Daftar Isi
Gimana jadinya kalau drama Sumpah Pemuda yang harusnya serius malah berubah jadi pertunjukan komedi? Anak-anak kelas 5A udah latihan mati-matian, tapi tetap aja ada aja hal-hal absurd yang bikin mereka nyaris gagal total.
Dari peci melayang, janji setia yang nyaris dikhianati, sampai insiden yang melibatkan kepala sekolah—semuanya ada di sini! Siap-siap ngakak dan terharu dalam kisah drama sejarah yang… agak melenceng dari ekspektasi!
Sumpah Pemuda
Perdebatan Hebat di Kelas 5A
Siang itu, kelas 5A lebih ribut dari biasanya. Biasanya, kalau sudah mendekati jam pulang, anak-anak mulai malas bicara dan lebih sibuk melirik ke jam dinding. Tapi kali ini berbeda. Bu Tini baru saja mengumumkan bahwa besok mereka akan tampil di acara peringatan Sumpah Pemuda.
“Kita bakal bikin drama tentang Sumpah Pemuda!” seru Bu Tini dengan senyum semangat.
Langsung saja kelas meledak.
“BUSET! BIKIN DRAMA?!” teriak Gembol sambil berdiri di atas kursi.
“SERIUSAN BU?!” sahut Lintang, si biang ribut yang suka bikin masalah tapi anehnya selalu lolos dari hukuman.
“Loh, Sumpah Pemuda ada dramanya?” tanya Rara sambil garuk-garuk kepala.
“Iya, Bu. Sumpah Pemuda kan cuma kayak baca-baca teks gitu, ya?” tambah Dayat, si anak paling santai di kelas.
Bu Tini menghela napas, mungkin sudah menduga kelasnya bakal ramai seperti pasar. “Bukan drama yang lebay, tapi kita mau menampilkan ulang momen bersejarah ketika para pemuda Indonesia bersatu untuk pertama kalinya.”
“Pokoknya kalau gak ada adegan perang, aku ogah ikut!” celetuk Gembol.
“Itu maksudnya gimana, Bol?!” protes Langit, si anak paling pintar tapi kadang kurang sabar.
“Ya harus ada aksinya, lah! Biar dramatis! Misalnya, pas ada yang baca sumpah, terus tiba-tiba ada penjahat Belanda muncul dari belakang, terus aku tendang gitu! ‘DOR! HAA!!’” Gembol menirukan gaya silat dengan suara efek dramatis buatan sendiri.
“Bol… itu malah kayak film aksi! Kita mau bikin drama sejarah, bukan sinetron azab!” sahut Langit sambil geleng-geleng kepala.
“Tapi kan lebih seru!”
“Kamu kira ini Avengers, Bol?” Lintang ikut menimpali.
Anak-anak lain tertawa, sementara Bu Tini menepuk jidatnya sendiri. “Sudah, sudah! Sekarang kita tentukan peran. Gembol, karena kamu semangat sekali, kamu jadi pemimpin rapat pemuda!”
“YES!! Aku jadi ketua!” Gembol mengangkat tangan ke udara.
“Langit, kamu jadi pencatat sumpah.”
“Baik, Bu,” jawab Langit, kali ini tanpa protes.
“Lintang, kamu jadi penjaga ruangan, supaya suasananya tetap tegang.”
Lintang langsung berdiri tegap dan pura-pura jadi satpam. “Siap, Bu! Gak ada yang boleh masuk kecuali yang punya ID Card!”
“Rara dan Dayat, kalian jadi pemuda dari daerah yang datang ke kongres.”
“Aku dari Bali, ya!” seru Rara.
“Kalau aku dari Sumatra,” tambah Dayat.
“Nah, yang lain juga dapat peran sebagai pemuda dari berbagai daerah. Semua sudah setuju?”
Anak-anak mulai mengangguk. Sepertinya, meskipun awalnya banyak protes, mereka mulai tertarik juga dengan ide ini.
Tapi Gembol masih belum puas. “Bu, kalau aku jadi pemimpin, aku harus pakai peci, dong! Biar kayak Bung Karno!”
“Silakan pakai peci, asalkan jangan terlalu besar,” kata Bu Tini.
Gembol langsung tersenyum penuh kemenangan. Tapi senyum itu hanya bertahan beberapa detik, karena Lintang menyeletuk, “Eh, peci yang di koper ruang guru gede banget, loh. Kalau dipakai Gembol, bisa nutupin matanya!”
Seketika kelas pecah oleh tawa.
“Tunggu saja! Besok aku bakal jadi pemimpin rapat yang paling keren!” seru Gembol dengan percaya diri.
“Tapi inget, Bol, ini Sumpah Pemuda, bukan audisi jadi pahlawan!” ejek Langit.
“Aku tetap bakal bikin drama ini keren!” Gembol bersikeras.
Bu Tini tersenyum melihat anak-anaknya semangat, meskipun banyak yang masih belum paham betul tentang sejarah. Tapi setidaknya, mereka antusias. Besok, di hari pertunjukan, pasti akan ada banyak kejadian kocak yang tidak terduga.
Dan drama Sumpah Pemuda ala Bocah SD ini baru saja dimulai.
Peci Kebesaran dan Sumpah yang Nyaris Gagal
Keesokan paginya, kelas 5A sudah ribut sejak sebelum jam pelajaran dimulai. Semua anak sibuk dengan persiapan drama Sumpah Pemuda. Ada yang mencari properti, ada yang sibuk menghafal dialog, dan ada juga yang masih berdebat soal aksen daerah masing-masing.
Tapi ada satu masalah besar.
Peci Gembol terlalu besar.
“Aduh, gimana ini?! Aku gak bisa lihat apa-apa!” Gembol mengeluh sambil meraba-raba meja di depannya. Peci hitam yang dipinjam dari koper ruang guru ternyata lebih besar dari perkiraannya. Begitu dipakai, peci itu langsung turun menutupi matanya.
Lintang terbahak. “HAHAHA! Aku bilang juga apa?! Itu peci buat orang dewasa, bukan buat kepala kamu yang masih limited edition!”
“Diam kamu!” Gembol berusaha mengangkat pecinya, tapi setiap kali dilepas, peci itu langsung melorot lagi seperti ember yang dipakai di kepala.
“Aku punya ide!” Rara tiba-tiba menyodorkan segulung tisu toilet.
“Buat apa itu?” tanya Langit curiga.
“Buat diisi ke dalam pecinya, biar pas di kepala Gembol!”
Semua anak mengangguk setuju. Akhirnya, Gembol dan beberapa teman lainnya mulai menyumpalkan tisu ke bagian dalam peci. Setelah beberapa menit perjuangan, akhirnya peci itu bisa pas di kepala Gembol, meskipun agak miring ke satu sisi.
“Sip! Sekarang aku kelihatan kayak pemimpin beneran, kan?” Gembol berpose dengan penuh percaya diri.
“Pemimpin yang kepalanya isinya tisu,” celetuk Lintang sambil cekikikan.
“Udah-udah, sekarang kita latihan biar gak malu-maluin besok,” kata Langit sambil membuka naskah dramanya.
Anak-anak mulai bersiap di posisi masing-masing. Rara dan Dayat duduk sebagai pemuda daerah, Lintang berdiri di depan pintu kelas sebagai penjaga rapat, sementara Gembol mengambil posisi di tengah sebagai pemimpin sidang.
Drama dimulai.
“Aku sebagai pemimpin rapat, mengajak semua pemuda untuk bersatu dan menyatakan sumpah!” Gembol menggebu-gebu, tapi pecinya melorot lagi dan hampir menutupi matanya.
“HAHAHAHA!” hampir seluruh kelas tertawa.
“Lanjut, lanjut! Jangan ketawa!” Langit mengingatkan.
Dayat pun berdiri dan berkata dengan penuh semangat, “Aku dari Sumatra, dan aku mendukung persatuan bangsa!”
Rara ikut berdiri. “Aku dari Bali, dan aku juga mendukung persatuan!”
Tiba-tiba, Lintang angkat tangan. “Sebentar, sebentar! Aku punya pertanyaan penting!”
Semua anak menoleh.
“Apa lagi, Lintang?” tanya Bu Tini yang sudah mulai gelisah.
“Kita ini kan satu bangsa, ya?”
“Iya,” jawab anak-anak serempak.
“Terus, kenapa kita gak buat satu bahasa aja yang lebih modern? Misalnya, pakai bahasa emoji aja! Kan gampang!” Lintang mengedipkan mata dengan gaya sok keren.
“APAAN ITU?!” Gembol langsung protes.
“Coba bayangin, Bol! Kalau sumpahnya kayak gini: ‘💪’ yang artinya ‘Kami berjanji bersatu untuk Indonesia!'”
Kelas langsung geger.
“TOLONG! AKU GAK PAHAM BAHASA ALIEN!” teriak Rara.
“Lintang, itu bukan bahasa, itu stiker WA!” protes Dayat.
Bu Tini menepuk jidat. “Sudah, Lintang, kita tetap pakai bahasa Indonesia, ya!”
“Aduh, rugi!” Lintang pura-pura kecewa.
Setelah beberapa kali latihan dan kekacauan kecil lainnya—termasuk Gembol hampir tersandung mejanya sendiri—mereka akhirnya menyelesaikan latihan pertama dengan cukup baik. Meski masih banyak yang perlu diperbaiki, semangat mereka tetap tinggi.
Namun, saat latihan selesai, sebuah masalah besar muncul.
Peci Gembol hilang.
“Aduh! PECIKU MANA?!” Gembol panik.
Seluruh kelas langsung heboh mencari peci kebesaran itu. Besok adalah hari pertunjukan, dan kalau peci itu hilang, bisa dipastikan drama Sumpah Pemuda mereka akan jadi bencana besar!
Peci yang Hilang dan Pengkhianatan di Balik Tirai
Panik melanda kelas 5A. Semua anak sibuk membongkar laci, mengangkat meja, bahkan mengintip ke dalam tempat sampah. Namun, peci Gembol tetap tidak ditemukan.
“Ini bencana!” seru Gembol, wajahnya penuh keputusasaan. “Tanpa peci itu, aku bukan pemimpin rapat sumpah pemuda! Aku cuma anak SD biasa dengan rambut belah pinggir!”
Rara meletakkan tangan di pinggang. “Jangan lebay, Bol! Kita pasti bisa nemuin peci itu! Anak-anak, ayo kita bentuk tim pencarian!”
Dayat langsung angkat tangan. “Aku bagian periksa laci-laci meja!”
Langit menunjuk ke luar kelas. “Aku cek di kantin, siapa tahu ada yang pakai buat bungkus tahu bulat.”
Lintang, dengan mata menyipit penuh kecurigaan, menyilangkan tangan. “Tunggu dulu. Aku punya teori…”
Semua anak menoleh.
“Peci Gembol… tidak hilang.”
“Hah?!” serempak mereka berseru.
Lintang melanjutkan dengan gaya detektif. “Aku rasa… ada yang mencurinya.”
“WHAT?!” Gembol langsung terduduk lemas. “Kok bisa? Siapa yang tega?”
Semua anak mulai saling pandang, penuh kecurigaan.
Bu Tini, yang sejak tadi ikut mencari, menghela napas. “Astaga, anak-anak. Mungkin pecinya jatuh atau terselip di mana, jangan langsung menuduh.”
Tapi Lintang tetap bersikeras. “Dengar, aku sudah menganalisis. Peci itu hilang setelah kita selesai latihan. Artinya, seseorang di antara kita pasti tahu di mana peci itu berada.”
“Jadi, siapa pelakunya?” tanya Dayat penasaran.
Lintang memejamkan mata sebentar, lalu menunjuk dengan dramatis.
“PELAKUNYA ADALAH…!”
Semua menahan napas.
“TIRAI MERAH ITU!”
Seketika semua menoleh ke arah tirai merah besar di sudut kelas, yang menutupi rak buku.
“Lah? Tirai?” Rara mengangkat alis.
Lintang mendekati tirai itu dengan penuh kewaspadaan. “Kalau kita pikirkan, selama latihan, tidak ada yang ke luar kelas. Peci Gembol terlalu besar untuk terselip begitu saja. Maka, hanya ada satu kemungkinan…”
Dengan gerakan dramatis, Lintang menyibak tirai itu.
Semua anak terperangah.
Di balik tirai itu, duduk bersila dengan tenang, adalah Bima—anak paling kalem di kelas. Dan di kepalanya…
Peci Gembol.
“BIMA?!” semua anak berteriak.
Bima tersentak kaget. “Eh?! Kok pada teriak?”
“Kenapa peciku ada di kepala kamu?!” Gembol langsung mendekat dengan mata membelalak.
Bima garuk-garuk kepala. “Oh, ini? Aku cuma coba-coba. Tadi pas kalian ribut, aku lihat pecinya jatuh ke lantai, terus aku ambil biar gak diinjek orang. Eh, pas aku pakai, ternyata nyaman juga.”
Gembol langsung tepok jidat. “Bim, kalau nyaman, bukan berarti bisa dipakai seenaknya! Aku nyariin ini sampai hampir stres!”
Bima nyengir. “Hehehe, maaf.”
Semua anak menghela napas panjang.
Bu Tini, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya berseru, “Baiklah, karena pecinya sudah ketemu, sekarang kalian bisa lanjut latihan terakhir sebelum pertunjukan besok, ya!”
Anak-anak langsung bersorak. Drama Sumpah Pemuda mereka akhirnya bisa kembali ke jalur yang benar!
Namun, di sudut kelas, Lintang masih menyipitkan mata ke arah Bima.
“Apa?” tanya Bima, merasa diawasi.
Lintang mendekat dan berbisik, “Bima, jujur aja… kamu nyuri peci itu karena sebenarnya pengen jadi pemimpin, kan?”
Bima menatapnya bingung, lalu terkekeh. “Enggak, aku cuma iseng… tapi pecinya enak di kepala.”
Lintang terdiam, lalu menepuk bahu Bima. “Kalau gitu, habis drama ini, kita harus bikin sumpah baru. Sumpah tidak memakai barang orang tanpa izin.”
Semua anak tertawa. Dengan peci yang akhirnya kembali ke pemiliknya, mereka bersiap untuk pertunjukan yang akan menentukan sukses atau berantakannya drama mereka keesokan harinya!
Sumpah yang Nyaris Gagal dan Pertunjukan yang Melegenda
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Seluruh aula sekolah dipenuhi murid, guru, bahkan beberapa orang tua yang penasaran ingin melihat Drama Sumpah Pemuda karya kelas 5A.
Di balik panggung, Gembol mondar-mandir seperti induk ayam kehilangan anak. “Astaga, kenapa rasanya aku mau pingsan?! Kalau aku lupa dialog, kita semua bakal malu seumur hidup!”
Rara menepuk bahunya. “Santai, Bol! Kita udah latihan berkali-kali. Pasti lancar!”
Dayat menyeringai. “Iya, kecuali kalau nanti pas di tengah drama tiba-tiba pecimu terbang ke penonton lagi.”
“Dayat, plis, jangan bikin aku makin panik!” Gembol hampir menangis.
Sementara itu, Lintang sibuk memeriksa properti panggung, memastikan semua berjalan sesuai rencana. Semua anak sudah bersiap dengan kostum dan peran masing-masing. Bima—yang kemarin hampir jadi pengkhianat tak sengaja—kali ini duduk tenang di belakang panggung, tidak menyentuh peci siapa pun lagi.
Akhirnya, pertunjukan dimulai.
Langit maju ke depan sebagai narator. Dengan suara lantang, ia berkata, “Pada tahun 1928, para pemuda dari seluruh Indonesia berkumpul untuk bersatu, melawan penjajah, dan menyatakan janji yang akan mengubah sejarah bangsa…”
Drama berlangsung dengan lancar. Gembol, Rara, Dayat, dan anak-anak lain tampil sesuai peran mereka. Para guru yang menonton tampak terkesan. Bahkan Pak Kepala Sekolah mengangguk-angguk puas.
Hingga akhirnya, tibalah adegan puncak.
Gembol berdiri di tengah panggung, mengangkat tangan dengan gagah. “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia!”
Semua penonton terdiam, terhanyut dalam momen sejarah yang sedang mereka saksikan.
Namun…
SRET!
Peci Gembol melayang.
Angin dari kipas di aula membuat pecinya terbang dengan indah ke udara. Semua anak di panggung menahan napas. Para penonton mengikuti arah peci itu dengan mata terbelalak.
“ASTAGA!” Gembol refleks melompat, berusaha menangkap pecinya di udara.
Tapi dia gagal.
Peci itu mendarat… tepat di kepala Pak Kepala Sekolah.
Seluruh aula mendadak hening.
Gembol menelan ludah.
Pak Kepala Sekolah terdiam sejenak, lalu dengan tenang mengambil peci itu dari kepalanya dan menatapnya dalam-dalam. Semua orang menunggu reaksinya dengan jantung berdetak kencang.
Lalu, tiba-tiba…
Pak Kepala Sekolah terkekeh.
“Hahaha! Drama ini luar biasa! Ini baru namanya totalitas!”
Seluruh aula langsung bergemuruh dengan tepuk tangan. Anak-anak kelas 5A menatap satu sama lain, tidak percaya bahwa pertunjukan mereka yang nyaris kacau justru mendapat sambutan luar biasa.
Gembol menghela napas lega sambil membungkuk hormat. “Terima kasih… terima kasih… saya hampir kena serangan jantung.”
Setelah itu, semua pemeran maju ke depan untuk mengucapkan sumpah pemuda bersama-sama, kali ini tanpa insiden peci melayang.
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia! Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia! Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia!”
Seluruh penonton berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah.
Di belakang panggung, Gembol terduduk di kursi dengan wajah lega. “Alhamdulillah… sumpah pemuda kita sukses!”
Lintang menyeringai. “Sumpah pemuda sukses. Tapi sumpah tidak memakai barang orang tanpa izin… belum tentu.”
Mereka menoleh ke arah Bima, yang entah sejak kapan sudah duduk dengan peci Gembol di tangannya lagi.
Bima nyengir. “Hehehe… kebiasaan.”
Seluruh anak tertawa. Drama Sumpah Pemuda kelas 5A tidak hanya sukses, tapi juga melegenda sebagai pertunjukan paling menghibur sepanjang sejarah SD mereka!
Sumpah Pemuda kali ini bukan cuma tentang sejarah, tapi juga tentang kerja tim, persahabatan, dan keteguhan hati menghadapi segala bentuk… kekacauan.
Meski awalnya berantakan, kelas 5A sukses bikin pertunjukan yang nggak bakal dilupain siapa pun. Dan tentu saja, Gembol mungkin bakal trauma seumur hidup tiap kali lihat peci melayang. Tapi ya sudahlah, yang penting… MERDEKA!


