Surat Dari Sahabat Pena: Kisah Persahabatan Tanpa Jarak

Posted on

Pernah gak sih merasa punya sahabat yang meskipun gak pernah ketemu langsung, tapi ngerasa banget deketnya? Cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia persahabatan yang unik lewat surat-surat yang penuh makna.

Gak ada tatap muka, gak ada suara, tapi rasa yang ada bener-bener nyata. Jadi, siap-siap merasa terhubung sama sahabat pena yang jauh banget, tapi sedekat itu di hati!

 

Surat Dari Sahabat Pena

Surat Pertama di Antara Jarak

Langit senja meredup di luar jendela, sementara lampu meja kecil menerangi lembaran kertas di atas meja kayu yang sudah mulai usang. Elara menggigit ujung penanya, ragu-ragu. Ini pertama kalinya ia menulis surat untuk seseorang yang sama sekali tidak ia kenal.

Tangannya berulang kali hendak menuliskan sesuatu, tetapi kalimat yang ia buat terasa terlalu kaku atau terlalu aneh. Bagaimana cara memulai surat untuk seseorang yang bahkan belum pernah ia lihat?

Akhirnya, setelah beberapa tarikan napas panjang, ia menulis:

“Halo, Zephyr. Aku Elara. Sejujurnya, aku tidak tahu harus menulis apa di surat ini. Aku hanya ingin menyapa dan mungkin, mengenalmu lebih jauh. Aku suka hujan, teh hangat, dan langit malam. Aku membaca namamu di forum sahabat pena dan entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku ingin mengirimi surat padamu. Kamu boleh tidak membalasnya jika tidak mau, aku hanya ingin mencoba sesuatu yang baru.”

Ia membaca ulang tulisannya, menghela napas, lalu melipat kertas itu dengan hati-hati sebelum memasukkannya ke dalam amplop. Dengan perasaan sedikit gugup, ia menuliskan alamat yang tertera di profil Zephyr dan pergi ke kotak pos terdekat.

Tiga hari berlalu tanpa ada balasan.

Lima hari.

Sampai akhirnya, di hari ketujuh, sebuah amplop berwarna biru muda dengan tinta hitam di bagian depan tiba di kotak suratnya.

Elara menatapnya lama sebelum membukanya dengan jemarinya yang sedikit gemetar. Di dalamnya, ada selembar kertas yang dilipat rapi dengan tulisan tangan yang tegas tetapi tidak kaku.

“Halo, Elara. Aku Zephyr. Senang mengenalmu. Aku tidak keberatan kamu mengirimi surat, malah aku justru terkejut sekaligus senang mendapatkannya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku menulis sesuatu yang bukan tugas sekolah atau catatan belanja.

Kamu bilang suka hujan, teh, dan langit malam. Itu menarik. Aku juga suka langit malam, meski lebih suka saat tidak ada awan dan aku bisa melihat bintang-bintang dengan jelas. Aku tidak begitu suka hujan, mungkin karena rumahku sering bocor kalau hujan terlalu deras. Tapi aku suka bau tanah setelah hujan. Rasanya seperti bumi baru saja mandi, segar dan bersih.

Kamu bilang ingin mencoba sesuatu yang baru. Apa kamu sering mencoba hal-hal baru, atau ini hanya kebetulan?

Aku harap kamu membalas surat ini. Kalau tidak, setidaknya aku ingin kamu tahu bahwa aku tersenyum saat membacanya.

Zephyr.”

Elara tersenyum kecil. Tanpa sadar, ia membaca ulang surat itu beberapa kali, meresapi setiap kata seolah bisa mendengar suara Zephyr di kepalanya.

Tanpa menunggu terlalu lama, ia mengambil kertas baru dan mulai menulis.

“Zephyr, aku senang kamu membalas suratku. Aku sebenarnya bukan tipe orang yang sering mencoba hal baru. Aku lebih suka berada di zona nyamanku sendiri. Tapi untuk pertama kalinya, aku ingin tahu seperti apa rasanya bertukar surat dengan seseorang yang belum pernah kutemui. Dan jujur, aku tidak menyangka aku akan menyukainya.

Kamu benar. Bau tanah setelah hujan memang menyenangkan. Aku bahkan suka ketika tanah masih sedikit basah dan aku bisa mendengar suara kecil air mengalir di sela-sela bebatuan di jalan. Mungkin aku terdengar aneh karena memperhatikan hal-hal kecil seperti itu, tapi aku memang seperti ini sejak dulu.

Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu lebih suka memperhatikan hal-hal besar seperti luasnya langit, atau justru hal-hal kecil yang mungkin orang lain lewatkan?

Elara.”

Surat itu kembali dikirim, dan kali ini, ia tidak lagi menunggu dengan cemas. Ada sesuatu yang terasa berbeda—seperti ada seseorang di ujung lain dunia yang siap membaca kata-katanya dengan penuh perhatian.

Surat balasan dari Zephyr datang tiga hari kemudian.

“Elara, kamu tidak terdengar aneh. Justru aku pikir kamu seseorang yang memperhatikan dunia dengan cara yang unik. Aku rasa aku tidak begitu detail seperti kamu, tapi aku suka memperhatikan cahaya lampu jalan saat malam. Aku suka melihat bagaimana cahaya kuningnya memantul di genangan air setelah hujan reda. Rasanya seperti dunia punya caranya sendiri untuk tetap bersinar, meskipun baru saja basah dan gelap.

Kamu bilang kamu tidak suka keluar dari zona nyaman. Aku penasaran, apa kamu pernah menyesal karena terlalu sering bertahan di tempat yang sama?

Zephyr.”

Elara terdiam lama setelah membaca surat itu. Apakah ia pernah menyesal? Mungkin iya, tapi selama ini ia selalu mengabaikan perasaan itu.

Dengan hati yang mulai terbuka sedikit demi sedikit, ia mengambil pena dan kembali menulis.

Mereka terus bertukar surat setelahnya, semakin banyak berbagi tentang hidup mereka masing-masing. Elara tidak tahu bagaimana awalnya, tetapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, Zephyr bukan lagi sekadar nama asing di atas kertas.

Ia mulai merasa dekat, seolah-olah Zephyr sudah ada di dalam dunianya sejak lama.

Dan itu baru permulaan.

 

Langit, Puisi, dan Percakapan yang Tak Berujung

Malam itu, langit luar jendela Elara terlihat begitu gelap, hanya dihiasi oleh puluhan bintang yang berkilau seolah berbicara dalam bahasa mereka sendiri. Elara duduk di meja tulisnya, menyandarkan punggung ke kursi dengan secangkir teh hangat yang semakin menipis. Di hadapannya terbaring surat dari Zephyr yang baru saja ia baca berulang kali.

Zephyr menulis dengan cara yang membuatnya merasa seperti dunia mereka bertemu, meskipun mereka berada di tempat yang sangat berbeda. Koneksi yang aneh tapi nyata. Mereka berbicara tentang segala hal, mulai dari cuaca, buku favorit, hingga keinginan mereka untuk melihat dunia yang lebih besar. Dalam satu surat, Zephyr bahkan berbagi puisi yang ia tulis saat sedang duduk di tepi jendela di rumahnya, menatap langit yang sama namun dari belahan dunia yang berbeda.

“Aku menulis ini saat malam menggantung di langit dan angin membawa bau tanah basah dari hujan yang baru saja turun. Dunia terasa sepi, tapi juga penuh makna. Seperti puisi yang belum selesai, seperti kita yang masih mencoba mencari jawaban dari apa yang belum bisa kita pahami.”

Elara menghela napas pelan, menggigit ujung pensilnya. Begitu puitis, begitu dalam. Zephyr selalu bisa menemukan cara untuk menjadikan hal-hal sederhana terasa begitu hidup, bahkan yang paling biasa sekalipun.

Dengan hati yang sedikit melayang, Elara mulai menulis balasan.

“Zephyr, aku suka sekali puisi yang kamu kirimkan. Rasanya seperti aku bisa mendengarnya langsung dari bibirmu, seolah-olah kita duduk bersama di bawah langit yang sama. Kamu benar, terkadang dunia ini terasa penuh, meski sepi. Tapi aku merasa kita bisa saling mengisi kekosongan itu dengan cerita-cerita kecil kita.

Hari-hariku sekarang terasa lebih berwarna sejak mulai menulis surat ini. Aku bahkan memperhatikan hal-hal yang biasanya aku lewatkan—cahaya lampu jalan yang memantul di genangan air, suara langkah kaki di lorong sepi, dan bahkan bau tanah yang baru saja dihujani. Sepertinya, setiap detail kecil itu memiliki cerita tersendiri.

Kamu bilang kita mencari jawaban dari apa yang belum kita pahami. Aku juga merasa seperti itu. Kadang aku bertanya-tanya, kenapa kita bisa merasa dekat meskipun tidak pernah bertemu? Apa yang sebenarnya menghubungkan kita?

Elara.”

Surat itu dikirim, dan Elara kembali ke rutinitasnya, merasa lebih ringan dari sebelumnya. Beberapa hari kemudian, balasan Zephyr tiba. Surat itu terasa begitu hangat, seakan dia bisa merasakan keberadaannya meski jarak memisahkan mereka.

“Elara, aku merasa kita berbicara tentang hal yang sama meskipun tidak dengan kata-kata yang sama. Aku juga merasa dekat denganmu, lebih dari sekadar teman pena. Mungkin kita tidak pernah bertemu secara fisik, tapi sepertinya kita sudah lama saling mengenal. Mungkin inilah yang kita cari, sebuah pemahaman yang lebih dalam tentang dunia dan orang lain, meski tidak ada jawaban pasti yang bisa kita pegang.

Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu, Elara. Tidak hanya tentang buku-buku favorit atau cuaca, tapi tentang apa yang membuatmu tertawa, apa yang membuatmu merasa takut, dan apa yang kamu inginkan dalam hidupmu. Aku rasa itu akan membuat kita semakin mengerti satu sama lain, meskipun kita tidak pernah berada di tempat yang sama.”

Zephyr.”

Elara merasa seakan jantungnya melompat sedikit. Surat itu begitu penuh dengan keinginan untuk mengenal dirinya lebih dalam, dengan cara yang begitu sederhana dan jujur. Sepertinya, Zephyr benar-benar ingin tahu siapa dia, lebih dari sekadar kata-kata yang tertulis di surat.

Ia duduk lebih lama malam itu, menulis balasan dengan hati yang sedikit tergetar.

“Zephyr, aku tidak tahu bagaimana aku harus menjelaskan ini, tapi aku merasa kamu benar. Kita memang sepertinya sudah lama saling mengenal, meskipun baru beberapa bulan kita berkomunikasi. Mungkin itu yang membuat surat-surat ini terasa lebih dari sekadar tulisan. Mereka terasa seperti percakapan antara dua orang yang sudah lama berteman, meski dunia kita terpisah begitu jauh.

Untuk pertanyaanmu, aku rasa aku paling sering tertawa ketika aku mendengar cerita lucu dari orang-orang terdekatku, atau saat melihat film yang sangat ringan dan tidak perlu dipikirkan. Aku juga merasa takut dengan ketidakpastian—tentang masa depan, tentang apa yang akan datang. Tapi aku percaya bahwa setiap langkah yang kita ambil, bahkan yang terasa salah, selalu membawa kita ke tempat yang kita tuju.

Dan mengenai apa yang aku inginkan dalam hidup… Aku rasa aku ingin menemukan kedamaian dalam hal-hal sederhana. Mungkin itu terdengar klise, tapi aku ingin hidup dengan perasaan penuh, meski kadang itu berarti aku harus berhadapan dengan banyak ketidakpastian. Aku ingin bisa berbagi itu, suatu hari nanti.

Elara.”

Surat itu dikirim dengan perasaan yang campur aduk. Ada kegembiraan, ada kebingungan, tetapi yang paling penting, ada sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuatnya merasa terhubung lebih dalam dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia temui.

Malam-malam setelah itu diisi dengan surat-surat yang semakin dalam, semakin berbobot. Mereka berbicara tentang hidup, tentang impian, tentang ketakutan mereka, dan tentang hal-hal yang jarang bisa mereka bagi dengan orang lain. Ada kenyamanan yang aneh, sebuah ikatan yang terbentuk hanya dari kata-kata yang terangkai dengan hati-hati.

Zephyr mulai mengirimkan puisi lagi, puisi yang menggambarkan dunia yang seolah milik mereka berdua. Mereka berbicara tentang bintang-bintang, tentang langit yang tak pernah berhenti berubah, dan tentang bagaimana mereka merasa seperti dua jiwa yang berjalan di jalur yang sama meski langkah mereka berbeda.

Kadang, saat Elara membaca surat-surat itu, ia merasa seperti hidup di dua dunia. Dunia yang nyata, di mana ia pergi ke sekolah, bertemu teman-teman, dan menjalani rutinitas biasa. Dan dunia yang lebih dalam, dunia yang hanya ada di antara surat-surat yang ia terima dari Zephyr—di mana perasaan mereka, meskipun tidak bisa disentuh, begitu nyata.

Dan ia mulai merasa bahwa mungkin, justru di dunia inilah, ia lebih hidup.

Kata-Kata yang Menghangatkan Jarak

Pagi itu, Elara duduk di tepi jendela kamarnya, memandangi hujan yang turun dengan perlahan. Suara tetesan air di kaca jendela mengisi keheningan ruang yang hanya dipenuhi oleh buku-buku dan secangkir teh yang sudah lama mendingin. Ia menarik napas dalam-dalam, merasa ada sesuatu yang berbeda hari ini—sesuatu yang mengalir dalam dirinya sejak surat terakhir dari Zephyr.

Surat itu datang beberapa hari sebelumnya, begitu penuh dengan pertanyaan dan pemikiran yang membuat Elara terdiam lama setelah membacanya. Zephyr tidak hanya ingin tahu tentang dirinya, tetapi juga tentang apa yang ia impikan dalam hidup, tentang apa yang ia takuti, dan tentang apa yang ia yakini. Ada rasa keingintahuan yang mendalam, yang tidak hanya sekadar ingin mengenal seseorang, tetapi ingin benar-benar memahami siapa Elara di dalam hatinya.

“Aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan saat malam datang, Elara. Apakah kamu merasa kesepian, atau justru merasa lebih hidup di antara senyap malam? Aku rasa, kalau kita berbicara tentang ketakutan, aku takut jika suatu saat nanti kita hanya menjadi kenangan, hanya sebatas kata-kata di atas kertas. Bagaimana menurutmu?”

Elara memandang surat itu lagi, merenungkan setiap kata. Ia merasa terikat dengan pertanyaan itu lebih dari yang ia sangka. Ketakutan akan menjadi kenangan, hanya sebatas kata-kata yang tidak pernah benar-benar hidup—apakah itu yang mereka alami, meski jarak tak pernah menghalangi percakapan mereka?

Ia meraih pena, lalu mulai menulis, merangkai kata-kata untuk menjawab pertanyaan yang mengusik hatinya.

“Zephyr, aku membaca suratmu berulang kali, dan ada satu hal yang terus terngiang di kepala ku: ‘Apakah kita hanya menjadi kenangan?’ Mungkin, itu adalah salah satu ketakutan terbesar kita, bukan? Bahwa semua yang kita rasakan, semua yang kita bagi, akan hilang begitu saja, terhapus oleh waktu atau jarak. Tapi aku percaya, ada hal-hal yang tidak akan pernah hilang meski kita tidak lagi bisa mengingatnya. Kenangan bukan hanya tentang waktu yang telah lewat, tapi tentang bagaimana perasaan itu tertinggal, entah di hati atau di kata-kata yang pernah kita ucapkan.

Ketika malam datang, aku merasa lebih hidup, lebih nyata, seolah dunia menjadi lebih tenang dan aku bisa mendengar suara hatiku sendiri. Aku merasa dekat dengan segala sesuatu yang pernah kucintai dan yang pernah aku takuti. Aku tidak merasa kesepian, justru aku merasa lebih utuh saat malam datang. Semua hal yang tidak terucapkan, semua yang tersembunyi di dalam diri, terungkap dengan sendirinya.

Dan kamu benar. Aku juga takut. Takut jika suatu saat kita hanya menjadi kenangan, hanya sebatas kata-kata yang tertulis di atas kertas yang sudah lama dilupakan. Tapi aku ingin percaya bahwa kita lebih dari itu. Mungkin kita tidak akan pernah benar-benar mengerti bagaimana hal itu terjadi, tetapi kita bisa saling menghadirkan makna dalam setiap percakapan ini, bukan?”

Elara melipat surat itu dengan hati-hati, merasakannya sedikit lebih berat daripada biasanya. Ia menambahkan beberapa kalimat terakhir, sesuatu yang terasa lebih pribadi.

“Aku rasa, apapun yang terjadi, aku akan selalu menghargai setiap kata yang pernah kita bagikan. Kita mungkin tidak akan pernah bertemu, tapi sejauh ini, surat-surat ini sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasa tidak sendirian.”

Setelah beberapa hari, balasan Zephyr datang, dan surat itu terasa seperti angin hangat yang mengalir masuk ke dalam hatinya.

“Elara, aku benar-benar mengerti apa yang kamu maksud. Aku pikir, kita memang sering merasa takut, terutama tentang hal-hal yang tidak kita kendalikan. Tapi aku suka caramu melihat ketakutan itu, bagaimana kamu menghadapinya dengan keberanian, dengan menerima kenyataan bahwa meskipun kita takut, kita tetap bisa merasa hidup.

Aku juga merasa seperti itu, tentang malam yang datang. Kadang aku berpikir, apakah kita bisa benar-benar memahami hidup jika kita tidak pernah belajar menikmati kesunyian itu? Aku tidak tahu. Tapi aku merasa kita sedang berjalan di jalur yang sama, hanya dengan langkah yang berbeda.

Dan mengenai kenangan… aku rasa kenangan itu bukan hanya tentang waktu yang sudah berlalu. Kenangan itu adalah tentang apa yang kita buat bersama. Aku ingin kita tetap ada dalam kenangan ini, lebih dari sekadar kata-kata. Aku ingin kita menjadi bagian dari hidup masing-masing, meskipun jarak selalu memisahkan.

Zephyr.”

Elara membacanya dengan penuh perhatian, merasakan kehangatan yang hampir bisa ia sentuh. Zephyr berbicara dengan cara yang membuatnya merasa diterima, seolah-olah tidak ada hal yang terlalu besar atau terlalu kecil untuk dibicarakan. Surat-surat ini, meskipun hanya terdiri dari kata-kata, sudah cukup untuk mengisi ruang dalam hatinya.

Malam itu, Elara kembali duduk di jendela, memandangi hujan yang kini semakin deras. Ia merasa terhubung dengan Zephyr lebih dari sebelumnya, meskipun mereka tidak pernah benar-benar bertemu.

Kadang-kadang, kata-kata yang ditulis dengan hati bisa menghangatkan jarak yang bahkan tidak tampak, membuatnya merasa lebih dekat dengan seseorang yang hanya ia kenal melalui surat.

Surat-surat itu tidak hanya berisi percakapan biasa, tetapi sudah menjadi cara bagi mereka untuk saling berbagi dunia, membangun hubungan yang melampaui waktu dan ruang. Dan meskipun mereka tidak tahu apa yang akan datang di masa depan, satu hal yang pasti—mereka sudah menciptakan kenangan yang akan selalu mereka bawa, lebih dari sekadar kata-kata yang tertulis.

Zephyr sudah menjadi lebih dari sekadar sahabat pena baginya. Zephyr sudah menjadi bagian dari hidupnya yang tidak tergantikan.

 

Kata Terakhir yang Tak Terucapkan

Musim berganti, dan Elara merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Tidak hanya karena surat-surat dari Zephyr yang semakin mendalam, tetapi juga karena dirinya sendiri yang seolah-olah menemukan sudut baru dalam hidup. Setiap kata yang tertulis, setiap kalimat yang dikirimkan, terasa seperti langkah-langkah menuju pemahaman yang lebih besar tentang dunia—dan tentang dirinya sendiri.

Hari itu, ia duduk di meja tulisnya, surat terakhir dari Zephyr tergeletak di hadapannya. Ia membaca kembali surat itu dengan hati-hati, meresapi setiap kata yang seolah mengandung makna yang lebih dalam dari sekadar rangkaian huruf. Zephyr menulis tentang bagaimana ia merasa bahwa meskipun mereka tidak pernah bertemu, hubungan ini sudah lebih dari cukup untuk membuatnya merasa tidak sendirian.

“Elara, meskipun kita tidak bisa mengubah kenyataan bahwa kita terpisah oleh jarak, aku ingin kamu tahu bahwa kamu sudah memberikan warna dalam dunia ku. Kamu mungkin tidak pernah tahu, tapi surat-surat ini lebih dari sekadar kata-kata untukku. Mereka adalah bagian dari hidupku, bagian dari dunia yang hanya kita berdua yang tahu.

Jarak dan waktu memang menghalangi kita untuk bertemu, tapi aku percaya kita sudah melampaui itu. Kita tidak membutuhkan tatapan atau sentuhan fisik untuk tahu bahwa kita saling mengerti. Surat-surat ini, dengan segala kejujurannya, sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasa bahwa kita memang dekat, lebih dekat dari yang mungkin aku bayangkan.”

Zephyr.”

Elara menyentuh ujung surat itu dengan pelan, merasakan ada kehangatan yang melingkupi hatinya. Sesuatu yang sederhana, namun begitu berarti. Ia merasa seperti seluruh perjalanan mereka, meskipun hanya dalam bentuk surat, telah membentuk ikatan yang lebih kuat daripada yang bisa dibangun dalam jarak fisik.

Namun, di dalam hatinya, ada sedikit keraguan yang menggantung. Sesuatu yang ia takutkan—apakah ini saatnya bagi mereka untuk berhenti menulis? Apakah ada jalan di luar kata-kata ini, sesuatu yang mungkin akan mengarah pada pertemuan nyata?

Ia menarik napas dalam-dalam, menulis balasan terakhirnya, tidak dengan rasa ragu, tetapi dengan perasaan yang lebih berat dari sebelumnya.

“Zephyr, aku tahu apa yang kamu maksud, tentang bagaimana surat-surat ini menjadi bagian dari hidup kita, lebih dari sekadar kata-kata. Kita sudah menemukan cara untuk saling mengisi meski tidak pernah benar-benar bertemu. Mungkin kita tidak membutuhkan tatapan atau pelukan untuk tahu bahwa kita ada di sini, saling menemani di dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini.

Tapi aku juga merasa bahwa meskipun kita terpisah oleh jarak, kita harus memberi ruang untuk hal-hal yang mungkin belum kita pahami. Ada saat-saat dalam hidup ketika kita harus melepaskan sesuatu, tidak karena kita tidak lagi menghargainya, tetapi karena kita sadar bahwa ada hal-hal lain yang perlu kita temui.

Zephyr, aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargai setiap kata yang kamu tulis, setiap pemikiran yang kamu bagi. Tapi mungkin, sekarang adalah waktu bagi kita untuk berjalan dengan cara kita masing-masing. Bukan karena kita tidak peduli, tetapi karena kita sudah cukup kuat untuk berdiri dengan kaki kita sendiri, meski jarak masih ada.

Terima kasih, Zephyr, untuk semuanya. Untuk semua kata-kata yang mengisi hari-hariku, untuk membuatku merasa tidak sendirian. Semoga perjalanan kita terus berlanjut, entah dengan cara apa pun.”

Elara melipat surat itu, merasakannya berat di tangan. Mungkin ini adalah keputusan yang sulit, tetapi ia tahu ini adalah yang terbaik. Mereka sudah saling mengenal dalam cara yang tak terucapkan, dan saat ini, itulah yang cukup.

Beberapa minggu berlalu setelah surat itu dikirim. Tidak ada balasan dari Zephyr. Tidak ada kata-kata lagi yang mengisi kotak suratnya, dan Elara merasa ada ruang kosong yang tidak pernah ia sadari sebelumnya. Namun, di dalam hati, ia merasa bahwa ini adalah akhir yang tepat. Bukan karena mereka berhenti peduli satu sama lain, tetapi karena mereka telah memberikan makna yang cukup besar pada kehidupan mereka masing-masing, bahkan tanpa pernah bertemu.

Suatu malam, Elara duduk di jendela kamarnya, memandang langit yang masih dipenuhi bintang. Angin malam menyentuh wajahnya, seolah berbisik. Tidak ada lagi surat-surat yang datang, tetapi ia merasa ada sesuatu yang lebih penting yang tersisa—kenangan dari percakapan yang telah mereka bagi, tentang hidup, tentang ketakutan, dan tentang harapan yang telah mereka tulis bersama.

Ia tahu, meskipun surat-surat itu berhenti datang, hubungan mereka tetap akan ada, di tempat yang tidak terlihat, dalam setiap kenangan yang mereka tinggalkan. Tidak ada yang benar-benar berakhir, selama ada rasa yang tertinggal.

Dan di bawah langit yang sama, meskipun mereka tak saling bertatap muka, Elara merasa Zephyr masih ada. Dalam kata-kata yang telah mereka bagi, dalam dunia yang pernah mereka bangun bersama.

 

Nah, kalau kamu udah baca sampai habis, pasti paham kan kalau persahabatan itu gak selalu butuh jarak dekat atau ketemu langsung? Kadang, cuma lewat kata-kata di atas kertas pun, bisa bikin kita merasa lebih dekat dari yang kita kira.

Jadi, jangan ragu untuk terus berbagi cerita, walau cuma lewat surat atau pesan. Karena, siapa tahu, sahabat sejati itu sebenarnya ada di tempat yang jauh banget, tapi terasa dekat banget di hati.

Leave a Reply