Seragam Biru, Tanda Tangan Hidup: Cerita Seru, Penuh Drama, dan Pelajaran Berharga dari Dunia OSIS!

Posted on

Pernah kebayang nggak, gimana rasanya jadi pengurus OSIS yang harus ngatur acara besar sekolah, nyelametin tenda dari hujan deras, dan tetap senyum meski kaki belepotan lumpur? Nah, di cerpen “Seragam Biru, Tanda Tangan Hidup” ini,

kamu bakal diajak masuk ke balik layar dunia OSIS yang penuh warna—dari pertemanan yang nggak biasa, keputusan sulit, sampai perjuangan bareng tim yang bikin merinding! Cerita ini cocok banget buat kamu yang suka kisah organisasi, penuh pelajaran hidup, dan dialog yang nggak kaku tapi tetap ngena. Yuk, baca sampai habis—dijamin nggak bosenin!

Seragam Biru, Tanda Tangan Hidup

Suara yang Tak Biasa

Suasana aula sekolah siang itu bisa dibilang panas—bukan cuma karena ventilasi yang malas bekerja, tapi juga karena sorotan mata dari puluhan siswa yang berkumpul demi satu hal: pengumuman calon ketua OSIS.

Di antara kerumunan, suara desas-desus menggantung di udara. Beberapa membicarakan nama-nama langganan: anak-anak yang biasa muncul di tiap acara resmi, yang seragamnya selalu rapi, dan yang catatan pelanggarannya bersih dari noda. Tapi dari arah deretan belakang, seorang siswa cowok yang sedang main game di HP-nya duduk santai, cuek seperti biasa. Nama di layar game-nya mungkin “RafkaAnnt”, tapi nama lengkapnya terpampang di kertas pengumuman yang baru saja ditempel di papan besar dekat panggung.

“Eh, serius? Rafka masuk calon ketua OSIS?” suara Nayla memecah riuh. Teman-temannya langsung ngelirik ke arah Rafka yang bahkan belum sadar namanya sedang jadi bahan gosip.

“Lu yakin itu bukan typo?” tanya Nadya, sambil maju mendekat dan membaca daftar itu lebih teliti.

Nayla cuma ketawa, matanya tetap tak lepas dari tulisan tinta hitam yang tegas di kertas A3:
No. 04 – Rafka Anantaya – XI IPS 2

Sore itu, ruang BK berubah jadi ruang klarifikasi dadakan. Rafka duduk di depan meja Ibu Erawati, guru pembina OSIS yang terkenal galak tapi diam-diam sangat suportif kalau lihat potensi unik.

“Kamu pasti kaget ya, Raf,” ucap Bu Erawati, senyumnya tipis. “Tapi nama kamu nggak masuk secara asal-asalan. Ada delapan anak yang rekomendasiin kamu dalam satu malam.”

Rafka diam. Tangannya mainin tutup botol air minum yang hampir kosong. Lalu dia nyengir, setengah ragu, setengah geli.

“Bu, aku tuh suka ngomong, iya. Tapi aku nggak pernah mikir bakal jadi orang yang… gini. Formal, gitu. Aku kan bukan anak debat atau yang rajin ikut upacara.”

“Justru itu,” balas Bu Erawati. “Kamu punya suara yang beda. Dan yang lebih penting, anak-anak ngerasa kamu mewakili mereka.”

Hening sebentar. Sampai akhirnya Rafka buka suara lagi, kali ini nadanya serius, walau tetap santai.

“Oke, Bu. Kalau ini beneran pilihan mereka, aku coba.”

Besoknya, pengumuman resmi disebar lewat grup WhatsApp OSIS dan mading utama sekolah. Rafka nggak buang waktu. Dia tahu, kalau mau jalan terus, dia harus bentuk tim kampanye.

Tapi bukan Rafka namanya kalau cara dia nyusun tim juga biasa-biasa aja.

“Gue nggak butuh orang yang jago ngomong doang,” katanya ke Rama, yang lagi ngedit footage acara perpisahan tahun lalu. “Gue butuh yang bisa bikin kampanye kita beda. Ngena.”

Rama angkat alis, lalu cengengesan. “Lu ngajak gue buat bikin video kampanye? Yang kayak… vlog atau gimana?”

“Gue pengen kita bikin video yang jujur. Yang bisa nyentil, tapi nggak nyolot. Yang bisa nunjukin masalah di sekolah ini, tapi dengan cara yang anak-anak relate.”

Dua hari kemudian, video itu keluar. Judulnya simpel: “Ngomong Aja, Jangan Cuma Bisik-Bisik.” Isinya potongan-potongan cuplikan yang ngasih lihat keluhan siswa secara kreatif—tentang kantin yang mahal, kelas yang kipas anginnya rusak tiga bulan tapi belum diganti, dan larangan-larangan konyol yang nggak pernah dijelaskan alasannya.

Video itu menyebar cepat. Nggak sampai 24 jam, sudah ditonton lebih dari seribu kali oleh siswa-siswi seisi sekolah. Bahkan guru Matematika sempat komen, “Siapa yang bikin ini? Kok berani banget, ya…”

Tapi komentar paling berkesan datang dari Nayla, yang akhirnya datang ke Rafka di lorong sekolah setelah nonton video itu.

“Raf,” katanya sambil melipat lengan bajunya. “Video kamu tuh… nyentuh. Tapi juga bikin panas kuping orang-orang yang ngerasa tersindir.”

Rafka ketawa, suaranya pelan. “Ya emang itu niatnya. Tapi aku nggak mau asal kritik doang. Aku cuma pengen kita tuh bisa ngomong terbuka. Sekolah ini punya kita juga, kan?”

Nayla diam sebentar. Matanya menatap lurus, lalu dia mengangguk. “Kalau kamu beneran jadi ketua, aku mau bantu. Tapi kamu harus siap juga—orang yang mau perubahan, biasanya paling duluan diserang.”

Hari pemilihan datang. Aula kembali ramai. Kali ini bukan karena panas atau pengumuman, tapi karena suara teriakan dan tepuk tangan dari tiap sudut. Empat calon berdiri di atas panggung, siap presentasi visi dan misi.

Tiga dari mereka bicara dengan gaya formal: pakai kalimat panjang, janji-janji manis, dan slogan yang terasa… textbook. Tapi waktu Rafka maju, suasana berubah.

Dia nggak bawa kertas. Nggak pakai jas OSIS. Cuma berdiri, menatap hadirin satu-satu.

“Halo. Aku Rafka. Mungkin kamu kenal aku dari video yang viral minggu lalu, atau dari nilai Matematikaku yang suka nyeleneh.”

Beberapa ketawa.

“Tapi hari ini aku berdiri di sini bukan buat ngasih janji. Aku berdiri di sini karena aku capek jadi penonton. Aku pengen bantu ngerubah cara kita ngomongin masalah. Nggak pakai basa-basi, tapi juga nggak asal seruduk.”

Tepuk tangan mulai terdengar, pelan tapi bertambah deras.

“Aku nggak janjikan semua akan jadi mulus. Tapi aku janji, aku bakal dengerin. Dan aku bakal ngajak kamu semua buat ikut nentuin arah OSIS ini ke depan.”

Ketika dia turun dari panggung, wajahnya tetap santai. Tapi dari senyuman kecil yang sempat muncul di sudut bibirnya, semua orang tahu—anak ini serius.

Dan tanpa mereka sadari, hari itu bukan cuma hari pemilihan ketua OSIS. Itu hari ketika SMA Bahana Karya Raya mulai menulis bab baru dalam sejarah organisasinya — bab yang dimulai bukan oleh siswa paling sempurna, tapi oleh suara yang tak biasa.

Tanda Tangan Pertama

Papan pengumuman di mading utama dikelilingi siswa sejak bel masuk pagi belum berbunyi. Beberapa menyipitkan mata, mencari satu nama dengan harapan. Yang lain berusaha menahan senyum atau justru menelan kecewa. Tapi satu nama di urutan teratas, yang ditulis dengan huruf kapital tebal, jadi pusat perhatian banyak mata:

KETUA OSIS TERPILIH: RAFKA ANANTAYA – XI IPS 2

Rafka datang agak telat hari itu. Sepatu masih basah karena semalam hujan deras dan dia lupa jemur. Tapi begitu dia masuk gerbang, sambutan langsung datang dari berbagai arah.

“Ketua baru datang!” teriak Dion dari kelas XI IPA 1, sambil mengepalkan tangan ke atas.

“Lu traktir es teh dong, Ka!” timpal yang lain.

Rafka cuma nyengir. Langkahnya pelan, tapi di dalam kepalanya, ada satu pertanyaan mengganggu: Jadi, sekarang gue harus ngapain?

Jawabannya datang dengan cepat. Hari pertamanya sebagai ketua OSIS diawali dengan panggilan ke ruang guru. Di dalam, Bu Erawati duduk dengan beberapa map di tangan. Di sebelahnya, meja besar dengan tumpukan berkas yang seperti mau tumbang.

“Kamu udah siap?” tanya Bu Erawati tanpa basa-basi.

Rafka menatap meja itu sebentar. “Kalau nggak siap, nggak bakal ada yang tandatanganin ini semua, kan?”

Senyum tipis muncul di wajah guru pembina itu. “Ini semua proposal kegiatan. Ada yang dari ekskul, ada yang dari guru, dan sisanya… ya, OSIS.”

Satu demi satu map dibuka. Judul-judul seperti Pengajuan Dana Kegiatan Palang Merah Remaja, Permohonan Izin Kegiatan Kelas Inspirasi, sampai Anggaran Pensi 3 Bulan Mendatang muncul seperti parade tanggung jawab yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Tapi bukan itu yang bikin dia diam cukup lama. Di sisi kanan map-map itu, ada satu kotak kecil, dengan tulisan sederhana:
“Tanda tangan ketua OSIS”

Rafka mengambil pulpen biru dari sakunya. Tangannya menggantung di atas kertas, seolah sedang menimbang sesuatu yang lebih berat dari sekadar tinta.

“Dulu aku kira tanda tangan itu cuma soal formalitas,” gumamnya pelan. “Tapi sekarang rasanya kayak… ya ampun, ini hidup orang lho, kegiatannya, semangat mereka. Kalau aku tanda tangan, berarti aku tanggung jawab juga.”

Bu Erawati menatapnya lama. “Kamu ngerti lebih cepat dari yang aku duga.”

Akhirnya, pulpen itu menyentuh kertas. Lengkungan tanda tangan pertamanya sebagai ketua OSIS mungkin nggak sempurna, tapi di situlah semuanya dimulai — rasa tanggung jawab, beban, dan tekad yang mulai bertumbuh pelan-pelan.

Minggu-minggu setelahnya, rutinitas Rafka berubah drastis. Dulu dia datang ke sekolah hanya lima menit sebelum bel, sekarang dia jadi yang pertama buka kunci ruang OSIS. Dulu dia pulang bareng teman-teman main ke tempat bakso langganan, sekarang waktunya habis buat rapat, diskusi, dan revisi proposal.

Di ruang OSIS, papan tulis penuh coretan. Kalender kegiatan menumpuk, dan post-it warna-warni jadi penanda deadline yang datang tanpa ampun.

Di tengah semua itu, Nayla menjadi tangan kanan yang tak tergantikan. Ia yang membuat struktur tim jadi hidup. Kalau Rafka adalah suara yang menggugah, Nayla adalah strategi yang merapikan semuanya.

Suatu sore, mereka duduk berdua di lantai ruang OSIS, di antara berkas-berkas yang berantakan.

“Kamu sadar nggak sih, kita belum pernah benar-benar istirahat dari hari pemilihan?” tanya Nayla sambil bersandar ke lemari.

“Iya, aku ngerasa kayak lagi jalan terus di atas treadmill. Capek, tapi nggak boleh berhenti.”

“Kamu menyesal?”

Rafka diam sebentar. “Nggak. Tapi aku ngerti kenapa orang-orang dulu suka kelihatan stres banget pas jadi pengurus. Ini bukan cuma soal bikin acara. Ini soal… ngurusin orang.”

Nayla tersenyum kecil. “Tapi kamu tetap jalan terus.”

“Karena aku tahu ini bukan cuma tentang aku. Ini tentang orang-orang yang percaya kalau aku bisa jadi perpanjangan suara mereka.”

Tapi nggak semua hal berjalan lancar. Suatu hari, proposal dari ekskul Musik ditolak oleh bagian keuangan sekolah. Alasannya? Terlalu banyak item “tidak penting” seperti lighting warna-warni dan efek panggung.

Anak-anak ekskul Musik kecewa berat. Salah satu di antara mereka, Aldi, bahkan sempat datang ke ruang OSIS dengan ekspresi marah.

“Kamu kan ketuanya, Raf! Harusnya kamu bela dong. Kita udah kerja keras buat konsep itu. Tapi sekarang malah dipotong habis-habisan.”

Rafka nggak langsung jawab. Dia ajak Aldi duduk, lalu buka proposal yang sudah dicorat-coret merah oleh bagian keuangan.

“Aku ngerti kok. Tapi kamu juga lihat sendiri, dana yang ada terbatas. Bukan cuma kalian yang butuh. Kalo aku bela kamu doang, gimana yang lain?”

Aldi menunduk, tapi wajahnya masih kaku.

“Tapi… masa lighting aja dianggap nggak penting?”

Rafka akhirnya angkat kepala, menatap Aldi serius.

“Kalo kamu bisa kasih alasan kenapa lighting itu bagian dari narasi panggung, bukan cuma hiasan, aku siap bela proposal kamu lagi. Tapi kamu harus datang bukan cuma bawa kemarahan, tapi juga data.”

Keesokan harinya, Aldi datang lagi. Kali ini bawa presentasi singkat, dengan bantuan Rama dari sinematografi. Mereka menjelaskan bagaimana pencahayaan mendukung storytelling, bagaimana tiap warna punya makna emosi dalam pertunjukan.

Dan akhirnya, revisi proposal itu disetujui. Lighting tetap ada, walau skalanya diperkecil.

Hari itu, banyak yang lihat Rafka bukan cuma sebagai “ketua OSIS yang gaul”, tapi sebagai mediator. Orang yang bukan cuma bisa ngomong, tapi juga bisa jadi jembatan logika dan empati.

Dan malam itu, saat dia duduk sendiri di ruang OSIS yang mulai sepi, dia buka kembali map pertamanya — proposal yang pertama kali dia tanda tangani.

Tinta biru di kertas itu mulai sedikit pudar, tapi arti dari tanda tangannya justru makin jelas.

Karena ternyata, menjadi ketua bukan tentang punya kekuasaan. Tapi tentang jadi titik temu—antara yang berharap dan yang realistis, antara ide liar dan tanggung jawab nyata.

Dan Rafka baru saja memulai perjalanan panjang yang jauh dari selesai.

Lapangan Becek & Mie Instan

Langit pagi itu kelabu. Awan menggantung rendah seolah menahan beban cerita yang belum tumpah. Tapi di lapangan SMA Bahana Karya Raya, puluhan siswa dari berbagai kelas sudah berdiri di sekeliling panggung setengah jadi—dengan kabel berceceran dan baliho yang baru setengah terpasang. Wajah mereka penuh harap, meski tanah di bawah kaki mulai lengket karena gerimis semalam yang tak kunjung kering.

Hari itu adalah Festival Bahana, acara tahunan paling ditunggu, sekaligus paling merepotkan. Selama sebulan terakhir, panitia OSIS yang dikomandoi Rafka dan timnya bekerja nyaris tanpa tidur demi memastikan semuanya berjalan mulus. Tapi pagi itu, semuanya mulai terasa goyah.

Tenda utama belum datang. Sewa sound system sempat dibatalkan sepihak oleh vendor karena miskom. Dan yang paling parah: gerimis kembali turun, pelan tapi konsisten, membasahi lapangan dan peralatan yang belum siap.

Di balik panggung, Nayla berdiri dengan dua map di tangan dan satu earphone yang menggantung dari leher.

“Rafka, tenda cadangan bisa datang jam sebelas. Tapi itu artinya band pembuka harus diundur. Terus, pihak sponsor dari minuman energi itu nanyain ulang soal space booth mereka. Mereka pengen pindah ke depan aula, tapi di situ kan kita taruh stand makanan.”

Rafka mengucek wajahnya. Celana training-nya basah sampai ke lutut. Dia menatap Nayla, lalu ke Rama yang sedang mengatur kabel sambil teriak-teriak ke tim dekor.

“Kita pindahin booth sponsor ke samping panggung. Makanan tetap di depan aula, biar anak-anak gampang akses. Band pembuka? Suruh mereka gladi dulu di ruang musik, jam dua belas naik. Nanti aku yang ngomong ke MC soal rundown-nya.”

Nayla mengangguk cepat, lalu lari kecil sambil mencatat di ponselnya. Di tengah lapangan, Rama melambai sambil teriak, “Ka, colokan dari genset kayaknya mati sebelah!”

Rafka langsung loncat turun dari panggung, kakinya nyemplung ke genangan lumpur. Bukan cara yang elegan untuk seorang ketua OSIS, tapi saat itu dia nggak mikir soal tampang.

Dia jongkok, buka panel kecil di samping genset, lalu ngecek soket satu-satu. Tangan dan lengannya mulai belepotan tanah basah dan oli. Beberapa anak panitia yang lewat cuma bisa melongo.

“Nggak nyangka, ya… ketua OSIS bisa juga jadi tukang listrik dadakan.”

Tapi bukan komentar itu yang paling bikin Rafka berhenti sejenak. Melainkan ucapan dari Dava, anggota OSIS yang biasanya paling kalem.

“Kamu nggak capek ya, Ka? Serius deh. Lihat kamu lari ke sana-sini tuh… kayak nggak pernah istirahat.”

Rafka ngelirik ke arah Dava, lalu senyum singkat. “Capek sih, Dav. Tapi aku lebih capek kalau acara ini gagal dan kita semua disalahin. Mending becek sekarang daripada hancur nanti.”

Menjelang siang, hujan berhenti. Langit masih abu-abu, tapi semangat di lapangan mulai berwarna.

Booth makanan mulai dibuka. Bau mi goreng dan sosis bakar menyeruak di antara gerimis yang belum kering. Sound system cadangan datang lebih kecil dari ekspektasi, tapi cukup buat acara tetap jalan. Anak-anak ekskul tari sudah mulai dandan, dan MC yang dilatih Nayla sejak seminggu lalu mulai mengatur suara lewat mic yang sempat ngadat.

Di salah satu sudut, tenda darurat jadi markas panitia. Di dalamnya, Rafka duduk bersila, kakinya penuh lumpur, tangan kanan masih menggenggam checklist, tangan kiri menggenggam… mie instan cup.

“Ini satu-satunya makanan hangat hari ini,” katanya sambil meniup kuah panas. Nayla duduk di seberangnya, sambil nyoret rundown dengan stabilo pink.

“Rasanya kayak camping, ya.”

“Bedanya ini camping di sekolah dengan tekanan 30 vendor dan ratusan siswa.”

Mereka ketawa. Tawa yang tipis, tapi jujur. Tawa dari orang-orang yang tahu capek, tapi juga tahu bahwa kerja keras mereka nggak sia-sia.

Beberapa menit kemudian, Rama masuk ke tenda sambil bawa kabar, “Ka, kamu harus liat ini.”

Di depan panggung, penonton mulai berkumpul. Band pembuka tampil dengan semangat, walau speaker-nya cuma dua arah. Siswa-siswa dari kelas X sampai XII mulai berdatangan, membawa kantong plastik dan jas hujan lipat. Beberapa guru berdiri di pinggir, ada yang merekam pakai ponsel, ada yang cuma senyum-senyum.

Di tengah-tengah kerumunan, ada poster besar buatan anak OSIS yang digantung di tiang bambu:

“Kalau panggungnya becek, semangatnya jangan ikut lecet.”

Rafka berdiri di pinggir panggung, melihat semua itu. Dia nggak berkata apa-apa. Tapi dari sorot matanya, ada rasa lega yang sulit dijelaskan.

“Lihat tuh,” bisik Nayla. “Gagal? Nggak ada dalam kamus.”

Rafka menoleh ke Nayla, lalu tepuk bahunya pelan. “Kalau bukan karena kamu, Rama, dan yang lain, mungkin panggung ini udah ambruk dari pagi.”

“Tapi kamu yang bikin kita semua mau berdiri bareng,” jawab Nayla pelan.

Sore itu, meski tanah tetap licin, dan kabel beberapa kali harus diangkat supaya nggak kena genangan, Festival Bahana berjalan. Siswa-siswa tertawa, makan, dan berteriak sorak-sorai saat teman-teman mereka tampil. Bahkan kepala sekolah yang biasanya kaku, ikut mengangguk-angguk saat band dari kelas XII main lagu lawas tahun 2000-an.

Dan ketika matahari hampir tenggelam, Rafka naik ke atas panggung—bukan sebagai ketua yang memberi sambutan resmi, tapi sebagai MC dadakan menggantikan anak kelas XI yang sakit mendadak. Dia berdiri, tangan kirinya masih sedikit belepotan lumpur yang belum kering, dan dengan mic yang suaranya serak-serak hidup, dia membuka kalimatnya:

“Terima kasih karena kalian tetap di sini, meski lapangannya becek dan acaranya sempat kacau. Tapi hari ini bukti… kalau semangat kita nggak gampang dilapisi lumpur.”

Sorak-sorai pecah. Beberapa anak OSIS berteriak sambil mengangkat cup mie kosong ke atas.

Dan di situlah, Rafka belajar: menjadi ketua bukan tentang berdiri di atas panggung kering dengan jas rapi, tapi tentang mau nyemplung ke becek bersama orang lain, tetap berdiri, dan bikin semua tetap merasa hangat — walau hanya dengan mie instan dan tenda darurat.

Warisan Pulpen Biru

Pagi di bulan Juni terasa lebih cepat dari biasanya. Suara burung yang biasanya jadi latar belakang kini bersaing dengan obrolan gugup para siswa kelas dua belas. Gaun putih dan jas hitam memenuhi aula sekolah. Balon-balon perak bertuliskan “Farewell 12th” bergantung malu-malu di langit-langit.
Hari itu hari perpisahan, tapi bukan hanya untuk mereka yang lulus. Itu juga hari terakhir Rafka sebagai ketua OSIS.

Tugasnya sudah selesai.

“Gimana rasanya, Ka? Jadi orang yang bakal pensiun dari jabatan paling melelahkan di sekolah?” tanya Nayla sambil membantu merapikan dasi Rafka yang agak miring.

Rafka nyengir. “Jujur? Aneh banget. Kayak… waktu jalan cepat banget, terus tahu-tahu udah sampai sini.”

Mereka berdiri di belakang panggung aula, menunggu giliran naik untuk prosesi serah terima jabatan ke pengurus OSIS baru. Rangkaian bunga kecil dipasang di pundak Rafka, simbol akhir dari masa kepemimpinannya. Tapi lebih dari itu, simbol bahwa dia telah membawa perannya sejauh yang dia bisa.

“Eh,” Nayla menggeser tubuhnya sedikit ke kanan, memberi ruang bagi seseorang yang datang.

Itu Aksa, ketua OSIS terpilih. Siswa kelas X yang dikenal pendiam tapi punya ketajaman berpikir yang bikin beberapa guru sempat takjub. Hari itu, dia berdiri dengan tangan di saku celana abu-abu, gugup tapi mencoba tenang.

“Ka,” katanya pelan. “Aku… deg-degan banget. Takut salah ambil langkah.”

Rafka tersenyum dan menepuk bahunya pelan. “Deg-degan itu wajar. Tapi kamu tahu nggak yang lebih penting dari nggak salah langkah?”

Aksa menggeleng.

“Berani bertanggung jawab kalau memang langkahmu salah.”

Sebuah kotak kecil dikeluarkan Rafka dari saku jasnya. Di dalamnya, pulpen biru — sama seperti yang ia pakai menandatangani proposal pertamanya, menandatangani mimpi, tantangan, bahkan surat pengunduran diri anggota OSIS yang burnout.

“Ini aku kasih ke kamu. Bukan karena ini pulpen keramat, ya. Tapi karena setiap tanda tangan yang kamu bikin, bukan sekadar tanda formalitas. Itu simbol kamu hadir, kamu paham, dan kamu rela berdiri di tengah-tengah antara ego dan tanggung jawab.”

Aksa menerima pulpen itu dengan kedua tangan, bahkan tak berani langsung memegangnya erat.

“Kalau berat, kamu bisa ngomong. Kalau bingung, kamu bisa minta bantuan. Tapi jangan pernah pura-pura tahu semuanya,” tambah Rafka. “Karena nggak ada pemimpin yang tahu segalanya. Kita cuma belajar terus.”

Acara serah terima jabatan berlangsung lancar. Sambutan kepala sekolah, tayangan video perjalanan OSIS selama setahun, dan diakhiri dengan satu sesi istimewa — testimoni dari pengurus lama.

Saat mikrofon diserahkan ke Rafka, aula menjadi hening. Semua mata tertuju padanya, termasuk mata-mata guru yang diam-diam pernah meremehkannya di awal dulu.

Rafka menatap ke arah teman-temannya, lalu ke Nayla, Rama, Dion, bahkan Aldi dari ekskul Musik yang kini jadi salah satu koordinator acara terbaik.

“Selama satu tahun ini, aku bukan cuma belajar ngurusin acara. Tapi aku belajar ngurusin orang. Dan lebih dari itu, aku belajar ngurusin diriku sendiri.”

Beberapa siswa mulai menyusut air mata secara diam-diam.

“Aku belajar kalau memimpin itu bukan soal siapa yang paling keras ngomongnya. Tapi siapa yang paling siap dengar dan ngerti. Aku belajar kalau keputusan nggak selalu bikin semua orang senang, tapi tetap harus diambil. Dan aku belajar… kalau organisasi kayak OSIS bukan tentang jabatan. Tapi tentang jejak.”

Ia berhenti sebentar, mengambil napas.

“Karena jejak itu, yang akan dilihat orang meski kita udah nggak lagi berdiri di depan. Dan aku harap, jejak kita semua… cukup kuat buat jadi pondasi orang-orang setelah kita.”

Tepuk tangan meledak, bukan sekadar sebagai formalitas, tapi sebagai penghargaan. Tak hanya untuk Rafka, tapi untuk semua cerita yang sudah mereka jalani bersama. Cerita yang penuh lumpur, mie instan, dan malam panjang di ruang OSIS yang lampunya kedap-kedip.

Setelah acara usai, Rafka kembali ke ruang OSIS — kini terasa lebih lapang. Kertas-kertas yang dulu berserakan kini sudah rapi di map. Post-it di papan tulis sebagian besar sudah dicabut. Di laci meja utama, hanya ada satu benda yang ia tinggalkan: notes kecil bertuliskan tangan.

“Jangan takut gagal. Takutlah kalau kamu berhenti peduli.”
—Rafka A.

Nayla masuk sambil membawa dua gelas teh tarik. “Pantes kamu ngilang, ternyata nostalgia.”

Rafka tertawa, duduk di atas meja, lalu menatap ruang itu dengan pandangan berbeda.

“Aku pikir aku bakal sedih ninggalin ini semua. Tapi ternyata aku… damai.”

“Karena kamu tahu, kamu udah kasih yang terbaik,” jawab Nayla.

Mereka saling pandang, lalu bersulang pakai gelas plastik bening.

“Untuk tanda tangan hidup,” kata Nayla.

“Dan untuk kaki-kaki yang pernah berani melangkah,” balas Rafka.

Di luar, matahari mulai condong ke barat. Hari itu tidak ada perayaan meriah, tidak ada konfeti atau kembang api. Tapi dalam ruang kecil itu, dua orang yang pernah berdiri di tengah pusaran tanggung jawab, tahu bahwa mereka telah menulis satu bab penting dalam sejarah kecil yang akan diingat — bukan karena panggung megah, tapi karena keberanian untuk tetap berdiri meski panggungnya becek.

Dan di sanalah cerita itu berakhir. Dengan pulpen biru, tangan kotor, dan hati yang telah tumbuh.

Jadi, setelah ngikutin perjalanan Rafka dan teman-temannya dari awal sampai akhir, kamu pasti sadar—jadi OSIS itu bukan cuma soal seragam rapi dan tanda tangan proposal.

Tapi soal tanggung jawab, kebersamaan, dan keberanian buat terus berdiri bahkan saat semuanya terasa kacau. Cerpen ini bukan cuma cerita, tapi juga cermin kecil buat siapa aja yang pernah (atau pengen) jadi bagian dari organisasi. Gimana, udah siap nulis cerita kamu sendiri?

Leave a Reply