Setangkai Mawar Putih: Cerpen Horor Pengantin, Misteri, dan Kematian

Posted on

Pernah nggak sih kamu merasa ada yang salah dengan sesuatu yang kelihatannya sempurna? Kayak pernikahan yang seharusnya jadi hari bahagia, tapi malah jadi malam penuh misteri dan ketakutan.

Gimana kalau sebuah mawar putih, yang seharusnya melambangkan cinta, malah jadi pembawa bencana? Cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia yang gelap, penuh rahasia, dan seram banget, di mana satu setangkai mawar putih bisa mengubah segalanya. Jadi siap-siap, jangan bilang nggak diingetin, ya!

 

Setangkai Mawar Putih

Bisikan di Malam Hujan

Hujan malam itu datang begitu mendalam, seperti perasaan yang aku pendam sejak lama—dingin, berat, dan tak bisa dihentikan. Rintikannya tak hanya menumbuk tanah, tetapi juga menancap di setiap sudut pikiranku, mengingatkanku pada sebuah janji yang tak pernah bisa kutepati.

Aku berjalan pelan di jalan setapak yang kini terlihat lebih gelap dari biasanya. Setiap langkah terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menarikku untuk berbalik. Tetapi tidak, aku sudah terlalu jauh terperosok dalam bayang-bayang itu. Di depan, Gereja Tua Rosalind menunggu, dengan pintu kayu besar yang sudah lama terkunci. Tapi aku tahu malam ini, pintu itu akan terbuka untukku.

Gereja itu selalu menakutkan. Dari kecil, aku sudah mendengar cerita-cerita tentang pengantin yang menghantui tempat ini. Mereka bilang ada roh pengantin perempuan yang selalu membawa setangkai mawar putih yang tak pernah layu, bahkan setelah bertahun-tahun. Konon, dia masih menunggu kekasihnya, yang pada hari pernikahan mereka, meninggalkannya begitu saja. Tetapi, siapa yang tahu apa yang benar-benar terjadi? Aku pun tak percaya pada hal-hal seperti itu. Namun, malam itu, entah mengapa, semuanya terasa berbeda.

Langkahku semakin mendekat, dan aku bisa mendengar deru angin yang menggoyang daun-daun pohon di sekitar gereja. Pintu besar gereja itu, yang biasanya terkunci rapat, tampak sedikit terbuka. Seperti ada seseorang yang menunggui di dalam, menunggu kedatanganku. Aku merasa semacam dorongan untuk masuk, sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa penasaran.

Aku berdiri di depan pintu gereja, mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Hujan yang terus mengalir seolah tak menggangguku lagi. Aku menatap pintu itu, perlahan mendorongnya. Deritan suara pintu yang terbuka mengiris keheningan malam. Aku menelan ludah, tubuhku sedikit gemetar, namun langkahku tak terhenti. Aku melangkah masuk.

Ruangan gereja itu gelap, hanya diterangi oleh sinar rembulan yang menembus melalui jendela-jendela tinggi di sisi gereja. Debu-debu mengambang di udara, membuat suasana semakin suram. Bau kayu tua dan tanah basah menguar ke mana-mana. Namun, di tengah kegelapan itu, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuat kulitku meremang.

Di depan altar, berdiri sosok seorang wanita. Dia mengenakan gaun pengantin putih yang sudah lama tak terlihat. Rambut hitam panjangnya tergerai, meluncur bebas menutupi punggungnya. Mataku tertuju padanya, seolah ada kekuatan yang menarikku untuk mendekat. Aku tak bisa bergerak, meskipun tubuhku terasa kaku.

Wanita itu berbalik perlahan, dan saat matanya bertemu mataku, aku merasa seperti jatuh ke dalam jurang yang dalam. Tidak ada ekspresi di wajahnya, hanya keheningan yang menyesakkan.

“Kamila?” suara aku hampir tak keluar, terhalang oleh kecemasan yang tiba-tiba muncul. Bagaimana bisa dia ada di sini? Bukankah Kamila sudah meninggal lima tahun lalu?

Kamila hanya menatapku, senyumnya tipis, namun mengandung sesuatu yang tak bisa kubaca. Dia memegang sebuah mawar putih di tangannya, mawar yang tampak segar meski di tengah kegelapan yang pekat. Mawar itu seperti hidup, seolah tidak terpengaruh waktu. Mataku tak bisa lepas darinya.

“Aku tahu kamu akan datang, Varel,” kata Kamila dengan suara yang terdengar begitu lembut, namun ada ketajaman yang tak bisa disembunyikan. “Akhirnya, kamu datang juga.”

Aku terdiam, perasaan sesak mendalam di dadaku. Aku ingin berlari, ingin keluar dari tempat ini, tapi tubuhku terasa beku. “Kamila… ini tidak mungkin. Kamu… kamu seharusnya tidak ada di sini.”

Kamila melangkah maju satu langkah. Lantainya berderit di bawah kakinya, suara itu menggema seperti suara belati yang menusuk hatiku. “Aku ada di sini, Varel. Kamu meninggalkanku di sini sendirian. Sendirian dengan semua kenangan kita. Semua yang kita rencanakan… hancur.” Kamila berhenti tepat di depanku. Aku bisa merasakan hawa dingin yang datang bersamanya, menyentuh kulitku.

“Kenapa kamu melarikan diri? Kenapa meninggalkanku?” tanya Kamila, suaranya mulai bergetar, namun ada sesuatu yang lebih mengerikan dalam tatapannya. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang memaksa aku untuk menatapnya lebih lama.

“Aku… aku takut, Kamila. Aku takut akan komitmen, aku takut akan semuanya,” jawabku pelan, suara tenggelam dalam penyesalan yang mendalam. Semua kata-kata itu, yang selalu kuhindari untuk diucapkan, keluar begitu saja. “Aku menyesal, Kamila. Aku benar-benar menyesal.”

Kamila memandangku dengan tatapan kosong. “Kamu menyesal? Itu sudah terlambat, Varel. Penyesalanmu tak akan mengembalikanku. Kau membiarkan aku mati sendirian, tanpa ada yang menyelamatkan.”

Aku terdiam, hatiku terasa terhimpit, seperti ada sesuatu yang menekan setiap helaan napasku. Di tangan Kamila, mawar putih itu sepertinya semakin menghitam, kelopaknya mulai layu satu per satu, seiring dengan kata-katanya yang semakin tajam.

“Kamila… aku hanya bisa meminta maaf,” bisikku, mata mulai berkaca-kaca. “Aku tahu ini tidak cukup.”

Tapi Kamila hanya tertawa pelan, tawa yang tidak pernah kuinginkan mendengarnya. Tawa yang penuh kebencian, penuh dengan luka yang tak akan sembuh. “Kamu memang tidak pernah cukup, Varel,” katanya, suara itu semakin menjauhkan kami dari kenyataan. “Tapi kamu akan menemani aku di sini. Selamanya.”

Tiba-tiba, udara terasa semakin berat, semakin sesak. Aku ingin berlari, namun tubuhku terkunci di tempatnya. Kamila semakin dekat, dan mawar putih yang ada di tangannya, yang kini tampak seperti simbol dari semua penyesalan dan kesalahan, mengarah ke arahku.

“Selamanya, Varel,” bisik Kamila dengan suara yang menusuk, membuat aku merasa dunia ini semakin mengecil.

 

Mawar di Tangan Pengantin

Aku terdiam, seolah tubuhku tak lagi bisa merespon perintah dari pikiranku. Kamila berdiri begitu dekat, dan matanya yang kosong menatapku dengan keheningan yang mencekam. Suara hujan yang membasahi gereja terasa seperti bagian dari ketegangan yang tak bisa kuhindari. Setiap tetesan yang jatuh dari atap terdengar begitu keras, seolah mengingatkanku pada waktu yang tak akan pernah bisa kembali.

Mawar putih di tangan Kamila kini hampir menghitam sepenuhnya, kelopaknya yang dulu begitu indah kini layu dan pecah. Seakan-akan bunga itu juga ikut menangis, ikut merasakan kesedihan yang membalut gereja tua ini. Di antara kami, ada sebuah jarak yang tak bisa diukur, bukan hanya fisik, tetapi juga perasaan—perasaan yang telah lama terkubur dalam memori yang kusimpan rapat-rapat.

Kamila melangkah sedikit mundur, memperbaiki posisinya, dan melemparkan pandangan kosong ke altar di belakangnya. “Kamu tidak tahu, Varel. Betapa lama aku menunggu. Betapa lama aku terjebak di sini, tanpa bisa pergi, tanpa bisa melepaskanmu,” suara Kamila bergetar, namun ada amarah yang tercampur dalamnya. Aku ingin mengatakan sesuatu, apapun, untuk menghentikan suasana ini, tapi kata-kata itu terhenti begitu saja di bibirku.

“Kamila… aku tidak tahu harus bagaimana,” kataku akhirnya, suaraku terdengar begitu kecil, seperti gema yang tak akan pernah sampai. Aku menunduk, mencoba mencari keberanian untuk menatapnya, meskipun aku tahu itu tidak akan mudah.

Kamila hanya tersenyum tipis, senyum yang mengandung kebencian dan keputusasaan. “Tentu saja kamu tidak tahu. Kamu terlalu sibuk dengan dirimu sendiri untuk mengerti apa yang aku rasakan.” Dia berputar perlahan, seolah menari dengan bayangannya sendiri. “Aku menunggu sampai aku mati, Varel. Menunggu di tempat ini. Menunggu janji yang tidak pernah kamu tepati.”

“Aku minta maaf…” Suara itu keluar dari mulutku, terdengar hampa dan tak berarti. Tapi Kamila tidak memperdulikannya. Dia terus melangkah, mengitari gereja yang sunyi, seperti mencatat setiap sudutnya, seperti berusaha mengingat setiap detail yang ada, meskipun itu hanya akan menghantui kami.

“Maaf? Itu yang kamu katakan setelah semuanya?” Kamila berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang kini lebih tajam dari sebelumnya. “Kamu tahu, Varel, aku tahu bahwa ini bukan sepenuhnya salahmu. Aku yang memilihmu. Aku yang mencintaimu dengan segala yang aku punya, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi padaku nanti. Tapi kamu, kamu tidak pernah melihatku seperti yang aku inginkan. Kamu terlalu takut untuk mencintaiku, untuk berkomitmen. Kamu hanya lari.”

Aku bisa merasakan sakit itu. Sakit yang begitu nyata dan menusuk. Setiap kata yang diucapkannya seperti pisau yang mengiris jantungku, mengungkapkan semua penyesalanku yang tak terucapkan. Tapi aku masih tidak bisa bergerak. Aku masih terjebak dalam kata-katanya, dalam perasaan yang kini menguasai seluruh diriku.

“Kamila, aku—” aku ingin mengatakan sesuatu yang lebih, sesuatu yang bisa menghapus semua kesalahan ini, tetapi suara langkah kaki yang berat membuatku terdiam. Aku menoleh ke belakang, dan di sana, di pintu gereja, muncul sosok lain.

Seorang pria, mengenakan jas hitam, dengan mata yang kosong dan penuh misteri, berdiri menatap kami. Wajahnya seperti bayangan yang tak dapat dikenali, namun ada sesuatu yang sangat familiar dalam tatapannya. Kamila melihat pria itu, dan senyum tipis kembali terbentuk di wajahnya.

“Liam…” Kamila berbisik, seolah mengenal sosok itu. “Kamu datang juga, akhirnya.”

Aku terperangah. Liam. Nama itu terdengar begitu asing dan asing. Siapa dia? Kenapa Kamila menyebutnya dengan nada yang penuh makna? Aku tidak mengerti. Perasaan bingung dan khawatir merasuki dadaku, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Pria itu—Liam—langkahnya perlahan menuju kami, matanya menatapku sejenak sebelum mengalihkan pandangan ke Kamila. “Aku datang, Kamila,” jawabnya dengan suara datar, tidak ada emosi yang terkandung dalam kata-katanya. “Tapi tidak untukmu. Aku datang untuk menebus dosa-dosa yang tidak pernah terbayar.”

Kamila tersenyum pahit. “Menebus dosa? Kamu pikir itu akan menyelesaikan semuanya? Kamu tahu, Liam, kamu yang menghancurkan semua ini. Kamu yang membuatku terjebak di sini. Kamu yang meninggalkanku begitu saja.”

Liam hanya terdiam, tidak membalas, tetapi aku bisa merasakan ketegangan yang mulai membungkus udara. Sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, dan aku tidak tahu apa itu. Aku tidak tahu siapa yang harus aku percayai, Kamila atau Liam, atau bahkan diriku sendiri yang sudah begitu bingung.

Tiba-tiba, suara langkah kaki lain terdengar, lebih cepat, lebih tegas. Aku menoleh, dan sosok lain muncul di antara bayang-bayang gereja—seorang wanita muda dengan gaun pengantin yang sangat mirip dengan Kamila, tapi wajahnya lebih muda, lebih cerah, seolah dia berasal dari dunia yang berbeda. Dia berjalan dengan penuh keyakinan, seolah tidak ada yang bisa menghentikannya.

Kamila menoleh, dan ekspresinya berubah drastis. “Siapa kamu?” suaranya tiba-tiba terdengar panik, ada kegelisahan yang mendalam. “Kamu tidak seharusnya ada di sini…”

Wanita itu hanya tersenyum, senyum yang sangat misterius, dan mengangkat tangan kirinya. Di tangan itu, ada setangkai mawar putih, begitu sempurna, begitu hidup. Kamila terpaku, matanya terbuka lebar, seolah melihat sesuatu yang tidak ingin dia lihat.

“Aku datang untukmu,” wanita itu berkata pelan, suara yang hampir tak terdengar oleh telingaku, tetapi entah kenapa, kata-katanya terasa sangat kuat, seakan-akan seluruh gereja bergetar.

Kamila mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar. “Tidak! Tidak mungkin…” Suaranya hampir hilang ditelan kesedihan yang dalam. “Aku adalah pengantin yang seharusnya…”

Wanita itu maju satu langkah, dan dengan satu gerakan cepat, dia mengulurkan tangan yang memegang mawar putih itu ke arah Kamila.

“Aku adalah pengantin yang dulu kamu lupakan,” wanita itu berkata dengan penuh ketegasan. “Sekarang saatnya kamu membayar harga dari semua yang kamu tinggalkan.”

 

Mawar yang Menghantui

Semua yang ada di sekitar kami tiba-tiba terasa hening. Hujan di luar terus mengguyur, namun di dalam gereja, suasana berubah menjadi berat, penuh dengan ketegangan yang tidak bisa dijelaskan. Kamila masih terpaku, matanya terfokus pada wanita yang berdiri di depannya, wajahnya semakin memucat. Aku merasa seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukan yang tidak bisa kuhentikan—sebuah drama yang dipenuhi dengan misteri dan kesedihan, tapi aku tak tahu bagaimana cara memainkan peranku.

Wanita itu, pengantin yang seharusnya ada di sini, tetap memegang mawar putih dengan telapak tangan yang terangkat. Bunga itu kini semakin terlihat aneh, kelopak-kelopaknya mulai memudar, seolah ada sesuatu yang tak wajar menyusup di dalamnya. Kamila mundur selangkah, tubuhnya gemetar hebat, dan aku bisa melihat perasaan yang paling dalam di matanya—takut, panik, dan mungkin… penyesalan yang mengerikan.

“Apa yang kamu inginkan?” Kamila berteriak, suaranya sedikit tercekat. “Kenapa kamu datang ke sini? Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku?”

Wanita itu tidak menjawab, hanya memandang Kamila dengan tatapan yang lebih dalam, seolah ingin menembus seluruh lapisan diri Kamila dan melihat apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Aku merasa ada sesuatu yang lebih gelap sedang terjadi di antara mereka—sebuah rahasia yang bahkan Kamila sendiri mungkin tak tahu sepenuhnya.

“Apa yang kamu ingin aku lakukan, huh?” Kamila bertanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih rendah, seperti mencoba menenangkan diri meskipun dia sendiri sudah tidak mampu mengendalikan ketakutannya.

Wanita itu akhirnya membuka mulut, suaranya halus, namun tegas, penuh dengan kekuatan yang tidak terduga. “Kamu tahu betul apa yang aku inginkan, Kamila. Kamu tahu apa yang kamu lakukan dulu. Semua janji, semua cinta, semua kebohongan yang kamu bawa ke dalam dunia ini. Kamu yang meninggalkan semuanya tanpa penjelasan. Kamu yang memilih untuk melupakan, dan sekarang… sekarang saatnya kamu menerima akibatnya.”

Aku merasakan sesuatu yang sangat aneh saat mendengar kata-kata itu. Sesuatu yang menggelitik di dalam dadaku, membuatku merasa semakin terjebak dalam teka-teki yang semakin membingungkan ini. Kamila, yang dahulu begitu percaya diri, kini terlihat begitu rapuh. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Hanya bisa mematung, menyaksikan semuanya tanpa bisa mengubah apapun.

Liam, yang sejak tadi berdiri diam, akhirnya bergerak. Langkahnya menuju wanita itu, tetapi dia berhenti tepat di tengah jalan, seolah ada sesuatu yang menghalangi jalannya. “Kamu… kenapa kamu datang ke sini? Apa yang kamu inginkan darinya?” Liam bertanya dengan suara yang dipenuhi kebingungannya sendiri.

Wanita itu menatap Liam sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke Kamila. “Kamu masih ingin mengingatnya, bukan? Semua ini berawal dari dirimu, Kamila. Dari kebohonganmu yang mengikat kami di dunia ini. Tak ada yang bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu yang kamu ciptakan.”

“Apa maksudmu? Apa yang kamu katakan?!” Kamila tampak semakin panik, tubuhnya mulai bergemetar hebat. Dia memegang dadanya seolah mencoba menahan sesak yang datang begitu tiba-tiba.

Aku mencoba melangkah mendekat, namun tubuhku terasa terikat, seakan ada kekuatan yang tidak tampak menghalangi langkahku. Aku melihat ke arah Kamila yang mulai terjatuh ke lutut, tangan yang memegang mawar putih itu seakan semakin lemah, dan mawar itu, mawar yang sebelumnya begitu putih bersih, kini mulai berubah warna—kelopak-kelopaknya menghitam, menyebarkan bau busuk yang sangat menyengat, seperti bau kematian yang datang begitu mendalam.

“Tidak… tidak mungkin,” Kamila berbisik, suaranya pecah. “Ini tidak bisa terjadi… aku tidak ingin ini terjadi. Aku… aku ingin kembali ke masa itu. Ke masa ketika semuanya masih baik-baik saja.”

Wanita itu menunduk, memandang Kamila dengan tatapan penuh kesedihan. “Itu sudah tidak mungkin lagi. Kamu sudah melewati batasnya, Kamila. Tidak ada jalan kembali. Tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Kamu datang ke sini, dan kamu harus menerima apa yang seharusnya terjadi.” Suaranya kali ini lebih lembut, tetapi mengandung beban yang tak bisa dihindari.

Kamila menunduk, wajahnya penuh dengan air mata. “Tolong… jangan… Aku tidak ingin mati di sini. Aku tidak ingin mati… dalam kenangan yang tidak pernah bisa kuperbaiki.”

Tiba-tiba, pengantin itu, wanita yang tadi begitu diam, mengulurkan tangan yang memegang mawar putih itu lebih dekat lagi ke Kamila. Dalam sekejap, kelopak mawar itu menyebar ke udara, seolah terbang dengan kekuatan yang tidak tampak. Kamila hanya bisa menatapnya dengan pandangan kosong, tubuhnya makin terkulai lemas.

Aku merasakan udara menjadi semakin berat. Sepertinya ada sesuatu yang sangat salah dengan segala yang terjadi. Aku merasa seperti tersesat dalam dunia yang tidak aku kenal, dunia yang penuh dengan bayangan dan rahasia yang tak terpecahkan. Tapi satu hal yang pasti—semuanya sudah tidak bisa dikembalikan seperti semula.

Kamila, yang dulu begitu percaya diri, kini terjatuh ke tanah, wajahnya pucat pasi, dan di tangannya yang lemah, mawar putih itu sudah tidak lagi terlihat seperti bunga, tetapi seperti sesuatu yang lebih gelap, lebih mematikan. Setangkai bunga yang penuh dengan penyesalan, penderitaan, dan nasib yang sudah ditentukan.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Kamila?” Liam bertanya, suaranya bergetar, namun ia tetap tidak bergerak. Kamila tidak menjawab, hanya terdiam dalam kebisuan yang semakin mencekam.

Seseorang harus membayar harga dari semua yang telah hilang, dan Kamila… Kamila akhirnya harus menghadapi kenyataan itu.

 

Mawar yang Tumbuh di Dalam Kegelapan

Waktu seolah terhenti. Gereja yang tadinya menjadi saksi bisu pernikahan yang dipenuhi kebahagiaan, kini berubah menjadi ruang yang dipenuhi dengan keheningan yang mengerikan. Aku hanya bisa berdiri di sana, terperangkap dalam pandangan kosong Kamila yang tak lagi memandang dunia dengan cara yang sama. Setangkai mawar putih yang dulu begitu indah, kini menjadi simbol kesedihan, penyesalan, dan kematian.

Kamila terjatuh ke lantai dengan tubuh yang semakin lemah. Tangannya yang dulu menggenggam mawar putih itu kini terkulai di sisi tubuhnya yang terbaring, dan wajahnya memudar, seolah segala warna kehidupan telah lenyap dari dirinya. Mata Kamila terbuka, namun kosong. Tidak ada lagi kegembiraan di sana. Tidak ada lagi kebahagiaan.

Liam berdiri diam di sampingnya, seakan tak mampu bergerak. Aku melihat bagaimana dia menggenggam erat pergelangan tangannya, dengan ekspresi yang semakin terhimpit oleh kebingungannya sendiri. Dia tidak tahu harus bagaimana—karena apa yang terjadi di depan mata mereka ini jauh lebih besar dari apa yang bisa mereka pahami.

Wanita itu—pengantin yang telah datang dengan mawar putihnya—berdiri di samping Kamila, wajahnya yang pucat dan tatapan kosongnya tetap tak bergeming. Aku merasa seolah ada sesuatu yang sangat berat menyelimuti suasana ini, sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja. Suara angin yang berhembus lembut melalui celah-celah gereja terdengar seperti bisikan yang memperburuk suasana, dan bau busuk dari mawar putih itu semakin menyebar, menyusup ke dalam saluran pernapasan.

“Kamila…” Aku akhirnya membuka suara, meski suaraku hampir tak terdengar. “Kamu harus melawan. Kamu harus bangkit dari ini.”

Tapi Kamila tidak menjawab. Kamila tidak menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh ketakutan, tanpa bisa berbuat banyak. Ketakutanku semakin tumbuh besar. Sesuatu yang lebih besar dari apa yang pernah kami bayangkan sudah terlepas—terlepas dari semua kendali yang ada.

Wanita itu menundukkan kepalanya, seolah memberikan penghormatan terakhir pada Kamila. “Dia telah membayar harga atas segala yang telah dilakukannya. Cinta yang telah dia hancurkan, janji yang telah dia ingkari, semuanya kini telah membawanya pada akhirnya.”

Kamila sudah tidak bisa merasakan apapun lagi. Bagaikan angin yang menghembuskan debu-debu masa lalu, tubuhnya tidak lagi berfungsi seperti manusia pada umumnya. Ia hanyalah bayangan, kesedihan yang tertinggal dalam dunia yang telah menganggapnya hilang.

Tiba-tiba, mawar putih yang ada di tangan Kamila tampak bergerak, perlahan. Seperti ada sesuatu yang meresap ke dalamnya, menghidupkannya kembali. Aku mengerutkan dahi, menatap bunga itu dengan rasa takut yang semakin mendalam. Setangkai mawar itu tidak lagi terlihat seperti bunga biasa, melainkan seolah hidup, meresap ke dalam kegelapan, seperti menyerap seluruh aura yang mengelilinginya.

Wanita pengantin itu mengangkat wajahnya, menatapku dengan pandangan yang seakan menghakimi. “Apa yang kamu lihat sekarang adalah bukti bahwa tidak ada yang bisa lari dari masa lalu. Semua yang telah terlewat tidak akan pernah bisa kembali. Kamila sudah membayar harganya. Dan kamu… kamu tidak akan bisa menghindarinya.”

Aku merasa dunia semakin sempit. Ketakutan mengalir deras dalam darahku, namun aku tetap berdiri diam, tak mampu mengubah apapun. Sesuatu yang mengerikan sedang terjadi, dan aku hanya bisa menyaksikan. Kamila, yang dulunya penuh dengan kehidupan dan harapan, kini hanya menjadi kenangan yang terperangkap di dalam ruang ini, di dalam gereja yang sepi.

Setangkai mawar putih itu mulai mengering dengan sangat cepat. Kelopak-kelopaknya yang memudar, semakin hitam, seolah menghisap segala kehidupan yang tersisa. Dan ketika bunga itu akhirnya sepenuhnya layu, hanya ada kehampaan yang tersisa—sama seperti kehidupan Kamila yang kini tinggal sebuah bayangan. Seperti sebuah kisah yang telah berakhir, namun tetap menyisakan dampaknya.

Pengantin itu menatapku sekali lagi, dan kali ini, aku merasakan sebuah ketegangan yang luar biasa. “Jangan lari dari kenyataan. Semua yang kamu takuti akan datang kepadamu. Seperti Kamila yang kini telah membayar harga hidupnya, semua orang yang terlibat akan merasakannya.”

Wanita itu mulai mundur, langkahnya begitu ringan, seolah tubuhnya tidak pernah menapak di tanah. Dan begitu dia menghilang ke dalam bayang-bayang gereja, hanya ada kesunyian yang kembali mengisi ruang itu.

Aku terdiam, menatap Kamila yang terkulai lemas, dan Liam yang masih berdiri di sampingnya, terbata-bata tidak tahu harus berbuat apa. Namun satu hal yang pasti—semua yang terjadi pada Kamila adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, lebih mengerikan. Dan aku, kini terjebak dalam misteri yang tak bisa kupecahkan, seperti bunga mawar putih yang mulai menghitam, sebuah kisah yang tak akan pernah selesai.

 

Jadi, gimana? Masih bisa tidur malam ini setelah membaca cerita ini? Kadang, kita nggak pernah tahu apa yang tersembunyi di balik sebuah pernikahan yang tampak sempurna, atau bahkan di balik sebatang mawar putih.

Kalau kamu merasa ada yang aneh, jangan anggap remeh, karena dalam kegelapan, segala sesuatu bisa berubah jadi mimpi buruk yang nggak pernah kamu duga. Jadi, berhati-hatilah dengan apa yang kamu anggap biasa, karena mungkin itu justru yang paling menakutkan.

Leave a Reply