Sepiring Nasi Terakhir: Pengorbanan Seorang Ibu yang Mengajarkan Makna Hidup

Posted on

Nggak ada yang lebih kuat dari cinta seorang ibu. Serius, nggak ada! Mau lapar, sakit, atau bahkan harus kerja seharian di bawah terik matahari, seorang ibu bakal tetap mikirin anaknya lebih dari dirinya sendiri.

Tapi pernah kepikiran nggak sih, gimana rasanya kalau seorang anak tiba-tiba sadar bahwa ibunya selama ini sering bohong demi satu hal sederhana—biar anaknya bisa makan? Ini bukan cerita biasa. Ini tentang Elang, bocah kecil yang baru ngerti arti pengorbanan lewat satu piring nasi. Bukan sekadar kisah sedih, tapi juga tamparan keras buat kita semua.

Sepiring Nasi Terakhir

Langkah Kecil di Tanah Sawah

Di sebuah desa yang tak pernah berubah sejak dulu, Mardiah dan Elang menjalani hidup mereka dengan sederhana. Rumah mereka berdiri di tepi sawah luas yang menghampar sejauh mata memandang. Setiap pagi, ayam-ayam jantan berkokok bersahutan, membangunkan penduduk desa dari tidurnya. Bau tanah basah dan rumput yang masih dipenuhi embun menemani pagi Mardiah yang selalu sibuk sejak matahari mulai naik.

“Hari ini kamu pulang sekolah jam berapa?” tanya Mardiah sambil memasukkan segenggam nasi ke dalam rantang kecil.

Elang, bocah berusia sepuluh tahun itu, sedang mengikat tali sepatunya yang sudah mulai usang. “Jam dua belas, Bu. Kenapa?”

“Aku minta tolong nanti langsung pulang, ya. Kalau sempat, ambil air di sumur belakang,” kata Mardiah sambil mengelus kepala putranya.

Elang mengangguk. Ia tahu ibunya selalu berangkat ke sawah sejak pagi buta dan baru pulang saat matahari mulai tenggelam. Setiap hari seperti itu. Menanam padi, mencangkul tanah, atau sekadar memastikan tanaman tidak dimakan hama.

Setelah Elang berangkat ke sekolah, Mardiah pun berjalan menuju sawah dengan langkah tegap. Hujan semalam membuat jalanan becek, tapi itu tak menghalangi langkahnya. Dengan caping di kepala dan cangkul di bahu, ia menyusuri pematang sawah yang sempit.

Sementara itu, Elang menjalani harinya di sekolah seperti biasa. Ia bukan anak yang paling pintar, tapi ia selalu berusaha memahami pelajaran. Saat istirahat, teman-temannya membeli jajanan di kantin, sementara ia hanya duduk di bangku sambil menggenggam uang receh di saku celananya. Ia ingin membeli gorengan, tapi ia tahu ibunya pasti lebih membutuhkan uang itu untuk belanja beras atau minyak.

Sepulang sekolah, Elang bergegas pulang seperti yang diminta ibunya. Namun, langkahnya melambat ketika melewati sawah tempat ibunya bekerja. Dari kejauhan, ia melihat Mardiah tengah menunduk, menarik gulma dengan tangan kosong. Keringat membasahi wajahnya, dan napasnya terlihat berat.

Elang menggigit bibir. Ia ingin membantu, tapi ia tahu ibunya tidak akan membiarkannya.

Sore itu, setelah mengambil air di sumur belakang, Elang duduk di depan rumah, menunggu ibunya pulang. Langit mulai berubah jingga, dan suara jangkrik mulai terdengar dari kejauhan.

Tak lama kemudian, Mardiah muncul dari arah sawah dengan langkah lelah. Wajahnya dipenuhi keringat, tangannya penuh lumpur. Namun, seperti biasa, ia tetap tersenyum melihat putranya.

“Kamu sudah makan?” tanyanya.

Elang menggeleng. “Aku tunggu Ibu.”

Mardiah tersenyum tipis dan mengusap kepala putranya dengan lembut. “Ayo masuk. Aku masak sesuatu buat kita.”

Dan seperti itulah hari-hari mereka berjalan. Sederhana, berat, tapi selalu penuh kasih sayang. Namun, Elang tidak tahu bahwa hari berikutnya akan menjadi hari yang membuat hatinya terasa sesak untuk pertama kalinya.

 

Api di Tungku Dapur

Siang itu, langit terasa lebih panas dari biasanya. Matahari seperti enggan bersembunyi, membakar tanah dan membuat dedaunan layu. Elang pulang lebih awal karena gurunya mendadak sakit. Biasanya, saat jam segini, ia masih berada di kelas, mengerjakan soal-soal matematika yang sering membuatnya pusing.

Ia berjalan melewati jalan setapak dengan langkah ringan, berpikir bahwa ia bisa beristirahat lebih lama di rumah sebelum ibunya pulang dari sawah. Tapi begitu melewati halaman rumah, ia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti seketika.

Asap tipis mengepul dari dalam dapur.

Jantungnya mencelos. Ia segera berlari masuk, melewati pintu kayu yang sedikit berderit. Di dalam, ia mendapati ibunya duduk di depan tungku, meniup api dengan napas terengah-engah.

“Ibu?” Elang berseru panik.

Mardiah menoleh, terkejut melihat anaknya sudah pulang. Senyum tipis tersungging di wajahnya, tapi terlihat jelas wajahnya lebih pucat dari biasanya.

“Kamu pulang cepat?” tanyanya pelan.

Elang mengabaikan pertanyaan itu dan mendekat. “Ibu kenapa? Kok kelihatan lelah banget?”

Mardiah menghela napas, lalu kembali meniup api di tungku yang mulai mengecil. Kayu bakar di dalamnya hampir habis, tapi ia tetap berusaha menyalakannya. Di atas tungku, ada panci kecil yang berisi air dan beberapa helai daun singkong yang sudah layu.

Elang menatap isi panci itu. Hanya itu?

Ia mengalihkan pandangannya ke meja kecil di sudut dapur. Di sana, ada satu piring nasi. Hanya satu. Tidak ada lauk.

Mardiah tertawa kecil melihat wajah Elang yang berubah murung. “Kamu lapar? Sini, Ibu siapkan makan.”

Elang tetap diam. Ia menelan ludah, matanya masih tertuju pada satu-satunya piring nasi di meja. Ia tahu persis apa artinya itu.

“Ibu sudah makan?” tanyanya lirih.

Mardiah terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Sudah. Kamu makan duluan, ya.”

Elang mengerutkan kening. Ia bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Setiap kali ibunya berkata seperti itu, artinya ia belum makan sama sekali.

“Bohong.” Suaranya terdengar lebih keras dari yang ia maksudkan.

Mardiah menatap putranya, lalu terkekeh pelan. Ia meraih piring di meja, lalu menyerahkannya pada Elang. “Makanlah dulu, Nak. Ibu masih kenyang.”

Elang menggeleng. Hatinya terasa sesak. Ibu yang setiap hari bekerja dari pagi sampai sore, ibu yang mengangkat cangkul lebih berat dari tubuhnya sendiri, ibu yang menanam padi di bawah terik matahari—tidak mungkin ia kenyang hanya dengan udara.

Tanpa berpikir panjang, Elang mengambil nasi di piring itu dan membaginya menjadi dua. Setengahnya ia berikan kepada ibunya.

“Ibu makan,” katanya tegas.

Mardiah menatap nasi di tangannya, lalu menatap wajah putranya. Mata tuanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tetap tersenyum. Dengan tangan gemetar, ia menerima suapan kecil dari Elang.

Siang itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Elang benar-benar memahami arti kata ‘pengorbanan’.

 

Sepiring Nasi untuk Ibu

Mardiah mengunyah pelan suapan nasi yang diberikan Elang. Matanya terasa panas, tapi ia tidak ingin menangis di depan putranya. Ia tahu betul anak itu sudah cukup dewasa untuk memahami banyak hal, termasuk bagaimana perutnya sering kosong.

Elang memperhatikan ibunya makan dengan tenang, memastikan setiap butir nasi itu benar-benar masuk ke dalam mulutnya. Ia menahan napas, takut ibunya akan berbohong lagi dan hanya berpura-pura makan.

“Ibu, lain kali jangan bohong,” kata Elang lirih. “Kalau Ibu lapar, ya makan. Jangan bilang sudah kenyang.”

Mardiah tersenyum, mengusap kepala anaknya dengan lembut. “Ibu nggak bohong. Ibu memang kenyang… kalau lihat kamu makan dengan lahap.”

Elang menghela napas. Ia tahu itu hanya alasan. Tapi ia juga tahu bahwa ibunya memang seperti itu—lebih memikirkan dirinya daripada dirinya sendiri.

Setelah makan, Elang merapikan piring-piring di dapur. Mardiah hendak membantunya, tapi tubuhnya limbung saat mencoba berdiri.

“Ibu!” Elang segera menahan tubuh Mardiah sebelum jatuh.

“Ah, ibu nggak apa-apa,” kata Mardiah cepat. “Cuma agak pusing.”

Elang menggigit bibir. Matanya menatap ibunya yang kini duduk kembali, memegang dahinya yang berkeringat. “Ibu nggak boleh kerja besok.”

Mardiah terkekeh lemah. “Terus, kalau ibu nggak kerja, kita makan apa?”

Elang terdiam. Ia tahu betul jawaban atas pertanyaan itu. Jika ibunya tidak ke sawah, mereka tidak akan punya uang untuk membeli beras. Jika ibunya beristirahat, perut mereka akan lebih lama kosong.

“Tapi Ibu sakit,” kata Elang. “Ibu harus istirahat.”

Mardiah menarik napas panjang. “Kalau Ibu istirahat, terus siapa yang jaga padi di sawah? Siapa yang narik gulma? Kalau sawahnya rusak, kita makin susah.”

Elang terdiam. Ia membenci kenyataan itu. Mengapa ibunya harus bekerja sekeras ini hanya untuk mendapatkan sesuatu yang seharusnya mudah didapatkan orang lain?

Tiba-tiba, ia berdiri. “Aku yang ke sawah besok.”

Mardiah tertawa kecil. “Kamu ini masih kecil, Elang. Tenagamu belum cukup buat kerja di sawah.”

“Aku bisa,” kata Elang yakin. “Aku bisa bantu ibu. Aku nggak mau lihat ibu kelaparan lagi.”

Mardiah menatap putranya. Ada sesuatu di mata anak itu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya—keteguhan, ketakutan, dan kedewasaan yang datang terlalu cepat.

Ia ingin menolak. Ia ingin mengatakan bahwa anak sepuluh tahun seharusnya tidak perlu berpikir sejauh itu. Tapi kata-kata itu tidak keluar dari mulutnya.

Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu Elang benar-benar akan melakukannya.

 

Warisan Tanpa Kata

Pagi datang dengan embun yang masih menggantung di ujung dedaunan. Matahari baru muncul di balik perbukitan, mewarnai langit dengan semburat jingga yang hangat. Tapi di rumah kecil itu, Mardiah masih tertidur. Napasnya teratur, tubuhnya sedikit lebih rileks dibanding kemarin.

Elang berdiri di ambang pintu, menatap ibunya yang masih lelap. Semalam, setelah melihat betapa lemahnya Mardiah, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Tanpa suara, ia mengambil caping yang tergantung di dinding, meraih cangkul yang biasa dibawa ibunya, lalu melangkah keluar rumah.

Perjalanan ke sawah terasa lebih jauh dari biasanya. Jalanan masih sepi, hanya terdengar suara burung berkicau dan gesekan daun yang tertiup angin. Hati Elang berdegup kencang. Ia tidak tahu apakah ia benar-benar bisa melakukan ini. Tapi ia tidak peduli. Yang ia tahu, ia tidak mau ibunya harus bekerja dalam keadaan sakit.

Setibanya di sawah, ia berdiri di tengah petak yang luas, menatap tanaman padi yang tingginya hampir mencapai pinggangnya. Tangan kecilnya menggenggam cangkul erat-erat.

Lalu, ia mulai bekerja.

Tanah yang becek membuat langkahnya sulit. Cangkul terasa lebih berat dari yang ia kira. Setiap kali ia mencoba mencangkul, tanah terasa keras dan lengket. Keringat mulai mengalir di pelipisnya meskipun matahari belum terlalu tinggi.

Tapi ia tidak berhenti. Ia tetap bekerja, menarik gulma, menata tanah, melakukan apa pun yang bisa ia lakukan.

Saat matahari mulai naik, tubuhnya sudah terasa letih. Tangannya penuh lumpur, kakinya gemetar. Tapi ia bertahan.

Hingga suara yang sangat ia kenal memecah keheningan.

“Elang!!”

Elang menoleh dan melihat Mardiah berdiri di pematang sawah, wajahnya penuh keterkejutan dan kepanikan.

“Ibu bangun?” Elang tersenyum lemah, napasnya terengah. “Aku cuma mau bantu… Biar ibu nggak usah kerja hari ini.”

Mardiah berjalan cepat ke arahnya. Begitu sampai, ia langsung menarik cangkul dari tangan Elang dan melemparkannya ke tanah.

“Kamu ini mikir apa?!” suaranya sedikit bergetar. “Lihat tanganmu, lihat kakimu! Kamu nggak boleh kerja di sawah, Elang! Ini bukan tempat buat anak kecil!”

Elang menunduk. “Tapi aku nggak mau ibu kelaparan lagi.”

Mardiah terdiam.

Perlahan, kemarahan di wajahnya mereda, berganti dengan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Ia menarik napas panjang, lalu berjongkok di hadapan putranya. Dengan lembut, ia mengusap tangan kecil Elang yang kini penuh luka dan tanah.

“Elang…” suaranya lebih lembut. “Ibu nggak butuh kamu kerja di sawah. Ibu cuma butuh kamu tumbuh sehat dan pintar. Kamu nggak boleh hidup seperti ini.”

“Tapi…” Elang menggigit bibir. “Kalau ibu terus kerja, ibu bisa sakit lagi. Aku nggak mau lihat ibu sakit.”

Mardiah tersenyum tipis. Ia menarik Elang ke dalam pelukannya, membiarkan bau lumpur dan keringat menyatu dalam dekapan itu.

“Nak… Ibu ini kuat. Selama ini, Ibu kerja keras bukan buat Ibu sendiri, tapi buat kamu. Biar kamu bisa sekolah, biar kamu bisa punya masa depan yang lebih baik.”

Elang menggigit bibir, menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku nggak mau masa depan kalau ibu harus menderita sekarang.”

Mardiah tersenyum, menahan air matanya sendiri. Ia mengusap kepala Elang dengan lembut.

“Kita nggak miskin, Nak,” bisiknya. “Selama kita masih punya satu sama lain… kita nggak pernah benar-benar kekurangan.”

Elang terdiam. Kata-kata itu masuk ke dalam hatinya lebih dalam dari apa pun.

Hari itu, ia belajar sesuatu yang lebih besar dari sekadar sepiring nasi atau sawah yang harus dijaga.

Ia belajar bahwa cinta seorang ibu bukan hanya tentang memberi, tapi juga tentang menjaga agar anaknya tidak harus mengorbankan masa kecilnya demi bertahan hidup.

Dan bagi Mardiah, ia tahu bahwa warisan terpenting yang bisa ia tinggalkan untuk Elang bukanlah sawah, bukan harta, tapi harapan—bahwa suatu hari nanti, anaknya bisa hidup lebih baik darinya.

 

Di dunia ini, nggak ada yang lebih tulus dari seorang ibu. Mau secapek apa pun, mau perut kosong sekalipun, yang dipikirin tetap anaknya. Tapi satu hal yang sering dilupain, ibu juga manusia. Mereka bisa lelah, bisa sakit, tapi jarang ngeluh.

Jadi, sebelum semuanya terlambat, coba lihat ibu kalian hari ini. Udahkah kalian benar-benar paham seberapa besar cinta dan pengorbanan yang selama ini dia kasih? Jangan sampai kita baru sadar ketika semuanya sudah tinggal kenangan.

Leave a Reply