Daftar Isi
Si Miskin Bersekolah: Perjuangan Meraih Cahaya di Tengah Kegelapan adalah cerpen yang menyentuh hati, mengisahkan perjuangan Lila, seorang anak miskin yang bertarung melawan kemiskinan demi mempertahankan mimpinya menjadi guru. Dengan latar kampung terpencil yang penuh tantangan, cerita ini membawa Anda ke dalam perjalanan emosional yang penuh ketabahan, kesedihan, dan harapan, menjadikan pendidikan sebagai lentera yang menerangi kegelapan hidupnya. Temukan bagaimana ketekunan Lila menginspirasi, sebuah kisah wajib dibaca untuk membangkitkan semangat Anda.
Si Miskin Bersekolah
Jejak Kaki di Pagi Kelam
Di sebuah kampung kecil bernama Mekar Sari, yang tersembunyi di antara perbukitan tandus dan sawah-sawah kering, pagi selalu datang dengan kesunyian yang menusuk. Langit masih kelabu, baru saja disentuh sinar fajar yang malu-malu, ketika seorang anak perempuan bernama Lila membuka mata. Ia bangun dari tidur di atas tikar pandan yang sudah usang, di sudut gubuk reot yang menjadi rumah satu-satunya bagi keluarganya. Dinding gubuk itu terbuat dari anyaman bambu yang sudah rapuh, penuh celah-celah yang membiarkan angin dingin malam menyelinap masuk. Atapnya, yang terbuat dari daun kelapa kering, sering bocor saat hujan, meninggalkan genangan air di lantai tanah yang tak pernah kering sepenuhnya.
Lila, gadis berusia 13 tahun, memiliki mata yang besar dan jernih, penuh dengan kilau harapan meski wajahnya sering kali pucat karena lapar. Rambutnya yang hitam legam diikat sederhana dengan tali rafia bekas, dan bajunya yang usang—kemeja putih tua yang sudah kekuningan—adalah seragam sekolah satu-satunya yang ia miliki. Di sudut gubuk, ibunya, Mbok Tini, sedang menjerang air di tungku kayu untuk membuat teh pahit, satu-satunya “sarapan” yang mereka miliki hari ini. Ayah Lila sudah lama tiada, meninggal karena kecelakaan saat bekerja sebagai kuli bangunan tiga tahun lalu. Sejak itu, Mbok Tini menjadi tulang punggung keluarga, bekerja sebagai buruh tani dan mengumpulkan kayu bakar untuk dijual, meski pendapatannya tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Lila, cepet siap-siap. Jangan sampai telat ke sekolah,” ujar Mbok Tini dengan suara serak, matanya menatap anaknya dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah. Ia tahu betapa Lila mencintai sekolah, tapi ia juga tahu betapa sulitnya mempertahankan itu. Sekolah Dasar (SD) Mekar Jaya, tempat Lila belajar, berjarak empat kilometer dari rumah, dan Lila harus berjalan kaki setiap hari, melewati jalan tanah yang berlumpur saat hujan dan berdebu saat kemarau. Sepatu Lila sudah lama rusak, dan ia hanya mengenakan sandal jepit bekas yang sering putus talinya, membuatnya sering berjalan tanpa alas kaki di sebagian perjalanan.
Lila mengangguk, berdiri dengan cepat meski tubuhnya terasa lelet karena kurang tidur. Semalam, ia membantu ibunya mengikat kayu bakar hingga tengah malam, baru setelah itu ia belajar di bawah cahaya lampu minyak yang redup. Buku pelajaran matematika yang ia pinjam dari sekolah tergeletak di samping tikar, penuh coretan tangan kecilnya yang berusaha memahami soal-soal perkalian. Sekolah, baginya, bukan sekadar tempat belajar membaca dan menulis. Itu adalah harapannya, jalan keluar dari kemiskinan yang telah menjebak keluarganya selama bertahun-tahun. Ia bermimpi menjadi guru, seseorang yang bisa mengajarkan anak-anak miskin seperti dirinya, memberikan mereka harapan yang ia perjuangkan setiap hari.
Setelah meminum teh pahit yang terasa hambar, Lila mengenakan seragamnya yang sudah lusuh. Ia mengambil tas kain tua yang dulu milik ayahnya, menyelipkan buku matematika dan pensil pendek yang sudah ia raut hingga hampir habis. Di luar, embun pagi masih menempel di ujung-ujung rumput, dan udara terasa dingin menyengat kulitnya yang terbuka. Ia melangkah keluar, menatap langit yang perlahan mulai terang, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap kuat, meski perutnya keroncongan dan kakinya terasa lelet.
Perjalanan menuju SD Mekar Jaya terasa lebih berat hari ini. Jalan tanah yang ia lalui penuh dengan genangan lumpur sisa hujan semalam, dan sandal jepitnya sering tersangkut di tanah yang lengket. Ia melewati sawah-sawah kering, tempat para petani mulai bekerja dengan wajah penuh lelah. Di kejauhan, ia melihat teman-temannya, Ani dan Bima, berjalan bersama, mengenakan sepatu kets yang masih utuh dan seragam yang lebih rapi. Mereka melambai, memanggil Lila untuk bergabung, tapi Lila hanya tersenyum kecil dan terus berjalan dengan langkah cepat. Ada jurang tak terucap antara dirinya dan teman-temannya—jurang yang diciptakan oleh kemiskinan dan tanggung jawab yang terlalu besar untuk usianya.
Sesampainya di sekolah, halaman SD Mekar Jaya sudah ramai. Bangunan sekolah itu sederhana, dengan dinding cat putih yang mengelupas dan atap seng yang berkarat di beberapa bagian. Di sudut halaman, Bu Wulan, guru kelas lima yang juga wali kelas Lila, sedang menyapa anak-anak dengan senyum hangat. Bu Wulan adalah sosok yang selalu memberikan semangat pada Lila, sering kali meminjamkan buku-buku pelajaran dan memberikan roti sisa dari bekal anak-anak lain saat tahu Lila belum makan. “Lila, kamu terlambat lagi. Cepat masuk, kita mulai pelajaran,” kata Bu Wulan lembut, tapi matanya penuh perhatian saat melihat wajah pucat Lila.
Lila duduk di bangku kayu di baris belakang, dekat jendela yang menghadap ke sawah. Ia mengeluarkan buku matematika dan pensilnya, mencoba fokus meski pikirannya terus melayang ke rumah—ke ibunya yangthe floor, wondering if she had enough energy to make it through the day. Matematika dimulai, dan Bu Wulan mulai menjelaskan soal-soal perkalian sederhana, tapi Lila merasa kepalanya pening. Perutnya yang kosong membuatnya sulit berkonsentrasi, dan tangannya gemetar saat mencoba menulis. Di sampingnya, Ani, yang selalu baik hati, melirik dengan cemas. “Lila, kamu nggak apa-apa? Kok pucat?” bisiknya. Lila menggeleng, “Nggak apa-apa, Ni. Aku cuma capek,” dustanya, tak ingin temannya tahu bahwa ia belum makan sejak kemarin sore.
Sore itu, sepulang sekolah, Lila duduk di tepi sawah, menatap matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Langit berwarna jingga, mencerminkan harapan yang ia coba pertahankan. Ia memegang buku matematika yang sudah penuh coretan, dan berjanji pada dirinya sendiri, “Aku harus tetap sekolah. Aku harus jadi guru.” Tapi di hatinya, ia tahu perjalanan itu masih panjang, dan kegelapan hidupnya belum usai.
Rintangan di Pagi yang Kelabu
Pagi di kampung Mekar Sari terasa lebih kelam dari biasanya, seolah langit ikut merasakan beban yang dipikul Lila. Kabut tebal menyelimuti pematang sawah, membuat jalan setapak menuju SD Mekar Jaya tampak seperti lorong yang penuh misteri. Lila melangkah dengan hati-hati, sandal jepit bekasnya sering tersangkut di lumpur sisa hujan semalam. Tas kain tua di bahunya terasa lebih berat hari ini, bukan karena buku-buku lusuh di dalamnya, tetapi karena pikiran yang terus berputar di kepalanya. Semalam, ia mendengar ibunya, Mbok Tini, berbicara dengan tetangga tentang utang yang belum terbayar—utang yang membuat mereka terancam kehilangan gubuk kecil mereka, satu-satunya tempat berlindung yang mereka miliki.
Lila berjalan melewati sawah-sawah kering yang mulai ditanami padi, meski musim kemarau membuat tanah retak-retak seperti kulit tua yang pecah. Aroma tanah basah bercampur bau daun-daun kering mengisi udara, membawa kenangan akan hari-hari ia membantu ibunya mengumpulkan kayu bakar di hutan kecil dekat kampung. Di kejauhan, ia melihat Ani dan Bima, teman sekelasnya, berjalan bersama dengan tawa kecil yang terdengar samar di balik kabut. Mereka mengenakan sepatu kets yang masih utuh dan seragam yang jauh lebih rapi dibandingkan milik Lila. Ani melambai, “Lila! Ayo cepet, nanti telat!” serunya, tapi Lila hanya tersenyum tipis dan mempercepat langkahnya. Ia tak ingin teman-temannya tahu betapa beratnya langkahnya pagi ini, bukan hanya karena jalan yang licin, tetapi juga karena beban di hatinya.
Sesampainya di SD Mekar Jaya, halaman sekolah sudah mulai ramai. Anak-anak berlarian dengan riang, beberapa di antaranya mengobrol tentang mainan baru yang mereka dapatkan dari orang tua. Bangunan sekolah dengan dinding cat putih yang mengelupas dan atap seng berkarat berdiri di tengah lapangan berdebu, dikelilingi pohon mangga tua yang daunnya bergoyang pelan diterpa angin. Lila masuk ke kelas, duduk di bangku kayu di baris belakang, dekat jendela yang menghadap sawah. Ia mengeluarkan buku matematika dan pensil pendeknya, mencoba fokus meski perutnya masih keroncongan. Teh pahit yang ia minum pagi tadi tak cukup mengisi tenaga, dan ia merasa kepalanya sedikit pening.
Pelajaran dimulai dengan mata pelajaran bahasa Indonesia, diajarkan oleh Bu Wulan, guru yang selalu lembut namun tegas. Bu Wulan menjelaskan tentang membuat karangan sederhana, dan Lila mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia suka menulis, sering mencurahkan perasaannya di buku catatan tua yang ia sembunyikan di bawah tikar. “Hari ini kita akan menulis karangan tentang ‘Impianku’,” ujar Bu Wulan dengan senyum, membuat mata Lila berbinar. Ia langsung mengambil pensilnya, menulis dengan hati-hati meski tangannya gemetar karena lelet. “Aku ingin menjadi guru, supaya anak-anak miskin seperti aku bisa belajar dan punya harapan,” tulisnya, setiap kata terasa seperti doa yang ia panjatkan.
Namun, di tengah konsentrasinya, pikirannya melayang ke percakapan ibunya dengan tetangga semalam. “Kalau utang ini nggak dilunasi, gubuk kita bisa diambil, Tini,” kata tetangga itu dengan nada prihatin. Mbok Tini hanya diam, tapi Lila tahu ibunya menangis setelah tetangga itu pergi. Lila menunduk, air matanya hampir jatuh ke kertas karangannya, tapi ia buru-buru mengusapnya. Ia tak ingin Bu Wulan atau teman-temannya melihatnya menangis. Di sampingnya, Ani melirik dengan cemas. “Lila, kamu kenapa? Kok diam aja?” bisiknya. Lila menggeleng, “Nggak apa-apa, Ni. Aku cuma mikir,” dustanya, meski hatinya terasa sesak.
Istirahat tiba, dan Lila memilih duduk sendirian di bawah pohon mangga tua, menatap buku karangannya seolah mencari jawaban atas hidupnya. Tiba-tiba, Bu Wulan mendekat, membawa sepotong roti kecil yang dibungkus kertas. “Lila, kamu belum makan, kan? Ambil ini, biar kamu kuat belajar,” katanya lembut, matanya penuh perhatian. Lila ragu-ragu, tapi akhirnya menerima roti itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Bu,” gumamnya, air matanya akhirnya jatuh. Ia merasa malu, tapi juga bersyukur atas kebaikan Bu Wulan. Roti itu terasa seperti penyelamat, meski tak cukup menghapus rasa lapar yang sudah menggerogoti perutnya sejak kemarin.
Sore itu, sepulang sekolah, Lila tak langsung pulang. Ia berhenti di tepi sawah, tempat ia sering melamun, dan duduk di atas batu besar. Matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga dan merah muda. Di tangannya, ia memegang buku karangan yang baru saja ia selesaikan. Tulisannya tentang mimpinya menjadi guru terasa begitu jauh, tapi juga begitu nyata. Ia membayangkan dirinya berdiri di depan kelas, mengajar anak-anak miskin seperti dirinya, memberikan mereka harapan yang ia perjuangkan setiap hari. Tapi bayangan itu segera memudar ketika ia teringat gubuk mereka yang terancam diambil, dan ibunya yang semakin tua sebelum waktunya.
Langkah kaki mendekat memecah lamunannya. Itu Ani, dengan senyum kecil dan sebotol air di tangannya. “Lila! Aku cari kamu tadi! Kok nggak bilang kalau mau ke sini?” tanya Ani, duduk di sampingnya. Lila tersenyum tipis, “Aku cuma mau mikir, Ni. Banyak yang aku pikirin.” Ani memandangnya dengan mata penuh perhatian, lalu berkata, “Kamu pinter banget, Lila. Aku yakin kamu bisa jadi guru. Ceritain dong, ada apa?” Lila menunduk, jari-jarinya memainkan ujung buku karangannya. Akhirnya, dengan suara tercekat, ia menceritakan semuanya—tentang utang keluarganya, tentang gubuk yang mungkin hilang, dan tentang ketakutannya harus berhenti sekolah.
Ani diam sejenak, lalu memeluk Lila erat. “Kamu nggak boleh nyerah, Lila. Aku akan bantu, oke? Aku bilang ke ibuku, mungkin kita bisa bantu apa gitu,” katanya dengan tulus, meski Lila tahu itu tidak akan mudah. Hujan mulai turun rintik-rintik, dan kedua anak itu berteduh di bawah pohon kecil, berbagi sebotol air yang dibawa Ani. Di tengah hujan yang dingin, Lila merasa ada kehangatan kecil—persahabatan Ani, kebaikan Bu Wulan, dan mimpinya yang masih menyala di hati. Tapi di ujung lorong gelap itu, ia tahu rintangan yang lebih besar masih menantinya.
Harapan di Ujung Badai
Hari itu, Senin, 26 Mei 2025, pukul 09:03 WIB, langit di atas kampung Mekar Sari masih diselimuti awan kelabu, seolah ikut merasakan beban yang dipikul Lila. Hujan rintik-rintik dari malam sebelumnya meninggalkan genangan-genangan kecil di jalan setapak, membuat perjalanan Lila ke SD Mekar Jaya terasa lebih berat. Ia melangkah dengan hati-hati, sandal jepit bekasnya sering tersangkut di lumpur, dan seragam lusuhnya basah di beberapa bagian. Tas kain tua yang ia gendong terasa lebih berat hari ini, bukan karena buku-buku di dalamnya, tetapi karena pikiran yang terus berkecamuk. Ancaman kehilangan gubuk keluarganya, seperti yang ia dengar dari ibunya, masih menghantui, dan ia tahu bahwa berhenti sekolah mungkin menjadi satu-satunya pilihan jika utang itu tak terbayar.
Di dalam gubuk kecil mereka pagi tadi, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Mbok Tini duduk di sudut dengan wajah pucat, tangannya gemetar saat menjerang air untuk teh pahit. “Lila, Ibu nggak tahu caranya lagi. Pakde Sutejo bilang, kalau utang nggak lunas minggu depan, gubuk ini bakal diambil,” katanya dengan suara serak, matanya berkaca-kaca. Lila hanya diam, menunduk sambil memegang cangkir teh yang sudah dingin. Ia ingin menangis, tapi ia tahu itu tak akan membantu. “Aku akan cari cara, Mbok. Aku nggak mau kita kehilangan rumah,” ujarnya pelan, meski ia sendiri tak tahu bagaimana caranya. Ia harus berangkat ke sekolah, tapi hatinya terasa berat meninggalkan ibunya dalam keadaan seperti itu.
Perjalanan menuju sekolah terasa lebih sunyi hari ini. Sawah-sawah kering di kanan-kiri jalan tampak muram, padi-padi yang baru ditanam terlihat layu karena kekurangan air. Aroma tanah basah bercampur bau dedaunan basah mengisi udara, tapi tak mampu mengusir kegelisahan di hati Lila. Di kejauhan, ia melihat Ani dan Bima berjalan bersama, tawa mereka terdengar samar, tapi Lila tak punya semangat untuk menyapa. Ia hanya ingin sampai ke sekolah, tempat satu-satunya yang memberinya harapan, meski harapan itu terasa semakin jauh.
Sesampainya di SD Mekar Jaya, halaman sekolah sudah ramai dengan anak-anak yang berlarian. Bangunan sekolah dengan dinding cat putih yang mengelupas dan atap seng berkarat berdiri di tengah lapangan berdebu, dikelilingi pohon mangga tua yang daunnya bergoyang pelan diterpa angin. Lila masuk ke kelas, duduk di bangku kayu di baris belakang, dekat jendela yang menghadap sawah. Ia mengeluarkan buku catatannya, tapi pikirannya tak bisa fokus. Bu Wulan masuk dengan senyum hangat, membawa setumpuk kertas ulangan yang telah diperiksa. “Hari ini kita akan bahas hasil ulangan matematika kemarin,” ujarnya, suaranya penuh semangat.
Saat Bu Wulan menyebut nama Lila, kelas menjadi hening. “Lila, nilaimu 90. Paling tinggi di kelas. Selamat, ya!” kata Bu Wulan dengan bangga, membuat anak-anak lain bertepuk tangan. Lila tersenyum kecil, tapi di hatinya ia merasa kosong. Nilai tinggi itu terasa tak berarti jika ia harus berhenti sekolah. Bu Wulan melanjutkan, “Sebagai hadiah, sekolah akan memberikan beasiswa kecil untuk siswa berprestasi. Lila, kamu salah satu penerimanya. Ini mungkin bisa membantu keluargamu.” Mata Lila membelalak, air matanya hampir jatuh. Beasiswa itu bukan hanya tentang uang, tapi juga pengakuan bahwa perjuangannya selama ini dilihat, dihargai.
Setelah pelajaran selesai, Lila duduk sendirian di bawah pohon mangga tua, memegang surat pemberitahuan beasiswa yang diberikan Bu Wulan. Beasiswa itu mencakup pembebasan biaya sekolah dan tunjangan kecil sebesar 200 ribu rupiah per bulan—jumlah yang kecil, tapi sangat berarti baginya. Ia membayangkan bisa menggunakan uang itu untuk membantu ibunya melunasi utang, meski ia tahu itu tak cukup untuk menyelamatkan gubuk mereka. Tiba-tiba, Ani mendekat, membawa sepotong roti yang ia bagi dua. “Lila, aku seneng banget kamu dapet beasiswa! Ibu bilang kita bisa bantu sedikit, nanti aku bawa beras ke rumahmu, ya,” kata Ani dengan tulus, membuat Lila tersenyum meski hatinya tetap berat.
Sore itu, Lila pulang dengan langkah yang sedikit lebih ringan. Ia membawa kabar baik tentang beasiswa, berharap itu bisa meringankan beban ibunya. Sesampainya di gubuk, ia melihat Mbok Tini sedang duduk di depan pintu, wajahnya penuh kerutan dan matanya merah karena menangis. “Mbok, aku dapet beasiswa! Aku bisa bantu lunasin utang kita,” ujar Lila dengan semangat, menunjukkan surat itu. Mbok Tini memeluk anaknya erat, air matanya jatuh ke pundak Lila. “Kamu anak hebat, Lila. Ibu bangga,” katanya dengan suara tercekat, meski di hatinya ia tahu beasiswa itu tak cukup untuk melunasi utang mereka yang sudah menumpuk.
Malam itu, Lila duduk di bawah lampu minyak yang redup, menulis di buku catatannya. Ia menulis tentang mimpinya menjadi guru, tentang harapan yang ia genggam meski badai hidup terus mengguncang. Di luar, hujan mulai turun lagi, rintik-rintik air membasahi atap gubuk yang bocor, menetes ke lantai tanah. Lila menatap tetesan itu, hatinya dipenuhi campuran harapan dan ketakutan. Beasiswa itu adalah secercah cahaya di tengah kegelapan, tapi ia tahu badai yang lebih besar masih menanti—badai yang bisa merenggut gubuk mereka, dan mungkin juga mimpinya.
Cahaya yang Tak Padam
Pagi ini, Senin, 26 Mei 2025, pukul 09:06 WIB, sinar matahari mulai menembus kabut tipis yang menyelimuti kampung Mekar Sari, menciptakan kilau lembut di atas genangan air yang tersisa dari hujan semalam. Lila berdiri di halaman SD Mekar Jaya, tangannya gemetar memegang amplop cokelat yang baru saja diberikan Bu Wulan. Amplop itu berisi keputusan akhir dari beasiswa yang ia terima beberapa minggu lalu, dan jantungnya berdegup kencang seolah ingin meledak. Di sekitarnya, anak-anak sekolah berlarian dengan riang, beberapa di antaranya mengobrol tentang libur akhir pekan yang akan datang, tapi Lila hanya bisa fokus pada amplop di tangannya. Ini adalah momen penentu—momen yang bisa menyelamatkan gubuk keluarganya atau justru menghancurkan harapannya sepenuhnya.
Sejak menerima kabar beasiswa minggu lalu, Lila tak henti-hentinya berdoa. Tunjangan kecil sebesar 200 ribu rupiah per bulan yang ia terima sudah ia serahkan kepada Mbok Tini untuk membantu melunasi sebagian utang kepada Pakde Sutejo, tetangga yang meminjamkan uang saat ayahnya meninggal. Namun, utang yang tersisa masih besar—setidaknya dua juta rupiah—dan batas waktu pembayaran tinggal tiga hari lagi, tepat pada hari Kamis, 29 Mei 2025. Malam tadi, Lila mendengar ibunya menangis di sudut gubuk, berbisik pada dirinya sendiri tentang bagaimana ia akan menghadapi Pakde Sutejo jika gubuk itu benar-benar diambil. Lila tak bisa tidur, hanya menatap langit-langit anyaman bambu yang bocor, berdoa agar ada keajaiban.
Di halaman sekolah, Lila membuka amplop itu dengan tangan yang gemetar. Matanya membaca baris pertama, dan air matanya langsung jatuh. “Selamat, Lila Sari, Anda dinyatakan sebagai penerima beasiswa unggulan tingkat kabupaten dengan tambahan tunjangan sebesar 500 ribu rupiah per bulan selama satu tahun ke depan.” Sorak sorai meledak dari teman-temannya yang berkumpul di sekitarnya. Ani memeluknya erat, hampir membuatnya terjatuh. “Lila! Aku tahu kamu pasti bisa!” teriak Ani, matanya berkaca-kaca. Bu Wulan, yang berdiri di dekatnya, tersenyum hangat, “Kamu hebat, Lila. Ini hasil perjuanganmu,” katanya, suaranya penuh kebanggaan. Lila hanya bisa mengangguk, suaranya hilang di tengah isak tangis kebahagiaan yang bercampur lega.
Malam itu, Lila pulang ke gubuk dengan hati penuh harapan. Ia berlari melewati jalan setapak yang licin, tak peduli sandal jepitnya yang hampir putus. Sesampainya di gubuk, ia menemui Mbok Tini yang sedang duduk di lantai tanah, wajahnya pucat dan matanya merah karena kurang tidur. “Mbok! Aku dapet tambahan beasiswa! 500 ribu per bulan! Kita bisa lunasin utang!” ujar Lila dengan suara gemetar, menunjukkan surat itu. Mbok Tini memandang anaknya dengan mata tak percaya, lalu memeluk Lila erat. “Kamu menyelamatkan kita, Lila. Ibu nggak tahu harus bilang apa,” katanya, air matanya jatuh ke pundak anaknya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, gubuk kecil itu dipenuhi tawa kecil, meski bayang-bayang masa lalu masih terasa.
Besoknya, Lila dan Mbok Tini pergi ke rumah Pakde Sutejo, membawa uang tunjangan pertama yang sudah dikumpulkan—700 ribu rupiah, termasuk tabungan kecil dari Mbok Tini. Rumah Pakde Sutejo lebih besar, dengan dinding semen dan genteng yang utuh, kontras dengan gubuk mereka. Pakde Sutejo, seorang pria paruh baya dengan wajah keras, membuka pintu dengan ekspresi datar. “Ada apa?” tanyanya. Lila maju, menyerahkan uang itu dengan tangan gemetar. “Pakde, ini buat lunasin sebagian utang kami. Kami janji akan bayar sisanya bulan depan,” katanya pelan, suaranya penuh harap. Pakde Sutejo memandang uang itu, lalu mengangguk pelan. “Baiklah, tapi pastiin lunas tepat waktu,” katanya, menutup pintu tanpa senyum. Lila dan Mbok Tini berjalan pulang dengan lega, meski utang masih tersisa, mereka tahu ada waktu untuk melunasinya.
Namun, di tengah kebahagiaan kecil itu, badai kembali datang. Dua hari kemudian, pada Rabu, 28 Mei 2025, Mbok Tini jatuh sakit. Tubuhnya panas membakar, dan ia tak mampu bangun dari tikar. Lila panik, mencoba mencari bantuan dari tetangga, tapi tak ada yang punya obat atau cukup uang untuk membawanya ke puskesmas yang berjarak 10 kilometer. Lila duduk di samping ibunya, memegang tangannya yang dingin, air matanya jatuh tanpa suara. “Mbok, tahan ya. Aku akan cari bantuan,” janjinya, meski ia tahu perjuangan itu hampir mustahil dengan kondisi mereka.
Pagi berikutnya, Mbok Tini menghembuskan napas terakhir di bawah sinar matahari yang lembut. Lila memeluk tubuh ibunya, menangis hingga suaranya serak, sementara tetangga-tetangga datang membawa doa dan pelukan. Pemakaman sederhana digelar di pekuburan desa, dengan tanah yang masih basah oleh hujan semalam. Lila berdiri di samping makam ibunya, memegang buku matematika lusuh yang menjadi saksi mimpinya, dan berjanji, “Aku akan jadi guru, Mbok. Aku akan buat Mbok bangga.”
Hari-hari setelah kepergian ibunya terasa seperti kegelapan yang tak berujung. Tapi Lila tak menyerah. Dengan bantuan Ani dan Bu Wulan, ia pindah tinggal sementara di rumah tetangga yang baik hati, Pak Hasan, yang menawarkan tempat kecil di gudangnya. Ia melanjutkan sekolah, menggunakan beasiswa untuk membeli buku dan alat tulis, serta mengajar anak-anak kecil di kampung pada sore hari, membaca dan menulis di bawah pohon mangga tua. “Kalian harus sekolah, seperti aku,” katanya pada anak-anak itu, matanya penuh tekad.
Di akhir tahun ajaran, Lila berdiri di panggung kecil di halaman SD Mekar Jaya, menerima penghargaan sebagai siswa terbaik. Ia memberikan pidato singkat, suaranya teguh meski air mata mengintip di sudut matanya. “Si miskin bersekolah bukan karena kemewahan, tapi karena harapan. Ibuku mengajarkanku untuk tak menyerah, meski hidup terasa gelap. Pendidikan adalah cahaya yang akan ku terus kejar, untuk ibuku, dan untuk anak-anak seperti aku.” Anak-anak di bawah panggung bertepuk tangan, beberapa menangis, sementara Bu Wulan dan Ani tersenyum bangga dari kejauhan.
Di luar, matahari sore bersinar lembut, mewarnai langit dengan semburat oranye. Lila menatap cakrawala, memegang buku matematikanya erat, dan merasa cahaya di hatinya tetap menyala. Meski kehilangan ibunya meninggalkan luka yang dalam, ia tahu mimpinya adalah cara untuk menghormati perjuangan ibunya, dan untuk menerangi kegelapan bagi anak-anak lain di kampungnya.
Si Miskin Bersekolah: Perjuangan Meraih Cahaya di Tengah Kegelapan mengajarkan bahwa pendidikan adalah cahaya harapan, bahkan di tengah badai kehidupan yang paling keras. Kisah Lila membuktikan bahwa mimpi bisa bertahan melalui ketabahan dan dukungan, mengubah kegelapan menjadi peluang. Mari kita dukung akses pendidikan bagi anak-anak miskin, karena setiap langkah kecil bisa menerangi masa depan yang cerah.
Terima kasih telah menyelami perjalanan inspiratif Lila dalam Si Miskin Bersekolah. Semoga cerita ini membakar semangat Anda untuk mengejar impian dan membantu mereka yang membutuhkan. Bagikan artikel ini kepada yang lain, dan tetaplah bersama kami untuk kisah-kisah menyentuh hati lainnya. Sampai jumpa di petualangan berikutnya!