Surat Wasiat Ayah: Kisah Perjalanan Warisan dan Kenangan Abadi

Posted on

Kadang, hidup itu nggak selalu seperti yang kita bayangkan. Tapi, siapa sangka kalau sebuah surat wasiat bisa jadi pintu buat menemukan banyak hal yang tersembunyi?

Ini cerita tentang seorang gadis yang nggak cuma mewarisi harta, tapi juga kenangan dan pesan yang bakal mengubah cara dia melihat hidup. Yuk, simak perjalanan dia menemukan arti dari warisan yang lebih dari sekadar materi.

 

Surat Wasiat Ayah

Kata yang Tak Pernah Tersampaikan

Suasana pagi itu tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Matahari sudah cukup tinggi, memancarkan sinarnya ke setiap sudut ruang, namun di dalam rumahku yang sepi ini, terasa seperti ada sesuatu yang hilang. Suara kecipak air dari dispenser, denting sendok yang mengaduk kopi, dan gemerisik halaman koran yang dibuka dengan malas—semua itu terasa asing.

Aku duduk di meja makan, menghadap sarapan yang belum aku sentuh. Kriuk-kriuk roti panggang yang kupilih tadi pagi seakan tak mampu mengusir rasa hampa yang tiba-tiba merayap. Di luar jendela, langit biru cerah, sementara di dalam rumah, aku merasa seperti berada di ruang yang penuh kenangan.

Tangan kananku menyentuh selembar kertas. Itu adalah surat yang ditemukan beberapa hari lalu, tersembunyi di dalam laci meja kerja ayah, di antara tumpukan berkas-berkas yang hampir tidak pernah disentuh. Surat itu, amplop coklat tua dengan tulisan tangan yang kukenal begitu baik—tulisan ayahku, Salim Hendra.

Aku menarik napas panjang dan perlahan membuka amplop itu, hati berdebar. Dalam diam, aku membaca setiap kata yang tertera. Kata-kata itu seolah menjadi sebuah jalan baru yang aku tak pernah tahu akan membawaku ke mana. Ada sesuatu yang menggerakkan hatiku. Aku tak tahu apa yang kurasakan. Mungkin ini adalah rasa kehilangan yang belum sempat kurasakan sebelumnya.

“Rara?”

Suara itu memecah kesunyian. Suara yang biasa aku dengar, namun kali ini terasa berbeda. Aku menoleh. Ibu berdiri di ambang pintu, wajahnya cemas. Matanya, yang biasanya penuh kebijaksanaan, kini tampak lebih lembut, seperti sedang mencoba mencari kata-kata yang tepat.

“Kamu kenapa?” tanya ibu, langkahnya maju, mendekat ke arahku.

Aku hanya mengangkat bahu, tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang kurasakan. Surat ini, kata-kata ayah, terasa berat. Ada kerinduan yang membekas begitu dalam, dan aku tak tahu bagaimana menghadapinya.

“Aku nggak tahu, Bu,” jawabku pelan, menundukkan kepala. “Tapi ada sesuatu yang nggak pernah aku tahu selama ini. Sesuatu yang—” aku terdiam, merasa kata-kataku tak cukup mewakili perasaan.

Ibu duduk di sampingku, tangannya memegang tangan kiriku. “Terkadang, kita baru bisa mengerti setelah semuanya terlambat, Rara,” katanya lembut, suaranya penuh pengertian. “Ayah kamu bukan orang yang mudah mengungkapkan perasaan. Tapi dia selalu sayang sama kamu, meski dia nggak bilang.”

Aku menatap ibu, mencoba mengerti. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa seperti menemukan kembali bagian dari diriku yang hilang. Namun, rasa sesak di dada tetap ada. Kata-kata itu… kata-kata ayahku. Mengapa selama ini aku tidak menyadarinya?

“Kenapa ayah nggak pernah bilang langsung, Bu?” tanyaku, suara hampir tercekat.

Ibu tersenyum kecil, matanya sedikit berkaca-kaca. “Ayah kamu, dia nggak tahu bagaimana caranya. Dia lebih suka mengungkapkan semuanya lewat tindakan. Mungkin, dia takut kalau kata-katanya nggak cukup menggambarkan perasaan yang dia punya untuk kamu.” Ibu mengusap rambutku pelan, memberikan kenyamanan yang entah datang dari mana.

Aku menunduk lagi, merasa hati ini penuh dengan campuran perasaan yang sulit kuungkapkan. Bagaimana aku bisa mengerti sesuatu yang begitu dalam, jika selama ini aku selalu sibuk dengan dunia yang jauh dari perasaan sesungguhnya? Kenapa aku baru sadar sekarang, setelah ayah tidak ada?

“Rara,” ibu melanjutkan, suaranya lebih tegas kali ini. “Kamu harus kuat, ya. Ayah kamu tidak ingin kamu merasakan penyesalan. Kamu sudah membuatnya bangga, kamu tahu itu?”

Aku mengangguk pelan, meski hatiku masih terasa berat. Aku ingin mengatakan banyak hal, ingin berteriak dan bertanya kenapa, ingin memeluk ayah dan mendengarnya mengatakan bahwa dia mencintaiku. Tapi itu tak akan terjadi. Semua sudah terlambat.

Akhirnya, aku kembali menatap surat itu. Kata-kata ayahku berulang kali terngiang di pikiranku. “Rara, jika kamu membaca surat ini, berarti aku sudah pergi…” Aku menarik napas dalam-dalam dan memeluk surat itu erat-erat. Ini bukan hanya surat wasiat tentang harta, ini lebih dari itu. Ini adalah warisan tentang hidup, tentang bagaimana aku harus menjalani sisa waktuku setelah kepergian ayah. Kenangan tentang ayah adalah satu-satunya harta yang tak akan pernah bisa aku tinggalkan.

“Tapi, Bu… aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku,” aku berkata pelan, suara hampir hilang.

Ibu menatapku dengan lembut. “Itulah kenapa kita harus terus hidup, Rara. Untuk mengenang, untuk menghargai semua yang telah dia beri. Dan yang terpenting, untuk menjadi lebih baik lagi.”

Aku mengangguk pelan, meski ada rasa yang belum bisa kupahami sepenuhnya. Seolah-olah ayah sudah memberi aku kekuatan meski dia tak lagi ada. Begitu banyak kenangan yang terbungkus rapi dalam kata-kata sederhana, dalam surat yang kini ada di tanganku.

Aku menutup mata, mencoba merasakan kehadirannya. Meski tubuhnya tak terlihat, aku tahu dia masih ada di setiap ruang rumah ini. Setiap sudutnya, setiap benda yang ada, seolah berbisik tentang dia—tentang ayahku yang pernah ada.

Aku menyimpan surat itu dengan hati-hati, kemudian menoleh kepada ibu. Kami hanya diam sejenak, seakan tahu bahwa ada hal-hal yang tak perlu diucapkan lagi. Hanya ada perasaan yang saling berbicara di antara kami. Tapi ini baru permulaan. Surat ini akan membawa aku pada perjalanan baru, yang tak bisa aku hindari.

“Kalau nanti aku nggak ada, jangan terlalu sedih. Hidupmu harus tetap berjalan…”

Kata-kata ayah itu kembali berulang dalam pikiranku, meninggalkan kesan mendalam. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang pasti, hidupku tidak akan pernah sama lagi setelah membaca surat ini.

Dan perjalanan baru ini… dimulai dari sini.

 

Kenangan yang Tertinggal

Hari-hari setelah ayah pergi terasa seperti cuaca yang berubah-ubah, penuh kabut dan mendung, namun terkadang muncul juga seberkas sinar matahari yang memberi sedikit harapan. Aku mencoba menjalani rutinitasku, meski semuanya terasa berbeda. Semua yang dulu tampak biasa, kini terasa seperti kenangan yang sulit untuk dilepaskan.

Aku kembali ke rumah setelah beberapa hari tidak pulang, setelah memutuskan untuk menghabiskan waktu di luar kota, mencoba menjauhkan diri dari rasa sesak yang terus mencekik. Rumah ini masih sama, dengan aroma kopi yang menguar dari dapur dan suara jam dinding yang berdetak pelan, seperti memanggilku untuk pulang. Tetapi semuanya terasa kosong tanpa kehadiran ayah.

“Aku… pasti merasa aneh, ya, kalau ayah nggak ada?” aku berbicara pelan pada diriku sendiri, berjalan menyusuri lorong rumah yang dulu penuh dengan tawa, kini hanya menyisakan kesunyian.

Aku membuka pintu ke ruang kerja ayah, ruangan yang dulu sering aku hindari. Banyak berkas yang berserakan di meja, beberapa dokumen yang tampak penting, dan lemari besar yang menyimpan barang-barang yang tak pernah benar-benar aku pahami. Aku berjalan mendekat dan menyentuh beberapa benda yang pernah menjadi bagian dari rutinitas ayah. Komputer tua yang sering dia gunakan, foto-foto keluarga yang tersegel rapat dalam bingkai, dan kursi kerjanya yang kini terasa begitu kosong.

Tiba-tiba, pandanganku tertumbuk pada sebuah foto yang tergeletak di sudut meja. Foto itu adalah salah satu kenangan lama—foto keluarga kami, yang diambil beberapa tahun lalu di sebuah taman. Ayah, ibu, dan aku—kami tersenyum bahagia, meski aku tahu betul, kebahagiaan itu hanya berlangsung sejenak. Ada banyak ketegangan yang aku coba sembunyikan di balik senyum itu. Tapi sekarang, melihatnya, rasanya aku ingin kembali ke waktu itu. Waktu yang lebih sederhana, waktu yang penuh dengan kebersamaan.

Aku mengambil foto itu dengan hati-hati, seakan takut jika aku menjatuhkannya, kenangan itu akan hilang begitu saja. Aku memandangi wajah ayah di foto itu, dengan senyum lebar yang jarang dia tunjukkan. Senyum yang selalu aku anggap biasa, tapi kini terasa begitu berarti. Dia tampak lebih muda, lebih penuh harapan. Tidak ada yang tahu apa yang ada di dalam pikirannya saat itu.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka. Aku berbalik, dan melihat ibu berdiri di ambang pintu, memandangiku dengan tatapan yang penuh pengertian.

“Kamu mencari apa, Rara?” ibu bertanya pelan.

Aku hanya tersenyum kecil, meski air mata mulai menggenang di mataku. “Cuma melihat-lihat. Aku rindu ayah, Bu.”

Ibu mendekat dan duduk di sampingku, tangannya meraih foto itu dan menyentuhnya dengan lembut. “Ayahmu juga rindu kamu, Rara. Dia selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita.”

Aku mengangguk, meski aku tahu bahwa ayah jarang sekali mengungkapkan itu dengan kata-kata. Aku tahu, dia mengungkapkannya dengan cara yang berbeda. Mungkin itulah yang membuatnya sulit bagi aku untuk memahami perasaannya selama ini.

“Apakah kamu pernah merasa bahwa kita tidak pernah cukup dekat, Bu?” tanyaku tiba-tiba, merasa ada sesuatu yang perlu aku ungkapkan.

Ibu menoleh, lalu menghela napas. “Terkadang, kita merasa begitu. Tapi itu bukan karena tidak ada cinta, Rara. Kadang, orang yang kita cintai sangat keras kepala, bahkan untuk menunjukkan perasaan mereka.”

Aku mengangguk lagi, mencoba mengerti. “Ayah tidak pernah banyak bicara, kan, Bu? Dia lebih suka diam.”

Ibu tersenyum pahit. “Iya, memang begitu. Tapi percayalah, dalam setiap diamnya, ada ribuan kata yang ingin dia sampaikan. Dia sangat mencintai kamu, meskipun mungkin dia tidak bisa mengatakannya seperti yang kamu harapkan.”

Aku merasa sedikit tenang dengan kata-kata ibu, meskipun hatiku masih terasa perih. Kenangan bersama ayah terasa begitu jauh, seakan berlalu begitu cepat tanpa sempat aku benar-benar memahaminya.

“Apa kamu merasa ayah meninggalkan sesuatu untukmu, Rara?” ibu melanjutkan, matanya menatapku serius.

Aku terdiam, merenung. “Maksud Ibu?”

Ibu meraih tangan kanan ku dan menggenggamnya erat. “Kamu tahu, kadang kita berpikir kita kehilangan segalanya. Tapi yang sebenarnya kita miliki adalah kenangan, pelajaran hidup, dan—” ibu berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan suara lebih lembut, “dan warisan yang tak pernah mati. Ayah meninggalkanmu lebih dari apa pun, Rara.”

Aku memandang ibu dengan tatapan kosong, seolah mencoba menangkap makna yang terkandung dalam kata-kata ibu. Warisan? Kenangan? Apa yang dimaksud ibu? Surat wasiat itu bukan hanya tentang harta benda atau properti. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang tak dapat aku lihat dengan jelas. Aku tahu ayahku lebih dari sekadar pria yang keras dan tertutup, tapi mengapa aku baru menyadari hal ini sekarang?

“Apa yang harus aku lakukan, Bu?” tanyaku, suara penuh kebingungan. “Aku merasa seperti kehilangan petunjuk, kehilangan arah.”

Ibu menatapku, seolah mencoba memberi tahu aku sesuatu yang lebih penting daripada sekadar kata-kata. “Jangan mencari jawaban di luar sana, Rara. Jawabannya ada dalam dirimu. Ayah sudah memberi petunjuknya. Sekarang giliranmu untuk menjalani hidup dengan cara yang dia inginkan.”

Aku menggenggam tangan ibu lebih erat, mencoba menemukan kekuatan dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya. Aku tahu, ini bukan akhir. Ini baru permulaan. Surat wasiat itu hanya membuka jalan baru yang harus aku jalani, meski aku tak tahu ke mana arahannya.

Ibu berdiri dan melangkah menuju pintu. “Aku akan menyiapkan teh hangat untuk kita. Mari kita duduk bersama, Rara. Kita tidak sendirian.”

Aku mengangguk pelan. Ibu benar. Aku tidak sendirian. Selama kenangan itu masih ada, selama ayah ada dalam pikiranku, aku tidak akan pernah benar-benar sendiri.

 

Surat yang Tak Pernah Dikirim

Pagi itu, cuaca cerah, meskipun hatiku masih terasa penuh dengan kerumunan perasaan yang sulit diungkapkan. Aku duduk di balkon, menatap halaman belakang rumah yang pernah menjadi tempat ayah dan aku berbincang tanpa kata-kata, hanya dengan tatapan dan secangkir kopi. Seiring waktu, halaman ini menjadi saksi bisu dari begitu banyak momen yang aku coba lupakan, namun kini rasanya aku ingin kembali ke sana, mengulang semuanya.

Ibu datang membawa secangkir teh hangat, menaruhnya di sampingku. “Kamu belum banyak tidur, ya?” ujarnya dengan suara lembut. Aku hanya tersenyum, tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan yang bergejolak di dalam diri. Semua kenangan tentang ayah datang begitu cepat, seolah-olah saat dia pergi, segala sesuatunya terhenti di waktu yang sama.

Ibu duduk di sampingku, matanya memandang ke luar rumah. “Kamu tahu, dulu ayah sangat mencintai alam. Dia merasa dekat dengan segala yang ada di sekitar rumah ini. Itu sebabnya dia selalu memilih untuk bekerja di sini, bukan di kantor.”

Aku mengangguk pelan, mencoba menyerap kata-kata ibu, meski hatiku masih berkecamuk. “Iya, aku tahu. Tapi aku masih merasa tidak cukup mengenal dia, Bu. Kenapa baru sekarang aku tahu semuanya?”

Ibu terdiam sejenak, lalu menjawab, “Karena kamu selalu sibuk dengan duniamu sendiri, Rara. Kadang kita terlalu fokus pada diri kita hingga lupa melihat orang lain. Ayah selalu menaruh harapan besar padamu, tapi dia tahu bahwa kamu butuh waktu untuk memahami apa yang sesungguhnya penting.”

Aku menatap ibu, merasa kata-katanya seperti pedang yang menembus hatiku. Aku menyadari betapa seringnya aku melupakan kehadiran ayah, terlalu sibuk dengan segala hal yang aku pikir lebih penting. Tetapi kini, setelah dia tiada, aku baru merasakan betapa dalamnya pengaruhnya dalam hidupku.

“Apa yang sebenarnya ayah ingin aku lakukan?” tanyaku lirih, merasa bimbang. “Aku merasa tidak siap, Bu.”

Ibu memandangi aku dengan tatapan penuh kasih sayang, lalu mengangguk pelan. “Mungkin ayah tidak bisa mengungkapkan semuanya secara langsung. Tapi percayalah, dia ingin kamu menjadi dirimu sendiri. Dia tahu, kamu punya potensi yang luar biasa, Rara. Semua yang dia lakukan, itu karena dia ingin kamu menemukan jalanmu sendiri.”

Aku merenung, kata-kata ibu berputar-putar dalam pikiranku. Namun, ada satu hal yang masih menggangguku—surat wasiat ayah yang selama ini aku hindari. Aku tahu, itu pasti berisi petunjuk, mungkin tentang warisan atau hal-hal lain yang perlu aku ketahui, tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih dari itu. Surat itu terasa seperti sebuah pesan yang tidak terucapkan, sebuah hal yang begitu penting namun sulit untuk dicerna.

“Bu, apakah kamu yakin surat itu hanya tentang harta benda?” tanyaku dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Ibu menoleh, matanya terlihat tajam, namun lembut. “Kadang-kadang, yang kita anggap remeh justru berisi hal yang paling penting. Surat wasiat itu bukan hanya tentang uang atau properti, Rara. Itu lebih dari itu.”

Aku berdiri, tidak sabar untuk mengetahui lebih banyak. “Aku harus membuka surat itu, Bu.”

Ibu mengangguk pelan, memberikan izin tanpa perlu berkata lebih banyak. Aku berjalan menuju ruang kerja ayah lagi, perasaan berdebar-debar semakin tak tertahankan. Aku harus menemukannya—surat itu—surat yang mungkin akan menjawab banyak pertanyaanku, atau bahkan menambah kebingunganku.

Aku membuka laci meja ayah dengan hati-hati, mencari surat wasiat yang sudah terlalu lama tersembunyi. Setelah beberapa saat, tanganku menyentuh sebuah amplop coklat yang sudah sedikit pudar, tertutup rapat dan terasa berat, seperti menyimpan seluruh beban dunia di dalamnya. Aku menariknya keluar, memperhatikan tulisan di bagian depan yang tertulis dengan tangan ayah, sebuah nama yang sudah lama aku rindukan.

Untuk Rara, anakku tercinta.

Aku menghela napas panjang. Tangan ku sedikit gemetar saat membuka amplop itu. Di dalamnya, ada selembar kertas yang sudah mulai menguning, dan tulisan ayah yang begitu jelas meskipun tampak sedikit tergesa-gesa.

“Rara,
Jika kamu membaca surat ini, maka aku sudah tiada. Aku ingin kamu tahu bahwa apa yang kamu lihat selama ini hanya sebagian dari diriku. Aku mungkin tak pernah mengatakan ini secara langsung, tapi aku bangga padamu. Kamu adalah bagian dari hidupku yang paling berharga. Dalam setiap langkah hidupmu, aku akan selalu ada, meskipun hanya dalam kenangan.”

Aku berhenti sejenak, merasakan air mata yang mulai menggenang di mataku. Aku menarik napas dalam-dalam, melanjutkan membaca.

“Aku tahu kamu akan merasa kebingungan setelah aku pergi. Tapi percayalah, aku tidak meninggalkanmu begitu saja. Kamu sudah siap, Rara. Mungkin lebih siap daripada yang kamu kira. Aku meninggalkanmu sesuatu yang tak bisa kamu lihat, namun akan kamu rasakan saat waktunya tiba.”

Aku menggigit bibir, mencoba memahami setiap kata yang ditulis ayah. Surat ini terasa seperti teka-teki yang harus aku pecahkan, seperti warisan yang lebih dari sekadar materi. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus aku pahami, meskipun aku tidak tahu apa itu.

“Jangan biarkan waktu mengubah dirimu. Jangan lupakan apa yang telah kita lalui bersama. Dan yang terpenting, carilah kebenaran tentang siapa dirimu, Rara. Itu adalah warisanku untukmu.”

Aku terdiam lama, memandangi surat itu. Ayah tahu segalanya, bahkan hal-hal yang aku sendiri belum bisa pahami. Di tengah kebingunganku, ada satu hal yang pasti—surat ini adalah awal dari perjalanan panjang yang belum aku pahami sepenuhnya. Aku merasa seperti baru saja membuka pintu yang tersembunyi, dan aku harus melangkah masuk.

Aku menyimpan surat itu kembali ke dalam amplop, memutuskan untuk melanjutkan perjalanan yang ayah inginkan.

“Terima kasih, Ayah,” bisikku pelan, seolah berharap dia mendengarnya di suatu tempat, di dunia yang jauh di sana. Aku tahu, ini baru permulaan dari sebuah perjalanan yang panjang dan penuh dengan rahasia yang harus aku pecahkan.

 

Penemuan yang Mengubah Segalanya

Hari itu terasa berbeda. Aku merasa lebih kuat, seolah ada kekuatan yang menyelimuti diriku, mengarahkan langkahku untuk mencari tahu lebih banyak. Setelah membaca surat wasiat ayah, ada satu hal yang aku tahu pasti: ini bukan sekadar soal warisan harta atau properti. Ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah kebenaran yang harus aku temukan.

Aku menghabiskan berhari-hari merenung, berpikir keras tentang kata-kata ayah, tentang semua yang telah dia tinggalkan. Namun, meskipun aku sudah membuka surat itu, perasaan ingin tahu masih menyelimutiku. Ada pesan tersembunyi di antara kata-katanya, sesuatu yang belum sepenuhnya aku pahami.

Dan akhirnya, aku memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Aku kembali ke ruang kerja ayah, kali ini dengan tujuan yang jelas: mencari tahu apa yang ada di balik kata-kata itu. Aku memeriksa setiap sudut ruangan, mencari apapun yang bisa memberiku petunjuk lebih lanjut. Tapi, ada satu tempat yang belum aku buka—sebuah kotak kayu kecil yang terletak di pojok meja kerja ayah. Kotak itu tampak biasa saja, tetapi entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang sangat penting di dalamnya.

Dengan hati-hati, aku membuka kotak itu, dan menemukan sebuah buku catatan tua yang tampak usang. Halaman-halamannya sudah kuning, tetapi tulisannya masih bisa terbaca dengan jelas. Aku membalikkan halaman pertama, dan di sana tertulis nama ayah di bagian atas—“Untuk Rara, kenanganku untukmu.”

Aku terdiam, merasakan sesuatu yang berat di dada. Tanpa banyak berpikir, aku mulai membaca halaman demi halaman. Ternyata, buku itu adalah catatan hidup ayah, yang ditulis dengan tangan sendiri. Setiap lembarannya berisi kisah-kisah yang tak pernah aku dengar, kenangan-kenangan yang selama ini dia sembunyikan dariku.

Pada salah satu halaman, ayah menulis, “Aku tahu, suatu saat nanti kamu akan menemukan jalanmu sendiri. Tapi ingatlah, meskipun aku tidak ada lagi di sisimu, aku selalu ada dalam hatimu. Jangan takut untuk mengarungi hidup ini dengan penuh keberanian. Aku percaya padamu.”

Aku berhenti membaca dan menundukkan kepala. Air mata perlahan menggenang di mataku. Selama ini, aku selalu merasa takut untuk menghadapi hidup tanpa ayah. Tetapi ternyata, ayah selalu ada di sini, dalam setiap langkahku, dalam setiap keputusan yang aku ambil. Aku tidak sendirian.

Buku itu berisi banyak hal—kenangan, pelajaran, dan juga rahasia-rahasia kecil yang selama ini tersembunyi. Salah satu rahasia terbesar yang aku temukan adalah tentang mimpi ayah yang tak pernah terwujud. Mimpi tentang sebuah proyek besar yang ingin dia wujudkan, namun terbentur oleh berbagai hambatan. Ternyata, ayah ingin aku melanjutkan mimpinya, untuk menyelesaikan proyek itu dan mewujudkan apa yang sudah dia rencanakan selama ini.

Pada halaman terakhir buku itu, tertulis dengan tegas, “Aku tahu kamu akan melanjutkan ini. Ini bukan hanya tentang pekerjaan, ini tentang legasi. Tentang apa yang kita tinggalkan di dunia ini, dan bagaimana kita memberi makna bagi orang lain. Kamu bisa, Rara.”

Aku terdiam lama, membaca kalimat terakhir itu berulang kali. Rasanya seperti beban yang begitu berat, tetapi juga sebuah tanggung jawab yang harus aku jalani. Ayah telah mempercayakan segalanya padaku. Dan meskipun aku merasa tidak siap, aku tahu ini adalah jalanku.

Aku menutup buku itu dengan hati yang lebih tenang. Satu per satu, aku mulai memahami pesan-pesan yang ayah tinggalkan. Ini bukan hanya tentang pekerjaan atau proyek yang harus aku lanjutkan, tetapi lebih kepada bagaimana aku bisa mengaplikasikan semua nilai yang ayah ajarkan—keberanian, ketekunan, dan yang paling penting, cinta.

Aku keluar dari ruang kerja ayah dan berjalan menuju taman belakang rumah, tempat yang penuh dengan kenangan indah bersama ayah. Di sana, aku berdiri sejenak, menatap langit yang cerah. Semua rasa takut yang aku rasakan seolah menguap begitu saja. Aku siap menjalani kehidupan ini dengan lebih berani, lebih tegar.

“Ayah, aku akan melanjutkan apa yang kamu mulai,” bisikku pada angin yang berhembus lembut. “Aku janji.”

Dalam diam, aku tahu bahwa ayah mungkin tidak lagi ada di dunia ini secara fisik, tetapi setiap langkah yang aku ambil, setiap keputusan yang aku buat, adalah bentuk penghormatan dan cinta untuknya. Warisan yang ayah tinggalkan bukan hanya tentang hal-hal materi, tetapi juga tentang bagaimana aku bisa menjadi versi terbaik dari diriku sendiri.

Dengan senyum yang penuh harapan, aku melangkah maju. Aku sudah siap menghadapi dunia, dan yang terpenting, aku tahu sekarang aku tidak sendirian.

 

Jadi, mungkin benar kata orang, warisan bukan cuma soal uang atau benda berharga, tapi tentang kenangan, pelajaran, dan kasih sayang yang kita tinggalkan. Kadang, kita baru nyadar kalau yang paling berharga itu justru yang nggak bisa dibeli.

Buat kamu yang mungkin lagi nyari arti hidup atau merasa kebingungan, ingat aja: terkadang jawabannya udah ada, tinggal kita yang harus siap untuk menemukannya.

Leave a Reply