Daftar Isi
Lagi nyari cerpen cinta yang sedih tapi enggak lebay? Tenang, kamu udah nemu yang pas!
“Serpih Setelah Hujan” bukan sekadar cerita tentang putus cinta biasa—ini tentang retakan yang diam-diam tumbuh, cinta yang perlahan berubah, dan keberanian buat melepaskan saat bertahan malah makin menyakitkan.
Gaya bahasanya halus, emosional, tapi tetap relate banget sama realita hubungan zaman sekarang. Nggak drama ala sinetron, tapi juga nggak datar. Cerita ini cocok buat kamu yang pernah ngerasain: “Kita masih bareng, tapi udah nggak saling.”
Serpih Setelah Hujan
Musim yang Pernah Kita Sepakati
Mereka bertemu pada sore yang biasa saja, di tengah hiruk-pikuk sebuah pameran seni jalanan yang digelar di halaman parkir sebuah pusat komunitas. Langit mendung waktu itu, tapi tidak semendung hidup masing-masing. Elaira baru saja keluar dari hubungan yang membuatnya lupa cara tertawa, sementara Rakhendra datang karena temannya memaksa—katanya, hidup Rakhendra terlalu kaku tanpa warna.
Dua dunia yang seharusnya tidak beririsan, tapi sore itu, satu tumpahan cat akrilik dari seorang anak kecil menjadi awal dari sesuatu yang tidak direncanakan.
“Maaf banget, kak. Ini kena bajumu ya?” ucap si bocah panik sambil menunjuk celana jins Rakhendra yang kini dihiasi semburat biru muda.
Rakhendra mengangkat bahu. “Nggak apa-apa. Jadi kayak celana eksperimental gitu.”
Elaira yang berdiri di dekat situ—membawa totebag berisi sketsa bunga liar dan buku puisi milik Sapardi—tertawa pelan.
“Ternyata ada juga yang bisa tenang kena cat basah. Aku kira kamu bakal marah.”
Rakhendra menoleh, sedikit bingung. “Kenal?”
“Enggak,” jawab Elaira cepat. “Cuma… aku sering lihat orang marah buat hal kecil. Jadi tadi agak kaget aja.”
Rakhendra tersenyum. Tipis tapi tulus. “Kamu sering lihat atau sering ngalamin?”
Elaira mengerjap, lalu tertawa kecil. “Mungkin dua-duanya.”
Dan begitu saja, mereka mulai berjalan beriringan, seperti dua orang yang tidak sadar sedang melangkah ke medan baru yang akan mengubah arah hidup masing-masing. Di antara tawa ringan dan obrolan soal kopi favorit, mereka tidak menyadari bahwa senja sore itu diam-diam mencatat pertemuan mereka sebagai awal dari sebuah musim.
Beberapa minggu setelahnya, mereka mulai rutin bertukar pesan. Tidak ada pembahasan berat. Hanya cerita soal hari yang melelahkan, rekomendasi lagu, dan sesekali kiriman foto langit sore yang mereka lihat dari tempat berbeda.
“Kalau kamu bisa jadi warna, kamu pengin jadi warna apa?”
“Ungu keabu-abuan.”
“Lho kok?”
“Soalnya warna itu enggak pernah yakin, dia mau jadi cerah atau gelap.”
“Kamu ngenes juga ya.”
“Makanya aku cocoknya sama warna yang stabil.”
“Kayak warna apa?”
“Kayak kamu.”
Saat itu, Rakhendra pikir Elaira hanya bercanda. Tapi sebenarnya tidak. Sejak awal, ia selalu melihat Rakhendra seperti tanah—tenang, stabil, tapi menyimpan luka yang dalam. Dan entah kenapa, Elaira suka menginjak tanah seperti itu, berharap bisa tumbuh, meski tahu mungkin akarnya akan retak.
Hubungan mereka berkembang dalam bentuk yang tak terduga. Tidak ada pernyataan cinta yang teatrikal. Tidak ada bunga. Tidak ada ajakan jadi pasangan yang diucapkan dengan niat berlutut atau membuat video kejutan.
Suatu malam, di bawah lampu remang warung nasi goreng langganan, Rakhendra hanya berkata, “Kamu tahu nggak? Kalau kamu pergi tiba-tiba, aku bakal nyariin terus.”
Elaira tidak menjawab. Ia hanya menyeruput teh hangatnya dan mengangguk pelan. Lalu ia bilang, “Kalau gitu, jangan pergi juga, ya.”
Sejak saat itu, tidak ada yang benar-benar berubah, tapi juga tidak ada yang sama lagi. Mereka mulai menyebut satu sama lain sebagai “rumah”—tempat untuk pulang, bukan sekadar mampir.
Elaira mulai menulis puisi lagi. Rakhendra mulai membuka folder-folder lama berisi rekaman musik eksperimental yang dulu pernah ia buat saat masih kuliah. Mereka saling hidupkan.
Mereka juga mulai merancang impian-impian kecil. Liburan ke Lembang pakai motor tua Rakhendra. Pindah ke kota kecil yang sepi tapi punya banyak toko buku. Punya anak perempuan yang namanya harus ada unsur langit.
Kadang mereka bertengkar, tentu saja. Soal hal-hal kecil yang sepele: telat balas chat, salah pesen kopi, lupa ngasih kabar. Tapi pertengkaran itu selalu berakhir dengan pelukan dan kalimat, “Aku nggak pengin kehilangan kamu cuma gara-gara hal begini.”
Namun, di balik semua itu, ada hal-hal yang perlahan mulai mengendap di dalam masing-masing hati. Elaira mulai merasa bahwa ia harus menyimpan banyak versi dirinya sendiri, versi yang disukai Rakhendra. Ia mulai takut bicara terlalu keras, takut terlalu mandiri, takut tertawa pada hal-hal yang Rakhendra anggap bodoh.
Dan Rakhendra… terlalu terbiasa menjadi pusat. Ia tidak sadar bahwa cinta yang ingin ia beri sering kali berbentuk seperti peta yang hanya bisa dibaca satu arah: versinya sendiri.
Tapi semua itu belum meledak. Belum sekarang.
Sementara itu, dunia masih terlihat baik-baik saja. Mereka masih berjalan sambil bergandengan tangan di sepanjang trotoar yang ramai. Masih saling mengirim foto langit dan lagu-lagu lama yang mereka sebut “lagu kita”.
Dan di sebuah sudut kafe bernama “Dinda & Langit”, mereka sepakat membeli dua cangkir kopi pahit untuk merayakan tahun pertama mereka bersama.
“El, nanti kalau kita udah tua, kamu masih mau duduk di sini sama aku?”
“Kalau kamu enggak berubah, aku pasti masih mau.”
“Kalau aku berubah?”
“Kamu jangan tanya hal itu sekarang, Rakh. Biarin aku percaya sama versi kamu yang sekarang dulu.”
Lalu hujan turun pelan. Hujan yang mereka sukai.
Hujan yang saat itu, mereka pikir, akan selalu menemani setiap bab dalam kisah mereka.
Mereka belum tahu, bahwa hujan itu—pelan-pelan—akan membawa cerita ke arah yang tak mereka kira.
Retakan yang Tak Terdengar
Awalnya, semua terasa biasa saja. Bahkan terlalu biasa.
Pesan-pesan dari Rakhendra mulai terasa lebih pendek. Kadang tak dijawab dalam hitungan jam, dengan alasan sibuk. Tapi Elaira, seperti biasa, selalu berusaha paham. Karena sejak awal, ia tahu Rakhendra bukan tipe laki-laki yang ekspresif. Ia lebih sering menunjukkan rasa lewat tindakan: mengantar Elaira ke rumah saat hujan, mengingatkan untuk makan, atau memeriksa tekanan ban motor Elaira tanpa diminta.
Namun, semakin lama, “tindakan” itu pun mulai berkurang.
Suatu malam, Elaira duduk di balkon rumahnya, memegang handphone yang layarnya gelap. Ia sudah mengirim pesan sejak sore:
“Rakh, aku lagi sedih banget. Bisa telfon bentar?”
Tidak ada balasan. Sampai pagi.
Dan ketika balasan itu akhirnya datang, isinya hanya:
“Maaf ya, ketiduran. Besok cerita aja ya.”
Besoknya? Tapi malam itu, Elaira merasa seperti dunia kecilnya runtuh. Ia butuh seseorang—dan ia kira Rakhendra akan jadi orang itu. Tapi yang ia temukan hanya sunyi, yang terlalu dingin untuk sekadar disebut “ketiduran”.
Hari-hari berikutnya, Elaira mulai merasa kehilangan tempatnya. Ia tetap ada, tetap menunggu, tetap bertanya kabar… tapi mulai merasa seperti tamu dalam hubungan yang pernah ia pikir adalah rumah.
Ketika ia mengajak Rakhendra berdiskusi tentang rencana kecil mereka—pindah ke kota tenang dan hidup sederhana—jawaban Rakhendra hanya berupa helaan napas panjang.
“El, bisa enggak jangan ngomongin hal jauh dulu? Aku lagi banyak banget kerjaan. Fokus aku lagi bukan ke situ.”
Elaira mengangguk. Ia mencoba memahami. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang patah sedikit.
Hingga pada akhirnya, patah itu menjadi suara.
Waktu itu mereka duduk di warung kopi kecil dekat stasiun, tempat yang biasanya penuh kenangan. Tapi hari itu, udara terasa berat. Elaira menyimpan handphone-nya, menatap Rakhendra yang sibuk mengaduk kopi padahal kopi itu tidak perlu diaduk.
“Rakh… kamu masih sayang sama aku, enggak?”
Pertanyaan itu menggantung. Angin lewat seperti penonton yang menahan napas.
Rakhendra mendongak, wajahnya seperti tidak siap ditanya hal sejujur itu. Tapi ia juga tidak marah. Hanya terdiam. Lama.
“Aku sayang,” jawabnya akhirnya. “Tapi mungkin… cara sayangku beda sekarang.”
Dan di situ, Elaira merasa seperti sedang berdiri di tepi tebing, dan angin yang sejuk tadi berubah jadi dorongan yang membuatnya kehilangan pijakan.
Ia tidak menangis. Tidak bertanya lebih lanjut. Karena ia paham, saat seseorang bilang “cara sayangnya sudah beda”, itu biasanya bukan bentuk cinta, tapi tanda bahwa seseorang sedang bersiap pergi… hanya belum tahu bagaimana cara pamit.
Hubungan mereka terus berjalan, tapi dengan langkah pincang.
Rakhendra lebih sering pulang larut, alasan kerja lembur yang terlalu sering untuk bisa dipercaya sepenuhnya. Elaira tidak pernah menuduh. Ia bukan perempuan pencemburu, bukan tipe yang menuduh tanpa bukti. Tapi ia mulai merasa asing saat memeluk Rakhendra. Pelukannya dingin. Matanya tak lagi menatap, hanya melihat.
Dan ketika Elaira mencoba bicara tentang itu—tentang rasa sepi dalam kebersamaan—jawaban Rakhendra membuatnya terdiam lama.
“Kamu terlalu perasa, El. Kayaknya kamu butuh ruang buat nenangin diri juga.”
Kalimat itu terdengar seperti undangan untuk menjauh. Bukan agar mereka membaik, tapi agar Rakhendra bisa bernapas lega tanpa kehadiran Elaira yang katanya “terlalu perasa”.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak mereka bersama, Elaira menangis sampai ketiduran di sofa. Bukan karena dimarahi. Tapi karena rasa kehilangan yang pelan-pelan menggerogoti dirinya, seperti air yang meresap ke celah batu tanpa suara, tapi pasti akan menghancurkannya suatu saat nanti.
Tak ada yang benar-benar meledak di antara mereka. Tak ada drama besar, tak ada teriakan. Hanya hal-hal kecil yang dibiarkan mengendap terlalu lama—kecewa yang disimpan, rindu yang tak dijawab, janji-janji kecil yang dilupakan.
Dan pada suatu pagi yang terlalu sunyi untuk awal bulan, Elaira menatap pantulan wajahnya di cermin, dan berkata dalam hati, “Kalau aku pergi sekarang, dia bakal nyariin aku, atau malah lega?”
Ia tidak tahu jawabannya.
Tapi ia tahu satu hal: seseorang yang mencintaimu, tidak akan membuatmu merasa bersalah hanya karena kamu ingin didengar.
Hari itu, langit kembali mendung.
Dan untuk pertama kalinya, Elaira tidak mengirimkan foto langit itu ke Rakhendra.
Meja yang Tak Lagi Sama
Kafe “Dinda & Langit” sore itu tidak seramai biasanya. Hanya ada beberapa meja yang terisi, dan suara musik jazz mengalun pelan dari speaker kecil di sudut ruangan. Aroma kayu manis dan kopi arabika memenuhi udara, seperti biasa. Tapi ada yang tidak biasa dari suasana sore itu.
Di meja paling pojok, yang menghadap ke jendela, Elaira duduk sendiri lebih dulu. Cangkir cappuccino-nya sudah hampir dingin, busa susunya sudah menyatu dengan permukaan kopi. Ia tak menyentuhnya. Ia hanya memandang keluar, ke jalanan yang ramai oleh kendaraan, tapi sunyi dalam pikirannya sendiri.
Rakhendra datang sepuluh menit kemudian. Tanpa senyum, tanpa pelukan. Hanya sebuah anggukan kecil, lalu ia duduk di seberang Elaira, seperti orang asing yang kebetulan pernah saling mencintai.
“Maaf telat,” katanya singkat.
Elaira mengangguk pelan. “Enggak apa-apa. Aku udah biasa.”
Ucapan itu mengandung lebih dari sekadar keterangan waktu. Tapi Rakhendra tidak menanggapi. Ia memanggil pelayan, memesan Americano, lalu kembali diam. Suara sendok kecil beradu dengan gelas adalah satu-satunya yang terdengar dari meja mereka.
Sampai akhirnya, Elaira membuka suara.
“Kamu tahu kenapa aku ngajak ketemu?”
Rakhendra menatapnya sebentar, lalu menunduk. “Kira-kira tahu.”
“Aku enggak pengin kita selesai dengan cara yang jelek. Jadi aku pikir, mungkin ini saatnya kita bicara. Bukan lewat pesan. Bukan lewat asumsi.”
Ia berhenti sejenak. Suaranya tenang, tapi tangannya gemetar di pangkuan.
“Aku tahu kamu berubah, Rakh. Aku bisa ngerasa, meskipun kamu enggak pernah ngomong langsung. Dan aku enggak marah soal itu. Aku cuma… sedih.”
Rakhendra menarik napas panjang. “Aku juga ngerasa kamu berubah, El. Kamu jadi lebih sensitif, lebih gampang tersinggung. Aku ngerasa kayak harus mikir dua kali sebelum ngomong, takut kamu salah paham.”
“Aku berubah karena aku merasa enggak dikenali lagi,” jawab Elaira cepat. “Karena kamu udah enggak nanya apa yang aku rasain. Kamu berhenti peduli sebelum aku sempat cerita.”
Keduanya terdiam. Ada jeda yang terlalu panjang, membuat kopi di antara mereka jadi terasa dingin secara simbolis.
“Rakh…” suara Elaira lebih lembut kali ini. “Apa kamu lagi sayang sama orang lain?”
Pertanyaan itu mengguncang suasana. Rakhendra mengangkat kepalanya, menatap Elaira lekat-lekat. Lalu matanya berpaling ke jendela, ke langit yang mulai gelap.
“Enggak tahu,” jawabnya akhirnya. “Mungkin iya. Mungkin juga enggak. Tapi aku tahu… aku udah enggak bisa jadi orang yang kamu butuhin.”
Kalimat itu seperti palu. Bukan karena nadanya keras, tapi karena kenyataannya tak terbantahkan.
Elaira mengangguk pelan. Tidak menangis. Tidak bertanya siapa. Tidak bertanya sejak kapan. Karena semua itu sudah tidak penting lagi. Ia hanya butuh kejujuran—dan hari itu, ia akhirnya mendapatkannya, meskipun rasanya seperti ditusuk dari belakang.
“Jadi ini akhir kita?” tanyanya lirih.
Rakhendra menunduk, lalu mengangguk pelan. “Kayaknya iya.”
Dan seketika, semua kenangan menyeruak dalam kepala Elaira—langkah pertama di pameran seni, puisi-puisi malam hari, motor tua ke Lembang yang belum pernah dinaiki bersama, dan pertanyaan yang dulu pernah diucapkan Rakhendra, “Kalau kamu pergi tiba-tiba, aku bakal nyariin terus.”
Kini, ia tahu jawabannya. Tidak.
Mereka menghabiskan sisa waktu di meja itu dengan diam. Tidak ada pelukan perpisahan. Tidak ada air mata yang tumpah di tempat. Hanya keheningan yang menyesakkan, dan dua cangkir kopi yang dibiarkan mendingin, seperti dua hati yang sama-sama kehilangan suhu cinta.
Ketika akhirnya berdiri, Elaira lebih dulu melangkah. Ia tidak menoleh. Dan Rakhendra tidak memanggil.
Langit di luar mendung, seperti sore di hari mereka pertama kali bertemu. Tapi kali ini, tidak ada tawa. Tidak ada percakapan soal warna favorit. Hanya langkah menjauh, dan hujan yang mulai turun satu-satu di balik kaca.
Dan meja di kafe itu—meja yang dulu penuh tawa, janji, dan impian—kini hanya menjadi tempat yang tak lagi sama. Tak lagi hangat. Tak lagi milik mereka.
Hujan Terakhir di Bulan Mei
Mei tahun itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena suhu udara, tapi karena sepi yang membekas setelah perpisahan. Waktu berjalan seperti biasa, tapi tidak ada yang terasa biasa bagi Elaira.
Setiap pagi, ia masih melewati jalan yang sama ke tempat kerja, masih duduk di kursi kereta yang sama, masih membeli kopi di tempat yang sama. Tapi semuanya kini terasa kosong. Ia tidak lagi memotret langit sore. Tidak lagi menulis puisi di catatan kecilnya. Lagu-lagu lama yang dulu menyembuhkan kini hanya menjadi suara tanpa makna yang ia buru-buru matikan.
Namun, ia tidak melarikan diri.
Ia tetap tinggal. Tetap hadir dalam luka yang perlahan mulai ia hadapi. Hari demi hari, ia mulai belajar bernapas lagi, meski kadang dadanya masih sesak saat melihat orang lain tertawa di bangku yang dulu pernah ia duduki bersama Rakhendra.
Satu sore, di akhir bulan, hujan turun deras. Hujan yang seperti tahu bahwa ia belum sempat mengucapkan salam perpisahan dengan layak. Elaira berdiri di halte, sendirian, menatap jalanan yang basah oleh kenangan yang sulit larut.
Ia membuka catatan ponselnya. Sudah lama sekali tak menulis. Jarinya sempat ragu, tapi akhirnya menari perlahan:
“Kepada cinta yang dulu menjadi rumah…
Terima kasih telah membuatku percaya bahwa aku pantas dicintai, meski pada akhirnya aku harus mencintai diriku lebih dulu untuk bertahan.
Semoga kamu menemukan langit yang cocok untuk warnamu sendiri.”
Ia tidak mengirimkan catatan itu ke siapa pun. Ia hanya menyimpannya. Untuk dirinya sendiri. Sebagai bukti bahwa meski patah, ia tetap bisa menyusun kembali kepingnya, meski dengan bentuk yang tidak sama lagi.
Beberapa hari setelah hujan itu, Elaira akhirnya kembali ke kafe “Dinda & Langit.” Sendirian. Meja pojok itu masih ada. Tidak berubah. Tapi yang berubah adalah perasaan di dalam dirinya.
Ia duduk pelan, memesan teh melati kali ini—bukan kopi.
Dan saat pelayan datang membawakan minumannya, ia berkata, “Kalau boleh, hari ini aku mau duduk di sini agak lama.”
Pelayan hanya tersenyum. “Silakan, Mbak. Meja ini kayaknya memang cocok buat yang butuh waktu.”
Elaira tersenyum. Ia menatap keluar jendela. Langit mendung, tapi tidak lagi menakutkan. Hujan mungkin akan turun lagi, tapi kini ia sudah siap. Karena ia tahu, tidak semua hujan harus membuat orang lari berlindung.
Kadang, hujan cuma ingin menemanimu diam, sampai kamu bisa menerima bahwa tidak semua kehilangan harus kamu mengerti.
Dan di situlah ia, Elaira—bukan lagi sebagai kekasih seseorang, bukan lagi sebagai gadis yang menunggu kabar atau janji yang tak ditepati. Tapi sebagai dirinya sendiri. Utuh, meski tidak sempurna. Penuh luka, tapi juga keberanian.
Karena di akhir segalanya, cinta sejati bukan tentang siapa yang bertahan sampai akhir. Tapi siapa yang berani melepaskan, saat bertahan hanya membuat luka makin dalam.
Dan di bulan Mei itu, saat hujan terakhir turun perlahan, Elaira tidak menangis.
Ia hanya menatap langit, dan berkata pelan,
“Terima kasih, Rakhendra… untuk pernah menjadi rumah, meski hanya sebentar.”
TAMAT
Gimana? Udah berhasil move on dari cerpennya atau masih keinget dialog terakhir mereka di kafe? “Serpih Setelah Hujan” bukan cuma cerita tentang patah hati, tapi juga tentang menerima bahwa kadang, cinta sejati bukan yang selamanya—tapi yang pernah membuat kita belajar bertumbuh.
Kalau kamu pernah ngerasain sayang yang perlahan berubah jadi asing, pasti kamu bakal ngerasa kayak cerita ini ditulis dari isi hati kamu sendiri. Dan kalau belum pernah… ya, semoga cukup baca ini aja dulu. Nggak usah ngalamin yang kayak Elaira.