Daftar Isi
Katanya, ikhlas itu gampang. Katanya, waktu bakal nyembuhin semuanya. Katanya, tinggal lupain dan lanjut aja. Tapi, siapa yang pernah benar-benar ngerasain, tahu kalau semua itu cuma omong kosong. Ada luka yang nggak bisa sembuh cuma karena waktu, ada kehilangan yang nggak bisa diganti cuma karena yang baru.
Ini cerita tentang seseorang yang berusaha ikhlas, tapi nggak pernah benar-benar bisa. Tentang seseorang yang tahu harus melepaskan, tapi hatinya masih keras kepala. Kalau kamu pernah ada di titik ini, mungkin kamu bakal ngerti.
Sulitnya Ikhlas
Jejak yang Tak Terhapus
Hujan baru saja reda. Aroma tanah basah masih menguar di udara, bercampur dengan wangi kopi dari kedai kecil di pinggir jalan. Renatra duduk di meja dekat jendela, menatap kosong ke luar. Lampu jalanan berpendar di atas trotoar basah, menciptakan pantulan yang tampak bergetar di atas aspal.
Di tangannya, ponsel masih terbuka pada satu foto yang sama—Lara.
Bibirnya tersenyum kecil, hambar. Ia sudah menghapus banyak hal tentang gadis itu, tapi entah kenapa, ada satu foto yang selalu gagal ia hapus. Jari-jarinya mengusap layar, menyusuri wajah yang dulu setiap hari ia lihat dari dekat.
“Ren.”
Suara itu menginterupsi lamunannya. Seorang pria bertubuh tinggi menjatuhkan diri ke kursi di seberangnya. Raka, sahabatnya sejak SMA, menatap Renatra dengan tatapan yang sudah sangat dikenalnya—tatapan penuh rasa iba yang menyebalkan.
“Kamu masih lihat-lihat itu?” tanya Raka tanpa basa-basi.
Renatra tidak menjawab. Ia menyimpan ponsel ke dalam saku jaketnya, seolah dengan begitu, pertanyaan Raka juga bisa diabaikan.
Raka mendesah pelan. “Serius, Ren. Udah berapa bulan? Kenapa kamu masih kayak gini?”
Renatra mengambil cangkir kopinya, memutarnya di tangan tanpa niat meminumnya. “Kamu pikir gampang?”
“Gampang atau nggak, tetap harus kamu lakuin.”
Renatra tersenyum miring. “Kamu ngomong kayak orang yang tahu rasanya kehilangan.”
“Karena aku tahu,” sahut Raka cepat. “Aku juga pernah ada di posisi kamu. Bedanya, aku sadar kalau dunia nggak bakal nunggu aku buat selesai bersedih.”
Renatra diam.
Raka menghela napas, lalu bersandar. “Kamu masih berharap dia balik, ya?”
Pertanyaan itu membuat udara di antara mereka terasa lebih berat. Renatra menelan ludah. Jawaban yang seharusnya keluar dengan mudah justru tersangkut di tenggorokannya.
“Aku nggak tahu,” gumamnya akhirnya. “Aku cuma… nggak ngerti kenapa ini susah banget buat aku.”
“Kamu masih nyimpen dia di kepala kamu, Ren. Semua hal yang udah kamu lewatin sama dia, masih kamu pelihara di otak kamu kayak harta karun. Itu kenapa susah.”
Renatra mendengus pelan. “Aku nggak mau denger teori psikologi dari kamu.”
“Ya udah, nggak usah denger. Tapi coba pikirin, kenapa kamu masih kayak gini?”
Renatra terdiam.
Ia tidak bisa menjawab. Karena yang Raka bilang benar. Ia menyimpan semuanya. Setiap tawa, setiap sentuhan, setiap kata-kata kecil yang dulu terasa remeh tapi sekarang justru menghantui.
Malam itu, Renatra kembali ke apartemennya yang sepi. Ia melepas jaket dan melemparkannya ke sofa, lalu berjalan menuju rak kecil di sudut kamar. Tangannya terulur, mengambil sebuah kotak kayu kecil yang sudah berbulan-bulan tidak ia sentuh.
Ia membuka kotak itu, dan di dalamnya—seperti yang sudah ia duga—semua jejak Lara masih ada.
Sebuah gelang rajut warna biru yang pernah dibuatkan Lara untuknya. Tiket konser pertama mereka. Kertas kecil dengan tulisan tangan Lara yang berbunyi: “Kamu nyebelin, tapi aku suka.”
Renatra menutup matanya.
Orang-orang bilang kenangan seharusnya jadi sesuatu yang manis. Tapi bagi Renatra, kenangan terasa seperti luka yang terus terbuka.
Ia menggenggam kertas kecil itu erat, seolah berharap bisa meremas habis semua rasa sakit yang tersisa di dalam dirinya.
Tapi tidak peduli seberapa keras ia mencoba—jejak itu tetap ada.
Luka yang Tak Kunjung Kering
Dini hari, Renatra terbangun dengan napas memburu. Kamar terasa lebih dingin dari biasanya, meski jendela tertutup rapat. Keringat dingin membasahi pelipisnya, sementara bayangan mimpi yang baru saja ia alami masih menempel di benaknya.
Lara.
Ia melihatnya lagi dalam tidur. Bukan dalam bentuk kenangan, tapi dalam versi yang lebih kejam. Dalam mimpinya, Lara menatapnya dari kejauhan, tersenyum seperti biasa—senyum yang dulu membuatnya merasa utuh. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Lara melangkah mundur, semakin jauh dan jauh, sampai akhirnya bayangannya memudar, menghilang begitu saja, seolah ia tak pernah ada.
Renatra menatap langit-langit kamarnya, mencoba mengatur napas. Itu hanya mimpi. Tapi kenapa rasanya nyata? Kenapa sakitnya masih ada?
Tangannya meraba meja di samping tempat tidur, mengambil ponsel. Waktu menunjukkan pukul 03.27 pagi. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada tanda bahwa dunia masih peduli pada keberadaannya.
Ia bangkit, berjalan ke dapur, menuangkan segelas air, lalu meneguknya dalam sekali minum. Tenggorokannya kering, seolah ada sesuatu yang tersangkut di sana.
Di saat seperti ini, biasanya ia akan mengirim pesan ke Lara. “Aku nggak bisa tidur.” Dan dalam hitungan menit, Lara akan membalas. “Kamu mau aku nyanyi biar kamu tidur?”
Renatra mengembuskan napas panjang.
Tidak ada lagi pesan-pesan itu. Tidak ada lagi suara lembut Lara yang menyanyikan lagu-lagu random hanya untuk membuatnya tertidur.
Semua itu sudah tidak ada.
Dan dia harus menerimanya.
Tapi dia tidak bisa.
Siang harinya, Renatra duduk di taman kota, tempat ia sering menghabiskan waktu jika pikirannya terlalu berisik. Dia tidak benar-benar menikmati berada di luar, tapi setidaknya, di sini, ia bisa berpura-pura bahwa dia hanyalah bagian kecil dari keramaian, bukan seseorang yang sedang berantakan.
Raka datang tanpa diundang, membawa dua gelas kopi dingin.
“Kamu kelihatan kacau,” komentar Raka sambil menyerahkan satu gelas.
Renatra menerimanya tanpa berkata apa-apa.
“Masih mimpiin dia?”
Renatra tidak menjawab.
“Udah kuduga,” gumam Raka. Ia menyeruput kopinya, lalu melanjutkan, “Ren, aku nggak akan maksa kamu buat lupa atau ikhlas sekarang juga. Aku tahu itu nggak semudah kedengarannya. Tapi, sampai kapan?”
“Sampai bisa.”
“Kalau ternyata kamu nggak pernah bisa?”
Renatra menatap lurus ke depan. “Aku nggak tahu.”
Raka menghela napas, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah korek api dan sekotak kecil kertas berisi sticky notes warna-warni.
“Apa itu?” tanya Renatra malas.
“Kertas-kertas beban.”
“Apaan?”
“Ini ide dari temenku. Tulis sesuatu yang masih kamu simpan di hati kamu, terus bakar.”
Renatra mendengus. “Kamu pikir ini ritual buang sial?”
“Bukan, tapi ini bisa bantu kamu buat sadar bahwa ada hal-hal yang nggak perlu disimpen selamanya.”
Renatra memandang kotak itu dengan skeptis, tapi entah kenapa, tangannya tergerak mengambil satu lembar sticky note. Jemarinya menggenggam pulpen, namun ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya mulai menulis.
“Aku benci kenyataan bahwa aku masih berharap.”
Raka mengamatinya tanpa bersuara.
Renatra membaca tulisannya sendiri berulang kali, sebelum akhirnya ia menarik napas dalam-dalam dan melipat kertas itu. Raka menyalakan korek, dan dalam hitungan detik, kertas kecil itu berubah menjadi abu di ujung jari Renatra.
Namun, saat abu itu jatuh ke tanah dan hilang tertiup angin, satu hal menjadi jelas baginya.
Luka di hatinya tetap ada.
Dan masih terasa seperti baru kemarin terjadi.
Sungai yang Terus Mengalir
Langit sore mulai bersemburat jingga saat Renatra melangkah tanpa tujuan di trotoar yang ramai. Orang-orang berlalu-lalang di sekitarnya, masing-masing tenggelam dalam kehidupan mereka sendiri. Beberapa sibuk berbincang, beberapa tertawa, beberapa berjalan cepat seolah dunia tidak akan menunggu.
Tapi bagi Renatra, dunia justru terasa berjalan terlalu cepat—dan dia masih tertinggal di belakang.
Sticky note yang ia bakar kemarin seharusnya menjadi simbol pelepasan. Tapi kenyataannya, ia masih di tempat yang sama. Masih menyimpan sesuatu yang sudah seharusnya ia lepaskan.
Pikirannya kalut ketika langkahnya tiba-tiba terhenti di depan sebuah kafe. Bukan sembarang kafe.
Ini tempat yang dulu sering ia datangi bersama Lara. Tempat di mana Lara akan memesan teh chamomile dengan madu, sementara dia sendiri lebih suka kopi hitam tanpa gula.
Dulu, setiap kali Renatra datang lebih dulu, ia akan otomatis memesan minuman Lara. Bahkan sebelum gadis itu tiba.
Kini, langkahnya terpaku di depan pintu kaca. Hatinya berdebar dengan cara yang aneh. Ia tidak ingin masuk, tapi juga tidak bisa beranjak pergi.
Lalu, seperti ada kekuatan yang menariknya, Renatra akhirnya mendorong pintu dan melangkah masuk.
Aroma kopi dan musik akustik menyambutnya, membawa kembali ratusan memori yang selama ini ia coba kubur.
Dari tempatnya berdiri, matanya langsung menangkap sesuatu.
Atau seseorang.
Lara.
Duduk di meja favorit mereka—bersama seorang pria lain.
Seperti di taman waktu itu, tapi kali ini lebih nyata. Lebih dekat.
Renatra bisa melihat ekspresi Lara dengan jelas. Gadis itu tersenyum. Tertawa. Matanya berbinar dengan cara yang sama seperti dulu saat bersamanya.
Dan pria di hadapannya… menggenggam tangannya dengan begitu alami.
Dada Renatra terasa seperti dihantam sesuatu yang dingin dan tajam.
Tangannya mengepal. Ada bagian dari dirinya yang ingin melangkah ke sana, ingin menginterupsi, ingin bertanya kenapa.
Tapi di saat yang sama, ada bagian lain dari dirinya yang tahu jawabannya sudah jelas.
Lara telah melanjutkan hidupnya.
Dan ia tidak.
Renatra keluar dari kafe itu dengan langkah berat. Ia berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawa tubuhnya yang terasa kosong.
Kenyataan ini bukan sesuatu yang baru. Sejak lama, ia tahu bahwa Lara telah pergi. Tapi baru kali ini, ia benar-benar melihatnya dalam bentuk yang paling nyata.
Bukan hanya pergi.
Lara sudah jauh.
Dan dia tidak pernah menoleh ke belakang.
Renatra berhenti di depan jembatan kecil yang membentang di atas sungai kota. Air mengalir perlahan di bawahnya, membawa daun-daun kering yang jatuh dari pohon.
Tiba-tiba, ia teringat sesuatu yang pernah Lara katakan di taman itu.
“Kamu tahu, Ren? Aku ingin hidup kita kayak daun yang jatuh di sungai. Mengalir tanpa melawan.”
Dulu, ia tidak paham maksudnya.
Sekarang, ia mengerti.
Tapi memahami sesuatu tidak sama dengan menerimanya.
Renatra menatap bayangannya di permukaan air yang bergetar.
Lara adalah sungai yang terus mengalir, bergerak maju tanpa melihat ke belakang.
Dan dia?
Dia masih batu di dasar sungai.
Terjebak. Tidak bergerak.
Hanya bisa menyaksikan semuanya berlalu di depannya.
Kepedihan yang Tak Terucap
Malam datang lebih lambat dari biasanya, atau mungkin hanya terasa begitu bagi Renatra. Langkahnya berat saat ia kembali ke apartemen, membiarkan pintu tertutup tanpa niat menguncinya. Ruangan itu terasa lebih sepi dari sebelumnya, meskipun sebenarnya tidak ada yang berubah.
Hanya dia.
Hanya hatinya.
Lara sudah melanjutkan hidupnya.
Sementara ia masih terjebak dalam ingatan yang seharusnya sudah mati sejak lama.
Ponselnya bergetar.
Raka.
Renatra tidak ingin mengangkatnya. Tapi setelah panggilan ketiga, ia menyerah.
“Apa?” suaranya terdengar serak.
“Kamu di mana?”
“Di rumah.”
“Aku ke sana.”
Raka tidak menunggu jawaban sebelum menutup telepon.
Renatra menghempaskan dirinya ke sofa, menatap langit-langit yang sama yang sudah ia lihat ratusan kali. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sesuatu yang tidak bisa ia keluarkan, tidak bisa ia hapus, tidak bisa ia terima.
Sial. Kenapa masih sakit?
Kenapa semuanya masih terasa salah?
Kenapa, meski ia tahu ini kenyataan, hatinya tetap menolak percaya?
Sepuluh menit kemudian, Raka sudah di depan pintu dengan wajah yang penuh dengan sesuatu yang mirip keprihatinan.
Tanpa berkata apa-apa, ia masuk, duduk di kursi, lalu menatap Renatra lama.
“Apa yang kamu lihat tadi?” tanyanya akhirnya.
Renatra tidak menjawab.
Raka menghela napas. “Aku tahu kamu pergi ke kafe itu, Ren. Aku juga tahu apa yang kamu lihat.”
Renatra mendengus kecil. “Kalau kamu sudah tahu, kenapa masih nanya?”
“Karena aku pengen dengar langsung dari kamu.”
Renatra terdiam lama. Lalu akhirnya, dengan suara nyaris tak terdengar, ia mengucapkan sesuatu yang bahkan sulit ia akui pada dirinya sendiri.
“Aku nggak bisa.”
“Nggak bisa apa?”
Renatra menatap ke arah jendela yang gelap. “Nggak bisa ikhlas.”
Keheningan menyelimuti mereka.
Raka menatapnya dengan mata yang sulit ditebak. “Kenapa?”
Renatra mengusap wajahnya dengan kasar. “Karena semua orang selalu bilang kalau ini gampang. Semua orang selalu bilang kalau aku cuma perlu merelakan, move on, cari yang baru. Seakan ini cuma soal menekan tombol dan semuanya beres.”
Raka tidak menyela.
“Tapi kenyataannya nggak kayak gitu. Aku bangun setiap hari dengan kepala yang masih dipenuhi dia. Aku lihat sesuatu yang dulu dia suka, dan rasanya kayak dihantam palu di dada. Aku bahkan masih denger suara dia di kepalaku setiap kali aku sendirian. Dan aku benci itu.”
Suaranya bergetar di akhir kalimat.
“Aku benci kenyataan kalau aku masih berharap. Aku benci kenyataan kalau aku masih mikirin dia. Aku benci kenyataan kalau aku nggak bisa ngelepasin sesuatu yang jelas-jelas sudah bukan milikku lagi.”
Raka menunduk sedikit, berpikir, lalu berkata pelan, “Mungkin bukan karena kamu nggak bisa, Ren. Tapi karena kamu nggak mau.”
Renatra terdiam.
“Kamu nggak siap buat hidup tanpa dia, makanya kamu nyimpen dia terus di kepala kamu. Kamu nggak siap buat mengakuin kalau cerita kalian benar-benar selesai.”
“Apa salah?” suara Renatra lirih, hampir seperti bisikan.
“Tidak,” jawab Raka dengan lembut. “Nggak ada yang salah sama perasaan kamu. Yang salah cuma kalau kamu terus menyiksa diri kamu sendiri.”
Keheningan kembali menggantung di antara mereka.
Malam semakin larut.
Setelah Raka pulang, Renatra duduk sendirian di tepi jendela, menatap kota yang masih dipenuhi cahaya.
Ia mengambil kotak kayu itu lagi.
Membukanya.
Melihat kenangan yang tersisa.
Lalu, dengan tangan gemetar, ia mengambil satu benda di dalamnya—kertas kecil dengan tulisan tangan Lara:
“Kamu nyebelin, tapi aku suka.”
Matanya menatap kalimat itu lama.
Sangat lama.
Sampai akhirnya, dengan napas berat, ia merobeknya perlahan.
Potongan-potongan kertas itu jatuh ke lantai, berserakan seperti pecahan sesuatu yang pernah berarti.
Dan untuk pertama kalinya, meski hanya sedikit…
Luka di hatinya terasa lebih ringan.
Kisahnya nggak berakhir dengan tiba-tiba sembuh. Nggak ada keajaiban di mana dia tiba-tiba lupa semuanya dan bahagia. Karena nyatanya, proses buat bener-bener ikhlas itu panjang. Kadang maju, kadang mundur.
Kadang ngerasa udah baik-baik aja, tapi besoknya jatuh lagi. Tapi satu hal yang pasti, dia akhirnya mulai. Dan mungkin, itu langkah paling penting. Karena yang paling susah bukan ikhlasnya, tapi memutuskan buat mulai ikhlas.


