Sepeda untuk Bu Ratri: Cerita Inspiratif tentang Kepedulian Murid pada Guru

Posted on

Pernah kepikiran gimana rasanya jadi guru yang tetap setia mengajar meski punya banyak kesulitan? Cerpen “Sepeda untuk Bu Ratri” bakal bikin kamu terharu sekaligus sadar bahwa kepedulian murid terhadap guru itu lebih dari sekadar mengucapkan “terima kasih”.

Kisah inspiratif ini bercerita tentang sekumpulan murid yang bahu-membahu mengumpulkan uang demi memberikan hadiah spesial untuk guru mereka yang diam-diam menghadapi tantangan besar. Dijamin nggak cuma seru, tapi juga penuh makna dan pesan moral yang bisa bikin kamu makin respect sama guru-guru di sekitarmu! Penasaran dengan ceritanya? Yuk, simak selengkapnya!

Sepeda untuk Bu Ratri

Tanda Tanya di Papan Tulis

Suasana di kelas 8C siang itu terasa lebih gerah dari biasanya. Bukan hanya karena kipas angin di langit-langit kelas yang berputar malas, tapi juga karena mata pelajaran matematika yang selalu berhasil membuat kepala murid-murid berasap.

Di depan kelas, Bu Ratri berdiri dengan sebatang kapur di tangan. Ia baru saja menjelaskan sebuah rumus pecahan, tapi kemudian terbatuk-batuk pelan. Murid-murid memperhatikan dengan sedikit cemas, tapi Bu Ratri tetap berusaha tersenyum.

“Nah, siapa yang bisa jawab soal ini?” tanyanya seraya menulis angka-angka di papan tulis. Tangannya sedikit gemetar saat menorehkan garis.

Gibran, yang biasanya paling malas mengerjakan soal, justru memperhatikan hal lain. Dari bangkunya di barisan tengah, ia melihat wajah Bu Ratri yang tampak lebih pucat dari biasanya. Keningnya mengernyit.

“Bu Ratri keliatan beda, ya?” bisiknya ke Nayla yang duduk di sebelahnya.

Nayla mengangguk, matanya masih tertuju ke arah Bu Ratri yang kini mengusap peluh di keningnya dengan sapu tangan lusuh. “Iya, dia kayak capek banget. Tapi nggak pernah ngeluh, sih.”

“Kayaknya sih lagi sakit,” Rama menimpali dari belakang mereka.

“Eh, kamu beneran merhatiin guru?” goda Nayla setengah berbisik.

“Ya, aku kan juga punya hati,” jawab Rama pura-pura tersinggung.

Bu Ratri menoleh ke arah mereka. “Ada yang mau coba jawab?”

Kelas mendadak hening. Beberapa anak menunduk, berpura-pura sibuk menulis di buku catatan.

Sambil menarik napas panjang, Adit akhirnya mengangkat tangan. “Aku coba, Bu,” katanya dengan suara datar.

Bu Ratri tersenyum, tapi senyumnya tampak lebih lelah dari biasanya. “Silakan, Adit.”

Saat Adit maju ke depan, Nayla kembali berbisik ke Gibran. “Aku penasaran, Bu Ratri kenapa ya? Biasanya nggak gitu.”

Gibran mengangguk pelan. “Aku juga ngerasa aneh. Tapi kayaknya kita nggak bisa nanya langsung.”

Bel pulang berbunyi tak lama kemudian. Murid-murid berhamburan keluar kelas, beberapa masih sibuk membahas rencana nongkrong di kantin. Namun, Gibran dan Nayla memilih tetap di tempat, pura-pura membereskan buku mereka lebih lama.

Dari bangku belakang, Rama juga tidak langsung pergi. Ia mengamati saat Bu Ratri duduk sebentar di kursi guru, membuka dompet kecilnya.

Mata Nayla membelalak. “Gibran, lihat itu!” bisiknya cepat.

Gibran menoleh dan matanya menangkap isi dompet Bu Ratri yang terbuka—hanya ada beberapa lembar uang ribuan yang terlipat rapi di dalamnya.

Mereka saling bertukar pandang. Ada sesuatu yang selama ini tidak mereka sadari tentang guru yang telah mengajar mereka dengan penuh kasih sayang.

Rama yang biasanya cuek kini ikut berbisik, suaranya lebih serius dari biasanya. “Aku rasa… Bu Ratri lagi kesulitan.”

Gibran mengepalkan tangan. “Kita harus ngelakuin sesuatu.”

Nayla menatap mereka berdua, lalu menoleh lagi ke arah Bu Ratri yang masih duduk di mejanya, tampak menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dan berjalan pelan keluar kelas.

Di antara bangku-bangku kosong, sebuah rencana mulai tumbuh di benak mereka.

Rencana di Kantin

Kantin sekolah sore itu lebih ramai dari biasanya. Murid-murid dari berbagai kelas memenuhi meja-meja kayu panjang, sibuk menyantap jajanan favorit mereka sambil bercanda. Namun, di sudut kantin yang agak sepi, Gibran, Nayla, Rama, dan Adit duduk melingkar dengan wajah serius.

“Aku masih kepikiran Bu Ratri,” kata Nayla sambil mengaduk es teh di depannya. “Kita nggak bisa cuma diem aja.”

“Kamu mikir apa?” tanya Adit, menaikkan alisnya.

“Kita harus bantu,” sahut Gibran tegas. “Kita nggak tahu pasti masalahnya apa, tapi yang jelas Bu Ratri kelihatan kesulitan. Kita bisa lakuin sesuatu buat meringankan beban dia.”

Rama, yang sejak tadi sibuk menggigit gorengannya, mengangguk. “Oke, tapi gimana caranya? Kita nggak mungkin tiba-tiba kasih uang ke Bu Ratri, pasti dia bakal nolak.”

Mereka terdiam sebentar, berpikir keras.

Tiba-tiba Nayla berseru, “Kita bisa bikin bazar!”

Tiga pasang mata langsung tertuju padanya.

“Bazar?” ulang Adit skeptis.

“Iya! Kita jual makanan, minuman, atau barang-barang yang nggak kepake lagi. Hasilnya kita kumpulin buat Bu Ratri!” jelas Nayla penuh semangat.

Gibran mulai mengangguk. “Ide bagus. Kalau kita rame-rame, pasti bisa ngumpulin cukup uang buat sesuatu yang berguna.”

“Tapi jualan di sekolah nggak boleh sembarangan,” kata Adit, yang memang paling paham aturan sekolah. “Kita harus cari cara biar nggak ketahuan guru lain atau malah dilarang sebelum mulai.”

Mereka kembali berpikir.

Rama tiba-tiba tersenyum licik. “Gampang. Kita minta izin sama Bu Rani.”

Bu Rani adalah guru seni yang terkenal baik hati dan santai. Kalau ada guru yang bisa mereka andalkan untuk menutup mata sedikit terhadap peraturan, pasti dia orangnya.

“Kamu yakin Bu Rani bakal izinin?” tanya Nayla ragu.

“Ya, kita coba aja dulu,” jawab Rama. “Aku bisa bilang kalau ini buat kegiatan sosial atau semacamnya. Bu Rani pasti ngerti.”

“Oke,” kata Gibran. “Sekarang kita bagi tugas. Aku sama Rama urus izin ke Bu Rani. Nayla, kamu bisa urus soal makanan dan minuman, cari yang gampang dijual. Adit, kamu bagian keuangan, biar nggak ada yang jajanin hasil jualan kita.”

“Enak aja, aku juga mau jualan!” protes Adit.

“Ya udah, kamu atur harga juga,” kata Gibran, terkekeh.

Nayla bersorak kecil. “Kita bakal sukses, aku yakin!”

Mereka semua mengulurkan tangan ke tengah meja, saling menumpuk telapak tangan mereka.

“Satu, dua, tiga… 8C juara!” seru mereka berempat sebelum tertawa bersama.

Rencana sudah dibuat. Kini, mereka hanya perlu melaksanakannya.

Bazar dan Pentas Seni

Hari pertama bazar akhirnya tiba. Sejak pagi, murid-murid kelas 8C sibuk menyiapkan lapak mereka di sudut halaman sekolah. Berkat bujukan Rama yang entah bagaimana caranya bisa meyakinkan Bu Rani, mereka mendapat izin menggunakan area dekat ruang seni untuk jualan.

Nayla dan beberapa anak lain sibuk mengatur kotak berisi kue-kue buatan sendiri, sementara Adit menghitung uang kas dengan ekspresi serius. Gibran dan Rama mengatur meja untuk barang bekas yang masih layak jual—mulai dari buku cerita, aksesoris, sampai kaus band yang dulu hits tapi kini terlupakan.

“Nayla, es tehnya kurang dingin!” keluh Rafi, salah satu anak yang bertugas di bagian minuman.

“Ya udah, taruh di termos es aja, Raf! Jangan banyak protes, ayo kerja!” balas Nayla sambil menata donat ke wadah transparan agar terlihat lebih menggoda.

Tak lama, para murid dari kelas lain mulai berdatangan. Ada yang penasaran, ada juga yang langsung belanja karena melihat makanan-makanan menggoda.

“Ini berapa?” tanya seorang anak dari kelas 7 sambil menunjuk brownies cokelat.

“Sepuluh ribu aja, enak banget, asli homemade!” jawab Nayla dengan senyum ramah.

“Eh, diskon nggak?”

“Dih, ini bazar amal, bukan pasar malam,” sela Rama cepat, membuat anak kelas 7 itu tertawa dan akhirnya membeli.

Sementara itu, di sisi lain, Gibran mencoba menarik perhatian lebih banyak pembeli. Ia membawa gitar dan mulai memainkan lagu-lagu populer. Murid-murid lain yang tertarik langsung berkumpul, ada yang ikut menyanyi, ada juga yang sekadar menikmati suasana.

Rama, yang melihat peluang, langsung berbisik ke Adit, “Kita bisa bikin pertunjukan kecil-kecilan biar makin rame!”

Adit mengangkat alis. “Maksudnya?”

“Pentas seni dadakan! Kita suruh Gibran main gitar, Nayla bisa nari, siapa tahu ada yang mau nyumbang uang lebih buat hiburan.”

Adit berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Oke, tapi kita harus cepet kumpulin anak-anak yang mau tampil.”

Mereka pun segera mencari murid-murid yang bisa menyanyi, menari, atau melakukan pertunjukan lain. Tak butuh waktu lama, panggung kecil di depan bazar mulai terisi oleh penampilan spontan dari anak-anak 8C. Ada yang membawakan stand-up comedy, ada yang beatbox, dan ada juga yang sekadar berani maju untuk membaca puisi.

Saat Nayla dan dua temannya menampilkan tarian modern, tepuk tangan membahana. Beberapa penonton bahkan dengan sukarela memasukkan uang ke dalam kotak donasi yang diletakkan di dekat panggung.

“Ini sukses besar!” seru Adit sambil tersenyum lebar.

Di tengah riuhnya acara, Bu Ratri lewat di dekat bazar. Ia menatap ke arah keramaian dengan wajah heran. Namun, sebelum ia sempat bertanya, seorang murid dari kelas lain menyapanya, dan ia pun berlalu tanpa sempat menyelidiki lebih lanjut.

Nayla yang melihat itu langsung menarik napas lega. “Hampir aja ketahuan.”

Hari itu, bazar dan pentas seni berjalan lebih sukses dari yang mereka kira. Saat bel pulang berbunyi, kotak donasi mereka sudah penuh, dan hampir semua barang dagangan habis terjual.

Malamnya, di grup chat kelas 8C, Gibran mengirim pesan, “Guys, kita berhasil ngumpulin lebih dari cukup buat sesuatu yang spesial buat Bu Ratri. Besok kita eksekusi rencana terakhir!”

Semua anak langsung membanjiri chat dengan emoji semangat. Mereka sudah tak sabar melihat kejutan mereka berhasil.

Sepeda untuk Bu Ratri

Pagi itu, suasana di kelas 8C terasa berbeda. Biasanya, mereka ramai mengobrol atau mengeluh soal tugas, tapi kali ini, hampir semua murid duduk dengan wajah penuh antisipasi. Sebuah sepeda berwarna biru muda, yang sudah dihias dengan pita-pita kecil, tersembunyi di ruang OSIS, siap untuk diberikan kepada Bu Ratri.

Gibran melirik jam di dinding. “Bu Ratri bentar lagi masuk. Semua udah siap?”

“Siap banget!” bisik Nayla penuh semangat.

Rama mengangguk sambil menahan tawa. “Aku masih nggak percaya kita bisa sampai di titik ini.”

Adit, yang bertugas mengatur keuangan, berbisik, “Dananya bener-bener cukup, lho. Masih ada sisa buat beliin Bu Ratri selendang baru juga.”

Bel masuk berbunyi, dan semua murid pura-pura bersikap biasa saat Bu Ratri masuk ke kelas. Ia tersenyum lembut, seperti biasa, meski kelelahan masih terlihat di wajahnya.

“Selamat pagi, anak-anak.”

“Pagi, Bu!” sahut mereka serempak.

Bu Ratri berjalan ke meja guru, lalu berhenti sejenak, tampak sedikit heran melihat ekspresi murid-muridnya yang tampak terlalu bersemangat.

“Ada apa ini? Kalian nggak biasanya setertib ini,” tanyanya dengan alis terangkat.

Nayla menoleh ke Gibran, memberi isyarat. Gibran berdiri dan berkata dengan suara lantang, “Bu Ratri, kami dari kelas 8C mau kasih sesuatu buat Ibu.”

Bu Ratri tampak semakin bingung. “Apa maksudnya?”

Pintu kelas tiba-tiba terbuka, dan dua anak OSIS masuk, mendorong sepeda biru yang sudah dihiasi pita merah besar.

“Ini dari kami semua, Bu,” kata Rama dengan senyum lebar. “Biar Ibu nggak capek jalan kaki ke sekolah lagi!”

Bu Ratri menatap sepeda itu dengan mata membesar. Tangannya menutup mulut, dan dalam sekejap, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

“Apa… ini benar-benar untuk Ibu?” suaranya bergetar.

“Iya, Bu!” sahut Nayla. “Kami semua patungan, jualan, bikin acara, semuanya buat Ibu!”

Bu Ratri menggeleng pelan, masih tak percaya. Ia berjalan mendekati sepeda itu, tangannya menyentuh setang dengan gemetar. “Kalian… kalian nggak perlu repot-repot seperti ini.”

“Tapi kami mau, Bu,” kata Adit dengan senyum lembut. “Kami sadar selama ini Ibu selalu ada buat kami, padahal mungkin kami nggak pernah benar-benar peduli sama keadaan Ibu. Ini cara kami bilang makasih.”

Bu Ratri tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia menatap murid-muridnya satu per satu, lalu menghapus air mata dengan punggung tangannya.

“Kalian luar biasa,” bisiknya haru. “Ibu benar-benar terharu… dan sangat bersyukur punya murid-murid seperti kalian.”

Seluruh kelas bertepuk tangan dengan gembira. Beberapa anak ikut berkaca-kaca, melihat betapa tulusnya kebahagiaan Bu Ratri.

Sejak hari itu, Bu Ratri tak lagi berjalan kaki ke sekolah. Ia datang setiap pagi dengan sepeda biru hadiah dari murid-muridnya, dan setiap kali ia mengayuh pedalnya, ia selalu tersenyum, mengingat betapa berartinya perhatian dari murid-murid 8C.

Dan bagi mereka, itu bukan hanya tentang memberi hadiah, tapi tentang memahami bahwa seorang guru bukan sekadar pemberi ilmu—mereka juga manusia yang perlu dihargai dan diperhatikan.

TAMAT.

Cerpen “Sepeda untuk Bu Ratri” bukan sekadar kisah tentang murid dan guru, tapi juga tentang rasa peduli, empati, dan bagaimana hal kecil yang dilakukan dengan tulus bisa memberi dampak besar bagi orang lain.

Lewat cerita ini, kita diajak untuk lebih menghargai perjuangan guru yang sering kali tidak terlihat, tetapi begitu berarti dalam kehidupan kita. Jadi, sudahkah kamu menunjukkan kepedulianmu kepada guru yang telah mengajar dan membimbingmu? Kadang, perhatian sederhana saja sudah bisa membuat mereka merasa dihargai. Yuk, mulai dari sekarang!

Leave a Reply