Daftar Isi
Pernah ngerasa kehilangan sosok yang paling penting dalam hidup kamu? Atau tumbuh dalam keluarga yang kelihatannya utuh, tapi nyatanya penuh luka diam-diam? Cerpen “Surat untuk Aksara” bakal bawa kamu masuk ke kisah menyentuh dua saudara yang bertahan hidup dalam bayang-bayang kekerasan dan kehilangan, tapi tetap berpegang pada secercah harapan.
Dengan alur yang rapi, penuh konflik emosional, dan ending yang bikin dada hangat tapi juga nyesek, cerpen ini bukan sekadar cerita sedih—tapi cermin buat banyak dari kita yang pernah merindukan rumah yang sebenarnya. Siapin tisu, karena setiap babnya bisa bikin kamu mikir tentang arti keluarga, luka masa lalu, dan keberanian untuk bertahan.
Surat untuk Aksara
Rumah yang Tak Lagi Pulang
Pagi turun pelan di langit Salaka. Kabut belum sepenuhnya pergi dari depan jendela dapur, tempat Sila duduk menggantungkan kakinya di kursi kayu tua. Tangan kecilnya mengaduk-aduk semangkuk bubur yang mulai dingin. Di seberangnya, Aksara berdiri diam di depan kompor, menatap panci kosong yang baru selesai mengantar aroma terakhirnya ke seluruh rumah.
Udara di dalam rumah itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Bukan karena tak ada suara, tapi karena suara-suara di sana sudah terlalu terbiasa mengalah pada diam. Dinding kayu yang dulu penuh tempelan foto kini telanjang. Hanya ada bekas isolasi dan paku-paku berkarat.
“Buburnya kebanyakan garam, Kak,” keluh Sila lirih.
Aksara menghela napas pelan, lalu berbalik, meraih sendok di meja, dan mencicipi bubur itu. “Iya, kayaknya aku kelebihan pas nuangin tadi. Maaf, ya.”
Sila hanya mengangguk, lalu menyuap buburnya lagi meski masih meringis sedikit. Di pipinya, bekas luka kecil akibat jatuh kemarin belum hilang. Tapi Sila tak pernah mengeluh soal itu—ia lebih sering menyimpan luka seperti orang dewasa yang terlalu cepat mengerti dunia.
Langkah berat terdengar dari dalam kamar. Bunyi engsel pintu berderit membuat keduanya terdiam sejenak. Mahendra muncul dari balik pintu, rambutnya acak-acakan, dan kaos oblong kusam tergantung longgar di badannya. Matanya sembab, mungkin karena kurang tidur. Atau terlalu banyak minum.
“Ayah mau kopi,” gumamnya tanpa menatap siapa-siapa.
Aksara buru-buru bergerak ke sudut dapur, mengambil gelas dan menuang air panas dari termos. Bubuk kopi murah diaduk cepat, tanpa gula, seperti biasa. Ia meletakkan gelas itu di meja, tepat di depan Mahendra yang kini duduk sambil menyalakan rokok.
Sila sudah berhenti makan. Matanya memperhatikan ayahnya dari ujung meja, tapi cepat-cepat dialihkan kembali ke mangkuk saat Mahendra melirik ke arahnya.
“Kenapa ngeliatin?” tanya Mahendra tajam.
“Nggak… nggak apa-apa,” jawab Sila, suaranya seperti daun yang jatuh.
Aksara memegang bahu adiknya, menenangkan lewat sentuhan yang tak bersuara. Ia tahu, pagi seperti ini bukan pertama kali. Tapi tetap saja, tak pernah terasa lebih mudah.
Setelah Mahendra kembali masuk kamar dan menutup pintu, Sila bersuara pelan, “Ayah marah terus sekarang, ya?”
Aksara tak langsung menjawab. Ia menyuap sisa bubur dari mangkuk Sila, lalu duduk di lantai, bersandar di kaki meja. “Aku juga nggak tahu, Sil. Tapi kita tetap harus kuat, ya?”
Sila mengangguk lagi. Tapi tak ada semangat di anggukan itu. Hanya setuju karena tak ada pilihan.
Hari terus berjalan. Aksara pergi ke sekolah dengan seragam yang warnanya mulai pudar. Sepatunya sedikit sobek di ujung kanan, tapi masih cukup layak untuk berjalan cepat. Ia mengantar Sila ke sekolah dulu, menggenggam tangan adiknya erat-erat. Mereka berjalan melewati gang sempit yang penuh jemuran dan suara radio dari rumah tetangga.
Di sekolah, Aksara dikenal sebagai siswi pintar, tapi tertutup. Tak banyak teman dekat. Wali kelasnya pernah bilang, “Kamu punya potensi besar, Aksara. Jangan biarkan masalah di rumah bikin kamu mundur.”
Tapi tak ada yang benar-benar tahu, bahwa kadang Aksara harus memilih antara beli buku latihan atau beli susu untuk adiknya.
Sepulang sekolah, Aksara menemukan piring kotor menumpuk di dapur dan abu rokok berserakan di lantai ruang tamu. Mahendra tidak terlihat. Mungkin keluar, mungkin tertidur lagi. Sila belum pulang. Ia biasa ikut les menggambar di rumah tetangga sebelah.
Saat mencuci piring, Aksara mendengar bunyi pintu dibanting dari arah kamar. Mahendra keluar, kali ini dengan suara yang lebih keras dari pagi tadi.
“Uang di dompet ayah mana?”
Aksara memutar badan, masih dengan busa sabun di tangannya. “Aku nggak lihat. Emang ayah simpan di mana?”
“Jangan sok nggak tahu! Uang seratus ribu di saku jaket ilang!”
“Aku nggak nyentuh jaket ayah…”
Mahendra mendekat, nadanya meninggi. “Kamu jangan main-main, ya! Jangan mikir cuma karena kamu masak dan ngurus adik, kamu bisa seenaknya!”
Aksara menahan napas. “Aku cuma bilang aku nggak ambil.”
“Kalau bukan kamu, siapa? Sila? Hah?”
“Ayah pikir adik aku bakal nyolong uang buat apa?”
Suasana membeku. Untuk sesaat, hanya bunyi keran air menetes yang terdengar.
Mahendra menghela napas berat, lalu berbalik dan kembali ke kamarnya, membanting pintu lebih keras dari sebelumnya.
Aksara menunduk. Dadanya sesak. Tapi air matanya tidak jatuh. Ia terlalu sering menangis diam-diam—sekarang yang tersisa hanya lelah yang tidak bisa diluapkan.
Sore menjelang. Aksara menjemput Sila. Gadis kecil itu menunjukkan gambar rumah mereka, dengan pohon mangga di sampingnya. Tapi di gambar itu hanya ada dua orang: seorang kakak dan seorang adik. Tidak ada ayah. Tidak ada ibu.
“Kamu nggak gambar Ayah?” tanya Aksara, pelan.
Sila menjawab tanpa ragu, “Aku lupa wajahnya.”
Langit berubah jingga. Sepulangnya, Aksara menempel gambar itu di dinding kamarnya, tepat di bawah kalender yang masih bertuliskan tahun lalu. Ia duduk diam, memandangi gambar itu lama, sebelum akhirnya mematikan lampu dan membiarkan malam mengambil alih semua suara.
Di luar, lampu teras masih mati. Tak pernah dinyalakan sejak ibu pergi. Dan mungkin, rumah itu memang tak lagi jadi tempat untuk siapa pun pulang.
Tahun-Tahun yang Tak Dirayakan
Hujan datang seperti tamu yang tak pernah diundang, mengguyur atap rumah kayu dengan suara keras yang membuat dinding-dindingnya ikut bergetar. Di ruang tamu, jam dinding sudah lewat angka sembilan malam. Di meja makan, sepotong kue kecil yang dibungkus plastik duduk sendirian di atas piring bunga biru. Tak ada lilin. Tak ada lagu ulang tahun.
Hari itu ulang tahun Aksara yang ke-18. Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, tak ada yang mengingat, kecuali dirinya sendiri.
Sila tertidur di pangkuan Aksara, dengan buku gambar yang masih terbuka dan pensil warna yang sudah tak tertutup. Wajah mungil itu terlihat tenang, seolah dunia di sekitarnya bukan tempat yang harus ditakuti.
Aksara menatap jam dinding sebentar, lalu meraih kue dari meja. Ia membuka bungkus plastiknya perlahan, dan menggigitnya tanpa suara. Rasa manisnya hambar, seperti perayaan yang terlalu terlambat datang dan terlalu cepat berlalu.
Bunyi pintu depan dibuka paksa membuyarkan keheningan. Mahendra masuk dengan jaket basah, langkahnya tak stabil, dan napasnya bau alkohol. Matanya merah, bukan karena kantuk, tapi karena kemarahan yang tak jelas arahnya.
“Kenapa lampu ruang tamu mati?” tanyanya, suaranya berat dan serak.
Aksara menoleh cepat. “Aku sengaja matiin. Sila udah tidur.”
Mahendra melempar jaketnya ke kursi dan berjalan ke dapur, membuka kulkas dan menemukan isinya kosong kecuali sebotol air dan sepotong tempe sisa makan siang. Ia membanting pintu kulkas.
“Uang seratus ribu yang aku kasih kemarin ke mana?”
“Buat bayar utang warung, Ayah,” jawab Aksara datar.
“Kenapa nggak kamu tunda dulu? Kenapa harus buru-buru bayar?”
“Kita udah numpuk utang dua minggu. Aku malu tiap kali ke warung ditanyain terus.”
Mahendra berjalan kembali ke ruang tengah, berdiri di depan Aksara dan menatapnya tajam. “Kamu itu makin lama makin berani, ya. Ngatur-ngatur semua, seolah kamu yang paling benar.”
“Karena nggak ada lagi yang bisa diandelin di rumah ini selain aku.”
Kalimat itu keluar begitu saja, seperti anak panah yang tak sempat dibatalkan. Mahendra menatapnya lebih dalam. Wajahnya keras, tangannya mengepal.
“Aku udah capek, Yah,” lanjut Aksara, suaranya menahan emosi. “Capek denger kamu marah-marah tiap hari, pulang dalam keadaan mabuk, nyalahin semua orang kecuali diri kamu sendiri.”
Sila menggeliat di pangkuan Aksara, lalu membuka mata setengah sadar. “Kak… ada apa…?”
“Tidur lagi, Sil,” ucap Aksara cepat, membelai kepala adiknya. Tapi Sila sudah terbangun penuh, duduk dan melihat Mahendra dengan mata bingung dan takut.
“Kamu mau bikin adik kamu takut terus? Itu yang kamu mau?” Aksara berdiri, kini berdiri tepat di hadapan Mahendra. “Apa kamu nggak sadar, dia makin hari makin nggak mau ngomong. Dia nggak mau gambar ayahnya sendiri. Karena dia takut sama kamu!”
Mahendra mendekat, dan entah sengaja atau tidak, tangannya terangkat. Tapi hanya sampai setengah.
“Pukul aja sekalian,” desis Aksara. “Kalau itu bikin Ayah merasa lebih laki-laki, silakan.”
Tangan itu tak jadi turun. Mahendra mundur selangkah, matanya mulai berkaca, tapi gengsinya terlalu besar untuk menangis di depan dua anaknya.
“Dulu Ibu kamu juga pernah ngomong kayak gitu,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan.
Aksara diam. Sila menggenggam lengan kakaknya erat-erat.
“Dia ninggalin aku karena aku gagal jadi kepala rumah tangga. Dan kamu sekarang… kamu mau jadi sama kayak dia?”
“Aku nggak ninggalin siapa-siapa. Tapi aku nggak akan tinggal di rumah yang cuma penuh kemarahan.”
Mahendra mengambil rokok dari saku celananya, menyalakan satu, lalu berjalan ke luar rumah tanpa sepatah kata pun. Pintu depan tak ditutup, dibiarkan terbuka begitu saja. Hujan masih turun, membasahi lantai kayu dekat ambang pintu.
Sila menatap kakaknya, lalu berkata pelan, “Kamu sedih, ya?”
Aksara mengangguk. “Tapi kamu nggak usah khawatir. Aku di sini kok.”
“Selamat ulang tahun, ya…” bisik Sila tiba-tiba, membuat dada Aksara sesak seketika.
Ia memeluk adiknya erat, lebih erat dari biasanya, menahan tangis yang akhirnya jatuh juga di bahu kecil itu. Tak ada lilin yang ditiup. Tak ada doa yang diucap. Tapi untuk sesaat, dunia yang dingin itu terasa sedikit hangat.
Beberapa menit kemudian, Aksara bangkit, menutup pintu yang dibiarkan terbuka oleh ayah mereka. Ia tahu, tak akan ada kejutan. Tak akan ada permintaan maaf.
Tapi di sudut hati kecilnya, masih ada satu bagian yang belum bisa sepenuhnya membenci. Masih ada celah untuk berharap—meski kecil dan rapuh—bahwa suatu hari, mungkin, laki-laki itu akan belajar pulang.
Dan malam pun kembali memeluk rumah itu dalam kesunyian, menyimpan luka yang belum selesai, dan ulang tahun yang kembali tak dirayakan.
Surat Tanpa Pengirim
Pagi di bulan Juni terasa sedikit berbeda. Matahari naik tanpa malu-malu, menembus celah-celah jendela dan menghangatkan lantai ruang tamu yang biasanya dingin. Aksara sudah bangun sejak subuh, menyiapkan sarapan seadanya—nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang, yang selalu jadi favorit Sila.
Sila duduk di kursi kayu kecil sambil mengayunkan kakinya, mengunyah pelan sambil membaca buku cerita bekas yang mereka dapat dari taman baca minggu lalu.
“Aku pengen punya buku baru, Kak. Yang halaman depannya bisa bersuara waktu dibuka.”
Aksara tersenyum kecil. “Kalau kita rajin nabung, mungkin bulan depan bisa beli satu.”
“Janji?” tanya Sila, matanya berbinar.
“Janji.”
Pagi itu biasa saja. Sampai suara ketukan pintu terdengar tiga kali. Pelan, ragu-ragu, seperti orang yang takut membangunkan sesuatu.
Aksara membuka pintu dengan alis mengernyit. Seorang kurir berdiri di sana, dengan seragam lusuh dan wajah letih. Ia memegang kotak kecil berbalut kertas cokelat dan plastik bening.
“Paket buat Aksara Mahesa.”
Aksara mengambil paket itu tanpa rasa curiga, lalu menandatangani kertas pengiriman. Kurir itu langsung pergi, meninggalkan Aksara yang masih berdiri di depan pintu dengan bingung.
Ia tidak pernah merasa memesan apa-apa. Dan selama ini, tak ada yang mengirimi mereka sesuatu.
Sila mendekat dan menatap kotak itu dengan rasa penasaran. “Isinya apa?”
“Aku juga nggak tahu.” Aksara membawa paket itu ke meja, membuka plastiknya pelan-pelan. Di dalamnya, ada sebuah kotak kayu kecil berukir nama mereka berdua: Aksara & Sila.
Di bawahnya tertempel stiker kecil bertuliskan:
Untuk dua hati yang tetap bertahan,
meski dunia tak lagi ramah.
Jantung Aksara berdebar. Ia membuka kotaknya perlahan. Di dalamnya, ada dua hal: sebuah surat yang dilipat rapi, dan beberapa lembar uang seratus ribu yang dijepit dengan klip logam. Uang itu terhitung dua juta. Jumlah yang terasa seperti keajaiban bagi mereka.
Tapi bukan itu yang membuat tangannya bergetar. Melainkan surat itu—tulisan tangan yang sangat ia kenal. Miring ke kiri, sedikit berantakan, dan ada satu huruf “r” yang selalu ditulis melengkung seperti pita.
Ia membuka surat itu dengan hati-hati. Sila ikut duduk di sebelahnya, membungkuk pelan seolah tak ingin mengganggu.
Isi suratnya:
Untuk Aksara dan Sila,
Kalau surat ini sampai ke tangan kalian, artinya aku belum bisa pulang. Tapi bukan berarti aku lupa.
Aku tahu kalian marah. Kalian kecewa. Dan kalian punya hak penuh untuk itu. Aku juga marah—pada diriku sendiri.
Maaf karena aku hilang saat kalian paling butuh aku. Maaf karena aku tak sempat jadi ibu yang seharusnya ada di hari-hari ulang tahun kalian, atau di pagi-pagi yang dingin tanpa sarapan.
Aku nggak akan bilang alasanku benar. Tapi aku ingin kalian tahu… aku tidak benar-benar pergi. Aku masih ada, diam-diam memperhatikan. Menabung sedikit demi sedikit dari hasil kerja yang nggak seberapa, hanya untuk hari ini. Untuk bisa bilang: kalian hebat. Kalian bertahan.
Uang ini bukan segalanya, aku tahu. Tapi semoga bisa bantu sedikit. Untuk beli buku cerita bersuara. Atau sepatu baru buat sekolah. Atau sekadar beli kue ulang tahun yang kalian nggak sempat punya.
Aku sayang kalian. Aku akan kembali saat waktunya tepat. Tapi untuk sekarang… tetap jaga satu sama lain, ya?
Dengan seluruh cinta yang tak pernah hilang,
Ibumu.
Aksara tak sadar kalau air matanya sudah jatuh membasahi surat itu. Tangannya meremas pinggir meja. Perasaannya kacau. Antara bahagia, rindu, marah, dan lega yang campur jadi satu.
Sila memeluk kakaknya erat. “Itu dari Ibu, ya?”
“Iya, Sil…”
“Kita boleh nangis nggak?”
Aksara mengangguk, dan untuk pertama kalinya sejak lama, mereka menangis bersama—bukan karena takut, tapi karena harapan yang tiba-tiba datang seperti embun di pagi kering.
Malam harinya, Aksara membeli kue kecil dari toko terdekat. Ia tak bilang ini perayaan ulang tahun yang tertunda. Ia hanya bilang, “Hari ini, kita rayain surat pertama yang kita terima.”
Sila menyalakan lilin kecil di atas kue, dan mereka menyanyikan lagu ulang tahun tanpa menyebut nama siapa pun. Hanya bernyanyi, sambil memejamkan mata dan berharap, bahwa di suatu tempat, seseorang juga sedang meniup lilin dan memikirkan mereka.
Aksara menyimpan surat itu di dalam kotak kayu, meletakkannya di atas lemari, di antara pakaian lipat yang makin menipis. Tapi hatinya hari itu terasa lebih penuh dari sebelumnya.
Dan sejak hari itu, ia mulai menyalakan lampu teras lagi. Bukan karena yakin seseorang akan datang. Tapi karena percaya—bahwa harapan harus punya tempat untuk pulang.
Cahaya di Teras yang Menyala Lagi
Senja datang tanpa terburu-buru, mewarnai langit dengan semburat jingga yang tenang. Teras rumah kayu itu kini tak lagi gelap seperti dulu. Sejak beberapa hari terakhir, Aksara rutin menyalakan lampu teras setiap pukul enam sore. Tak ada alasan pasti, hanya perasaan di dalam dada yang mendorongnya untuk tetap berharap.
Di dalam rumah, Sila sedang menggambar sesuatu di buku sketsanya. Tangannya kecil tapi cekatan. Ia tak bicara banyak hari ini, hanya sesekali menggumam lagu anak-anak pelan. Aksara memperhatikan dari jauh sambil menyapu lantai, menyeka keringat dari pelipisnya.
Mahendra belum pulang sejak malam terakhir mereka bicara. Sudah lebih dari seminggu. Dan anehnya, rumah jadi terasa lebih ringan. Bukan karena kebahagiaan, tapi karena akhirnya mereka bisa bernapas tanpa dicekam ketakutan.
Aksara tak mencarinya. Tak juga melapor ke siapa pun. Ia hanya duduk setiap malam di dekat jendela, menatap lampu teras yang menyala, dan membiarkan waktu berjalan seperti biasa.
Sore itu, suara langkah pelan terdengar mendekati pagar depan. Tak terburu-buru, tak pula ragu. Hanya satu orang yang berjalan seperti itu. Aksara berdiri, matanya melebar.
Pintu pagar dibuka perlahan.
Seseorang berdiri di sana. Rambutnya sudah mulai beruban, wajahnya tirus, dan matanya basah oleh jarak yang terlalu lama.
“Ibu?” suara Aksara tercekat, nyaris tak percaya.
Perempuan itu mengangguk pelan. Tak ada kata. Hanya senyum yang gemetar dan tangan yang langsung terulur, ingin menyentuh wajah putrinya.
Sila mendongak dari balik kursinya, lalu berlari kecil, memeluk kaki perempuan itu erat-erat. “Ibu… beneran ini Ibu?”
Tangis mereka pecah di teras. Tak ada kalimat panjang. Tak ada penjelasan yang dibutuhkan saat itu. Pelukan mereka lebih cukup dari seribu maaf dan sejuta alasan.
Malamnya, mereka duduk bertiga di ruang tengah. Ibu membuatkan teh manis, seperti dulu sebelum segalanya retak. Ia cerita sedikit tentang tempatnya bekerja di kota sebelah, tentang susahnya bertahan tanpa alamat pasti, dan tentang betapa ia menabung bertahun-tahun untuk bisa kembali dengan sesuatu, bukan hanya kenangan.
“Maaf ya, Bu,” kata Aksara tiba-tiba. “Aku sempat marah banget. Aku ngerasa kamu ninggalin aku dan Sila sendirian.”
“Aku pantas dimarahin,” jawab ibunya pelan. “Tapi kamu nggak pernah sendirian, Sayang. Aku cuma lagi belajar jadi ibu dari jauh, meski caranya salah.”
Suasana jadi hening sebentar.
Sila menatap ibunya dengan polos. “Ibu nggak akan pergi lagi, kan?”
Perempuan itu memeluk Sila erat. “Ibu pulang, dan nggak akan kemana-mana lagi.”
Beberapa hari setelah kepulangan ibu, hidup mereka pelan-pelan mulai berubah. Ibu mencari pekerjaan kecil di warung tetangga. Aksara diterima kerja sebagai penjaga perpustakaan sekolah sore, dan Sila mulai masuk taman kanak-kanak dengan semangat yang nggak pernah padam.
Dan Mahendra?
Suatu malam, ia datang. Dengan langkah berat dan mata yang sembab. Ia berdiri di depan pagar, menatap lampu teras yang menyala.
Aksara melihatnya dari dalam rumah. Ia tak bergerak. Tak melangkah mendekat.
Ibu yang keluar lebih dulu, menatap laki-laki itu dengan sorot mata yang tak lagi sama. Tenang, tapi tegas.
“Aku cuma mau tahu kalian baik-baik aja,” kata Mahendra pelan.
“Kami baik,” jawab ibu. “Tapi kita nggak lagi nunggu kamu.”
Mahendra menunduk, lalu pergi tanpa kata. Tak ada amarah, tak ada teriakan. Hanya langkah pelan menjauh, dan pintu masa lalu yang ditutup perlahan.
Di dalam rumah, Aksara menangis. Bukan karena kehilangan, tapi karena akhirnya… ia bebas. Bebas dari luka yang terus-menerus dikoyak. Bebas dari rasa bersalah yang tak pernah menjadi miliknya.
Tahun itu, untuk pertama kalinya, ulang tahun Sila dirayakan dengan kue sungguhan dan lilin berbentuk angka lima. Mereka menyanyi pelan, tertawa, dan mengambil foto bersama. Rumah itu masih rumah kayu tua yang sama. Tapi ada sesuatu yang berbeda—hangat yang tak bisa dijelaskan, dan cahaya kecil yang menyala tanpa dipaksa.
Aksara berdiri di depan cermin kamar malam itu, menatap bayangannya sendiri. Wajahnya tak sekuat dulu, tapi matanya… matanya sudah kembali hidup.
Dari balik jendela, lampu teras masih menyala. Bukan lagi sebagai tanda bahwa ia sedang menunggu. Tapi sebagai simbol, bahwa ia sudah menemukan jalannya pulang.
Cerpen “Surat untuk Aksara” bukan cuma soal kehilangan dan air mata, tapi juga tentang keberanian untuk bertahan, dan keyakinan bahwa keluarga nggak selalu harus sempurna—yang penting tetap saling menggenggam, meski dengan tangan yang gemetar.
Kisah ini ngajarin kita bahwa harapan bisa datang dari tempat yang nggak kita duga, bahkan dari surat tanpa pengirim. Kalau kamu suka cerita yang ngebekas di hati dan bikin kamu mikir tentang hidup, kasih, dan keluarga… cerita ini wajib banget kamu baca sampai habis. Jangan lupa share ke temen kamu yang butuh pelukan dalam bentuk cerita.