangan. Teka selalu punya cara untuk membawa keceriaan, bahkan dalam situasi yang seperti ini. Mereka semua merasa hal yang sama, meskipun perasaan itu berbeda cara diekspresikan.
Adra yang datang belakangan hanya tersenyum kecil saat melihat mereka bertiga. “Gue setuju sama Teka. Kita harus nyalain sesuatu, bukan cuma kembang api, tapi semangat Sam yang nggak pernah padam.”
Mereka akhirnya sepakat untuk membuat sebuah api unggun besar di halaman belakang, sama seperti malam tahun baru mereka yang pertama, hanya kali ini tanpa Samera di sana. Namun, mereka tidak ingin merayakan apa yang sudah hilang, melainkan merayakan apa yang pernah ada.
Malam itu, mereka duduk mengelilingi api unggun, menyusun cerita tentang Samera. Setiap kenangan yang mereka bagi, setiap tawa dan air mata yang pernah tercipta bersama, terasa seperti menghidupkan kembali bagian-bagian dari diri mereka yang seolah hilang. Mereka merasakan kehadiran Samera di tengah-tengah mereka, bukan sebagai sosok yang nyata, tapi sebagai energi yang mengikat hati mereka.
“Aku masih inget waktu Sam ngajarin aku buat nggak takut lagi,” Teka mulai bercerita. “Waktu itu, aku bener-bener down, tapi Sam cuma bilang, ‘Lo bisa lebih dari apa yang lo kira.’ Sam punya cara buat bikin orang merasa penting, kayak dia selalu jadi pusat dunia kita.”
Adra mengangguk, menambah cerita. “Dia selalu bilang, ‘Jangan pernah ragu buat ikut sama kita, karena kalian lebih berarti dari yang kalian tahu.’ Sam tuh nggak cuma sekedar teman, tapi dia pengin kita semua merasakan kebaikan dalam hidup ini, bahkan ketika segala sesuatunya terasa susah.”
Langit menatap api yang menyala, matanya mulai berkaca-kaca. “Sam pernah bilang, ‘Tahun baru itu bukan cuma soal tanggal, tapi soal perubahan yang lo rasain di dalam hati.’ Gue rasa, tahun baru tanpa dia tuh nggak bakal sama. Tapi… kita masih bisa berusaha, kan? Kita masih bisa hidup dengan semangat yang dia ajarin.”
Azel diam sejenak, meresapi kata-kata Langit. Betapa banyak yang telah mereka pelajari dari Samera, betapa banyak pula yang kini mereka harus jalani tanpa kehadirannya. Namun, satu hal yang pasti: Samera telah meninggalkan warisan yang tak akan pernah hilang, yaitu cinta dan kebersamaan yang mereka rasakan selama ini.
Malam semakin larut, dan api unggun mulai meredup. Semua yang ada di sana menyadari bahwa waktu tidak akan pernah bisa kembali. Tahun baru kali ini mungkin tidak sama dengan yang mereka bayangkan, tetapi ada hal yang lebih besar yang mereka pelajari: bahwa kehilangan bukan berarti berakhirnya segalanya. Bahwa meskipun Samera tidak lagi ada di dunia ini, semangat dan kenangannya akan terus hidup dalam hati mereka.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Az?” Langit bertanya pelan.
Azel menghela napas panjang dan memandang api unggun yang semakin kecil. “Kita lanjutkan hidup, Lang. Bukan cuma untuk kita, tapi juga untuk Sam. Kita bawa semua kenangan itu, kita bawa semangatnya, dan kita jalani hidup ini dengan cara yang dia ingin kita jalani. Kita nggak perlu takut lagi.”
Teka, Adra, Langit, dan Azel berdiri di sana, menghadap api yang hampir padam. Mereka tahu, meskipun malam ini penuh dengan kesedihan, mereka masih punya satu sama lain. Dan selama mereka bersama, mereka akan selalu membawa Samera dalam setiap langkah mereka.
Di tengah dinginnya malam, api yang menyala itu akhirnya padam. Tetapi dalam hati mereka, api itu akan selalu ada—terus hidup, terus membara, dengan kenangan indah yang tidak akan pernah padam.
Dan begitulah tahun baru mereka dimulai, bukan dengan perayaan atau sorak-sorai, tetapi dengan cinta yang tak akan pernah hilang, dan kebersamaan yang terus mengikat mereka meskipun perpisahan telah terjadi.
Tamat