Si Tukang Pamer dan Kucing Belang Tiga: Kisah Lucu Penuh Pelajaran

Posted on

Pernah punya temen yang hobinya pamer? Apa-apa dipamerin, apa-apa diceritain kayak dia orang paling kece di dunia. Nah, kalau belum, kenalin: Damar. Bocah yang paling jago bikin orang tepuk jidat gara-gara kebiasaan pamernya yang nggak ada rem. Tapi, kali ini pamerannya kelewatan—sampai-sampai satu sekolah ngakak nggak berhenti. Kok bisa? Simak aja kisahnya, dijamin nggak bakal nyesel baca!

 

Kisah Lucu Penuh Pelajaran

Damar, Sang Raja Pamer

SD Pelangi Ceria punya satu murid yang terkenal bukan karena nilai akademiknya, bukan juga karena prestasi di olahraga, melainkan karena satu kebiasaan yang bikin banyak anak geleng-geleng kepala—pamer!

Namanya Damar Prima Anggara, anak kelas lima yang selalu punya sesuatu untuk dipamerkan. Entah itu barang mahal, barang langka, atau sekadar barang biasa yang dia buat seolah-olah luar biasa. Kalau diibaratkan, Damar ini kayak salesman tanpa gaji—selalu promosiin barang yang dia punya ke semua orang.

Hari Senin, dia pamer sepatu yang katanya “ringan banget sampai kayak nggak pakai sepatu.” Selasa, dia pamer jam tangan yang bisa nyala dalam gelap “kayak alat mata-mata.” Rabu, dia bawa komik edisi terbatas yang “cuma seratus di dunia.” Pokoknya, kalau ada sesuatu yang keren, dia pasti bawa dan pamerin ke sekolah.

Dan parahnya, setiap dia pamer, ada aja yang percaya

Hari itu, saat istirahat pertama, Damar sudah berdiri di tengah lapangan sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Beberapa anak langsung berkumpul, penasaran.

“Apa lagi tuh?” bisik Budi ke Reno.

“Nggak tahu, tapi lihat aja,” jawab Reno malas.

Damar mengangkat sebuah kartu sepak bola dengan ekspresi penuh kemenangan. “Lihat ini! Kartu Ronaldo edisi spesial. Cuma ada lima di seluruh dunia!” katanya, menggoyang-goyangkan kartunya seolah-olah itu benda paling berharga di bumi.

Lala memajukan wajahnya, mencoba melihat lebih dekat. “Serius, Mar? Kok kayak biasa aja?”

Damar terkekeh. “Makanya jangan asal nilai dari jauh, Lal. Ini kartu khusus yang cuma dikasih ke orang-orang penting. Aku dapat ini dari pamanku yang kerja di luar negeri.”

Siska mengangkat alis. “Terus kenapa dikasih ke kamu?”

“Karena aku spesial,” jawab Damar santai.

Budi dan Reno saling berpandangan, menahan tawa. Dari sekian banyak alasan pamer yang pernah mereka dengar dari Damar, yang satu ini benar-benar absurd.

“Aku boleh lihat?” tanya Reno, mengulurkan tangan.

Damar langsung mundur selangkah. “Nggak bisa! Pegang aja pake mata!”

“Astaga, Mar…” Lala memutar bola matanya.

Sebenarnya, teman-temannya sudah paham betul cara kerja Damar. Dia pamer, mereka pura-pura tertarik, terus akhirnya mereka capek sendiri. Begitu terus tiap hari.

Belum selesai heboh soal kartu sepak bola, Damar tiba-tiba mengeluarkan pulpen berwarna emas dari sakunya.

“Dan ini… pulpen anti gagal!” katanya, menyodorkannya ke depan wajah Reno.

Reno berkedip, bingung. “Anti gagal gimana?”

“Ya, kalau kamu pakai ini, tulisanmu bakal selalu bagus dan nggak bakal pernah ada coretan. Aku pakai ini waktu ulangan, dan tulisanku rapi banget. Nggak mungkin ada yang salah.”

Siska melipat tangan di dada. “Tunggu, Mar. Maksud kamu, pulpen ini bikin jawabanmu jadi benar terus?”

Damar tersenyum penuh arti. “Nggak juga sih… tapi setidaknya bikin guru lebih seneng bacanya!”

“Jadi tetap bisa salah?” tanya Reno.

“Ya… bisa sih.”

“Terus apa gunanya?!” pekik Budi, frustasi.

Damar mengangkat bahu. “Tetap keren, kan?”

Anak-anak hanya bisa menghela napas.

Tapi begitulah Damar. Kalau ada sesuatu yang bisa dipamerkan, sekecil apa pun itu, dia pasti akan melakukannya. Dan anehnya, meskipun mereka tahu Damar ini spesialis pamer, mereka tetap aja penasaran tiap kali dia datang dengan barang baru.

Dan yang mereka nggak tahu, besok Damar bakal bawa sesuatu yang lebih heboh dari biasanya. Sesuatu yang bakal bikin dia kena batunya sendiri.

 

Majalah Super Spesial

Keesokan paginya, Damar berjalan ke sekolah dengan senyum kemenangan. Tangan kanannya erat menggenggam tas, sementara tangan kirinya menempel di dada seolah-olah dia sedang membawa sesuatu yang lebih berharga dari sekadar rapor merahnya sendiri.

Begitu sampai di kelas, dia langsung duduk dengan gaya paling eksklusif—kaki disilangkan, dada sedikit dibusungkan, dan pandangan penuh misteri. Pokoknya, gayanya udah kayak orang paling penting di sekolah.

Beberapa anak memperhatikan, tapi belum ada yang berani bertanya. Mereka sudah paham strategi Damar: dia nggak bakal langsung pamer. Dia bakal menunggu sampai ada yang kepancing buat bertanya.

Dan benar saja. Lima menit kemudian, jebakan berhasil.

“Ada apaan sih, Mar?” tanya Reno akhirnya, nggak tahan melihat ekspresi sok rahasia Damar.

Damar tersenyum, ekspresi khas sebelum dia pamer sesuatu. Dengan perlahan, dia menarik sesuatu dari dalam tasnya…

Sebuah majalah anak-anak.

Tapi tunggu dulu—ini bukan majalah biasa.

Menurut Damar, ini adalah majalah super spesial, edisi terbatas, dan belum dirilis di mana pun!

“Bukannya itu cuma majalah biasa?” kata Budi, menyipitkan mata.

Damar langsung mendekap majalahnya erat, seolah-olah dia baru saja dihina karena membawa berlian ke sekolah. “Biasa?! Ini edisi rahasia yang belum dijual di mana-mana, Bud! Aku dapat ini langsung dari kakakku yang kerja di percetakan!”

Beberapa anak mulai mendekat, penasaran.

“Serius, Mar? Kok bisa dapet?” tanya Lala.

Damar menghela napas seolah-olah sedang menjelaskan sesuatu yang terlalu canggih untuk orang biasa. “Jadi gini… Majalah ini baru akan terbit minggu depan, tapi karena aku punya koneksi, aku bisa dapet lebih dulu.”

Siska mengambil majalah itu dan membolak-balik halamannya. “Hmm… kok kayaknya biasa aja?”

“Biasa dari mananya?! Coba lihat halaman lima!” kata Damar penuh semangat.

Siska membuka halaman lima. Isinya? Artikel tentang cara melipat kertas jadi burung bangau.

“Dan?” tanya Siska, menunggu sesuatu yang luar biasa.

“Ya itu! Artikel itu belum ada di edisi yang lain! Ini konten eksklusif!” kata Damar, penuh percaya diri.

Budi, Reno, dan beberapa anak lain saling berpandangan. “Ehm… tapi kan tiap edisi pasti ada artikel baru?” kata Reno ragu-ragu.

Damar langsung memasang ekspresi seolah-olah mereka semua nggak ngerti konsep ‘spesial’. “Iya, tapi ini spesial banget!” katanya, menekankan kata “banget” dengan penuh keyakinan.

Reno cuma bisa garuk-garuk kepala. “Yaudah deh, Mar.”

Yang lain akhirnya cuma mengangguk-angguk, malas berdebat. Mau dibilang spesial atau nggak, pokoknya Damar tetap Damar.

Tapi siapa sangka, majalah ini justru akan membawa bencana besar buat Damar? Sesuatu yang bakal bikin dia malu bukan main.

Dan itu semua… gara-gara seekor kucing jahil.

 

Kucing Jahat Pembongkar Rahasia

Saat istirahat siang, Damar duduk di bangku kantin dengan majalah “spesial”-nya yang selalu ia jaga seperti harta karun. Dia sengaja duduk di tempat strategis—di bawah pohon besar dekat kantin, tempat banyak anak berkumpul. Tujuannya? Supaya semua orang bisa melihat kalau dia punya sesuatu yang “nggak bisa dimiliki orang lain.”

Namun, nasib berkata lain.

Sebuah suara “MEONG!” keras terdengar dari balik tong sampah. Seekor kucing belang tiga tiba-tiba melompat ke meja Damar dan menyerang majalah itu tanpa ampun.

“CIAATT!”

Dengan refleks ninja, Damar menarik majalahnya ke dada. Terlambat. Sudah ada bekas cakar kucing di sampulnya.

“Astaga, Mar! Kucing aja nggak suka majalahmu!” tawa Reno.

Siska dan Lala ikut tertawa. “Mungkin dia mau baca duluan, Mar. Kan katanya spesial!”

Damar kesal, tapi sebelum dia sempat protes, kucing itu malah berulah lebih parah.

Dengan gerakan lincah, si kucing menggigit ujung majalah Damar dan langsung kabur.

“WOI! BALIKIN!” Damar berteriak panik.

Seketika, suasana kantin jadi heboh. Anak-anak yang tadi nggak peduli, sekarang ikut bersorak. Kucing bawa majalah lari? Ini tontonan gratis!

Damar langsung ngegas mengejar si kucing. Langkahnya terburu-buru, napasnya ngos-ngosan, dan wajahnya penuh amarah.

“Kembalikan majalahku, dasar maling berkaki empat!”

Si kucing berlari ke arah taman dekat lapangan, lompat ke bangku kayu, lalu “CEMPLANG!” majalah itu jatuh ke tanah, halaman-halamannya terbuka karena angin.

Dan di sanalah momen kehancuran total Damar terjadi.

Reno, Budi, Siska, dan Lala yang ikut mengejar langsung melihat sesuatu yang aneh.

“Eh…” Reno menatap halaman majalah yang terbuka.

Lala membungkuk, membaca lebih dekat. “Ini…”

Siska langsung menoleh ke Damar, matanya penuh kecurigaan.

Damar ikut melihat halaman majalahnya dan langsung pucat.

Di bagian pojok halaman lima, ada tulisan kecil yang selama ini luput dari perhatiannya:

“Edisi Cetak Percobaan – Hanya untuk Distribusi Internal. Bukan untuk Publikasi.”

Damar nyaris pingsan.

“Jadi…” Reno menyilangkan tangan di dada. “Majalah ‘spesial’ kamu ini sebenernya cuma versi uji coba dari majalah yang belum jadi?”

Damar menelan ludah. “E-eh…”

Budi tertawa lepas. “Astaga, Mar! Ini tuh bukan edisi langka, bukan eksklusif, apalagi belum terbit di mana-mana! Ini cuma versi coba-coba!”

Siska dan Lala ikut ngakak. “Pantesan tadi ada beberapa halaman yang kosong. Aku kira sengaja biar dramatis!”

Damar benar-benar mati kutu. Untuk pertama kalinya, senjata pamungkasnya—kepedean luar biasa—nggak bisa menyelamatkan dia.

“Y-yang penting tetap lebih dulu dari yang lain…” katanya, mencoba membela diri.

Reno tepuk jidat. “Mar, kalau majalahnya aja belum layak terbit, berarti kamu bukan lebih dulu. Kamu cuma… lebih dulu tertipu!”

Anak-anak lain ikut tertawa. Bahkan, beberapa yang biasanya malas nanggepin pameran Damar kali ini ikut menikmati momen langka ini.

Dan Damar?

Dia hanya bisa duduk diam, menyesali keputusannya memamerkan majalah itu.

Si kucing belang tiga, si dalang utama di balik kekacauan ini, cuma duduk santai di bangku taman, menjilati kakinya, seolah-olah dia tahu bahwa dia baru saja menyelamatkan dunia dari satu lagi pameran besar Damar.

Tapi apakah ini akhir dari pameran Damar?

Tentu tidak.

Karena besok… dia sudah siap dengan sesuatu yang baru.

 

Kembalinya Sang Tukang Pamer

Keesokan harinya, suasana kelas terasa lebih tenang dan damai dari biasanya.

Kenapa?

Karena Damar belum pamer apa pun pagi ini.

Biasanya, sebelum bel masuk berbunyi, dia sudah mondar-mandir dengan benda super langka, entah itu komik edisi terbatas, pena yang katanya cuma dijual di Jepang, atau sepatu yang “cuma ada lima pasang di dunia.” Tapi pagi ini… sunyi.

Siska menatap Reno dan Budi. “Damar sakit, ya?” bisiknya.

Budi mengangkat bahu. “Mungkin lagi instropeksi diri setelah kejadian majalah kemarin?”

Sementara itu, Damar duduk di bangkunya dengan wajah penuh misteri. Dia sesekali melirik jam, senyum-senyum sendiri, lalu membolak-balik isi tasnya. Ada sesuatu yang dia sembunyikan.

Saat bel istirahat berbunyi, Damar akhirnya bangkit. Dengan langkah penuh percaya diri, dia menuju ke tengah kelas dan mengeluarkan sesuatu dari tasnya dengan gerakan dramatis.

“Hari ini,” katanya lantang. “Aku membawa sesuatu yang… lebih spesial dari kemarin!”

Anak-anak langsung menoleh.

Reno menyilangkan tangan. “Oh tidak, dia kambuh.”

Budi menghela napas. “Apa lagi nih, Mar?”

Damar mengangkat sebuah kotak kecil warna hitam. Dengan gaya presenter TV, dia berkata, “Ini adalah earphone bluetooth terbaru dari Amerika! Belum dijual di Indonesia! Aku satu-satunya orang yang punya di sekolah ini!”

Siska menyipitkan mata. “Serius, Mar? Mana coba?”

Damar membuka kotaknya dengan senyum penuh kemenangan.

Namun begitu dia melihat isinya…

Matanya langsung membelalak.

Karena di dalam kotak itu… isinya kosong.

Anak-anak langsung mendekat. “Eh, mana earphonenya?”

Damar mulai panik. “H-harusnya ada di sini! Aku baru beli kemarin! Aku udah pamer ke abang tukang bakso di depan rumah!”

Lala menahan tawa. “Jangan-jangan… kamu lupa naruh?”

Damar langsung membongkar tasnya, merogoh kantong, bahkan melihat ke kolong meja. Nihil. Earphone itu menghilang entah ke mana.

Dan saat itulah… Reno menemukan sesuatu.

“Eh, Mar…” Reno menunjuk bagian belakang kotak. Ada sebuah stiker kecil bertuliskan:

“Kotak Dummy – Hanya untuk Display.”

Anak-anak langsung pecah ngakak.

“DAMAR! INI CUMA KOTAK CONTOH BUAT DIPAJANG DI TOKO!” teriak Budi sambil terpingkal-pingkal.

Damar melongo. “T-tapi abang toko bilang ini barang spesial…”

Siska ketawa sambil tepuk jidat. “Iya, spesial buat display!”

Lala nyengir. “Mar, kamu nggak cuma tukang pamer, tapi juga tukang kena tipu!”

Sementara anak-anak lain tertawa sampai perut mereka sakit, Damar hanya bisa duduk lemas, memandangi kotak kosong di tangannya.

Setelah kejadian earphone kosong itu, Damar akhirnya mulai insaf… sedikit.

Dia masih suka pamer—itu sudah sifat bawaannya. Tapi setidaknya, dia mulai lebih hati-hati sebelum mengklaim sesuatu sebagai barang super langka.

Dia masih sesekali mencoba sok keren di depan teman-temannya, tapi kalau mereka menatapnya dengan tatapan “beneran nggak nih, Mar?” dia langsung buru-buru ngecek dulu barangnya.

Dan yang paling penting…

Si kucing belang tiga, pahlawan tanpa tanda jasa dalam insiden majalah kemarin, masih berkeliaran di sekitar sekolah.

Setiap kali Damar mulai terlalu bersemangat pamer, anak-anak selalu mengingatkan:

“Inget, Mar… kucing belang tiga selalu mengawasi!”

Dan setiap kali itu juga, Damar langsung menutup mulut dan duduk manis.

 

Sejak insiden kotak kosong yang bikin malu seumur hidup, Damar mulai agak sadar diri (walaupun tetep suka pamer dikit-dikit). Tapi yang jelas, sekarang dia lebih mikir sebelum ngumbar cerita. Dan satu hal yang pasti: kucing belang tiga di sekolah tetap jadi legenda.

Leave a Reply