Serunya MOS SMA: Misteri Kakak Kelas & Tantangan Rahasia!

Posted on

MOS SMA itu katanya ajang kenalan, tapi siapa sangka malah jadi petualangan penuh misteri? Dari nyanyi dengan pose konyol sampai kode rahasia di perpustakaan!

Aksara dan teman-temannya nggak cuma berhadapan sama tugas absurd dari kakak OSIS, tapi juga peringatan aneh dari kakak kelas yang bikin bulu kuduk berdiri. Ini bukan sekadar MOS biasa—ada sesuatu yang lebih besar di baliknya! Penasaran? Baca sampai habis, dijamin ketagihan!

 

Serunya MOS SMA

Langkah Pertama di SMA Garuda

Aula besar SMA Garuda dipenuhi ratusan siswa baru yang masih canggung dengan seragam putih abu-abu yang mereka kenakan untuk pertama kalinya. Ada yang berdiri dengan tangan menggenggam tali tas erat-erat, ada yang asyik ngobrol dengan teman lama dari SMP yang kebetulan masuk sekolah yang sama, ada pula yang hanya menunduk sambil meremas-remas ujung bajunya.

Di depan aula, berdiri beberapa kakak kelas dengan jaket OSIS kebanggaan mereka. Salah satu yang paling mencolok adalah Ketua MOS, Kak Rayhan. Posturnya tegap, matanya tajam, dan meski tidak tersenyum, wajahnya tidak terlihat menyeramkan—lebih seperti seseorang yang tegas tapi adil.

“Baik, para siswa baru! Selamat datang di SMA Garuda!” suara Kak Rayhan menggema, memecah suasana canggung di aula. “Saya Rayhan, Ketua MOS kalian. Selama tiga hari ke depan, kalian akan menjalani masa orientasi yang seru dan pastinya penuh pengalaman baru!”

Beberapa siswa mulai saling berbisik, entah tentang betapa berwibawanya Kak Rayhan atau tentang apa yang dimaksud dengan ‘seru’ di sini.

“Sekarang, kita akan membagi kalian ke dalam kelompok-kelompok kecil. Perhatikan nama yang dipanggil, lalu segera berkumpul dengan kelompok masing-masing!”

Nama-nama mulai disebutkan. Salah satunya adalah Aksara, seorang pemuda bertubuh agak kecil dengan wajah yang selalu tampak gelisah. Ia berjalan ke titik yang ditentukan, di mana beberapa orang sudah berkumpul.

Seorang gadis berkacamata dengan rambut dikuncir dua menyambutnya dengan senyum cerah. “Eh, ini kelompok kita, ya? Aku Nayla!”

Aksara mengangguk ragu. “Aku Aksara…”

Lalu, seorang pemuda jangkung berwajah dingin menoleh sekilas. “Damar,” ujarnya singkat.

Belum sempat mereka mengobrol lebih jauh, seorang kakak kelas perempuan dengan rambut kuncir kuda dan raut wajah penuh semangat menghampiri mereka. Jaket OSIS-nya tampak kebesaran, tapi ia memakainya dengan penuh percaya diri.

“Kelompok ini kayaknya kurang semangat, deh!” Kak Vira, kakak kelas itu, berujar dengan suara lantang. “Aku mau denger kalian teriak ‘SMA Garuda Jaya!’ dengan penuh energi!”

Aksara melirik Nayla dan Damar dengan ragu. Mereka bertiga, bersama anggota kelompok lainnya, akhirnya mencoba meneriakkan slogan tersebut.

“SMA Garuda Jaya…” suara mereka terdengar lebih mirip gumaman.

Kak Vira menghela napas dramatis. “Astaga, ini orientasi sekolah, bukan pemakaman! Sekali lagi, lebih semangat!”

Mereka mencoba lagi. Kali ini lebih keras, tapi tetap saja belum cukup untuk memuaskan Kak Vira.

“Kalian kayak habis begadang seminggu! Aku mau dengar yang lebih mantap! Lagi!”

Akhirnya, setelah beberapa kali percobaan, mereka berhasil meneriakkan slogan dengan cukup lantang. Kak Vira mengangguk puas sebelum pergi untuk menyemangati kelompok lain dengan cara yang sama.

Setelah sesi yel-yel selesai, acara berlanjut ke tur keliling sekolah. Siswa baru diajak melihat berbagai fasilitas, dari perpustakaan yang penuh dengan rak tinggi, laboratorium yang masih tercium aroma bahan kimia, hingga kantin yang saat itu kosong namun tetap menggoda dengan deretan meja panjangnya.

Di sepanjang tur, Aksara mulai merasa lebih nyaman berada di antara teman-teman barunya. Nayla, yang selalu ceria, terus mengajak mereka mengobrol.

“Menurut kamu, tempat paling keren di sekolah ini yang mana?” tanyanya pada Aksara sambil melirik sekeliling.

Aksara mengangkat bahu. “Perpustakaan, mungkin.”

“Oh, kamu suka baca?” Nayla tampak antusias.

“Suka, tapi lebih suka suasananya. Tenang.”

Damar, yang sejak tadi lebih banyak diam, tiba-tiba ikut menyahut. “Setuju.”

Nayla melirik mereka berdua dengan senyum geli. “Kayaknya aku bakal sering nemuin kalian di sana.”

Setelah tur sekolah selesai, mereka kembali ke aula untuk sesi terakhir: pengenalan guru dan sedikit pengarahan untuk hari kedua. Saat itu, Aksara merasa hari pertamanya tidak seburuk yang ia bayangkan.

Namun, sebelum ia benar-benar bisa merasa lega, seseorang menepuk bahunya saat ia hendak keluar dari aula.

Seorang kakak kelas laki-laki berdiri di depannya, tinggi, dengan wajah serius yang sulit ditebak.

“Kamu Aksara, kan?” tanyanya.

Aksara menelan ludah. “Iya?”

Kakak kelas itu menatapnya beberapa detik sebelum berkata, “Besok, hati-hati.”

Tanpa menjelaskan lebih lanjut, kakak kelas itu pergi begitu saja, meninggalkan Aksara dengan kepala penuh tanda tanya.

Ada apa dengan hari kedua?

 

Kakak Kelas dan Teriakan yang Gagal

Aksara masih memikirkan peringatan misterius dari kakak kelas semalam. Namun, saat ia melangkah ke halaman sekolah pagi ini, ia menyadari sesuatu yang lebih mendesak: hari kedua MOS dimulai, dan sepertinya, para kakak OSIS sudah merencanakan banyak kejutan.

Begitu tiba di lapangan, ia langsung bertemu dengan Nayla dan Damar. Nayla tampak bersemangat seperti biasa, sementara Damar tetap dengan ekspresi dinginnya.

“Kakak OSIS udah ngumpul di depan,” ujar Nayla sambil menunjuk ke arah barisan kakak kelas yang berdiri dengan penuh wibawa.

Di tengah mereka, Kak Rayhan maju selangkah dan berbicara lantang, “Selamat pagi, siswa baru! Hari ini kita akan menguji seberapa solid kelompok kalian!”

Aksara langsung merasa tidak tenang.

“Permainan pertama: Ujian Kekompakan!” lanjut Kak Rayhan. “Setiap kelompok harus bisa menyelesaikan tantangan yang diberikan oleh kakak-kakak OSIS. Kalian siap?”

Terdengar beberapa suara setengah hati menjawab, “Siap…”

“KURANG KERAS!” teriak Kak Vira dari barisan kakak kelas.

“Siaaap!” suara siswa baru terdengar lebih mantap, meski tetap ada yang terdengar ragu.

Kelompok Aksara diberi tantangan oleh Kak Vira sendiri. Gadis itu sudah terkenal sebagai salah satu panitia MOS yang paling aktif—dan paling usil.

“Oke, kelompok kalian harus menyanyikan lagu Mars SMA Garuda sambil melakukan gerakan yang aku tentuin!” katanya dengan mata berbinar.

Nayla tertawa kecil. “Lagu Mars? Aduh, aku cuma hafal reff-nya.”

Damar menatap Kak Vira datar. “Gerakannya seperti apa?”

Kak Vira tersenyum licik sebelum mengangkat tangan. “Tangan di kepala, lutut sedikit ditekuk, dan setiap selesai satu bait, kalian harus lompat sambil teriak ‘Hidup Garuda!’”

Aksara mengerang pelan. Ini pasti akan jadi sangat memalukan.

Tapi tidak ada pilihan. Mereka mulai menyanyikan lagu dengan posisi konyol itu. Beberapa kelompok lain yang sudah selesai mulai menonton mereka dengan tatapan geli. Setiap kali mereka berteriak ‘Hidup Garuda!’, beberapa kakak OSIS tertawa terbahak-bahak.

Sementara itu, Nayla berusaha menyanyikan dengan suara paling lantang, Aksara mencoba mengikuti tanpa terlihat terlalu malu, dan Damar—entah bagaimana caranya—tetap memasang ekspresi datar meski harus melompat sambil berteriak.

Setelah tantangan selesai, mereka diberi waktu istirahat sebentar. Aksara duduk di tepi lapangan, mencoba menenangkan diri dari rasa malu yang masih tersisa.

“Gimana? Seru, kan?” Nayla duduk di sampingnya sambil mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya yang sedikit berkeringat.

“Kalau seru definisinya adalah memalukan, ya, seru,” jawab Aksara datar.

Damar juga ikut duduk, lalu tanpa melihat ke arah mereka, ia berkomentar, “Tapi kita berhasil.”

Nayla terkikik. “Kamu gak keliatan panik sama sekali, Dam. Gimana caranya?”

Damar hanya mengangkat bahu ringan. “Biasa aja.”

Sebelum mereka bisa mengobrol lebih jauh, seorang kakak kelas laki-laki yang tidak mereka kenal tiba-tiba berdiri di depan mereka. Ia bertubuh tinggi, mengenakan jaket OSIS, dan menatap mereka dengan ekspresi serius.

“Kalian kelompoknya Aksara, kan?” tanyanya.

Aksara menegang. “Iya, Kak.”

Kakak kelas itu melipat tangan di dada. “Ikut aku sebentar.”

Aksara saling bertukar pandang dengan Nayla dan Damar. Ada sesuatu yang tidak beres.

Tanpa membuang waktu, mereka pun berdiri dan mengikuti kakak kelas itu. Tapi mereka tidak tahu bahwa yang menunggu mereka di depan nanti mungkin jauh lebih sulit dari sekadar menyanyikan lagu Mars sekolah dengan pose konyol.

 

Misteri di Perpustakaan

Aksara, Nayla, dan Damar mengikuti langkah kakak kelas yang membawa mereka ke sebuah ruangan di sisi gedung sekolah. Awalnya mereka mengira akan diberi hukuman karena gagal dalam tantangan sebelumnya, tapi ketika pintu ruangan terbuka, mereka malah menemukan beberapa kelompok lain yang sudah ada di sana.

Ruangan itu tidak terlalu besar, dengan meja dan kursi yang ditata melingkar. Beberapa kakak OSIS, termasuk Kak Rayhan dan Kak Vira, berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi serius.

“Ada apa, Kak?” tanya Nayla pelan, tapi tidak ada yang langsung menjawab.

Kak Rayhan menunggu hingga semua kelompok berkumpul sebelum mulai berbicara. “Selamat. Kalian adalah kelompok-kelompok yang dipilih untuk mengikuti tantangan khusus.”

Beberapa siswa saling berpandangan dengan bingung.

“Tantangan khusus?” ulang Aksara pelan.

“Ini adalah permainan ‘Tebak Kakak Kelas.’ Kalian harus menemukan seorang kakak OSIS misterius berdasarkan petunjuk yang diberikan,” jelas Kak Rayhan. “Petunjuk pertama ada di perpustakaan sekolah. Kalian punya waktu satu jam.”

Seketika itu juga, beberapa siswa mulai berbisik-bisik. Tantangan ini terdengar lebih seru dibanding tugas-tugas sebelumnya.

“Kalau sudah paham, kalian boleh pergi sekarang.”

Kelompok Aksara langsung bergerak menuju perpustakaan. Bangunan itu terletak di bagian belakang sekolah, agak jauh dari aula dan lapangan. Saat mereka masuk, suasana hening langsung menyambut. Rak-rak buku tinggi berdiri berjajar, aroma khas kertas dan kayu memenuhi udara.

“Jadi, kita nyari petunjuk di mana?” bisik Nayla sambil melirik sekeliling.

Damar sudah lebih dulu berjalan menyusuri rak-rak buku, matanya tajam mencari sesuatu yang mencurigakan. Sementara itu, Aksara mulai membaca beberapa catatan di papan pengumuman perpustakaan.

Lalu, sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah kertas kecil yang ditempel di salah satu rak buku dengan tulisan tangan rapi:

“Dalam kisah yang tak tertulis, kunci ditemukan di antara angka yang diam.”

Aksara menunjukkannya ke Nayla dan Damar.

“Apa maksudnya?” Nayla mengernyit.

Aksara berpikir sejenak. “Mungkin ini ada hubungannya dengan buku yang nggak sering dibaca? Sesuatu yang berkaitan dengan angka?”

Damar, yang sedari tadi diam, tiba-tiba berjalan menuju bagian katalog perpustakaan dan mulai mencari sesuatu di antara buku-buku tebal. Tanpa banyak bicara, ia menarik sebuah buku yang tampak berdebu berjudul “Kode Rahasia dalam Angka.”

Saat buku itu ditarik, sesuatu terjatuh dari sela-sela halamannya. Sebuah amplop kecil.

Nayla dengan cepat mengambilnya dan membuka isi amplop tersebut. Di dalamnya ada secarik kertas dengan satu kata tertulis:

“LAB KOMPUTER”

Mereka bertiga langsung saling berpandangan.

“Jadi kita harus ke lab komputer?” bisik Nayla, suaranya terdengar setengah antusias, setengah waspada.

Aksara mengangguk. “Sepertinya begitu.”

Tanpa menunggu lebih lama, mereka pun keluar dari perpustakaan dan bergegas menuju lab komputer. Tapi di tengah perjalanan, mereka merasa ada seseorang yang mengikuti mereka dari kejauhan.

Saat Aksara menoleh ke belakang, ia sempat melihat siluet seseorang berdiri di ujung lorong. Seorang kakak kelas yang tampak mengawasi mereka.

Siapa dia? Dan kenapa ia terlihat seperti sedang mengamati mereka sejak tadi?

 

Peringatan yang Tak Terduga

Aksara, Nayla, dan Damar mempercepat langkah mereka menuju lab komputer. Meski penasaran dengan sosok misterius yang mengawasi dari kejauhan, mereka memilih untuk fokus pada tantangan.

Lab komputer terletak di lantai dua gedung sebelah timur, sedikit lebih sepi dibanding area lain di sekolah. Begitu mereka sampai, pintunya tertutup, tapi tidak dikunci. Nayla mengintip ke dalam.

“Sepi banget… apa kita masuk aja?” bisiknya.

Aksara ragu, tapi Damar sudah lebih dulu membuka pintu. Mereka melangkah masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan komputer berjajar rapi. Di salah satu meja, ada secarik kertas yang tampak sengaja diletakkan di tengah.

Nayla mengambilnya dan membaca pelan, “Cari aku di tempat yang paling tinggi di sekolah.”

Mereka saling berpandangan.

“Atap?” Aksara menebak.

Damar mengangguk. “Kemungkinan besar.”

Mereka segera keluar dari lab dan mencari jalan menuju atap sekolah. Tapi sebelum mereka berhasil sampai ke tangga terakhir, langkah mereka terhenti.

Sosok yang tadi mengawasi mereka kini berdiri di depan mereka, menghadang jalan. Seorang kakak kelas dengan jaket OSIS, tapi berbeda dengan yang lain, wajahnya dingin dan ekspresinya sulit ditebak.

“Kalian serius mau ke atap?” tanyanya dengan nada datar.

Aksara menelan ludah. “Iya, Kak. Ada petunjuknya di sana.”

Kakak kelas itu menghela napas, lalu berkata pelan, “Aku saranin kalian berhenti.”

Nayla mengernyit. “Kenapa?”

Senyum tipis muncul di wajah kakak kelas itu. “Nggak semua yang diatur OSIS benar-benar bagian dari MOS.”

Kata-kata itu membuat mereka bertiga membeku.

Aksara merasa bulu kuduknya meremang. “Maksud Kakak…?”

Tapi sebelum mereka bisa mendapat jawaban, langkah kaki terdengar mendekat. Kak Rayhan dan beberapa kakak OSIS lain muncul dari ujung lorong.

“Ada masalah di sini?” suara Kak Rayhan terdengar santai, tapi ada ketegangan di matanya.

Kakak kelas misterius itu menatap mereka bertiga sejenak sebelum melangkah mundur. “Nggak ada apa-apa. Mereka cuma penasaran.”

Kak Rayhan mengangguk dan menoleh ke arah Aksara, Nayla, dan Damar. “Kalian harusnya ke atap, kan? Sana, tantangannya hampir selesai.”

Aksara ingin bertanya lebih banyak, tapi kakak kelas tadi sudah pergi tanpa penjelasan. Akhirnya, mereka melanjutkan perjalanan ke atap.

Sesampainya di sana, mereka menemukan seorang kakak OSIS perempuan berdiri menunggu. Ia tersenyum ketika melihat mereka.

“Selamat! Kalian berhasil menyelesaikan tantangan,” katanya. “Kelompok kalian salah satu yang tercepat.”

Nayla menghela napas lega. “Akhirnya…”

Tapi meskipun tantangan selesai, Aksara masih memikirkan peringatan kakak kelas tadi. Apa maksudnya dengan ‘nggak semua yang diatur OSIS benar-benar bagian dari MOS’?

Apakah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar permainan orientasi?

Saat mereka turun dari atap, Aksara merasa yakin akan satu hal—MOS SMA Garuda bukan sekadar acara penyambutan biasa. Ada sesuatu yang lebih tersembunyi di baliknya. Dan ia bertekad untuk mencari tahu.

Tapi untuk saat ini, setidaknya, mereka sudah berhasil melewati hari kedua.

 

Jadi, MOS itu cuma ajang perkenalan sekolah? Kayaknya nggak sesimpel itu kalau di SMA Garuda! Aksara, Nayla, dan Damar udah berhasil menyelesaikan tantangan, tapi pertanyaan besarnya masih belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi di balik acara MOS ini? Apakah mereka bakal nemuin rahasia lain di hari-hari berikutnya? Yah, satu yang pasti—sekolah ini nggak bakal ngebosenin!

Leave a Reply