Daftar Isi
Kadang, kita terlalu sibuk dengan hidup kita sendiri sampai lupa dengerin apa kata alam. Tapi gimana kalo suara hutan itu udah mulai hilang, dan alam butuh banget didengerin?
Di cerpen ini, kamu bakal diajak jalan-jalan ke hutan yang penuh cerita, nyimak suara alam yang gak bisa lagi diabaikan. Jadi, siap untuk dengerin suara merdeka dari alam yang bakal bikin kamu mikir ulang soal hubungan kita sama bumi?
Suara Merdeka
Hilangnya Suara Enggang
Matahari menggantung rendah di langit Hutan Punggung Akar, sinarnya yang hangat menembus rapatnya dedaunan, memantulkan kilauan samar pada embun pagi. Aroma tanah basah dan daun yang meluruh menyeruak, menambah kesan damai. Namun, bagi Damar, suasana itu seperti sihir yang menipu. Di balik kehijauan yang megah, ia tahu ada luka yang menganga.
Dengan langkah mantap, ia menyusuri jalan setapak yang jarang dilalui. Kamera tua menggantung di lehernya, goyah setiap kali ia melangkah di atas akar-akar besar yang mencuat dari tanah. Di tangannya ada alat perekam suara, kecil tapi sangat berarti. Suara enggang yang pernah menjadi simfoni hutan ini kini hilang, seperti bisu.
Suara keretak ranting yang dipijaknya menggema, diikuti langkah kaki lain di belakangnya. Ia menoleh, dan matanya bertemu dengan sosok Dresta, perempuan muda yang sama bersemangatnya dalam melawan kerusakan hutan. Dengan topi jerami lebar dan ransel penuh pita-pita kertas bertuliskan “Hutan adalah Nafas Kita”, ia tampak seperti pemimpin revolusi kecil.
“Kamu nggak bilang mau ke sini hari ini,” ujar Dresta, melangkah lebih cepat untuk menyamai Damar.
“Sengaja,” balas Damar pendek, sembari melirik alat perekamnya.
“Sengaja nggak bilang, atau sengaja pergi sendirian?”
Damar mendesah. “Aku cuma mau lihat kondisi Warna Merdeka. Kalau ada sesuatu yang perlu dilaporkan, aku baru kasih kabar.”
Dresta mendengus kecil, lalu mencabut botol air dari ranselnya. “Kamu tahu sendiri, hutan ini butuh lebih dari sekadar pengamatan diam-diam. Suara enggang itu hilang bukan cuma karena pohon tua itu. Ada yang nggak beres di sini.”
Damar berhenti di bawah sebuah pohon besar, menjulurkan tangannya ke batang yang kasar, lalu menarik napas panjang. “Aku tahu. Makanya aku ke sini.”
Mereka melanjutkan perjalanan tanpa banyak bicara, membiarkan suara hutan—meski kini jauh lebih sepi—mengisi sela-sela keheningan. Dresta beberapa kali mencatat sesuatu di buku kecilnya, sementara Damar fokus merekam suara burung yang tersisa, meskipun kebanyakan terdengar jauh dan sayup-sayup.
Setelah sekitar satu jam berjalan, mereka tiba di tempat tujuan. Di hadapan mereka berdiri Warna Merdeka, pohon keramat yang dikelilingi akar sebesar pilar-pilar bangunan kuno. Pohon itu menjulang, daunnya menutupi sebagian besar langit di atas mereka. Dulu, burung enggang sering hinggap di sana, melantunkan kicauannya yang khas. Sekarang, pohon itu sunyi.
Dresta melepas topinya, membiarkan angin menerpa rambutnya. “Damar, aku selalu merasa pohon ini seperti penjaga. Tapi sekarang penjaganya seperti… nggak punya suara lagi.”
Damar tidak langsung menjawab. Ia berjalan mendekat, matanya meneliti batang pohon dan tanah di sekitarnya. “Akar-akar ini kelihatan aneh buat kamu nggak?” tanyanya akhirnya.
Dresta mengangguk, lalu berjongkok untuk melihat lebih dekat. “Ya. Biasanya akar pohon sebesar ini sehat dan kuat, tapi lihat yang ini. Kayak—kayak ada sesuatu yang menekannya.”
Damar mengikuti arah pandang Dresta. Retakan kecil di tanah, seperti lubang, menarik perhatiannya. Ia berjongkok di samping Dresta, menyingkirkan beberapa daun kering untuk memperjelas.
“Lihat ini,” gumamnya. “Ada bekas alat berat. Mereka mulai menggali.”
Mata Dresta membelalak. “Tunggu, apa ini… lubang bor?”
Damar mengangguk pelan, wajahnya memucat. “Sepertinya mereka mencoba melemahkan pohon ini dari bawah. Mungkin juga akarnya sudah diracuni.”
Dresta berdiri cepat, tangannya mengepal. “Kita harus bertindak sekarang. Kita nggak bisa diam-diam lagi, Damar. Kalau dibiarkan, Warna Merdeka ini bisa tumbang dalam hitungan minggu.”
“Tapi kita nggak punya cukup bukti kalau ini ulah mereka,” balas Damar sambil menunjuk kamera di lehernya. “Aku cuma punya gambar pohon dan rekaman suara kosong. Nggak cukup buat melawan perusahaan besar.”
“Kalau begitu kita cari bukti lebih. Aku nggak akan tinggal diam dan nunggu mereka menghancurkan semuanya.”
Dresta melangkah cepat ke sekeliling pohon, tangannya meraba setiap batang akar, mencari sesuatu yang bisa dijadikan bukti. Damar hanya bisa memandangi perempuan itu, kagum sekaligus khawatir.
Ia tahu, perjuangan mereka baru saja dimulai. Hutan ini bukan hanya tentang pohon atau burung, tapi tentang suara-suara yang harus terus hidup. Suara merdeka yang tak boleh hilang.
Jejak di Bawah Akar
Damar dan Dresta kembali ke jalur setapak, langkah mereka tergesa namun penuh kewaspadaan. Semilir angin pagi menyapu wajah mereka, namun sejuk itu tak bisa mengusir kekhawatiran yang tumbuh di dalam dada. Warna Merdeka, pohon yang selama ini mereka anggap sebagai benteng alam, kini terancam oleh kekuatan yang lebih besar dari mereka kira. Rasanya, setiap detik berlalu semakin mendekatkan mereka pada kenyataan pahit: sesuatu yang jahat tengah menggerogoti hutan ini.
“Kalau kita cuma diam dan berharap, kita nggak bakal menang,” kata Dresta, memecah keheningan di antara mereka.
Damar mengangguk pelan, wajahnya serius. “Aku tahu, tapi kita harus hati-hati. Kita nggak bisa gegabah. Ini bukan hanya soal Warna Merdeka, tapi soal keseluruhan hutan ini.”
“Mereka akan merusak semuanya, Damar. Semua yang kita perjuangkan akan hilang kalau kita nggak bergerak cepat.” Dresta menyuarakan kekhawatirannya, meski matanya tetap berbinar penuh semangat.
“Aku paham. Makanya kita harus buktikan semuanya.” Damar melirik kamera di lehernya, berharap alat itu bisa menangkap jejak yang mereka butuhkan.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di titik lebih dekat ke sungai yang membelah hutan. Airnya mengalir tenang, tapi Damar merasakan ada sesuatu yang aneh. Bau tanah dan air yang biasanya segar kini tercemar dengan bau busuk yang menyengat. Mereka berdua berhenti, saling menatap.
“Ada yang nggak beres di sini,” kata Dresta, mencium udara.
Damar menoleh, memperhatikan permukaan sungai. “Lihat itu,” ujarnya sambil menunjuk ke sisi sungai yang berlumpur. Di sana, di tengah-tengah genangan air, ada sesuatu yang mengapung.
Mereka mendekat, dan Dresta berhati-hati melangkah menuju tepian sungai. Ia mengamati benda yang mengapung itu, dan wajahnya langsung berubah.
“Burung enggang,” bisiknya, terkejut.
Damar menatap lebih dekat, dan betapa hancurnya hatinya saat ia menyadari burung itu tidak tampak seperti burung enggang yang dulu sering mereka dengar suaranya. Paruhnya tampak kusam dan pecah, bulunya rontok di sana-sini. Burung itu terkapar tak bergerak, seolah-olah air sungai yang keruh telah menghisap nyawanya.
“Tidak mungkin… Ini tak bisa terjadi,” kata Dresta, wajahnya pucat.
Damar merogoh tas punggungnya, mengambil kamera, dan dengan tangan gemetar ia merekam burung yang tergeletak itu. “Ini bukan hanya soal pohon, Dresta. Mereka meracuni segala yang ada di sini. Bahkan burung ini…”
Mereka berdua terdiam, merenungi kenyataan pahit itu. Dresta menunduk, menggenggam erat buku catatannya.
“Jika kita nggak melakukan sesuatu, kita akan kehilangan segalanya,” suara Dresta bergetar, meski ia berusaha keras menahan air mata yang hampir tumpah.
“Aku nggak bisa melihat lebih banyak makhluk mati di sini,” Damar berkata perlahan. “Aku nggak akan diam. Kita harus bawa bukti ini ke publik.”
Namun, sebelum mereka sempat beranjak, mereka mendengar suara gemerisik di semak-semak. Dresta dan Damar saling pandang, tubuh mereka langsung tegang. Tanpa berkata apa-apa, mereka bersembunyi di balik batang pohon besar yang tumbang. Suara langkah kaki mendekat, berat dan tergesa.
Damar menahan napas, matanya mengamati setiap gerakan yang bisa terlihat. Seorang pria muncul di balik semak, mengenakan jaket kerja dengan logo perusahaan yang terkenal dengan proyek tambang mereka di hutan ini. Di tangannya ada alat berat kecil, mungkin untuk melakukan pengeboran atau pemantauan. Ia berhenti di tepi sungai, melihat burung enggang yang terkapar.
“Berkurang satu,” pria itu bergumam. “Lanjutkan saja pekerjaanmu.”
Damar menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Pria itu tampak tidak merasa bersalah sedikit pun. Seolah-olah, nyawa burung itu tidak berarti. Tak lama setelah itu, pria itu melangkah pergi, membawa alat beratnya.
“Dia tahu,” kata Dresta pelan, menahan amarah yang hampir meledak. “Mereka meracuni sungai ini. Ini bukan cuma kebetulan.”
Damar hanya bisa mengangguk, perasaan campur aduk antara marah dan frustasi. “Kita punya bukti lebih sekarang,” katanya dengan suara keras, seakan memutuskan antara pilihan untuk diam atau bertindak. “Dan kita akan bawa ini ke media. Ini bukan cuma soal kita. Ini soal hutan, soal semua makhluk hidup di sini.”
Dresta menatap Damar dengan penuh tekad. “Kita nggak bisa menyerah, Damar. Kita harus bicara. Jangan biarkan suara enggang itu hilang begitu saja.”
Mereka berjalan kembali, tidak lagi hanya sebagai dua individu yang peduli pada hutan, tetapi sebagai dua orang yang kini memiliki misi lebih besar. Keberanian mereka untuk melawan kekuatan besar yang tampaknya tidak terhentikan ini mulai menyala, menandakan bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai.
Suara yang Tersembunyi
Hutan semakin sunyi saat mereka melangkah menuju jalan utama. Langit sudah mulai gelap, hanya ada serpihan cahaya senja yang menembus dedaunan. Angin berhembus lebih kencang, membawa aroma tanah yang lembab dan sedikit asam, seperti memperingatkan bahwa malam akan segera datang. Namun, di hati Damar dan Dresta, kegelapan yang sebenarnya sudah mulai menggelayuti—bukan karena malam yang turun, tetapi karena kenyataan yang semakin jelas. Mereka berada di tengah pertempuran yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.
Damar berhenti di bawah pohon besar, matanya mengamati alat perekam suara yang tergantung di lehernya. “Kita butuh lebih dari ini, Dresta,” katanya. Suara Damar terdengar serius, dan matanya tajam, seolah berusaha mengingat setiap detil yang bisa membantu.
Dresta berhenti di sampingnya, menghela napas panjang. “Aku tahu. Tapi kita nggak punya banyak waktu. Mereka akan melakukan lebih banyak hal buruk, Damar. Aku yakin mereka nggak cuma menghancurkan pohon atau meracuni air. Mereka punya agenda besar.”
“Tapi kita nggak tahu apa itu,” Damar menjawab, matanya menatap langit yang semakin gelap. “Dan kalau kita nggak hati-hati, kita bisa jadi sasaran mereka.”
Mereka berdiri di sana dalam keheningan beberapa detik, saling berpikir tentang langkah berikutnya. Mereka sudah punya bukti—burung enggang yang mati, tanda-tanda kerusakan di sekitar hutan—tapi bukti itu belum cukup. Mereka butuh lebih banyak, dan lebih penting, mereka butuh cara untuk membawanya ke publik tanpa langsung terancam.
“Jadi kita harus cari saksi lain,” kata Dresta akhirnya, suaranya penuh tekad. “Aku ingat ada seorang penduduk desa yang sering mengamati hutan. Mungkin dia melihat sesuatu yang bisa membantu kita.”
Damar mengangguk pelan. “Baik. Kita ke desa. Tapi harus hati-hati. Kita nggak tahu siapa yang sudah terlibat dalam ini.”
Mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju desa kecil yang terletak di pinggiran hutan. Hutan yang dulu mereka kenal penuh suara kehidupan kini terasa jauh lebih sunyi. Setiap langkah mereka di jalan tanah berdebu seperti menambah jarak antara mereka dan dunia yang dulu begitu mereka cintai.
Ketika mereka sampai di desa, matahari sudah tenggelam sepenuhnya, meninggalkan langit yang gelap dan berbintang. Desa itu tampak tenang, hampir seperti tidak ada yang berubah. Namun, Damar dan Dresta tahu bahwa apa yang terjadi di hutan jauh lebih besar dari yang terlihat di permukaan.
Mereka mendekati rumah seorang pria tua bernama Pak Lurah, yang sudah lama tinggal di pinggiran hutan. Pak Lurah dikenal sebagai orang yang sangat memahami hutan dan makhluk hidup di dalamnya. Ia adalah saksi bisu perubahan yang terjadi selama bertahun-tahun.
Dresta mengetuk pintu rumahnya. Beberapa detik kemudian, terdengar langkah kaki yang berat, dan pintu terbuka. Di ambang pintu berdiri seorang pria tua, wajahnya dipenuhi keriput dan matanya yang tajam masih terlihat sangat hidup.
“Selamat malam, Pak Lurah,” sapa Dresta dengan sopan, meskipun ada kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan. “Kami perlu bicara dengan Anda.”
Pak Lurah menatap mereka sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalian berdua… Kalian tahu hutan ini lebih dari siapa pun.” Suaranya berat, penuh kebijaksanaan yang dalam. “Masuklah.”
Mereka masuk ke dalam rumah sederhana yang dipenuhi barang-barang tua. Bau kayu dan rempah-rempah menyambut mereka. Pak Lurah duduk di kursi kayu tua, sementara Dresta dan Damar duduk di lantai, menunggu.
“Jadi, ada apa?” tanya Pak Lurah, matanya menilai kedua tamunya.
“Kami butuh bantuan Anda, Pak Lurah,” kata Damar dengan suara tegas. “Hutan kita dalam bahaya. Pohon-pohon, air, burung… semuanya mulai mati. Kami yakin ada yang merusak ekosistem di sini, tapi kami butuh bukti lebih dari sekadar apa yang kami temukan.”
Pak Lurah mengangguk perlahan, lalu matanya yang tajam seperti membaca setiap kata yang keluar dari mulut Damar. “Aku sudah tahu,” ujarnya dengan suara yang sangat pelan, namun penuh keyakinan. “Aku sudah mendengar suara-suara yang tak seharusnya ada di hutan ini. Mesin-mesin yang menggali tanah, alat-alat yang menyakiti bumi. Hutan ini terluka. Tapi bukan hanya pohon yang terluka, hati manusia pun.”
Dresta dan Damar saling bertukar pandang. “Apa yang bisa kita lakukan, Pak?” tanya Dresta, suara penuh harap.
Pak Lurah tersenyum getir. “Ada satu tempat di hutan, sebuah gua kecil yang sangat jarang orang temui. Hanya beberapa orang yang tahu tentang itu. Di sana, ada sesuatu yang bisa membantu kalian. Tapi kalian harus hati-hati, karena tak semua yang datang dari sana bisa kembali dengan selamat.”
Damar mengerutkan kening. “Apa itu, Pak?”
“Sebuah suara,” kata Pak Lurah, suaranya kini lebih tenang. “Suara yang bisa memanggil hutan, sebuah suara yang telah lama hilang. Kalau kalian bisa menemukannya, kalian akan tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hutan ini. Tapi hati-hati, suara itu tidak akan datang begitu saja. Ia hanya akan berbicara pada mereka yang benar-benar mendengarkan.”
Dresta dan Damar saling memandang. Tugas mereka semakin jelas, namun bahaya yang mengintai di balik suara misterius itu membuat mereka ragu.
“Bagaimana kami bisa menemukannya?” tanya Dresta, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Pak Lurah menatap mereka satu detik lebih lama. “Dengan mendengarkan, dan dengan hati yang penuh keberanian.”
Suara yang Mengubah Takdir
Keesokan harinya, Damar dan Dresta bangun lebih awal, langkah kaki mereka berat, tetapi tekad di hati semakin jelas. Setelah berbicara dengan Pak Lurah semalam, mereka tahu satu hal: hutan tidak akan memberi mereka jawaban begitu saja. Mereka harus siap untuk menerima kenyataan yang bisa mengubah segalanya—tentang hutan, tentang manusia, dan tentang diri mereka sendiri.
Mereka memasuki kawasan hutan yang lebih dalam dari sebelumnya. Rasa cemas masih menggantung di udara, seperti angin yang menerpa daun-daun tinggi di atas mereka. Damar memimpin jalan, tangan yang kuat memegang peta usang yang diberikan Pak Lurah. Setiap langkah mereka seolah membawa mereka lebih dekat ke sesuatu yang tak bisa dipahami sepenuhnya, namun di sisi lain, mereka tahu mereka tidak bisa mundur.
“Ini sudah dekat, Damar,” ujar Dresta, suaranya bergetar meski berusaha terlihat tenang. “Aku bisa merasakannya.”
Damar tidak menjawab, namun langkahnya semakin cepat. Mereka berjalan menyusuri jalur setapak yang semakin sempit, terkadang harus merangkak untuk melewati semak-semak tebal. Suara alam di sekitar mereka seperti semakin memudar, dan yang ada hanya suara langkah kaki mereka yang berderak di tanah yang kering. Hutan itu, yang selama ini penuh dengan kehidupan, kini terasa seperti sesuatu yang terluka, menunggu untuk disembuhkan.
Setelah beberapa jam berjalan, mereka akhirnya tiba di tempat yang dimaksud Pak Lurah—sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik bebatuan besar. Di depan gua itu, terdapat sebuah patung kuno yang sudah lapuk dimakan waktu. Damar berhenti, menatap gua itu dalam diam.
“Jadi, ini tempatnya,” kata Damar pelan.
Dresta mengangguk, matanya berkilat penuh tekad. “Ini adalah satu-satunya cara kita bisa menyelamatkan hutan ini.”
Mereka melangkah masuk ke dalam gua. Begitu masuk, suasana terasa dingin dan gelap. Hanya ada sedikit cahaya dari celah-celah batu yang memancar ke dalam gua, memberi mereka sedikit panduan. Hati Damar berdebar kencang, tetapi ia terus melangkah. Sesekali, ia merasakan aliran udara yang aneh, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam gua itu.
Di dalam gua, mereka menemukan sebuah ruang terbuka, dengan sebuah batu besar di tengahnya. Batu itu tidak biasa—terlihat sangat tua, penuh dengan simbol-simbol yang sudah hampir terhapus. Di atas batu itu, ada sesuatu yang berkilauan, seperti permata yang menyala dalam kegelapan.
“Apa itu?” Dresta bertanya, matanya terfokus pada cahaya yang memancar dari batu itu.
“Ini…” Damar mendekati batu itu, tangannya terulur untuk menyentuh permata yang bersinar. “Ini adalah pusatnya… Suara yang dimaksud oleh Pak Lurah.”
Begitu tangannya menyentuh permata itu, suara yang dalam, namun penuh dengan kekuatan, bergema di dalam gua. Suara itu tidak berasal dari tempat manapun yang bisa mereka lihat. Suara itu datang dari dalam bumi, dari akar pohon yang terdalam, dari air yang mengalir di bawah tanah.
Damar merasakan sensasi aneh di tubuhnya—seperti ada sesuatu yang hidup bergerak melalui darahnya. Ia terdiam, membiarkan suara itu menyusup ke dalam dirinya, mendengarkan tiap nada yang mengalun. Dan di tengah keheningan yang mencekam itu, ia mendengar kata-kata yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata biasa. Bukan kata, tapi sebuah pesan yang sangat kuat.
“Hutan akan mati… kalau manusia tidak mendengarkan. Hutan akan hidup… kalau manusia mendengar dengan hati.”
Suara itu mengalir dalam jiwa Damar, seakan memberi tahu segalanya tentang kesalahan yang telah dilakukan umat manusia. Kerusakan yang mereka ciptakan bukan hanya pada pohon, tanah, atau air. Kerusakan itu terjadi pada hubungan mereka dengan alam, pada kelalaian mereka terhadap suara-suara yang mengingatkan mereka tentang pentingnya menjaga keseimbangan.
Damar menutup matanya, berusaha menangkap pesan itu lebih dalam. Ia merasakan aliran energi yang luar biasa melalui tubuhnya, seperti ada kekuatan besar yang datang dari akar pohon yang jauh di bawah sana, dari seluruh alam yang tengah berperang untuk bertahan hidup. Suara itu tidak hanya mengingatkan, tetapi juga mengajak mereka untuk bertindak.
“Ini saatnya,” kata Dresta dengan suara bergetar. “Kita tidak bisa biarkan suara ini hilang begitu saja.”
Damar membuka matanya, dan di sana, di dalam gua yang penuh misteri ini, ia merasakan suatu keberanian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada lagi keraguan.
Mereka kembali ke luar gua, dan Damar memandang ke langit yang kini mulai menggelap. Dengan tangan yang gemetar, ia memegang rekaman suara di lehernya. “Kita akan bawa suara ini ke dunia luar, Dresta. Mereka harus mendengar.”
Dresta menatapnya dengan tatapan penuh harapan. “Kita akan memberitahukan dunia apa yang telah kita dengar. Dunia harus tahu bahwa suara hutan ini… tidak bisa lagi diabaikan.”
Mereka berjalan keluar dari hutan itu, membawa pesan yang lebih besar dari sekadar laporan atau bukti. Mereka membawa suara yang telah lama hilang, suara yang harus didengar, dan dunia yang harus berubah. Perjalanan mereka bukan hanya untuk menyelamatkan hutan—tetapi untuk memberi kesempatan pada manusia untuk mendengarkan kembali suara yang telah mereka lupakan.
Dan dengan setiap langkah mereka, mereka tahu bahwa perubahan tidak akan datang dengan mudah. Tapi mereka juga tahu, suara merdeka dari alam tidak akan pernah diam. Selama mereka masih mendengarkan, alam akan selalu berbicara, dan manusia akhirnya akan mendengarnya.
Mungkin kita nggak bisa mengubah semuanya dalam sekejap, tapi kalau suara alam udah mulai didengerin, langkah kecil itu bisa jadi awal dari perubahan besar.
Jadi, mulai sekarang, coba deh lebih peka sama suara sekitar kita—karena siapa tahu, alam lagi berbisik sesuatu yang penting buat kita. Jangan biarin hutan ini kehilangan suaranya lagi, ya?